*

*

Ads

Senin, 16 April 2012

Ang I Niocu Jilid 002

Bukan main sakitnya, dan baiknya ia memiliki tenaga lwee-kang yang sudah tinggi sehingga ia tidak terluka berat. Namun pukulan ini telah mengacaukan pikirannya dan untuk menyelamatkan diri, ia melompat jauh sambil memutar pedangnya yang berubah menjadi segunduk sinar yang menyelimuti seluruh tubuhnya.

Ketika keadaan Kiang Liat amat terdesak karena kalau empat belas orang lawannya itu menyerang lagi pasti ia takkan dapat mempertahankan diri, tiba-tiba berkelebat bayangan hitam dan terdengar seruan orang yang suaranya amat berpengaruh,

“Tahan dulu semua senjata! Kawan-kawan yang hidup bebas mengapa mengikatkan diri dengan pertempuran?”

Kiang Liat dan semua pengemis itu menengok. Mereka melihat seorang pengemis yang bertubuh tegap, berusia kurang lebih empat puluh tahun tahu-tahu telah berdiri di situ. Pengemis ini berwajah tampan dan gagah, kulit muka dan tangannya bersih terpelihara, akan tetapi rambutnya awut-awutan ke sana ke mari, demikian pun jenggot dan kumisnya. Bajunya tambal-tambalan, akan tetapi bersih juga. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat kecil, sebesar ibu jari kaki dan di pinggangnya nampak gagang sebatang pedang.

Baik Kiang Liat maupun para tokoh pengemis itu tidak mengenal siapa adanya pengemis ini. Bagi Kiang Liat, masih tidak mengherankan kalau ia tidak mengenal pengemis yang baru datang ini, akan tetapi empat belas orang ketua partai pengemis yang terbesar sampai tidak mengenalnya, benar-benar adalah hal yang amat mengherankan.

“Siapakah kawan yang baru datang?” tanya It-gan Sin-kai dan suaranya jelas menyatakan betapa hatinya terguncang dan malu karena memang amat memalukan bagi seorang ketua perkumpulan pengemis sampai menanyakan siapa adanya seorang pengemis yang baru datang.

Sambil bertanya demikian, ia memandang kepada semua kaipangcu yang berada di situ, akan tetapi seorang pun tidak ada yang tahu dan mereka ini pun memandang kepada pengemis yang baru tiba itu dengan mata penuh pertanyaan.

Pengemis itu tersenyum dan wajahnya nampak tampan ketika ia tersenyum.
“Tidak ada artinya siapa adanya aku seorang pengemis hina-dina ini yang tidak terkenal, hanya karena kebetulan sekali aku lewat di sini, aku merasa tertarik sekali melihat orang hendak mengadu nyawa. Demikian mengerikan! Mengapa untuk membereskan persoalan harus mempergunakan tongkat dan pedang? Apakah gerangan yang terjadi di sini?”

Kiang Liat memang masih muda, akan tetapi ia sudah banyak merantau dan namanya sudah amat terkenal di dunia kang-ouw. Pandangan matanya amat tajam dan tadi ketika pengemis yang baru tiba ini berkelebat datang, ia dapat menduga bahwa pengemis yang datang ini memiliki kepandaian tinggi. Karena ia maklum bahwa ia memang takkan dapat menang menghadapi empat belas orang ketua yang lihai itu, maka ia lalu berkata kepada pengemis yang baru datang itu,

“Sahabat yang baru datang tentulah seorang kang-ouw yang mengenal keadilan, oleh karena itu kebetulan sekali kau datang bertanya tentang persoalan ini. Sesungguhnya, aku sendiri pun seorang perantau yang tidak mempunyai sangkut paut dengan para kaipangcu ini, akan tetapi ketika tiba di sini aku melihat empat belas orang kaipangcu yang berkepandaian tinggi ini hendak menyiksa dan menghukum mati kepada seorang kakek yang tidak berdaya itu. Oleh karena inilah maka terpaksa aku melupakah kebodohan sendiri dan berusaha mencegah mereka melakukan hal yang amat kejam itu.”

Kiang Liat menunjuk kepada seorang kakek tua yang semenjak tadi duduk bersandar kepada sebatang pohon. Kakek ini kelihatan tidak berdaya dan semenjak tadi hanya duduk sambil menundukkan mukanya yang pucat. Di dekatnya terdapat sebuah buntalan yang nampak berat entah apa isinya.

Mendengar ucapan Kiang Liat ini, It-gan Sin-kai memandang kepada kawan-kawannya dan berkata,

“Perlukah kami memberi penjelasan kepada sahabat yang baru datang dan yang tidak mau memperkenalkan namanya ini?”

“Tentu saja,” kata Pat-jiu Siauw-kai, “kalau dia seorang kang-ouw tulen, tentu dia akan dapat membenarkan kami.”

