*

*

Ads

Senin, 16 April 2012

Ang I Niocu Jilid 001

“ORANG she Kiang! Melihat usiamu yang masih muda, kami masih menaruh hati kasihan kepadamu. Kami nasihatkan supaya kau pergi dari sini dan jangan mencampuri urusan kami,” terdengar suara yang kecil dan nyaring.

“Kiang-enghiong, kata-kata Hek-tung Beng-yu (Sahabat Tongkat Hitam) tadi memang tepat. Menilik gerak-gerikmu, kau adalah seorang ahli silat yang sudah pandai, mengapa kau tidak tahu akan peraturan kang-ouw? Kami para ketua perkumpulan pengemis sedang mengurus persoalan kami sendiri, mengapa kau begitu tidak tahu malu untuk mencampuri urusan kami? Lebih baik lekaslah kau pergi sebelum terjadi hal-hal yang kurang baik bagi dirimu,” kata pula suara ke dua yang parau dan kasar.

Suara dua orang ini disusul oleh gumaman banyak mulut yang menyatakan persetujuan. Dua orang yang bicara tadi, juga mereka yang menyatakan persetujuan adalah sekumpulan orang-orang tua yang amat aneh baik bentuk tubuh, pakaian, maupun gerak-gerik mereka.

Mereka ini sudah jelas adalah sekumpulan pengemis-pengemis, karena baju mereka penuh tambahan dan di tangan mereka kelihatan tongkat dan tempat sedekah, seperti panci butut, batok, kaleng dan lain-lain. Jumlah mereka ada empat belas orang. Akan tetapi kalau orang tahu siapakah adanya mereka ini, ia akan terkejut, karena mereka ini bukan lain adalah ketua-ketua dari seluruh kai-pang (perkumpulan pengemis) yang tersebar di seluruh Tiongkok dan merupakan ketua-ketua dari semua perkumpulan terbesar.

Jangan ditanya lagi tentang kepandaian mereka! Baru orang pertama yang bicara dengan suara kecil nyaring tadi saja, yang tubuhnya tinggi kurus dan matanya buta sebelah kiri, dia dijuluki orang It-gan Sin-kai (Pengemis Sakti Mata Satu) dan kelihaiannya hanya di bawah kepandaian raja pengemis puluhan tahun yang lalu, yakni Ang-bin Sin-kai (Pengemis Sakti Muka Merah) yang menggemparkan dunia kang-ouw (baca Pendekar Sakti).

Seperti juga Ang-bin Sin-kai yang sudah meninggal dunia, pengemis bermata satu ini beberapa kali pernah menggegerkan istana kaisar karena ia menyerbu dapur dan menyikat habis masakan-masakan yang paling lezat di dapur istana!

Juga orang ke dua yang suaranya parau dan kasar, yang bertubuh kate dengan perutnya saja yang besar dan gendut seperti anak cacingan, bukanlah sembarangan orang. Dia ini disebut Pat-jiu Siauw-kai (Pengemis Kecil Tangan Delapan), kelihaiannya dalam ilmu silat tidak kalah oleh It-gan Sin-kai!

Demikian pula, dua belas orang pengemis yang lain, masing-masing adalah ketua-ketua pengemis yang amat terkenal di dunia kang-ouw, dan kesemuanya boleh dibilang merupakan orang-orang yang menjunjung tinggi pengemis sakti mendiang Ang-bin Sin-kai.

Oleh karena itu pula, maka mereka terkenal sebagai pemimpin-pemimpin yang menjaga keras sehingga para anggauta perkumpulan mereka berdisiplin, dan biarpun hidup sebagai pengemis-pengemis, namun merupakan sekumpulan orang-orang yang selalu siap sedia menolong kaum lemah yang tertindas!

Segolongan pendekar-pendekar yang menyamar sebagai pengemis-pengemis, atau lebih tepat lagi, yang suka memilih hidup bebas seperti burung di udara. Dan menurut anggapan mereka, hanya pengemis-pengemis saja yang dapat hidup bebas seperti burung di udara.

