*

*

Ads

Senin, 16 April 2012

Ang I Niocu Jilid 003

“Lihai sekali!” serunya sambil menjura, “Sungguhpun aku tidak dapat memastikan apakah yang kau mainkan itu betul-betul Hun-khai-kiam-hoat, namun harus kuakui bahwa selama hidupku belum pernah aku menghadapi ilmu silat seaneh dan selihai itu.”

Pat-jiu Sin-kai pengemis kate berperut gendut kini maju menggantikan It-gan Sin-kai. Pengemis itu senjatanya tongkat panjang yang dimainkan sebagai toya. Akan tetapi, seperti halnya It-gan Sin-kai, ia hanya dapat bertahan tidak lebih dari tiga puluh jurus saja, sungguhpun Han Le tak pernah menyerangnya sejurus pun. Dengan tangkisan-tangkisan saja ia sudah merasa bingung dan kewalahan, bahkan pada jurus terakhir, tongkatnya membalik sedemikian rupa sehingga tanpa dapat dicegah lagi, tongkat itu ujungnya menghantam kepalanya sendiri!

“Lihai benar, aku menyerah kalah!” katanya jujur.

Setelah dua orang ini yang dianggap kepandaiannya tertinggi dengan mudah menyerah kalah, semua pengemis mulai percaya.

“Kami mulai kehilangan keraguan bahwa kau benar-benar murid Locianpwe Ang-bin Sin-kai,” kata It-gan Sin-kai kepada Han Le. “Sekarang bagaimanakah menurut pendapatmu, sahabat muda yang lihai?”

Han Le tersenyum senang.
“Sudah lama aku mendengar nama Cap-si Kai-pangcu yang terkenal adil dan gagah, dan ternyata memang betul demikian. Perkara kakek yang melanggar larangan perkumpulan kaipang, memang harus dihukum. Harta bendanya boleh dirampas dan ia boleh dihukum, akan tetapi bukan hukuman mati, melainkan hukuman cambuk lima puluh kali.”

“Setuju!” serentak para pengemis itu berseru. It-gan Sin-kai sendiri lalu maju dan di tangannya sudah kelihatan sebatang cambuk.

Akan tetapi tiba-tiba Kiang Liat melompat ke dekat It-gan Sin-kai dan sebelum pengemis mata satu itu dapat mengelak, cambuk itu sudah dirampas oleh Kiang Liat!

“Aturan apa ini? Kau pengemis yang baru datang, betapa gagah pun tetap berjiwa pengemis dan berpikir seperti pengemis! Orang tua itu bosan hidup menjadi pengemis lalu menempuh hidup baru yang lebih pantas demi kebahagiaan cucunya, bukankah itu baik sekali? Kalian seharusnya meniru perbuatannya, sungguh tidak tahu malu! Apakah hukuman ini dilakukan karena kalian iri hati melihat dia kaya dan hidup bahagia sedangkan kalian masih jadi jembel?”

Han Le memandang kepada Kiang Liat dengan mata bersinar-sinar gembira. Ia suka sekali melihat sikap pemuda itu, dan ia pun merasa kagum melihat caranya. Kiang Liat merampas cambuk dari tangan It-gan Sin-kai. Gerakan yang dilakukan oleh pemuda itu ketika merampas cambuk, bukanlah gerakan ilmu silat yang aneh, melainkan gerakan biasa saja.

Akan tetapi cara melakukannya demikian cepat dan hebat, ditambah dengan kembangan sendiri sehingga It-gan Sin-kai sampai tak mengira cambuknya akan dirampas. Gerakan ini saja sudah membuktikan bahwa Kiang Liat memang memiliki bakat yang luar biasa sekali dalam ilmu silat.

Sebagian besar ahli silat, gerakan-gerakannya otomatis seperti pelajaran yang dipelajari dari guru masing-masing dan hanya orang yang berbakat tinggi saja dapat memperkembangkan gerakan silat yang dipelajari dari gurunya menjadi gerakan yang amat baik, sesuai dengan keadaan tubuh sendiri. Hal ini diketahui benar oleh Han Le maka kini ia memandang dengan mata berseri.

