*

*

Ads

Senin, 16 April 2012

Ang I Niocu Jilid 009

Diam-diam Kiang Liat memuji kakek ini yang ternyata sikapnya tidak berubah sama sekali. Memang ia suka mempunyai seorang mertua atau seorang kakek sebaik ini, akan tetapi ia belum melihat bagaimanakah macamnya cucu perempuan kakek ini yang bendak dijodohkan dengan dia?

Rumah gedung tempat tinggal kakek itu, sungguhpun untuk di Sui-chun termasuk paling baik namun masih tidak sebesar dan sebaik rumah Kiang Liat sendiri di kota Sian-koan, maka pemuda ini sama sekali tidak merasa kagum atau kikuk ketika memasuki gedung ini.

“Suruh Siocia keluar menyambut tuan penolongku yang muliai!” kata Song Lo-kai dengan girang kepada seorang pelayan perempuan.

Berdebar hati Kiang Liat ketika ia mendengar suara tindakan kaki yang halus dari dalam, kemudian mulut pintu tersingkap dan muncullah seorang bidadari dalam pandangan pemuda ini. Ia cepat bangun dari bangkunya dan merahlah muka Kiang Liat ketika ia teringat bahwa pakaiannya amat tidak baik. Ia memandang wajah yang cantik jelita itu, yang bibirnya tersenyum manis dengan ramah-tamah, wajahnya yang ayu berseri-seri dan sepasang matanya bersinar-sinar.

Memang Bi Li sudah pernah diceritakan oleh kong-kongnya bahwa ketika menghadapi bencana maut kong-kongnya telah ditolong oleh seorang pendekar muda. Tentu saja kini mendengar bahwa tuan penolong itu datang, sebagai cucu kong-kongnya ia harus menyatakan terima kasihnya. Hanya tak disangkanya bahwa tuan penolong itu ternyata adalah seorang yang masih muda dan luar biasa tampan serta gagah.

Kiang Liat menjura dan mengangkat kedua tangan ke dada, memandang bagaikan dalam mimpi, tak kuasa mengeluarkan kata-kata. Melihat betapa pemuda itu amat kikuk, timbullah rasa sungkan dan malu kepada Bi Li sehingga gadis ini pun hanya menjura memberi hormat.

“Bi Li, mengapa kau diam saja terhadap, tuan penolongku? Tidak saja Tuan penolong, dia pun calon suamimu, Nak!”

Setelah berkata demikian, kakek ini mengejap-ngejapkan kedua matanya yang terasa panas hendak menitikkan air mata saking terharu dan girangnya.

Mendengar ucapan itu, Bi Li merasa seakan-akan kedua kakinya terjeblos ke dalam jurang. Kagetnya bukan main dan seketika itu wajahnya menjadi pucat sekali. Akan tetapi ia buru-buru menundukkan muka dan membalikkan tubuh terus lari ke dalam kamarnya, diikuti oleh Ceng Si yang tadi juga mengikuti nona majikannya keluar.

Bagi anggapan Kiang Liat dan kakek Song, nona itu tentu lari karena jengah dan malu, maka kakek Song tertawa bergelak-gelak saking senang hatinya.

“Lopek, sungguhpun aku sebatang kara yatim-piatu, namun aku mempunyai rumah di Sian-koan. Biarlah aku pulang lebih dulu, baru kemudian aku akan mengirim wakil untuk membicarakan urusan perjodohan ini.”

Kakek Song mengerutkan keningnya dengan khawatir.
“Akan tetapi kau… kau sudah setuju, bukan?”

Kiang Liat menjadi merah mukanya, tak dapat menjawab, maka ia hanya menganggukkan kepalanya dengan pasti!

Kakek Song tertawa bergelak, lalu dengan suara keras ia memberi perintah pada para pelayannya untuk menyediakan jamuan yang hebat bagi calon mantunya.

Setelah minum arak dan menerima hidangan-hidangan yang disuguhkan oleh Kakek Song, Kiang Liat lalu berpamit dan sebagai tanda mata, ia meninggalkan pedangnya. Dengan hati girang pemuda ini lalu melakukan perjalanan cepat sekali ke kota tempat tinggalnya.

Ia disambut dengan girang oleh inang pengasuhnya, ia memang sudah seperti neneknya sendiri saja. Kiang Liat girang karena melihat rumahnya tidak berubah dan tidak terjadi sesuatu atas diri inang pengasuhnya. Ia lalu menceritakan pengalamannya secara singkat, dan terutama sekali ia bercerita tentang maksudnya hendak menikah dengan Nona Song di Sui-chun.

