*

*

Ads

Jumat, 28 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 173

“Mari!” jawab Hok Peng Taisu sambil tersenyum dan bersiap sedia dengan sepasang bambu runcingnya.

Keduanya lalu menggerakkan senjata masing-masing dan bertempur seru. Sungguhpun diantara keduanya tidak menggunakan syarat apa-apa, akan tetapi sebagai tokoh-tokoh berilmu tinggi, mereka dapat menjaga diri dan serangan-serangan mereka biarpun merupakan pukulan maut, akan tetapi di dalam hati sama sekali tidak ada niat atau nafsu untuk membunuh atau melukai lawan.

Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya melihat betapa empat orang itu mengadu kepandaian secara persahabatan, merasa kecewa sekali oleh karena kini lenyaplah harapan mereka untuk mengalahkan Hok Peng Taisu maupun Cin Hai, karena biarpun mereka andaikata kalah terhadap Swi Kiat Siansu dan Pok Pok Sianjin, namun kekalahan itu belum tentu membuat mereka mundur untuk membela kawan-kawan lain yang hendak mereka basmi.

Kini melihat betapa keempat orang itu sedang bertempur seru, diam-diam ia mengeluarkan jarum-jarumnya yang mengandung racun Ular Hijau yang berbahaya itu dan tiba-tiba ia mengayun tangannya menyerang dengan jarum-jarumnya ke arah Cin Hai dan Hok Peng Taisu!

Ketika itu, pertempuran antara Cin Hai dan Swi Kiat Siansu sedang berjalan dengan ramai-ramainya. Biarpun Cin Hai sudah mengeluarkan ilmu kepandaiannya, namun pada suatu saat, kipas di tangan Swi Kiat Siansu menyambar sedemikian hebatnya sambil mengibas dengan tenaga sepenuhnya hingga pedang Cin Hai kena disampok dan terlepas dari pegangan!

Akan tetapi, dalam kagetnya, Cin Hai lalu menggunakan tangan kiri melancarkan pukulan Halilintar Menyambar Hujan yang mengandung daya pukulan luar biasa sekali. Pukulan ini ditujukan kepada kipas di tangan Swi Kiat Siansu dengan tenaga sepenuhnya dan “brak!!” permukaan kipas yang terbuat dari pada kulit harimau itu menjadi robek dan hancur berkeping-keping sedangkan pedang Liong-cu-kiam yang terpental dari tangan Cin Hai, menancap di atas lantai!

Pada saat itulah datangnya jarum-jarum dari Hai Kong Hosiang secara tiba-tiba. Cin Hai yang masih tergetar oleh pukulan kipas tadi mendengar datangnya angin senjata rahasia yang lembut itu. Ia cepat mengelak, akan tetapi tetap saja sebatang jarum Ular Hijau menancap pada pundaknya hingga ia terhuyung-huyung lalu roboh dengan tubuh terasa panas sekali.

Akan tetapi ia cepat dapat mengerahkan lweekangnya untuk menolak pengaruh racun itu hingga ia masih dapat menguasai dirinya dan tidak menjadi pingsan. Sambil bersila ia lalu mengatur napas dan memelihara jalan darahnya. Sementara itu, Swi Kiat Siansu yang merasa terkejut sekali karena senjata kipasnya kena dipukul hancur oleh Cin Hai, kini melihat betapa pemuda itu terkena serangan senjata rahasia yang dilepas oleh Hai Kong Hosiang, menjadi marah sekali.

“Bangsat gundul curang!” bentaknya marah. “Kau membikin malu saja kepadaku!”

Sambil berkata demikian, ia lalu menyambit dengan gagang kipasnya yang masih terpegang di dalam tangannya. Gagang kipas itu meluncur cepat menuju ke arah tenggorokan Hai Kong Hosiang yang cepat mengelak hingga mengenai tempat kosong. Swi Kiat Siansu masih penasaran dan cepat tubuhnya berkelebat ke arah Hai Kong Hosiang dan menyerangnya dengan pukulan tangan terbuka.