“Orang muda, terhadap peraturan dan kehidupan orang-orang yang dianggap pengemis matamu seperti buta. Kau tidak tahu apa-apa, mengapa ikut campur? Pernahkah kau mendengar nama Ang-bin Sin-kai?” tanya Han Le.

“Tentu saja pernah,” jawab Kiang Liat mengedikkan kepala.

“Seperti apa kau mendengar tentang dia?”

“Ang-bin Sin-kai seorang patriot sejati, seorang gagah yang berani membela si lemah yang tertindas sehingga ia berani menyerbu ke kota raja dan tewas sebagai seorang pahlawan,” jawab Kiang Liat.

Han Le makin gembira.
“Apakah kau tidak dengar bahwa dia juga seorang pengemis seperti telah disebutkan oleh julukannya?”






“Biarpun kau mengaku muridnya, akan tetapi aku tetap tidak percaya bahwa Ang-bin Sin-kai akan bersikap seperti kalian. Tak dapat aku membayangkan bahwa pahlawan besar itu boleh direndengkan dengan orang-orang seperti kalian yang hendak mempergunakan kekuatan dan jumlah banyak untuk menghina seorang kakek yang tidak berdosa, bahkan yang hendak menempuh jalan benar. Pendeknya kalian tidak boleh menyiksanya!”

“Kau lancang sekali, orang she Kiang, apakah kau berani menentangku” Han Le menantang, akan tetapi mulutnya masih tersenyum dan matanya berseri.

“Mengapa tidak berani? Boleh jadi kau murid Ang-bin Sin-kai dan boleh jadi kau lihai, akan tetapi aku akan menentangmu kalau kau hendak membantu pengemis-pengemis tua yang kejam ini.”

“Nah, kalau begitu mari kita bertaruh,” kata Han Le dengan wajah berseri. “Kita semua tidak mempunyai permusuhan sesuatu dan keributan ini pada hakekatnya hanya karena perbedaan paham belaka. Mari kau dan aku bertanding dan kita bertaruh.”

“Apa taruhannya?” Kiang Liat membentak. “Untuk membela kaum lemah, aku pertaruhkan kepala dan nyawaku!”

Han Le tersenyum.
“Kalau tidak mampu, berarti aku kalah dan kau boleh membunuh aku dan semua ketua pengemis ini tanpa perlawanan sama sekali!”

Kembali semua pengemis itu terkejut sehingga ada yang pucat mukanya. Mereka tidak tahu bahwa Han Le memiliki pemandangan tajam dan sudah tahu akan kemuliaan hati Kiang Liat yang keras hati, akan tetapi ia sengaja memancing untuk melihat sampai dimana pribudi pemuda tampan ini.

“Siapa mau jiwa kalian? Kalau aku menang dalam taruhan, cukup kalau kalian membebaskan kakek itu dan mengembalikan harta bendanya dan selanjutnya jangan mengganggunya lagi.” Ia berhenti sebentar lalu berkata, “Sebaliknya kalau aku kalah, kalau benar-benar dalam dua puluh jurus kau dapat merobohkanku, kau boleh berbuat sesuka hatimu kepadaku. Mau bunuh boleh bunuh!”

“Aha, enak saja kau bicara. Aku pun tidak kehendaki nyawamu, orang muda. Kalau kau kalah, kau harus membiarkan kami menghukum pelanggar itu, adapun kau sendiri, sebagai hukuman kau harus menjalani penghidupan sebagai pengemis selama setahun dan ikut padaku ke mana aku pergi,” kata Han Le.

Merah muka Kiang Liat dan ia marah sekali. Ia membanting-banting kedua kakinya karena merasa terhina, akan tetapi mulutnya menjawab,

“Boleh, boleh! Aku tidak takut mati, mengapa takut menjadi pengemis? Bersiaplah kau!”

