*

*

Ads

Sabtu, 29 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 174 (TAMAT)

“Janganlah kalian terlalu merendah,” jawab Hok Peng Taisu. “Ilmu kipas dari Swi Kiat Siansu sungguh mengagumkan sedangkan ilmu tongkat Pok Pok Sianjin benar-benar membuat aku merasa tunduk.”

Setelah mengeluarkan ucapan-ucapan merendah, kedua kakek dari barat dan utara itu lalu berkelebat pergi, sedangkan Hok Peng Taisu lalu berkata,

“Untung sekali bahwa persoalan dapat diselesaikan dengan mudah. Sekarang kalian pulanglah dan jauhkan diri dari segala persengketaan yang tidak perlu. Ma Hoa kalau kelak kau melangsungkan pernikahanmu, jangan lupa mengundang aku untuk minum arak!” Setelah berkata demikian, kakek botak ini pun lalu berkelebat pergi dengan cepat sekali.

Nelayan Cengeng tertawa bergelak karena girangnya dan air matanya mengalir keluar
“Ha, ha, ha! Memang yang benar selalu pasti menang! Sekarang segala hal telah beres, dan aku pun ingin sekali segera menyaksikan kalian semua melangsungkan pernikahan dan membangun rumah tangga yang bahagia!”

Cin Hai menyatakan bahwa ia bersama Lin Lin hendak bersembahyang dulu di depan Gua Tengkorak sebagai penghormatan terakhir dan sebagai laporan kepada mendiang suhunya bahwa tugas telah diselesaikan dengan baik. Setelah berjanji akan bertemu di Tiang-an dengan kawan-kawannya sepasang teruna remaja ini dengan cepat lalu turun gunung.

Nelayan Cengeng tertawa girang.
“Lebih cepat dilangsungkan pernikahan mereka dan pernikahan Ma Hoa, lebih baik lagi. Marilah kita langsung menuju ke Tiang-an. Dan Niocu hendak pergi ke manakah?” tanyanya kepada Ang I Niocu.

Dara Baju Merah itu tak dapat menjawab dan Ma Hoa tersenyum lalu menggoda sambil mengerling ke arah Lie Kong Sian.

“Syarat-syarat telah dipenuhi semua mau tunggu apa lagi? Lie-tathiap, mengapa kau diam saja?”

Lie Kong Sian maklum akan maksud kata-kata ini, biarpun ia merasa malu dan mukanya menjadi merah, akan tetapi karena ia berhati jujur dan polos, ia lalu berkata kepada Ang I Niocu,

“Moi-moi, di depan kawan-kawan baik yang menjadi saksi biarlah kuulangi lagi pinanganku yang dulu. Benar sebagaimana kata Nona Ma Hoa tadi, semua syarat-syaratmu telah terpenuhi. Sie-sute dan Nona Lin Lin telah bertemu kembali, Suteku Song Kun juga telah tewas, dan kita telah mendapat persetujuan dari mendiang Supek Bu Pun Su.”

Merahlah muka Ang I Niocu, melebihi merahnya warna bajunya! Sambil menundukkan kepalanya, ia berkata,

“Dulu pernah kukatakan bahwa selain yang tiga itu, masih ada sebuah syarat lagi.”

“Apakah itu? Biarlah kawan-kawan menjadi saksi, aku akan memenuhi syarat ke empat ini, betapa pun beratnya!”

Ang I Niocu mengerling tajam.
“Pantaskah diucapkan disini?”

Nelayan Cengeng tertawa terbahak-bahak dan berkata,
“Niocu, diantara kawan sendiri, mengapa harus malu-malu? Atau, haruskah kami bertiga pergi dulu dari sini?”

Makin malulah Ang I Niocu mendengar ini. Ia menjadi serba salah, kemudian ia berkata perlahan,

“Syarat yang ke empat adalah cita-citaku sejak dulu, yaitu orang yang patut menjadi suamiku harus terlebih dulu dapat menjatuhkan aku dalam sebuah pertandingan!”

Tercenganglah semua orang mendengar syarat ini, tidak terkecuali Lie Kong Sian. Akan tetapi, Lie Kong Sian dengan tenang-tenang saja lalu berkata,

“Baiklah kalau demikian kehendakmu, terpaksa aku akan berusaha menjatuhkanmu!”

Ang I Niocu mencabut Liong-cu-kiamnya dan bersiap menghadapi tunangannya. Ma Hoa, Kwee An, dan Nelayan Cengeng lalu mengundurkan diri dan berdiri agak jauh dari tempat yang akan dijadikan gelanggang pertempuran antara kedua orang itu.

“Cobalah kalau bisa!” kata Ang I-Niocu dengan mata bersinar gembira dan bibir tersenyum manis.