Hai Kong Hosiang bukanlah seorang yang lemah dan ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi, maka tentu saja ia dapat mengelak dan membalas dengan pukulan nekat. Ia maklum bahwa ia telah gagal mengharapkan bantuan kakek ini yang sekarang bahkan menyerangnya karena marah melihat kecurangannya tadi, maka sambil berseru keras ia melawan sekuat tenaga, berkali-kali ia berjungkir balik, kepala di bawah dan kaki di atas sambil menggerak-gerakkan kedua kakinya untuk menyerang Swi Kiat Siansu secara hebat sekali.

Tentu saja Swi Kiat Siansu makin marah dan dengan seruan keras ketika kaki Hai Kong Hosiang menendang ke arah kedua pundaknya, ia menangkap kaki itu dan cepat membanting tubuh Hai Kong Hosiang yang tinggi besar itu ke atas batu karang! Terdengar pekik keras dan kepala hwesio jahat itu pecah berantakan ketika dibenturkan kepada batu karang!

Sementara itu Lin Lin lalu, berlari menghampiri Cin Hai dan memeluk kekasihnya dengan hati bingung. Adapun Hok Peng Taisu yang sedang bertempur mengadu kepandaian dengan Pok Pok Sianjin, lalu melompat mundur dan menghampiri Swi Kiat Siansu yang masih marah sekali itu.

Melihat kesedihan Lin Lin, Swi Kiat Siansu lalu mengeluarkan sebotol obat warna merah. Sebagai seorang pertapa di daerah Mongolia ia maklum akan berbahayanya jarum-jarum Ular Hijau dan ia tahu pula obatnya, karena ia pun adalah seorang ahli pengobatan. Untuk menjaga diri, ia selalu membawa obat-obat anti racun dan obat Semut Merah tersedia pula dalam saku bajunya.

Dengan amat berterima kasih, Lin Lin lalu meminumkan obat itu kepada Cin Hai dan seketika itu juga sembuhlah Cin Hai. Akan tetapi, seperti Lin Lin dulu, begitu ia sembuh, perang tanding antara Racun Ular Hijau dan Obat Semut Merah itu mempengaruhi otaknya dan tiba-tiba ia menjadi marah sekali. Hanya karena kekuatan batinnya sudah jauh lebih kuat daripada Lin Lin, maka ia masih dapat membedakan mana kawan mana lawan.






Pada suatu saat, Wi Wi Toanio dan kawan-kawannya datang menyerbu, diikuti oleh perwira-perwira di bawah perintah Kam Hong Sin. Cin Hai lalu melompat ke atas, memungut pedangnya yang menancap di tanah, lalu mengamuk hebat sekali.

Juga Lin Lin, Ang I Niocu, Lie Kong Sian, Ma Hoa, Kwee An, dan Nelayan Cengeng tidak mau tinggal diam dan menyambut serbuan musuh yang besar jumlahnya itu. Perang tanding terjadi amat hebatnya, sedangkan Swi Kiat Siansu, Pok Pok Sianjin, dan Hok Peng Taisu merasa segan untuk ikut mencampuri pertempuran itu, sungguhpun mereka merasa penasaran melihat betapa Cin Hai dan kawan-kawannya dikeroyok oleh sekian banyak orang.

Dalam kemarahannya yang bukan sewajarnya, Cin Hai mendesak Wi Wi Toanio, Siok Kwat Mo-li, dan Lok Kun Tojin mengeroyoknya. Pedang Liong-cu-kiam di tangannya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya hingga ketiga orang pengeroyoknya yang berilmu tinggi itu merasa kewalahan karena belum pernah mereka menyaksikan sepak terjang yang demikian hebatnya!

Dalam jurus ke dua puluh lebih, Wi Wi Toanio kena terbabat pinggangnya oleh pedang Liong-cu-kiam hingga sambil menjerit wanita itu roboh mandi darah dan tewas seketika itu juga!