Inang pengasuhnya girang bukan main, sambil berlinang air mata inang pengasuh ini lalu mengurus hal itu, mencarikan seorang wakil untuk menyampaikan warta ke Sui-chun tentang ketetapan hari pernikahan!

Sementara itu, di rumah Kakek Song terjadi keributan. Bi Li menangis dan menyatakah tidak mau menikah.

“Anak bodoh, usiamu sudah sembilan belas tahun mau menunggu apa lagi? Apakah kau mau menunggu kakekmu mati?” akhirnya Kakek Song berkata lemas.






Bi Li menubruk kakeknya.
“Tidak demikian Kong-kong, akan tetapi aku… belum suka menikah …”

“Bi Li, jangan kau membikin bingung dan susah hati kong-kongmu. Perjodohan ini sudah kujanjikan kepada Kian-taihiap setahun yang lalu. Sebentar kalau utusannya datang mewartakan tentang hari pernikahan, kita harus menerima dengan baik kau tak boleh berkeras kepala lagi kecuali kalau kau suka melihat kong-kongmu mampus saking jengkel dan susah.”

Bi Li tak dapat menjawab hanya menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menangis terisak-isak.

Pada saat itu, Ceng Si turun tangan. Gadis pelayan ini memberi isyarat kepada Kakek Song untuk keluar. Kakek ini terheran akan tetapi ia menurut saja. Akhirya mereka bicara di dalam ruangan belakangnya dan tak seorang pun pelayan lain boleh mendekati mereka.

“Ceng Si, ada apakah? Agaknya ada sesuatu yang dirahasiakan kepadaku!” Kakek Song berkata kurang senang.

Ceng Si berlutut.
“Mohon beribu ampun Lo-ya. Sesungguhnya saya sudah berusaha banyak untuk mencegah terjadi hal ini, akan tetapi apa mau dikata, sebelum saya menjadi pelayan di sini, hal itu sudah terjadi.”

“Hal ini, hal itu, apa maksudmu? Bicaralah yang jelas!” Kakek Song membentak dengan hati kurang enak.

“Siocia tidak mau menikah karena sesungguhnya Siocia sudah mempunyai pilihan hati sendiri.”

“Apa? Kau tahu akan hal ini dan tidak memberitahukan kepadaku? Berani betul kau membiarkan Siociamu merusak nama baik keluarganya? Jahanam benar…” Wajah Kakek Song menjadi pucat sekali.

“Tidak demikian, Loya, harap jangan salah sangka. Biarpun Siocia sudah mempunyai pilihan hati, namun Siocia tak pernah bertemu dengan dia, hanya berkirim-kiriman saja dan sebagainya.”

“Bedebah…!”

“Kalau Loya benar-benar sayang kepada Siocia, saya harap Loya sudi mempertimbangkan keadaan Siocia yang patut dikasihani. Dan harap Loya suka mendengar penuturan saya dengan hati sabar. Loya, sebelum Loya membawa Siocia pindah ke sini, memang diantara Siocia dan pemuda itu sudah ada pertalian batin yang erat. Mereka saling mencinta dan saling bersumpah takkan menikah dengan orang lain. Adapun menurut penglihatan saya, pemuda itu adalah seorang pemuda terpelajar yang amat sopan-santun dan baik, tulisannya indah dan juga orangnya tidak kalah oleh Kiang-taihiap. Siocia pasti akan hidup berbahagia selama hidupnya kalau Loya membatalkan pertalian jodoh dengan Kiang-taihiap dan sebaliknya menjodohkan Siocia dengan pilihan hatinya sendiri.”

“Cukup, tutup mulutmu, kau seorang pelayan tahu apa? Siapakah adanya jahanam yang berani menggoda cucuku itu? Hayo katakan siapa dia?”

“Dia adalah seorang Siucai dan namanya Cia Sun dari dusun Lee-hiang.”

Kakek Song termenung dan mengangguk-angguk sambil mengelus-elus jenggotnya. Kemudian ia menyuruh Ceng Si pergi dan menghibur siocianya.

“Katakan kepada Siociamu bahwa aku akan memikirkan hal ini baik-baik,” katanya.

Kakek ini teringat akan pemuda she Cia yang pernah melamar Bi Li, dan menurut penglihatannya, memang pemuda itu cukup baik dan terpelajar. Akan tetapi, ia sudah menolak pinangan itu karena ia ingin menjodohkan Bi Li kepada seorang gagah agar kelak dapat melindungi cucunya itu.