Empat belas orang ketua pengemis itu kini nampak tidak senang dan mereka menghadapi seorang laki-laki muda yang usianya kurang lebih dua puluh lima tahun. Pemuda ini amat gagah, pakaiannya bersih dan indah, wajahnya tampan sekali dengan alis tebal dan hidung mancung. Bibirnya merah seperti bibir wanita. Dadanya bidang menonjol ke depan, sepasang lengannya kekar dan ia nampak lebih tegap dan gagah karena pedang yang tergantung di punggungnya.

Pemuda itu mempunyai sepasang mata yang tajam dan selalu berseri gembira. Kini menghadapi empat belas orang kakek pengemis yang marah-marah itu, ia tersenyum-senyum mengejek, sama sekali tidak merasa takut sungguhpun ia telah mengenal, atau setidaknya pernah mendengar nama semua ketua pengemis ini dan telah maklum pula akan kelihaian mereka.

“Hm, Cuwi Lo-kai (Para Tuan Pengemis Tua) bicara tentang pelajaran ilmu silat, tentang peraturan kang-ouw, dan tentang tahu malu? Pernah siauwte mendengar ujar-ujar Guru Besar Khong Cu yang berbunyi seperti berikut: Ho Hak Kin Houw Ti, Lek Heng Houw Jin, Ti Thi Kin Houw Yong! Tahukah Cuwi akan artinya? Kalau tidak salah, beginilah maksudnya: Suka belajar berarti mendekati pengetahuan, menjalankan ilmu pengetahuan berarti mendekati welas asih dan tahu malu berarti mendekati kegagahan!”

Pat-jiu Siauw-kai yang terkenal paling berangasan, menjadi marah dan ia melangkah maju, lalu menudingkan telunjuknya ke arah hidung pemuda itu,

“Kau anak kecil bau pupuk, mau berlagak menjadi guru ilmu batin? Kau kutib-kutib segala isi kitab Tiong-yong (kitab pelajaran Guru Besar Khong Hu Cu) dengan maksud apakah?”






“Sabarlah, Lo-kai. Kau yang terlalu banyak tangan harus bisa bersikap tenang dan sabar,” kata pemuda itu yang menyindir pengemis kate ini yang berjuluk Pengemis Kecil Berlengan Delapan. “Bukankah tadi kau yang menyatakan bahwa aku sudah mempelajari ilmu silat akan tetapi tidak tahu akan peraturan dunia kang-ouw dan tidak tahu malu! Nah, jawabku ialah isi ujar-ujar yang tepat itu.”

“Apa maksudmu?” Pat-jiu Siauw-kai membentak,

“Maksudku? Segala tindakanku kusesuaikan dengan ujar-ujar indah itulah. Aku bersusah payah belajar silat untuk mengejar ilmu. Setelah ilmu terdapat, aku menjalankannya untuk menolog sesama manusia, ini berarti mendekati pribudi baik atau welas asih. Adapun hal tahu malu seperti kausinggung-singgung tadi, Guru Besar berkata bahwa kalau kita tahu malu, berarti kita mendekati sifat gagah. Akan tetapi kalian ini, empat belas orang ketua perkumpulan besar, orang-orang kang-ouw yang memiliki kepandaian tinggi, mengapa sekarang hendak menyiksa dan membunuh seorang kawan tua yang tidak berdaya? Apakah itu namanya tahu malu? Kalianlah orang-orang yang tak tahu malu dan karenanya aku yang muda tidak dapat menganggap kalian ini orang-orang gagah!”

“Kiang Liat, kau sombong sekali!” Seorang pengemis gemuk bundar yang berjuluk Tiat-tho Mo-kai (Pengemis Iblis Kepala Besi) melompat maju dan memaki marah, “Kau ini orang luar tahu apa? Di dalam undang-undang partai pengemis nomor tujuh belas berbunyi begini: Segala keputusan rapat ketua tak boleh dicampuri oleh orang luar.”

