*

*

Ads

Senin, 16 April 2012

Ang I Niocu Jilid 004

Han Le yang amat cerdik itu, hendak mempergunakan ketabahan dan kekerasan hati Kiang Liat untuk mengalahkannya. Maka ia tersenyum-senyum ketika ditantang, lalu menjawab,

“Anak muda, setelah melihat tiga gebrakan, aku yakin bahwa tanpa menyerangmu pun aku akan dapat merobohkanmu. Apalagi kalau aku serang, sedangkan dengan mempertahankan diri saja, sebelum tujuh belas jurus lagi kau tentu akan terpelanting sendiri kelelahan!”

Mendengar ini, bukan main marahnya hati Kiang Liat. Ia benar-benar telah dipandang rendah oleh pengemis ini. Kalau saja ia tidak begitu muda dan keras hati, boleh jadi ia tahu akan siasat pengemis yang lihai itu. Namun kemarahan hatinya membuat ia tidak mau berpikir panjang lagi. Sambil memutar pedangnya ia berseru,

“Pengemis sombong, rasakan kelihaian ilmu pedangku!”

Ia lalu menyerang bagaikan gelombang ombak. Serangannya datang bergulung-gulung, susul-menyusul dengan gerak tipu yang paling lihai dari ilmu pedangnya. Pedangnya lenyap berubah menjadi segulung sinar yang berkilauan, bagaikan seekor naga yang berlagak di angkasa.

Para tokoh pengemis yang berada di situ diam-diam kagum sekali, tidak hanya kagum melihat kehebatan ilmu pedang itu, terutama sekali kagum melihat keindahan gerakan-gerakan dari pemuda tampan itu.

Memang, ilmu pedang keluarga Kiang kuat pertahanannya seperti Thiam-san-kiam-hoat akan tetapi indah sekali gerak-geriknya, lebih indah daripada gerakan-gerakan ilmu pedang Bu-tong-pai.

Han Le sendiri diam-diam memuji dan kalau ia dahulu di waktu muda tidak mewarisi ilmu kepandaian dari lukisan pada dinding gua di Pulau Pek-hio-to, agaknya dengan Hun-khai-kiam-hoat saja ia tidak mungkin dapat mengalahkan pemuda ini tanpa melukainya dalam dua puluh jurus!

Sepuluh jurus lewat dan Kiang Liat merasa pening. Matanya kabur dan pedas karena lawan yang diserangnya itu seakan-akan bukan manusia, melainkan bayang-bayang atau asap saja. Kemana pun juga ia menyerang, selalu mengenai angin dan bayangan lawannya berpindah tempat. Namun ia mendesak makin hebat. Sebelas jurus lewat, dua belas, tiga belas, lima belas jurus! Dengan tiga jurus yang pertama, delapan belas jurus telah lewat!

Para ketua perkumpulan pengemis berdebar-debar hatinya. Kalau dalam dua jurus lagi pemuda itu tidak roboh, berarti mereka kalah bertaruh! Dan agaknya tak mungkin akan roboh, karena Kiang Liat masih berada di pihak penyerang. Namun, bagi Kiang Liat sendiri, ia kaget setengah mati ketika kehilangan lawannya yang lenyap entah berada di mana.

Sebelum ia dapat mencari lawannya kembali, tahu-tahu punggungnya telah tertotok oleh jari tangan yang amat lunak dan kuat. Seluruh tubuhnya lemas dan sekali renggut saja Han Le dapat merampas pedangnya.

Kiang Liat berusaha hendak mempertahankan diri agar jangan roboh, namun dengan enaknya Han Le mendorong dadanya dan Kiang Liat tak dapat menahan, roboh terjengkang! Tepat sembilan belas jurus ia benar-benar kena dirobohkan tanpa terluka sedikit pun.

Cap-si Kaipangcu bersorak, bukan saja karena girang mendapat kemenangan dalam taruhan, akan tetapi terutama sekali karena terkejut dan kagum. Tanpa ada yang perintah, mereka otomatis menjatuhkan diri berlutut di depan Han Le, dan It-gan Sin-kai berkata mewakili kawan-kawannya.

“Mohon Han-taihiap sudi memaafkan kami sekalian yang bermata buta sehingga tadi tidak percaya bahwa Tai-hiap adalah murid dari Locianpwe Ang-bin Sin-kai.”

Han Le menghadapi mereka dan mukanya bersungguh-sungguh.
“Cuwi Kai-yu yang baik. Suhu dahulu memang seorang pengemis seperti aku pula, dan memang dalam setiap perkumpulan, orang-orang harus mentaati peraturan. Namun segala macam hukuman itu harus disesuaikan dengan kedosaan orang yang melanggarnya. Menurut yang kudengar tadi, Song-lokai (Pengemis Tua she Song) itu biarpun telah melakukan pelanggaran terhadap undang-undang perkumpulan, namun pelanggarannya bukan karena ia jahat. Ia ingin keluar dari keanggautaan pengemis karena ia ingin mengangkat derajat cucunya perempuan. Dan hal ini harus kita maklumi bersama karena tak dapat disangkal lagi amat rendah derajat seorang gadis cucu pengemis!” Setelah berkata demikian, Han Le mengerling tajam ke arah Song Lo-kai.






