*

*

Ads

Senin, 16 April 2012

Ang I Niocu Jilid 008

“Kau peduli apakah dengan itu? Hal itu bukan urusanmu, Cia-siucai. Sudahlah, kau lebih baik lekas-lekas pergi dari sini.”

“Jawab dulu, Nona. Benar-benarkah kau sudah bertunangan dengan orang lain? Kalau benar demikian, aku Cia Sun bersumpah takkan mau mengganggumu lagi.”

Bi Li tak dapat menjawab. Dia memang belum bertunangan, hal ini ia ketahui benar, karena memang dahulu orang tuanya belum mengikat perjanjian dengan siapapun juga. Akan tetapi, menjawab pertanyaan seorang pemuda asing begitu saja tentang pertunangan, bukanlah hal yang patut dilakukan oleh seorang gadis sopan.

Ceng Si melihat keraguan nonanya maka ia yang mewakili Bi Li menjawab,
“Sesungguhnya Siocia belum bertunangan Cia-siucai. Sudahlah, harap kau sudi meninggalkan tempat ini, kalau diketahui oleh orang lain, bukankah hal ini buruk sekali bagi Siocia?”

Mendengar ini, Cia Sun lalu membanting-bantingkan jidatnya pada tanah dan ia masih tetap berlutut.

“Penasaran! Penasaran! Nona Song, mengapa kakekmu begitu membenciku? Memang ia membohong dan menolak pinanganku? Ketahuilah, tanpa kau di sampingku, aku tidak akan dapat hidup lebih lama lagi! Lebih baik aku mati saja di sini, Song-siocia….”

Mendengar ini, Bi Li menjadi pucat sekali dan ia menahan mulutnya yang hendak berteriak. Kemudian ia membalikkan tubuh dan berlari pergi meninggalkan pemuda yang masih berlutut itu, berlari kembali ke dalam gedung.

Bi Li tiba di kamarnya dengan terengah-engah, mukanya pucat. Baiknya kong-kongnya tidak ada di rumah gedung itu baru ada dia dan Ceng Si saja, karena memang belum memanggil pelayan-pelayan lain. Hatinya berdebar, tidak karuan rasanya. Ada rasa takut, bingung dan juga girang.

Entah mengapa, mengingat betapa pemuda tampan dan pandai yang menjadi kebanggaan dusun yang menjadi rebutan dan mimpi para gadis dusun itu kini bertekuk lutut kepadanya, menyatakan cinta kasih yang demikian besar, benar-benar menggirangkan hatinya. Akan tetapi ia sendiri tidak mengerti perasaan apakah ini yang membuat dia menjadi kebingungan.

Tak lama kemudian, Ceng Si menyusul masuk ke dalam kamar.
“Siocia, bagaimana ini baiknya?” kata pelayan muda dan cantik itu sambil meremas-remas tangan. “Dia tidak mau pergi…”

“Tidak mau pergi…? Habis bagaimana baiknya…?”

Bi Li memandang kepada Ceng Si dengan bingung dan air matanya sudah mulai memenuhi pelupuk matanya.

“Siocia, dia harus dikasihi. Dia betul-betul mencinta kepada Siocia dengan sepenuh hati dan nyawa. Dia bilang bahwa dia akan tetap berlutut disana sampai mati kalau Siocia tidak mau menyatakan sesuatu untuk menjawab cintanya. Demikian ia bilang kepadaku, Siocia.”

Kini air mata menitik turun ke atas pipi Bi Li. Ia menjadi terharu dan juga bingung, ditambah rasa takut. Kalau sampai kong-kongnya atau orang lain tahu akan halnya pemuda itu, bukankah akan terjadi geger? Bukankah orang lain akan menyangka yang tidak-tidak terhadap dirinya? Sampai lama ia tidak menjawab.

Ah, Bi Li memang seorang gadis yang masih hijau dan bodoh, yang selamanya belum pernah mengalami perasaan seperti itu. Kalau saja ia tahu apa yang baru saja terjadi ketika ia pergi meninggalkan Cia Sun, tentu akan lain sikapnya.

Begitu ia pergi, Ceng Si yang begitu melihat Cia Sun menyatakan cinta kasih terhadap nonanya, segera memegang pundak pemuda itu dengan lemah-lembut, berkata seperti bisikan mesra,

“Siucai, mengapa kau begitu lemah? Bangunlah, urusan ini dapat diatur bagaimana baiknya. Hatiku tidak kuat melihat kau begini sengsara, Kongcu…”

Mula-mula Cia Sun terheran, ia mengangkat muka dan memandang wajah pelayan yang cantik itu, kemudian setelah dua pasang mata bertemu, tahulah pemuda ini akan suara hati Ceng Si. Ia menjadi girang sekali dan memeluk pundak Nona pelayan itu sambil berkata,

“Nona manis yang baik, benar-benarkah kau menaruh hati kasihan kepadaku yang malang ini?”