Pemuda itu yang bernama Kiang Liat tersenyum.
“Peraturan dan undang-undangmu hanya berlaku untuk kalian sendiri, aku peduli apa? Pendeknya, sebagai seorang yang pernah mempelajari ilmu silat, yang sudah bersumpah untuk hidup sebagai pendekar dan menolong si lemah yang tertindas, aku Kiang Liat tidak akan membiarkan begitu saja kalian menyiksa dan membunuh kakek itu. Habis perkara!”

“Kau menghina Cap-si Kaipangcu (Empat Belas Ketua Perkumpulan Pengemis)!”

Tiat-tho Mo-kai membentak marah dan dengan cepat ia lalu menggerakkan tubuh. Lucu dan mengagumkan sekali gerakannya ini. Biarpun tubuhnya gemuk dan bundar, namun gerakannya ternyata luar biasa cepatnya dan tahu-tahu tubuh itu telah meluncur seperti dilemparkan, dengan kepala di depan ia menyeruduk ke arah Kiang Liat!

Serangan ini lihai sekali dan jarang ada ahli silat berani menerima serangan kepala dari Tiat-tho Mo-kai ini. Sesuai dengan julukannya, yakni Si Kepala Besi, kepala dari Si Pengemis ini yang botak kelimis luar biasa keras dan kuatnya, melebihi besi dan kalau ia menyeruduk, seekor kerbau pun takkan kuat menahan dengan kepalanya.

Para tokoh pengemis yang berada di situ mengira bahwa pemuda itu tentu akan mengelak dan kalau ia berbuat demikian, belum tentu ia akan dapat meluputkan diri, karena kedua tangan Tiat-tho Mo-kai tidak tinggal diam, melainkan dipentang dan siap untuk melakukan serangan dengan tangan apabila lawan mengelak dari serudukannya.

Akan tetapi apa yang mereka lihat? Benar-benar tak dapat dipercaya. Kiang Liat bukannya mengelak, melainkan berdiri dengan tegak dan menerima serudukan itu dengan perutnya!

“Capp!”

Kepala yang botak kelimis itu seakan-akan menancap pada perut pemuda itu, akan tetapi Kiang Liat hanya mundur selangkah, sama sekali tidak kelihatan sakit. Sebaliknya, Tiat-tho Mo-kai nampak lucu sekali, kepalanya tertanam dalam perut berikut mulut dan hidung dan kedua kakinya bergerak-gerak!

Ia mencoba untuk melepaskan diri, untuk mencabut kepalanya akan tetapi sia-sia belaka sehingga hanya kedua kakinya saja yang bergerak-gerak ke atas dan ke bawah. Ia bermaksud mempergunakan kedua tangan untuk menyerang, akan tetapi Kiang Liat mendahuluinya dan secepat kilat ia menotok kedua lengannya menjadi lemas tak bertenaga lagi.

Setelah merasa cukup mempermainkan pengemis botak itu, tiba-tiba Kiang Liat berseru,

“Pergilah!”

Dan bagaikan dilontarkan saja, tubuh pengemis botak itu terlempar sampai dua tombak lebih.

Tiat-tho Mo-kai jatuh berdebuk, akan tetapi ia tidak merasa terluka dan setelah mengerahkan lwee-kang untuk membebaskan diri dari totokan pada pundaknya, ia lalu maju lagi dengan muka merah. Sikapnya mengancam lagi dan mulutnya mengeluarkan kata-kata yang tidak begitu jelas bahwa ia hendak mengadu nyawa.

“Tiat-tho Mo-kai, kau sungguh tidak tahu diri. Kalau aku mau berlaku kejam, bukankah kau sudah menjadi pengemis iblis tak bernyawa lagi?” kata Kiang Liat.

Mendengar ucapan ini, Tiat-tho Mo-kai menghentikan langkahnya dan ia nampak ragu-ragu. Memang ia bukan tidak tahu bahwa kalau Kiang Liat mau, tadi ketika kepalanya tertanam pada perut, dengan lwee-kangnya yang amat tinggi, pemuda itu tentu akan dapat membunuhnya.

