*

*

Ads

Senin, 16 April 2012

Ang I Niocu Jilid 005

Kiang Liat sebenarnya adalah seorang pemuda yang kaya raya. Ketika orang tuanya meninggal dunia, mereka mewariskan sebuah rumah gedung yang besar dan penuh dengan perabot rumah yang indah, selain ini masih banyak sawah ladang dan uang yang ditinggalkan.

Oleh karena Kiang Liat hidup seorang diri, hanya bersama seorang pelayan wanita tua yang menjadi inang pengasuhnya semenjak ia terlahir, maka kebutuhan hidupnya tak seberapa besar dan tentu saja hasil sawah ladangnya sudah lebih dari cukup baginya. Hidupnya tidak mewah karena ia memang suka akan kesederhanaan, namun ia tidak sayang mengeluarkan uang, apalagi untuk menolong orang dan untuk menjamu kawan-kawannya. Ia biasanya hidup senang, berpesiar atau merantau ke sana ke mari sampai bekal uangnya habis baru ia ingat untuk pulang ke rumahnya di kota Siankoan.

Kini setelah bertemu dengan Han Le dan menerima hukuman selama setahun hidup sebagai pengemis, tentu saja tadinya ia merasa terhina dan dapat membayangkan bahwa ia akan sengsara sekali. Akan tetapi, alangkah girangnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa hidup seperti ini benar-benar bebas seperti burung di udara.

Apalagi ketika gurunya itu mulai menurunkan ilmu silat yang luar biasa sekali, ia girang bukan main. Ia merasa amat berbahagia dapat bertemu dengan Han Le, dan tidak saja ia menerima latihan ilmu silat, juga ia mendapatkan banyak pelajaran tentang kebatinan yang membuka matanya.

Kini ia tidak berani memandang rendah kepada para pengemis itu, yang sesungguhnya menjadi pengemis bukan karena malas, melainkan sengaja hidup sebagai pengemis untuk pernyataan belasungkawa akan keadaan rakyat yang banyak menderita.

Mereka adalah pengemis-pengemis yang sekali-kali bukan tukang minta-minta belaka. Mereka minta-minta seakan-akan untuk menguji apakah manusia-manusia di waktu itu masih ingat akan nasib sesama manusia, dan di balik semua sandiwara ini, mereka ternyata adalah pendekar-pendekar yang tidak saja siap sedia dengan tenaga dan kepandaian untuk menolong mereka yang sengsara, bahkan mereka siap sedia pula untuk mengulurkan tangan menolong dengan sumbangan uang yang ternyata banyak disimpan di dalam perkumpulan-perkumpulan pengemis itu!

Setelah menjadi murid Han Le, kepandaian Kiang Liat makin maju dan matang. Kini seperti gurunya, jarang sekali ia mencabut pedangnya dan cukup dengan sebatang ranting kecil saja ia sudah dapat menjaga diri dan kalau perlu merobohkan tokoh-tokoh kang-ouw yang lihai.

Kini terbukalah matanya betapa jauh perbedaan hidup antara orang-orang kaya raya dan orang-orang miskin, bagaikan bumi-langit. Terbuka pula matanya bahwa di dalam kemiskinan, ia bahkan banyak melihat orang-orang jujur dan berhati mulia.

Han Le adalah seorang yang berilmu tinggi. Melihat gerak-gerik ilmu pedang Kiang Liat, ia tidak mau merusak kepandaian pemuda itu dengan memberi pelajaran ilmu pedang lain.

Sebaliknya, ia memberi pelajaran dari lukisan-lukisan di dinding tua Pulau Pek-hio-to, mengajar gerakan-gerakan yang disesuaikan dengan ilmu pedang Kiang Liat sehingga kini ilmu pedang pemuda itu menjadi makin indah dan makin kuat. Bahkan, dengan bantuan gurunya ini, Kiang Liat dapat menciptakan ilmu pedang yang halus gerak-geriknya, tidak beda dengan orang menari-nari saja, namun di dalamnya terkandung kekuatan yang maha hebat.

Han Le membawanya merantau jauh dan selama satu tahun itu, banyak hal yang dilakukan oleh guru dan murid itu sehingga nama mereka makin meningkat tinggi, terkenal di dunia kang-ouw.

Kini nama Jeng-ciang-sian Kiang Liat amat disegani orang-orang kang-ouw, dan banyak orang tahu bahwa Kiang Liat telah menjadi murid Han Le. Setahun kemudian, Han Le dan muridnya berada di lembah Sungai Huang-ho, di dataran tinggi yang hijau segar, penuh tetumbuhan.

“Kiang Liat, waktumu telah lewat dan kau kini bebas. Kau boleh pulang dan agaknya kau kini sudah mengerti akan keadaan di dunia sehingga kelak kau takkan melakukan kesalahan-kesalahan dalam tindakanmu.”