Ceng Si pura-pura melepaskan diri dan berkata dengan sikap genit,
“Cih, tak tahu malu! Baru saja Siocia pergi, sudah berubah hatinya dan hendak membujuk aku, benar-benar lelaki tidak setia!”






Cia Sun cepat menjura dan berkata dengan suara memohon,
“Nona yang baik, siapa orangnya tidak akan mencinta kau yang begini manis? Kasihanilah aku, aku benar-benar lebih baik mati kalau Siociamu tidak mempedulikan aku. Bantulah aku, bujuk siociamu agar ia sudi sedikit menaruh perhatian kepadaku, dan aku berjanji, kelak kalau aku berhasil menjadi suami siociamu, kaulah orang pertama yang akan menjadi Ji-hujin (Nyonya Ke Dua)!”

Ceng Si mengerling, tersenyum-senyum dan berkata genit,
“Benar-benarkah janjimu ini? Atau hanya bujukan kosong belaka?”

“Demi langit dan bumi, aku bersumpah kelak kalau aku berhasil menjadi suami Nona Song Bi Li, aku segera akan mengambil Nona… eh, siapa namamu?”

Ceng Si mengerling, tersenyum-senyum dan berkata genit,
“Benarkah itu? Namaku, eh, Ceng Si,” jawabnya cepat-cepat.

“Ceng Si nama yang manis.” Kemudian ia berdongak ke arah langit dan melanjutkan sumpahnya, “Aku akan mengambil Nona Ceng Si yang manis sebagai ji-hujin! Nah, langit dan bumi menjadi saksi atas sumpahku. Lekaslah kau datangi siociamu dan bujuk agar supaya ia suka menaruh sedikit perhatian kepadaku dan suka memberi sedikit tanda mata.”

“Baiklah, akan tetapi awas, kalau kau membohongiku, jangan kira Ceng Si takkan menuntut balas!” Pelayan itu segera pergi berjalan-jalan dan menuju ke kamar Bi Li.

Demikianlah, semua ini tentu saja Bi Li tidak tahu sama sekali. la mendengar dari Ceng Si bahwa Cia Sun masih berlutut dan tidak mau pergi, hatinya menjadi amat terharu. Demikian besarnya kasih sayangnya kepadaku sehingga ia rela mengorbankan nyawa, pikir gadis ini.

“Habis, apa yang harus kulakukan, Ceng Si?” kemudian ia bertanya, minta nasihat pelayannya yang ia anggap lebih mengerti dalam urusan seperti ini.

Berbeda dengan Bi Li, dalam hal ini Ceng Si lebih cerdik dan gadis pelayan ini lebih mengenal watak laki-laki seperti Cia Sun. Ia sudah dapat menduga kemana maksud tujuan Cia Sun, bukan karena oleh kecantikan siocianya yang memang amat cantik itu, akan tetapi disamping ini mengandung maksud yang lebih besar, yakni hendak menjadi suami Bi Li yang menjadi ahli waris tunggal dari Song-loya yang kaya-raya!

Aku harus berlaku cerdik, pikir Ceng Si. Kalau kubujuk sehingga siocia menerimanya dan kemudian sebelum mereka menjadi suami isteri, Cia Sun menyia-nyiakannya, maka akan gagallah semua niatnya. Aku harus berusaha agar Siocia menjadi isterinya agar Cia Sun bisa diterima menjadi suami Bi Li dan kelak akan menjadi nyonya ke dua, akan menjadi Ji-hujin (Nyonya Ke Dua).

Kedudukan nyonya kedua pada masa itu memang cukup tinggi jauh lebih tinggi daripada kedudukan nyonya ke tiga, empat atau ke lima. Apalagi kalau dibandingkan dengan kedudukan pelayan biasa, tentu saja jauh lebih tinggi!

“Siocia, apakah… apakah Siocia juga… suka kepadanya?”

Wajah Bi Li menjadi merah sekali dan ia memandang kepada pelayannya dengan mata terbuka lebar. Maksudnya hendak marah, namun ia tidak dapat, karena wajah Ceng Si memperlihatkan sikap sungguh-sungguh, dan ia sedang bingung dan membutuhkan pertolongan pelayan ini.

“Aku tidak tahu, Ceng Si, aku… tidak tahu …”

“Siocia, Cia-kongcu itu benar-benar cinta kepada Siocia dan kalau ia dibiarkan saja, tentu ia akan berkeras tidak mau pergi!”

“Aduh, bagaimana kalau Kong-kong datang dan melihat dia di sana?” Bi Li ketakutan.

“Apalagi kalau ada orang luar melihatnya, tentu timbul persangkaan yang bukan-bukan.”

Ceng Si menambah kebingungan siocianya dengan maksud agar nona majikannya itu terdesak betul-betut dan akhirnya akan menurut apa yang ia nasihatkan.

Benar saja, mendengar kata-kata pelayannya ini, Bi Li lalu menangis karena bingung dan cemas.

“Ceng Si, apakah yang harus kuperlakukan? Tolonglah aku, Ceng Si!”