Kakek itu cepat menghampiri Han Le dan berkata,
“Bukan demikian, Han-tai-hiap. Memang aku telah bersalah, dan untuk kesalahan itu, biarpun dihukum mati, aku Si Tua Bangka takkan penasaran. Hanya saja, cucuku hidup sebatang kara, tiada orang tuanya lagi dan kepada siapakah ia mengandalkan hidupnya kalau tidak kepadaku, kakeknya? Oleh karena inilah maka sebelum aku mati, aku ingin meninggalkan sedikit kekayaan kepadanya, agar kelak ia takkan hidup terlantar. Untuk kebenaran omonganku, aku Si Tua Bangka she Song bersedia bersumpah.”

Han Le mengangguk-angguk, kemudian berkata kepada It-gan Sin-kai,
“Kalian mendengar sendiri, maka bagaimana sekarang keputusan kalian?”

“Terserah kepada Han-taihiap. Dengan adanya Tai-hiap di sini dan telah memberi peringatan kepada kami, kami anggap bahwa Han-taihiap mewakili Locianpwe Ang-bin Sin-kai, dan kami menerima segala keputusan Tai-hiap.”

“Keputusan, dia boleh dihukum cambuk lima puluh kali akan tetapi tidak boleh sampai mati. Hartanya boleh dia bawa pulang untuk cucunya.”

“Baik, Tai-hiap, kami akan menjalankan keputusan itu,” kata It-gan Sin-kai.

“Bagus, dan aku percaya kalian di kemudian hari akan memutuskan sesuatu lebih bijaksana lagi agar tidak terjadi hal-hal seperti sekarang, sediakan seperangkat pakaian pengemis untuk muridku ini dan ganti pakaiannya yang terlalu bagus itu.”

Memang aneh sekali, diantara semua ketua perkumpulan pengemis itu hampir semua membawa pengganti pakaian, biarpun pakaian itu adalah pakaian tambal-tambalan yang buruk!

Tidak heran apabila pakaian mereka biarpun buruk dan penuh tambalan, selalu kelihatan bersih. Seorang ketua yang mempunyai potongan tubuh hampir sama dengan Kiang Liat, memberikan pakaiannya dan ramai-ramai mereka sambil tertawa-tawa menanggalkan semua pakaian Kiang Liat, lalu menggantikan pakaian butut itu kepada tubuh pemuda ini.

Kiang Liat tidak bisa berbuat sesuatu, oleh karena ia telah tertotok dan lemas semua tubuhnya. Andaikata ia tidak tertotok, ia pun tentu takkan melawan, karena memang ia sudah merasa kalah bertaruh yang berarti bahwa ia harus menjalankan hidup seperti pengemis setahun lamanya, merantau ikut dengan Han Le yang sudah menjadi gurunya!

Setelah Kiang Liat kini memakai pakaian pengemis, Han Le memandang dan tertawa,
“Bagus, bagus! Kau sekarang kelihatan tampan patut menjadi muridku!”

Setelah berkata demikian, ia menyambar tubuh Kiang Liat dan sekali berkelebat saja ia lenyap bersama muridnya itu.

Cap-si Kaipangcu tidak berani mencegah, dan pada saat itu, kakek tua she Song berseru keras,

“Han-taihiap, tunggu sebentar, lohu ada permohonan penting!”

Dalam sekejap mata saja, kembali Han Le kelihatan di tempat itu, mengempit tubuh Kiang Liat.

“Song Lo-kai, kau mau bicara apakah? Apa kau masih penasaran dengan keputusanku tadi?”

Song Lo-kai menjatuhkan diri berlutut di depan Han Le.
“Sungguh mati, Han-taihiap, lohu mana berani penasaran? Keputusan itu bahkan terlampau murah bagi lohu. Hanya ada permohonan lohu mengenai cucu lohu yang bernama Song Bi Li.”

Han Le memandang heran.
“Apa maksudmu? Apa yang kudapat lakukan untuk seorang gadis yang menjadi cucumu itu?”

Song Lo-kai memandang kepada Kiang Liat yang masih lemas dan kini dikempit oleh Han Le seperti seorang anak kecil, lalu berkata,

“Nyawa lohu yang tidak berharga telah diselamatkan oleh Kiang-enghiong dan kiranya sampai mati pun lohu yang sudah tua bangka ini takkan dapat membalas budinya. Cucuku Bi Li hidup sebatang kara dan kini usianya sudah delapan belas tahun. Hanya seorang pemuda gagah perkasa berjiwa budiman seperti Kiang-enghiong ini saja yang kiranya akan dapat menjamin kesentausaan hidup cucuku itu. Oleh karena ini, lohu ingin menyerahkan cucuku yang bodoh itu kepada Kiang-enghiong.”

Han Le tertawa bergelak dan Kiang Liat biarpun tidak berdaya namun masih dapat mendengar semua ucapan ini sehingga mukanya menjadi merah sekali.

“Ha, ha, ha, maksudmu ini baik sekali, Song-lokai. Akan tetapi aku tidak berkuasa dalam hal ini, hanya kuberjanji bahwa setelah Kiang Liat menghabiskan pelajarannya yang setahun lamanya, aku akan menyuruhnya mencarimu agar kalian berdua dapat berunding sendiri.”

Setelah berkata demikian, kembali ia berkelebat dan kali ini ia tidak kembali lagi, Song-lokai girang sekali, sambil tertawa-tawa ia lalu berkata,

“Cuwi-pangcu, silakan menjalankan hukuman cambuk kepadaku.”

Hukuman dilakukan dan disesuaikan dengan keputusan Han Le, pencambukan itu dilakukan sekedar untuk memenuhi bunyi hukuman saja, dan Song-lokai hanya menderita lecet-lecet pada kulit punggungnya.

**** 004 ****





Tidak ada komentar :