“Suhu, teecu masih ingin terus belajar kepada Suhu, kalau boleh, biar sepuluh tahun lagi teecu sanggup hidup seperti sekarang ini asal boleh menjadi murid Suhu,” jawab Kiang Liat.

Han Le tersenyum,
“Kiang Liat, ketahuilah bahwa hanya karena suka kepadamu dan melihat bakatmu yang amat baik saja maka kau kuberi pelajaran ilmu silat itu. Sesungguhnya aku tidak berhak, karena ilmu silat yang kuajarkan kepadamu adalah pecahan kecil dari isi Im-yang Bu-tek Cin-keng yang menjadi milik suhengku. Kau amat beruntung bisa bertemu dengan aku dan kini agaknya ilmu pedangmu sukar mendapat tandingan di dunia kang-ouw. Seorang laki-laki harus memegang janji, dahulu kita berjanji akan berkumpul selama setahun dan sekarang waktunya telah habis. Dan kau ingatlah, dulu aku berjanji kepada Kakek Song agar kau menemuinya untuk bicara soal perjodohan yang ia usulkan. Aku tidak mau berlaku lancang, soal perjodohan terserah kepadamu, hanya menurut pendapatku, Kakek Song itu adalah seorang tua yang bersemangat dan berpribadi cukup baik. Kiranya cucunya takkan mengecewakan. Akan tetapi semua keputusan terserah kepadamu sendiri, hanya kuminta agar kau suka bertemu dengan dia agar janjiku terpenuhi.”






“Baiklah, Suhu. Terima kasih banyak atas segala pelajaran dan nasihat yang teecu terima dari Suhu. Setahun dekat dengan Suhu bagi teecu lebih berharga daripada sepuluh tahun yang sudah-sudah.”

Pada saat itu, wajah Han Le berubah dan tiba-tiba pengemis sakti ini berseru keras sekali, wajahnya berseri girang dan juga sepasang matanya terheran-heran.

“Suheng…! Kau disini…??”

Kiang Liat memandang ke arah gurunya memandang, namun tidak melihat sesuatu. Tiba-tiba dari jurusan itu, yang tidak ada apa-apa, terdengar suara yang halus sekali, namun menusuk telinga karena mengandung tenaga luar biasa dan pengaruh besar.

“Sute, siapa anak muda itu?”

“Dia adalah Kiang Liat, muridku!”

Tiba-tiba debu mengebul dan tahu-tahu seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, agak lebih tua daripada Han Le, berpakaian kusut sederhana namun tidak menyembunyikan kegagahan dan ketampanannya, telah berdiri di situ.

Kiang Liat memandang dengan mulut ternganga, karena ia yang telah memiliki kepandaian tinggi, bagaimana sampai tidak dapat melihat dan mengikuti gerakan orang ini? Ibliskah dia?

Ketika laki-laki itu memandangnya, Kiang Liat hampir menundukkan mukanya. Demikian tajam pandangan mata itu menusuk matanya sendiri.

“Sute, kau tidak menurunkan Im-yang Bu-tek Cin-keng?” tanya orang itu.

Han Le berubah mukanya dan kelihatan gugup.
“Hanya sedikit, Suheng, bagian permainan pedang dan lwee-kang untuk memperkuat ilmu pedangnya sendiri, yakni ilmu pedang dari keluarga Kiang yang tersohor.”

“Hm, sute Han Le, betapapun juga, kau telah berlaku sembrono sekali. Kau harus tahu bahwa ilmu kita itu berbahaya kalau dipergunakan oleh orang yang beriman lemah. Sekarang kau sudah menurunkan kepadanya, biarpun sedikit hal itu sudah berarti bahwa selamanya kau dan aku harus selalu menyelidiki dan menjaga jangan sampai orang mempergunakannya tidak pada tempatnya!”

Han Le memandang kepada suhengnya dengan mata penuh keheranan, apalagi ketika ia kini melihat wajah suhengnya kusut, matanya sayu dan kerut-merut pada wajah suhengnya itu menunjukkan jelas bahwa suhengnya telah mengalami penderitaan batin hebat selama ini.

Sudah belasan tahun ia tidak bertemu dengan suhengnya dan kini suhengnya benar-benar telah berubah. Adatnya menjadi keras dan aneh. Akan tetapi, ia merasai kebenaran ucapan suhengnya itu dan ia mengangguk-angguk.

Orang itu lalu menghadapi Kiang Liat yang memandang kepadanya dengan perasaan tak senang. Sebelum orang itu bicara, Kiang Liat mendahului, bertanya kepada Han Le,

“Suhu, mohon memberi penerangan kepada teecu, siapakah adanya Lo-eng-hiong yang baru datang ini.”

“Bocah bodoh, dia inilah supekmu. Dia suhengku bernama Lu Kwan Cu, berjuluk Bu Pun Su, ahli silat nomor satu di dunia ini!”