Siok Kwat Moli dan Lok Kun Tojin terkejut dan gentar hingga gerakan mereka menjadi lambat karenanya. Cin Hai tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dua kali ia membuat gerakan tangan kanan menusuk dan tangan kiri melancarkan pukulan Halilintar Menyambar Hujan ke arah Lok Kun Tojin. Terdengar pekik mengerikan ketika pedang itu menembus dada Siok Kwat Mo-li dan pukulan tangan kirinya yang dahsyat memecahkan kepala Lok Kun Tojin.

Setelah membunuh tiga orang lawannya, tiba-tiba Cin Hai merasa pening dan mengantuk sekali dan tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terguling dan telah tidur mendengkur sambil memegang pedang Liong-cu-kiam yang telah menjadi merah karena darah.

Sementara itu, pertempuran masih berjalan hebat dan Ang I Niocu dan kawan-kawannya mengamuk hebat dan menjatuhkan banyak korban di pihak lawan, akan tetapi musuh terlampau banyak hingga mereka terdesak hebat.

Tiba-tiba berkelebat tiga bayangan orang dan dimana saja tubuh mereka menyambar, senjata-senjata para perwira terpental ke atas. Mereka ini ternyata adalah tiga orang kakek sakti yang tidak tahan pula melihat pertempuran itu karena merasa ngeri melihat banyaknya darah berhamburan. Sambil bergerak mereka berseru,

“Tahan pertempuran, tahan!”

Orang-orang merasa jerih juga melihat mereka turun tangan maka semua lalu mengundurkan diri.

Dengan marah Swi Kiat Siansu lalu menghadapi Kam Hong Sin dan kawan-kawannya sambil berkata,

“Kalau aku tidak ingat bahwa kau adalah panglima kerajaan, tentu sekarang juga kuhancurkan kepalamu! Kau telah bersekutu dengan Hai Kong yang jahat, dan kalian dengan tipu muslihat berhasil mengundang aku dan Pok Pok Sianjin hingga terpaksa kami turun gunung membuat dosa baru. Tidak tahunya kalian hendak mempergunakan kami untuk memusuhi orang-orang baik dan membela Hai Kong yang jahat. Lihatlah bukti kekuasaan dan keadilan Tuhan Yang Agung. Mereka yang jahat menemui kematian mengerikan!” Ia menuding ke arah mayat Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, dan Siok Kwat Mo-li. “Biarlah kali ini menjadi pelajaran bagimu agar lain kali dalam menjalankan tugas, kau akan berlaku hati-hati dan dapat mempertimbangkan orang yang baik dan yang jahat!”

Kam Hong Sin memberi hormat dan berkata dengan tegas,
“Locianpwe, siauwte adalah seorang petugas yang hanya menjalankan kewajiban siauwte sebagai seorang panglima. Anak murid Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu ini telah merampas harta pusaka dan mereka membagikan harta pusaka kepada mereka yang tidak berhak. Padahal harta pusaka adalah hak milik kerajaan. Bagi siauwte, lebih baik mati sebagai seorang perwira yang menjalankan tugasnya daripada mati sebagai seorang pengkhianat.”

Mendengar ucapan yang gagah dan patut dihargai ini, Hok Peng Taisu melangkah maju dan berkata,

“Kam-ciangkun, aku telah lama mendengar bahwa kau adalah seorang perwira yang gagah, dan ternyata bahwa hal ini ada betulnya. Akan tetapi, agaknya kau masih terlampau muda untuk memegang jabatan tinggi itu hingga pertimbanganmu belum masak benar. Ketahuilah bahwa harta pusaka itu adalah hasil rampokan di jaman dahulu, dan rakyat yang dirampok. Maka aku dan kawan-kawan lain mengembalikan harta itu dan membagi-bagikan kepada para rakyat miskin, bukankah ini sudah adil namanya? Apakah artinya harta sekian banyak itu bagi Kaisar yang telah kaya? Akan tetapi besar sekali artinya bagi rakyat yang hampir tak dapat makan karena miskinnya!”