Pelayan muda yang cantik itu tersenyum di dalam hatinya. Baik Cia Sun maupun Bi Li sudah minta tolong kepadanya, sudah dapat dipastikan bahwa kelak ia pasti tercapai cita-citanya, menjadi Ji-hujin yang kaya dan terhormat!

“Siocia, tidak baik menemui padanya di kebun, akan tetapi tidak baik pula membiarkan dia begitu saja sehingga dia tidak mau pergi. Lebih baik Siocia menghibur hatinya dengan jalan memberi sesuatu agar ia puas dan mau pergi!”

“Memberi apa, Ceng Si? Apa yang dapat kuberikan agar ia mau pergi?”

Ceng Si berpikir-pikir. Memang akan lebih sempurna kalau memberi barang yang berharga, yang menjadi tanda atau bukti seperti misalnya hiasan rambut dari batu giok itu yang menghias rambut Bi Li yang hitam dan halus, akan tetapi hal itu terlalu berbahaya untuk pertama kalinya. Ia masih belum tahu akan isi hati Cia Sun, belum tahu apakah pemuda itu bersungguh-sungguh atau tidak.

“Lebih baik Siocia memberikan saputangan Siocia itu, agar ia merasa bahwa Siocia menaruh kasihan kepadanya dan akulah yang akan membujuk-bujuknya agar ia mau pergi dari kebun.”

Bi Li tentu saja ragu-ragu dan mukanya menjadi merah sekali. Ia melihat saputangannya yang tersulam indah dan yang basah dengan air matanya. Akan tetapi tidak ada jalan lain yang lebih baik. Kalau pemuda itu nekat tidak mau pergi, lebih celaka lagi!

“Baiklah, kau berikan ini dan bujuk agar dia jangan berlaku nekad dan tidak mau pergi.”

Ceng Si dengan girang menerima saputangan itu dan membawa benda itu ke kebun, dimana Cia Sun telah menantinya. Untuk beberapa lama dua orang ini berunding, akhirnya Cia Sun pergi keluar melalui pagar kebun yang rusak.

Demikianlah. Ceng Si menjalankan siasatnya dengan licin sekali. Sampai kebun itu berubah menjadi taman indah dan dikelilingi pagar tembok, selalu pelayan ini mengadakan hubungan dengan Cia Sun.

Dengan amat cerdiknya Ceng Si menjaga sedemikian rupa sehingga Bi Li memberi benda-benda tanda mata, membalas surat-surat dan sajak-sajak pemuda itu, bahkan Bi Li yang bagaikan seekor lalat terjebak dalam sarang laba-laba berani bersumpah babwa dia hanya akan bersuamikan Cia Sun!

Sampai dua tahun perhubungan ini berjalan diam-diam. Memang betul bahwa Bi Li tidak pernah melakukan sesuatu yang melanggar kesusilaan, karena memang gadis ini teguh menjaga kesopanan, dan ini sesuai pula dengan rencana Ceng Si, namun di dalam hatinya, gadis ini sudah membalas cinta kasih Cia Sun.

Tentu saja Cia Sun menjadi besar hati, karena biarpun ia pernah ditolak lamarannya oleh Kakek Song, namun kalau Bi Li tidak mau dinikahkan dengan orang lain dan kelak kakek itu meninggal dunia, akhirnya dialah yang akan menjadi suami Bi Li dan menguasai semua harta benda yang besar itu!

Akan tetapi, tiba-tiba setelah Bi Li berusia sembilan belas tahun, pada suatu hari Kakek Song pulang bersama seorang pemuda yang tampan dan gagah, yang berpakaian sebagai seorang pengemis, tambal-tambalan dan butut. Dan hebatnya, Bi Li diperkenalkan kepada pemuda ini sebagai calon suaminya!

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Kiang Liat setelah berpisah dari suhunya, langsung menuju ke dusun Sui-chun. Ia sengaja tidak mau pulang dulu ke kotanya di Sian-koan dan sengaja memakai pakaian seperti pengemis untuk melihat apakah Kakek Song dan cucunya masih tidak berubah pendiriannya melihat dia sudah menjadi seorang pengemis.

Tidak tahunya, baru saja ia tiba di luar dusun Sui-chun, ia telah disambut oleh Kakek Song dengan segala kehormatan! Memang sudah berhari-hari kakek ini menanti dari pagi sampai petang di luar kampung, ingat bahwa hari kedatangan pemuda yang pernah menolongnya itu sudah tiba. Maka begitu melihat Kiang Liat, ia segera berlari menghampiri bersama pelayan-pelayannya, dan menyambut Kiang Liat dengan segala kehormatan.

“Kian Tai-hiap, sudah tiga hari lohu menanti di sini. Bagus sekali, kau kelihatan, sehat-sehat saja dan lebih gagah!”

“Akan tetapi, aku telah menjadi pengemis yang miskin, Lopek.”

“Ha-ha-ha, dahulu pun aku seorang pengemis yang lebih miskin daripadamu, Tai-hiap. Sudah lupa lagikah kau akan hal itu? Marilah, kita bicara di rumah.”






Tidak ada komentar :