Kiang Liat terkejut sekali. Tadi ia sudah menduga-duga ketika mendengar suhunya menyebut suheng kepada orang ini, akan tetapi ia masih penasaran dan sangsi, karena melihat orangnya, Bu Pun Su ini tidak begitu hebat sungguhpun kedatangannya tadi seperti siluman saja.

“Kiang Liat, berapa lama kau belajar kepada suhumu?”

Kiang Liat sudah menjatuhkan diri berlutut dan kini menjawab,
“Hanya satu tahun, Supek, karena menurut perjanjian memang teecu hanya boleh belajar satu tahun.”

“Perjanjian?” Lu Kwan Cu atau Bu Pun Su menoleh kepada Han Le.

Han Le tertawa dan menceritakan tentang pertaruhan setahun yang lalu. Bu Pun Su mengerutkan keningnya yang tebal dan sudah mulai memutih.

“Tidak baik bagi seorang pemuda memiliki kesombongan dan terlalu keras. Orang-orang muda selalu mendatangkan keributan di dunia, terdorong oleh nafsunya sendiri tanpa mengingat akibat dari perbuatan yang ditunggangi oleh nafsu. Berdirilah kau!”

Kiang Liat berdiri, hatinya tidak enak.

“Cabut pedangmu!”

KIANG LIAT ragu-ragu dan melirik ke arah Han Le, akan tetapi gurunya memberi isarat dengan matanya agar pemuda itu menurut saja. Maka ia pun lalu mencabut keluar pedangnya, pedang pusaka keturunan keluarga Liang, memegang pedang itu lurus ke atas menempel jidat, tanda menghormat dan tidak mempunyai maksud buruk terhadap orang di depannya.

Akan tetapi Bu Pun Su tidak peduli kepadanya dan memerintah terus,
“Serang aku dengan pedangmu!”

Inilah keterlaluan, pikir Kiang Liat. Ia tidak mau berlaku kurang ajar dan lancang, maka bagaimana ia berani menyerang orang yang diperkenalkan kepadanya sebagai supeknya?

“Hayo serang, bodoh!”

Bu Pun Su membentak lagi dan bentakannya demikian berpengaruh sehingga di dalam tubuh Kiang Liat seakan-akan timbul aliran tenaga yang membuat ia otomatis bergerak! Pedangnya menyambar, menusuk ke arah muka supeknya itu. Namun ia segera ingat bahwa ia terlalu kurang ajar kalau menyerang dengan sungguh-sungguh, maka selanjutnya ia mengendurkan gerakannya dan hanya memperlihatkan tipu-tipu serangan yang indah untuk membuktikan kepada supeknya bahwa gurunya tidak memiliki murid secara sembarangan dan bahwa ia sebetulnya juga “berisi!”

Akan tetapi ia melihat Bu Pun Su sama sekali tidak menggerakkan kedua kaki, setapak pun tidak pindah dari tempat berdirinya semula. Kedua ujung lengan baju orang sakit itu bergerak-gerak ke depan dan bukan main hebatnya!

Dari sepasang tangan yang bersembunyi di dalam lengan baju itu keluar tenaga luar biasa sehingga angin tangkisannya saja selalu menahan pedangnya. Pedangnya selalu terpental kembali seakan-akan terbentuk pada benda yang amat keras.

“Jangan sungkan-sungkan, serang sungguh-sungguh!”

Kembali Bu Pun Su membentak dan kali ini Kiang Liat menyerang dengan sungguh-sungguh. Bukan saja karena ia mendengar perintah ini, juga karena hatinya merasa penasaran sekali. Bagaimana orang dapat membikin semua serangan pedangnya tidak berdaya hanya dengan hawa tangkisan belaka? Inilah aneh, seperti sihir atau dalam mimpi saja.

Ia mengerahkan seluruh lwee-kangnya dan mengeluarkan tipu-tipu silat yang paling lihai. Ia mainkan pedangnya dengan ilmu pedang keluarga Kiang, ditambah dengan gerakan-gerakan halus dari ilmu silat yang ia pelajari dari Han Le.

Betul saja bahwa ilmu pedangnya memang hebat. Buktinya, Bu Pun Su kini tidak dapat menghadapinya dengan hawa tangkisan belaka, melainkan orang sakti itu bergerak ke sana ke mari dengan amat lambat. Namun, betapapun lambatnya gerakan kaki orang sakti itu, tak pernah pedang di tangan Kiang Liat mengenai sasaran, bahkan menyentuh baju Bu Pun Su saja tidak dapat!

Setelah Kiang Liat menyerang sampai tiga puluh jurus lebih, tiba-tiba pemuda ini merasa telapak tangan yang memegang pedang sakit sekali sehingga ia terpaksa melepaskan pedangnya. Ketika ia memandang, pedangnya itu telah terampas oleh gulungan ujung lengan baju Bu Pun Su!

Bu Pun Su sekarang tersenyum dan mengembalikan pedang yang diterima oleh Kiang Liat dengan muka merah.






Tidak ada komentar :