Kam Hong Sin merasa terpukul oleh ucapan ini dan ia lalu menjura dan bertanya,
“Kalau betul siauwte telah salah jalan, habis apakah yang sekarang harus kulakukan?”

“Tariklah mundur anak buahmu dan bawalah semua orang yang tewas untuk diurus sebaiknya. Kemudian, setiap langkahmu harus kau perhatikan baik-baik agar kau jangan menanam bibit permusuhan dengan orang-orang gagah. Hendaknya kau dapat memperhatikan dan membedakan antara orang-orang gagah dan penjahat-penjahat seperti Hai Kong Hosiang itu!” kata Hok Peng Taisu.

Kam Hong Sin lalu memerintahkan anak buahnya untuk mengangkat semua korban, dibawa turun gunung, sedangkan kawan-kawannya pun ikut turun gunung pula. Ceng Tek Tosu menghampiri Cin Hai yang sementara itu telah didekati oleh Lin Lin dan telah sadar kembali, sembuh seperti sediakala. Bahkan anak muda ini telah lupa bahwa ia telah membunuh Siok Kwat Mo-li, Wi Wi Toanio, dan Lok Kun Tojin.

Ceng To Tosu yang selalu mewek itu menjura kepada Cin Hai dan berkata,
“Sie-taihiap, kau maafkan pinto yang telah lancang tangan hingga terbawa-bawa dalam urusan ini, karena pinto hanya memenuhi tugas sebagai pembantu kerajaan Kaisar.”

Cin Hai tersenyum.
“Tidak apa, Totiang, dan maaf sama-sama. Kita semua menunaikan tugas masing-masing, hanya sayangnya dalam bidang lain hingga timbul kesalahan paham ini.”

Ceng To Tosu mengangguk-angguk dan mulutnya makin mewek seperti benar-benar hendak menangis.

“Aku juga minta maaf, Taihiap,” kata Ceng Tek Hwesio sambil tertawa-tawa gembira, seakan-akan baru saja tadi bukan terjadi perang hebat, akan tetapi pesta minum arak yang menggirangkan hatinya!

“Kau adalah orang yang paling berbahagia, Ceng Tek Hwesio, semoga kau masih panjang usia dan kelak kita dapat bertemu kembali,” jawab Cin Hai.

Keduanya lalu mengundurkan diri, berlari-lari menyusul rombongan Kam Hong Sin turun gunung.

Cin Hai dan kawan-kawannya lalu menghampiri Swi Kiat Siansu dan Pok Pok Sianjin dan pemuda itu menjatuhkan diri berlutut lalu berkata,

“Ji-wi Locianpwe yang mulia, teecu menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan Locianpwe berdua yang dapat menyelesaikan persoalan ini dengan penuh kebijaksanaan. Terutama sekali kepada Swi Kiat Siansu Locianpwe, terima kasih atas pertolongan kepada teecu.”

Cin Hai tadi telah mendengar dari Lin Lin akan pertolongan yang diberikan oleh kakek itu kepadanya.

Bukan main kagum dan senangnya hati kedua tokoh dari barat dan utara itu melihat sikap Cin Hai yang biarpun tidak lebih rendah tingkat ilmu kepandaiannya daripada mereka, akan tetapi telah berani bersikap sedemikian sopan santun dan merendah. Swi Kiat Siansu mengangkat bangun kepadanya dan berkata,

“Sikapmu ini telah menjatuhkan hati kami, Pendekar Bodoh. Bukan kepandaian saja yang dapat menjatuhkan seseorang, akan tetapi sikap yang baik lebih berpengaruh. Melihat sikapmu saja, kami dapat mengetahui bahwa permusuhan antara pihakmu dengan pihak Hai Kong, pihakmu yang berada di pihak benar. Sekarang maafkan kami. Tentang ilmu kepandaian, terus terang kunyatakan bahwa orang-orang selatan dan timur benar-benar pandai, tidak seperti kami yang menyembunyikan diri dan lupa untuk berlatih diri.”






Tidak ada komentar :