It-gan Sin-kai menghadapi pengemis yang baru datang itu, dan berkata memberi penjelasan,

“Begini, kawan. Kami empat belas orang ketua perkumpulan pengemis berkumpul di sini untuk memberi hukuman kepada seorang bekas ketua pengemis di daerah selatan yang telah melanggar pantangan bagi kami semua. Dia telah berlaku curang, mengumpulkan harta benda dan melepaskan diri dari tugas memimpin kawan-kawan, hendak hidup sebagai seorang kaya raya. Ini adalah kedosaan besar, melanggar peraturan kami nomor tujuh dan untuk kedosaan ini, harta bendanya harus disita demikian pula nyawanya.”






“Bagus! Peraturan macam apa itu? Merampas harta benda, merampas nyawa, benar-benar amat rendah!” Kiang Liat memotong marah.

“Kiang-enghiong jangan kau membuka mulut sembarangan!” It-gan Sin-kai juga membentak marah, “Peraturan ini adalah buatan dari Locianpwe Ang-bin Sin-kai yang mulia, bagaimana kau berani menyatakan rendah?”

Mendengar disebutnya nama Ang-bin Sin-kai, tiba-tiba pengemis yang baru datang itu berubah mukanya.

“Kawan-kawan sekalian, kalian tahu apakah tentang Ang-bin Sin-kai?” tanyanya memandang tajam.

Kini semua mata dari para pengemis itu ditujukan kepadanya dengan marah.
“Locianpwe Ang-bin Sin-kai adalah pendiri dari partai-partai pengemis, mula-mula di selatan. Siapa yang tidak mengenalnya? Apalagi orang yang hidup bebas sebagai pengemis harus mengenalnya. Kami memuliakan namanya dan kau menyebut namanya begitu saja. Siapakah kau?”

“Kalian mau tahu? Aku bernama Han Le, dan Ang-bin Sin-kai adalah guruku!”

Kini semua mata memandang dengan terbelalak lebar dan mulut mereka bengong. Tidak hanya para tokoh pengemis yang menjadi terheran-heran, bahkan Kiang Liat sendiri pun memandang tak percaya. Dia tentu saja pernah mendengar nama besar Ang-bin Sin-kai, namun dia tak pernah melihat orang tua sakti itu yang sudah meninggal dunia lama sekali. Maka kini ia hanya memandang saja.

“Benar-benarkah, kawan? Awas, jangan kau main-main. Biarpun kami tidak pernah mendapat kebahagiaan mengenal Locianpwe Ang-bin Sin-kai dari dekat, namun kami tahu betul bahwa muridnya hanyalah orang sakti yang disebut Bu Pun Su.”

Han Le tertawa lebar,
“Bu Pun Su memang muridnya, akan tetapi kepandaiannya jauh lebih tinggi dari Suhu, dan aku yang rendah merasa mendapat kehormatan besar untuk mengaku bahwa Bu Pun Su adalah suheng (kakak seperguruan)-ku.”

Kembali semua orang menyatakan ketidak-percayaannya. Akan tetapi It-gan Sin-kai berkata,

“Tidak peduli apakah kau benar murid Locianpwe Ang-bin Sin-kai atau bukan, apakah kau benar-benar sute dari Bu Pun Su atau bukan, akan tetapi setelah kau tiba di sini, bagaimana anggapanmu tentang urusan kami dengan Kiang-enghiong ini?”

“Ya, bagaimana keputusanmu, murid dari Ang-bin Sin-kai?” tanya Kiang Liat, suaranya mengejek.

Memang Kiang Liat tidak percaya akan keterangan Han Le tadi, dan memang sifat Kiang Liat amat pemberani dan jenaka.

“Menurut pemandanganku yang amat bodoh, kalau memang sudah ada peraturan bahwa orang yang melanggar harus dihukum, hal itu sukar untuk dirubah lagi. Namun, aku tidak setuju kalau hukuman itu hukuman mati, paling baik dia dilepaskan dan tidak diakui menjadi anggauta lagi. Betapapun juga, dalam perselisihan ini, Kiang-enghiong terang berada di pihak yang salah. Tidak baik mencampuri urusan rumah tangga lain orang.”

Jawaban ini terang sekali bercabang dua, di satu pihak menyalahkan Kiang Liat, di lain pihak tidak menyetujui hukuman yang akan dijatuhkan kepada kakek itu. Adapun kakek itu ketika mendengar kata-kata ini, lalu berkata seperti kepada diri sendiri,

“Aku orang she Song sudah merasa bersalah, akan tetapi bukan sekali-kali terdorong oleh keinginanku hidup mewah, hanya demi kebahagiaan cucu perempuanku yang satu-satunya. Kalian mau bunuh boleh bunuh asal saja kalian suka mengingat akan kehidupan cucuku Bi Li!”