Sikapnya menantang sekali, karena ia merasa telah dapat mempermainkan Lie Kong Sian dan karena ia merasa bahwa nilai dirinya telah naik!

“Jagalah!” seru Lie Kong Sian sambil mencabut pedangnya pula lalu maju menyerang dengan hebat.

Sebentar saja kedua orang itu bertempur hebat sekali hingga tubuh mereka seakan-akan menjad satu gulungan warna merah dari baju Ang I Niocu dan warna biru dari baju Lie Kong Sian!

Diam-diam Lie Kong Sian menggunakan tangan kirinya melepaskan dua helai tali sutera warna hijau dan menggenggam tali itu di tangannya. Kemudian, ketika pedang Ang I Niocu menyambar, ia sengaja memasang pundaknya untuk menerima tusukan itu!

Ang I Niocu terkejut sekali dan sambil menjerit ngeri ia miringkan pedangnya agar jangan sampai menusuk pundak Lie Kong Sian, akan tetapi terlambat! Pedangnya masih menggores bahu kanan Lie Kong Sian, hingga bajunya robek dan mengalirlah darah dari bajunya.

Akan tetapi Lie Kong Sian yang memang sengaja melakukan hal ini, mempergunakan kesempatan selagi Ang I Niocu terkejut dan menyesal, tangan kirinya bergerak cepat dan tahu-tahu sutera hijau itu telah melayang dan melibat kedua tangan Ang I Niocu yang terus dibetotnya dan sekali ia menggerakkan tangan kiri lagi, tali sutera ke dua lalu melayang dan membelit pergelangan kaki gadis itu!

Beberapa kali ia menggerakan tangan dan tali-tali itu telah mengikat kedua kaki dan kedua tangan Ang I Niocu dengan kencang sedangkan pedang Liong-cu-kiam telah terampas oleh Lie Kong Sian! Tubuh Ang I Niocu terguling dan kini ia rebah setengah duduk di atas tanah dengan kaki tangan terbelenggu!

Ia menjadi bingung sekali dan berkata,
“Lepaskan aku, lepaskan!”

Akan tetapi Lie Kong Sian hanya berdiri bertolak pinggang dan memandang dengan tersenyum!

“Lepaskan… lepaskan aku…!”

Ang I Niocu berkata lagi dan ia hampir saja menangis, sambil meronta-ronta dan mengerahkan tenaga lweekangnya untuk melepaskan diri daripada belenggu itu, akan tetapi tali sutera itu terbuat dari pada bahan yang tidak saja kuat dan ulet sekali, akan tetapi juga mempunyai sifat lunak dan dapat mulur hingga tenaga lweekangnya tiada berguna!

Terdengar suara tertawa bergelak-gelak dari Nelayan Cengeng yang segera menghampiri Ang I Niocu. Juga Kwee An dan Ma Hoa menghampirinya sambil tertawa-tawa.

“Lo-enghiong, Kwee An, Ma Hoa! Lepaskan aku…!” kata Ang I Niocu dengan suara memohon karena Dara Baju Merah ini merasa malu sekali.

“Ha, ha, ha!” Nelayan Cengeng tertawa geli hingga air matanya mengalir keluar di sepanjang pipinya. “Mempelai wanita telah tertawan…! Ha, ha, ha!” Kakek ini dengan gelinya tertawa gembira dan sama sekali tak mau menolong Ang I Niocu.

“Kwee An, tolonglah aku!” kata Ang I Niocu.

Sambil mengangkat jari telujuknya, Kwee An berkata,
“Niocu, sekarang kau telah mendapat bukti akan kelihaian calon suamimu! Tak boleh seorang calon isteri menantang suami, inilah jadinya!” Dia menggoda sambil tersenyum.

“Ma Hoa, benar-benarkah kau tidak mau menolongku membuka belenggu ini?”

Ang I Niocu menengok kepada Ma Hoa, akan tetapi gadis itu yang kini telah menyanggul rambutnya atas permintaan Kwee An sebagai “Pembayaran kaul!” karena musuh-musuh telah dapat ditewaskan dan dikalahkan semua, hanya tertawa, bahkan lalu bertepuk tangan gembira sambil bernyanyi menggoda,

“Mempelai perempuan telah tertawan! Masuk perangkap mempelai pria!”

Berkali-kali Ma Hoa bernyanyi sambil bertepuk tangan hingga Ang I Niocu menjadi makin jengah dan malu.

“Adik Hoa, awas! Kalau sampai terbuka ikatan tanganku, akan kucubit bibirmu yang nakal. Hayo lepaskan aku!” kata Ang I Niocu, akan tetapi dengan sikap nakal dan menggoda, Ma Hoa berkata,

“Enci Im Giok, yang mengikat kaki tanganmu bukanlah aku. Mengapa aku yang harus membukanya? Mintalah kepada orang yang melakukannya!”