Sambil berkata demikian, ia mencabut pedangnya yang tadi sudah disarungkannya kembali.

Han Le memperlihatkan tongkatnya yang kecil.
“Aku sudah bersiap sejak tadi. Hayo majulah dengan jurus pertama!”

Melihat Han Le tersenyum-senyum seakan-akan amat memandang rendah, naiklah darah Kiang Liat. Ia dikenal sebagai Jeng-ciang-sian (Manusia Dewa Bertangan Seribu), kepandaiannya sudah amat tinggi karena dia telah mewarisi seluruh ilmu silat dari ayahnya, ilmu silat keluarga Kiang adalah keturunan dari ilmu silat yang diciptakan oleh Jenderal Perang Kiang Bu Siong, yang ratusan tahun yang lampau pernah menggegerkan dunia karena kelihaiannya.

Ilmu silat ini turun-menurun dan akhirnya Kiang Liat adalah ahli waris terakhir, karena ayah bunda Kiang Liat telah meninggal dunia. Selama beberapa tahun ini, setelah dewasa, Kiang Liat boleh dibilang telah mengangkat nama besar dengan ilmu silatnya. Tidak saja ia memang berkepandaian tinggi, juga orang-orang kang-ouw memandang tinggi keluarga Kiang ini dan segan-segan untuk memusuhinya, karena memang mereka semua tahu belaka akan kelihaian ilmu silat keluarga Kiang.

Akan tetapi hari ini bertemu dengan seorang pengemis yang rambutnya gondrong, yang kelihatannya begitu lemah, namun begitu berani menghinanya menantang untuk merobohkannya dalam dua puluh jurus! Dan ini masih belum hebat lagi yang lebih membikin hatinya mengkal adalah karena pengemis ini hendak menghadapi pedangnya hanya dengan sebatang tongkat kecil!

“Orang tua,” katanya sambil menekan hawa ke arah dadanya agar kemarahannya tidak memuncak. “Kau hendak merobohkan aku dalam dua puluh jurus, itu saja sudah merupakan taruhan yang berat sebelah dan tidak adil, membikin aku merasa malu saja. Sekarang kau masih hendak menghadapiku dengan sebatang tongkat kecil, bukankah ini keterlaluan? Aku bukannya seorang manusia yang hendak menang sendiri seperti itu. Kalau kau tidak mau mengeluarkan pedangmu, aku pun tidak akan menggunakan pedang dan aku melawan tongkatmu itu dengan tangan kosong.”

Han Le membelalakkan kedua matanya, kemudian tertawa terbahak,
“Ha, ha, ha, Kiang Liat, kau memang patut menjadi muridku untuk setahun. Baiklah, kau lihat seranganku pertama dengan pedang!”

Kata-kata ini disusul dengan kejadian yang benar-benar hebat sekali sehingga Kiang Liat hampir berteriak kaget, dan buru-buru ia memutar pedang menangkis sambil melompat mundur. Ternyata bahwa begitu kata-katanya habis, tubuh Han Le bergerak dan tahu-tahu ia telah memegang pedang yang langsung dipergunakan untuk menyerang pundak Kiang Liat. Adapun tongkatnya yang tadi, entah bagaimana dan kapan dilakukannya, tahu-tahu telah menancap di atas tanah!

Kiang Liat tidak mau berlaku lambat dan lemah. Begitu melihat bahwa ia telah dapat mengelak dari serangan pertama, ia lalu memasang kuda-kuda dan siap menanti serangan lebih lanjut. Hatinya mulai yakin bahwa ia kini menghadapi seorang lawan yang benar-benar amat lihai ilmu silatnya.