“Tutup mulutmu, jahanam rendah!” It-gan Sin-kai berkata keras, kemudian ia menghadapi Han Le. “Orang she Han, kau datang-datang mengaku sebagai murid Ang-bin Sin-kai Locianpwe, datang-datang kau berani mencela undang-undang kami yang diturunkan oleh Ang-bin Sin-kai Locianpwe. Buktikanlah bahwa kau benar-benar murid beliau, baru kami akan suka mendengarkan omonganmu. Tanpa bukti, lebih baik kau jangan mencampuri urusan kami.”

Semua tokoh pengemis mengangguk-anggukkan kepala menyatakan persetujuannya. Han Le tersenyum sambil menggaruk-garuk kepalanya yang gondrong, sungguhpun kepala itu tidak gatal.

“Bagaimana aku harus membuktikannya?”

It-gan Sin-kai dan kawan-kawannya saling mendekati dan bisik-bisik. Kemudian pengemis mata satu itu berkata,

“Kami pernah mendengar bahwa Locianpwe Ang-bin Sin-kai memiliki sebuah kiam-hoat (ilmu pedang) yang amat lihai dan tiada keduanya di dunia ini, yang disebut sebagai Hun-khai Kiam-hoat. Kalau benar kau adalah muridnya, tentu kau dapat mainkan ilmu pedang itu.”

Han Le tertawa,
“Sudahkah kalian melihat ilmu pedang itu?”

Mereka menggeleng kepala.

“Kalau kalian belum pernah melihat ilmu pedang itu, bagaimana kalian bisa minta aku memainkannya?”

Para pengemis itu saling pandang, kemudian It-gan Sin-kai berkata dengan suara nyaring, seakan-akan ia telah mendapatkan jalan yang terbaik untuk memecahkan hal ini.

“Kau boleh mainkan ilmu pedang itu dan kalau kau bisa menangkan kami seorang demi seorang, barulah kami akan percaya bahwa kau benar-benar murid Locianpwe Ang-bin Sin-kai.”

Kembali semua pengemis itu menyatakan persetujuannya. Han Le tersenyum lagi dan ia menggerak-gerakkan tongkatnya yang kecil itu.

“Baiklah, bukan aku yang minta. Nah, kalian majulah seorang demi seorang untuk berkenalan dengan Hun-khai-kiam-hoat dari Suhu Ang-bin Sin-kai.”

It-gan Sin-kai maju terlebih dulu. Pengemis ini terkenal lihai sekali ilmu gin-kangnya dan juga ilmunya mainkan ilmu pedang yang dimainkan dengan tongkatnya. Tongkat itu pendek saja dan sekali ia menekan, ternyata bahwa tongkat itu dapat dilepas dan kini berubah menjadi sepasang!

“Keluarkanlah pedangmu untuk kulihat apakah betul-betul kau bisa mainkan Hun-khai-kiam-hoat!” katanya menantang.

“Bukankah kau It-gan Sin-kai yang pandai mainkan ilmu pedang pasangan yang disebut Siang-hong-kiam-hoat (Ilmu Pedang Sepasang Burung Hong)? Kau sendiri mempergunakan tongkat sebagai pedang, biarlah aku pun menirumu, memang bagi pengemis-pengemis seperti kita lebih pantas bertongkat daripada berpedang.”

“Sesukamulah!”

Jawab It-gan Sin-kai yang cepat menyerang dengan tongkat kirinya, menusuk ke arah leher Han Le, disusul oleh tongkat kanan yang menyerang ke arah lambung.

Han Le cepat menggerakkan tongkat kecilnya sambil berkata,
“Nah, inilah ilmu pedang Hun-khai-kiam-hoat bagian khai (membuka)!” katanya.

Dan It-gan Sin-kai mengalami hal yang amat aneh yang baru ia alami kali ini dalam pertempuran-pertempuran yang banyak ia lakukan. Kemanapun juga sepasang tongkatnya menyerang, selalu tongkatnya itu bertemu dengan senjata lawan dan terbuka atau terpalang sehingga semua serangannya terpental dan membuka.

Kalau lawannya yang jauh lebih muda itu mau, dengan mudah Han Le tentu akan dapat membalas dengan memasuki bagian-bagian yang terbuka itu. Akan tetapi, terang sekali bahwa Han Le tidak mau melukai lawan bahkan tidak mau membalas dengan serangan. Kurang lebih dua puluh jurus kemudian, Han Le berkata sambil tertawa,

“Dan inilah bagian hun (memecah)!”

Tongkatnya bergerak makin cepat, dengan gerakan-gerakan yang amat aneh. Kali ini It-gan Sin-kai mengeluarkan suara tertahan ketika sepasang tongkatnya menjadi kacau-balau gerakannya, dan benar-benar semua jurus yang ia keluarkan terpecah-belah oleh gerakan tongkat lawan. Sepasang tangannya menjadi pedas sekali dan kalau ia tidak lekas-lekas melompat mundur, tentu sepasang tongkatnya akan terlepas dari pegangan.






Tidak ada komentar :