Lie Kong Sian menghampiri Ang I Niocu dengan senyum di bibir.
“Bagaimana, Moi-moi, sudah takluk kau kepadaku kini?”

Ang I Niocu tak dapat menjawab, hanya meronta-ronta sambil berkata,
“Lepaskan… lepaskan!”

Lie Kong Sian menjura kepada Nelayan Cengeng dan kepada Kwee An dan Ma Hoa sambil berkata,

“Maafkan, kami hendak pergi dulu, kembali ke pulau tempat kediaman kami. Kelak, apabila dilangsungkan pernikahan antara Saudara Kwee An dan Nona Ma Hoa, juga antara Sie-sute dan Sumoi Lin Lin, kami tentu akan hadir!”

Setelah berkata demikian, tanpa melepaskan ikatan kaki tangan Ang I Niocu, pemuda itu lalu membungkuk dan memondong tubuh kekasihnya itu dan membawanya berlari cepat bagaikan terbang, menuju ke pulaunya yang indah yang merupakan sarang bahagia bagi dia dan calon isterinya.

Nelayan Cengeng, Kwee An, dan Ma Hoa merasa girang dan juga terharu sekali menyaksikan kebahagiaan orang muda itu. Bahkan Ma Hoa sampai menitikkan air mata sambil berkata,

“Syukurlah, kalau Enci Im Giok berbahagia. Dia orang berbudi mulia…”

Kemudian mereka bertiga lalu melanjutkan perjalanan menuju Tiang-an untuk menanti datangnya Cin Hai dan Lin Lin di Tiang-an.

Tak lama kemudian, datanglah Cin Hai dan Lin Lin membawa tiga ekor burung sakti, dan sebulan kemudian dilangsungkanlah perkawinan yang meriah antara Kwee An dengan Ma Hoa, dan Cin Hai dengan Lin Lin.

Selain Ang I Niocu dan Lie Kong Sian yang sudah menjadi suami isteri, hadir juga tokoh-tokoh persilatan dari seluruh penjuru dunia, di antaranya yang hadir adalah Swi Kiat Siansu, Pok Pok Sianjin, Hok Peng Taisu, Eng Yang Cu, Giok Gan Kui-bo, Sie Lok dan Sie Kiong kedua paman Cin Hai, dan banyak orang lagi.

Yousuf juga datang dan orang Turki ini selanjutnya tinggal bersama Cin Hai dan Lin Lin, menikmati kebahagiaan hidup sebagai ayah angkat yang dikasihi dan dihormat.

Perkawinan diberkahi oleh Kwee Tiong sebagai seorang hwesio yang mengucapkan doa sambil mengalirkan air mata karena bahagia melihat kedua adiknya, Kwee An dan Lin Lin, melangsungkan upacara pernikahan dengan bahagia.

Yang amat menggembirakan hati dua pasang mempelai itu ialah datangnya Sanoko, kepala suku Haimi itu, bersama Meilani dan suaminya Manoko, juga Kam Hong Sin, panglima yang dulu menjadi lawan, datang menghadiri pesta pernikahan itu dan melupakan segala permusuhan yang telah lalu.

Setelah upacara pernikahan selesai Ang I Niocu bersama suaminya kembali ke Pulau Pek-le-to dimana mereka hidup penuh kebahagiaan, jauh dari dunia ramai, dikawani oleh Rajawali Sakti yang diberikan oleh Lin Lin kepada mereka.

Juga Kwee An bersama isterinya dan Cin Hai bersama Lin Lin, hidup penuh kebahagiaan, masing-masing didampingi oleh Nelayan Cengeng dan Yousuf yang merupakan ayah angkat bagi Ma Hoa dan Lin Lin.

Demikianlah, cerita “Pendekar Bodoh” ini berakhir sampai disini, dan kami harap pembaca suka bersabar menanti munculnya cerita“PENDEKAR REMAJA” atau Sin-kiam Siauw-hiai yang akan menjadi lanjutan cerita “PENDEKAR BODOH”, dimana pembaca akan menjumpai kembali tokoh-tokoh seperti Cin Hai, Lin Lin, Kwee An, Ma Hoa, Ang I Niocu, dan Lie Kong Sian oleh karena cerita itu akan menuturkan kisah dari putera-puteri mereka!

Sengaja dikarang oleh Asmaraman S. Kho Ping Hoo untuk melanjutkan cerita “Pendekar Bodoh”. Nama pengarangnya menjadi jaminan bahwa cerita Sin-kiam Siauw-hiap akan membuat para pembaca terpesona oleh jaminan isinya yang indah menarik dan penuh ketegangan!

T A M A T