Tadi pun ia sudah merasa terheran mengapa ia bisa keluar dari keadaan itu dengan selamat dan tidak terluka, dan kini mendengar ucapan Kiang Liat, ia merasa malu untuk maju lagi. Sudah jelas bahwa kepandaiannya masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan pemuda luar biasa itu.

It-gan Sin-kai Si Mata Satu melangkah maju dan matanya yang tinggal satu sebelah kanan itu memancarkan sinar menakutkan.

“Kiang-enghiong, kau benar-benar lihai sekali dan tidak percuma kau berjuluk Jeng-jiu-sianjin (Manusia Dewa Tangan Seribu)! Akan tetapi sekali ini kau menghina dan merusak peraturan dari Cap-si Kai-pangcu, maka sekali lagi aku atas nama semua kawan mengharapkan agar kau sudi mengalah dan pergi meninggalkan kami mengurus dan menyelesaikan urusan kami sendiri. Lain kali kami tentu akan mengunjungimu menghaturkan maaf.”

“Tidak mungkin, It-gan Sin-kai! Bagiku, biarpun aku Kiang Liat masih muda, namun berlaku kata-kata It-gan-ki-jut Su-ma-lam-twi (sekali kata-kata dikeluarkan, empat ekor kuda tak dapat menarik kembali)! Kalau kalian tidak mau melepaskan kakek itu, aku pun tidak akan pergi dari sini dan akan menghalangi siapapun juga yang akan membunuh orang yang tak berdaya!” kata Kiang Liat dengan gagah.

“Tetap begitukah pendirianmu, Kiang-enghiong?” tanya It-gan Sin-kai marah.

“Tetap begitu dan takkan dapat dirubah oleh siapapun juga!” kata Kiang Liat dengan suara tetap pula, karena ia sendiri pun sudah marah melihat betapa para tokoh pengemis itu begitu tidak tahu akan perikemanusiaan dan akan membunuh seorang kakek yang kelihatan begitu tidak berdaya.

Ia sudah seringkali mendengar tentang Cap-si Kai-pangcu ini, mendengar bahwa mereka adalah pendekar-pendekar berkepandaian tinggi yang menjunjung tinggi kegagahan dan perikebajikan, mengapa sekarang mereka berkeras hendak berlaku kejam terhadap seorang kakek yang tak berdaya?

“Kalau begitu, terpaksa kami akan melakukan kekerasan dengan senjata, dan kalau sekiranya semua orang kang-ouw berada di sini, pasti mereka akan membenarkan kami!” kata It-gan Sin-kai.

“Kalau mereka membenarkan kalian, mereka itu tidak pantas menyebut diri orang-orang kang-ouw, melainkan orang-orang berhati kejam yang tidak mengenal perikemanusiaan!” kata Kiang Liat.

Ketika melihat betapa empat belas orang ketua perkumpulan-perkumpulan pengemis itu mengeluarkan senjata masing-masing ia pun lalu mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar gemerlapan.

Kedua pihak sudah bersiap-sedia untuk mempergunakan kekerasan, dan Kiang Liat yang maklum bahwa ia menghadapi orang-orang lihai, berlaku amat hati-hati. Ia pikir bahwa biarpun ia takkan menang dan sekalipun ia akan mati dikeroyok oleh Cap-si Kaipangcu ini, ia tidak akan merasa penasaran oleh karena ia membela kebenaran.

Dan benar saja seperti yang ia duga, empat belas orang pengemis itu bergerak serentak dan menyerangnya dari berbagai jurusan. Kiang Liat cepat memutar pedangnya menangkis dan terdengar suara tang-ting-tung ketika pedangnya beradu dengan tongkat dari mereka.

Bukan main kagetnya Kiang Liat karena ternyata bahwa tenaga mereka itu rata-rata amat besar dan seimbang dengan tenaganya sendiri. Ia bergerak cepat, namun empat belas batang tongkat lebih cepat lagi dan dalam lima gebrakan saja pinggangnya sudah terkena pukulan tongkat!






Tidak ada komentar :