Han Le yang tidak mau membuang waktu sia-sia, cepat maju lagi dan melakukan dua kali serangan beruntun. Serangannya ini demikian hebatnya serta cepatnya sehingga Kiang Liat biarpun berhasil menangkis namun ia sampai terhuyung-huyung ke belakang tiga langkah. Namun dengan pertahanan pedangnya yang amat kokoh kuat dari ilmu pedang keluarga Kiang, ia berhasil menggagalkan dua serangan itu sehingga kini ia telah melewati tiga jurus dengan selamat!

Kalau Kiang Liat amat terkejut melihat dua serangan yang amat aneh dan dahsyat itu, di lain pihak Han Le diam-diam harus memuji. Ia adalah murid Ang-bin Sin-kai dan ini masih belum hebat, kepandaiannya menjadi luar biasa hebatnya karena ia telah mendapatkan Pulau Pek-hio-to (Pulau Daun Putih) ketika ia mencari suhengnya, yakni Bu Pun Su Lu Kwan Cu, dimana ia melihat lukisan-lukisan di dinding gua dan melatih diri dengan ilmu-ilmu silat yang terukir di dinding itu (baca cerita Pendekar Sakti).

Selain ini, dalam beberapa belas tahun ini ia telah merantau dan di dunia kang-ouw ia telah melihat banyak sekali ilmu-ilmu silat yang tinggi, maka kepandaiannya makin matang. Namun, melihat ilmu pedang dari keluarga Kiang yang demikian kokoh kuat pertahanannya, mau tidak mau ia harus memuji.

Dari sifat pertahanan yang kuat sekali itu, diam-diam ia menduga bahwa tentu ilmu pedang keluarga Kiang yang dimainkan oleh pemuda ini masih satu sumber dengan Thian-san Kiam-hoat (Ilmu Pedang dari Bukit Thian-san), yang mendasarkan kepada pertahanan yang amat kuat.

“Orang tua, hayo teruskan seranganmu. Baru tiga jurus, kurang tujuh belas jurus lagi, akan kucoba mempertahankan diri!”

Kiang Liat menantang dengan suara gembira. Menghadapi seorang lawan yang benar-benar lihai ini, timbullah kegembiraan di hati pemuda yang tabah ini, dan melihat wajah pengemis itu seperti ragu-ragu, ia menjadi besar hati dan timbul kesombongannya maka ia menantang.

Namun Han Le hanya tersenyum. Dalam hal taktik pertempuran, tentu saja ia jauh lebih menang daripada Kiang Liat. Baru tiga jurus saja tahulah Han Le bahwa pemuda itu tentu akan mempertahankan diri secara mati-matian dan dia sendiri tidak bermaksud melukai atau membinasakan Kiang Liat, maka kiranya sampai dua puluh jurus belum tentu ia akan dapat merobohkan lawannya tanpa membinasakannya.

Jalan satu-satunya adalah membiarkan pemuda itu yang menyerangnya. Ketika mempelajari ilmu silat yang aneh dari lukisan-lukisan di dalam gua di Pulau Pek-hio-to ia mendapatkan ilmu silat yang amat aneh gerakannya dan juga amat aneh tipu geraknya. Ilmu silat ini mendasarkan serangannya pada serangan lawan!

Memang agak aneh terdengarnya, namun memang demikianlah halnya. Ilmu silat yang ia pelajari itu sebenarnya adalah pecahan atau sebagian kecil saja dari ilmu silat yang terdapat dalam kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng. Sari pelajaran dari sedikit bagian ini ialah membuka mata pelajarannya akan kekosongan atau kelemahan yang terdapat atau terbuka dalam setiap serangan lawan.

Sudah menjadi hukum alam bahwa segala sesuatu itu tentu mempunyai dua sifat yang bertentangan. Demikian pula dalam gerakan ilmu silat. Dalam penyerangan, walaupun penyerangan itu tentu saja bersifat kuat dan mengancam lawan, tentu terdapat lowongan yang bersifat lemah dan terancam. Misalnya seorang yang memukul dengan tangan kanan, otomatis kedudukannya lemah karena kuda-kudanya hanya di atas sebelah kaki saja, demikian seterusnya.






Tidak ada komentar :