Kakek Song sendiri adalah seorang ahli silat dan biarpun kepandaiannya tidak tinggi namun ia cukup tahu akan manfaat kegagahan pada jaman itu. Apalagi sekarang ia telah menjodohkan cucunya kepada Kiang Liat seorang pemuda gagah perkasa yang pernah menolongnya dan yang amat dikaguminya, apalagi karena pemuda itu kini menjadi murid dari seorang sakti.

“Sungguh menjemukan sekali, pinangannya sudah kutolak bagaimana ia masih berani mengganggu Bi Li? Ada maksud apakah sebenarnya dengan pemuda she Cia itu?”

Demikian Kakek Song berpikir-pikir. Kemudian ia mendapatkan akal. Ia maklum akan keadaan keluarga Cia yang miskin, maka didatangilah rumah keluarga Cia di dusun Lee-hiang. Ia disambut oleh Janda Cia, yakni ibu dari Cia Sun dengan ramah-tamah dan penuh penghormatan, sebagaimana biasanya seorang kaya-raya disambut oleh seorang dusun yang miskin.

Kakek Song minta kepada nyonya janda itu untuk memanggil puteranya dan Cia Sun menghadap dengan muka pucat. Pemuda ini takut sekali karena ia dapat menduga bahwa kedatangan Kakek Song tentulah ada hubungannya dengan Bi Li, sedangkan ia belum mendapat berita apa dari Ceng Si selama beberapa hari ini. Hatinya gelisah sekali, namun ia menghadap Kakek Song dengan sikap sopan dan memberi hormat sebagaimana mestinya.

“Kedatanganku ini untuk membereskan persoalan yang ada antara Cia Sun dan cucuku,” kata Kakek Song kepada nyonya janda ibu Cia Sun.

Tentu saja Nyonya Cia tidak tahu akan kelakuan puteranya maka ia memandang dengan mata penuh pertanyaan.

“Cia-hujin, seperti kau tentu masih ingat, pinangan puteramu terhadap cucuku sudah kutolak karena memang cucuku itu sudah mempunyai tunangan. Akan tetapi akhir-akhir ini ternyata puteramu selalu mendesak dan bahkan berani mencoba untuk berhubungan dengan cucuku. Yang sudah lewat sudahlah, akan tetapi mulai sekarang, kuperingatkan agar puteramu ini jangan sekali-kali berani menghubunginya. Ingat bahwa ia sudah bertunangan.”

“Hal itu tidak betul,” Cia Sun memotong, “Aku mendengar bahwa Song siocia belum bertunangan.”

“Hemm, begitukah?” Kakek Song tersenyum, hatinya mendongkol sekali. “Itu hanya dugaanmu belaka. Dia sudah tunangan dengan seorang she Kian di kota Sian-koan dan dalam beberapa pekan ini pun akan dilangsungkan pernikahannya. Oleh karena itu, sekali lagi kuperingatkan bahwa apabila kau mencoba untuk berlaku tidak patut dan mendekati rumah kami, aku akan turun tangan dengan jalan kekerasan atau akan menyuruh yang berwajib menangkap dan menahanmu. Sebaliknya, kalau kau berjanji tak mengganggu dan mendekatinya lagi, orang she Song akan berterima kasih sekali dan takkan melupakan kebaikan ini. Nah, biarlah sedikit bekal ini untuk keperluan kalian sehingga tak perlu keluar rumah.”

Kakek Song meninggalkan sekantong uang perak dan meletakkan itu di atas meja yang reot di depan Nyon Cia.

Nyonya janda Cia terkejut dan juga girang. Ia buru-buru berlutut menghaturkan terima kasih dan berkata kepada Kakek Song,

“Song-loya, harap suka mengampunkan puteraku yang masih belum tahu aturan. Percayalah, aku yang akan melarangnya pergi kesana. Terima kasih banyak atas hati Song-loya. Sun-ji (Anak Sun), hayo lekas ucapkan terima kasih kepada Song-loya.”

Cia Sun menjadi pucat dan hanya karena takut kepada ibunya maka ia terpaksa menjura dan mengucapkan terima kasih dengan suara perlahan. Kakek Song menjadi puas dan segera pergi dari situ, pulang ke gedungnya.

Cia Sun menjatuhkan diri di atas kursi, dua titik air mata turun membasahi pipinya. Hancurlah cita-citanya untuk menjadi suami Bi Li, untuk mewarisi seluruh harta benda itu!

“Anakku, bagaimana sih kau ini? Song-siocia tentu saja bukan jodohmu, bagaimana katak bisa mencapai bulan? Kau benar-benar lancang dan sembrono sekali berani mengganggu gadis dari keluarga demikian hartawan. Masih untung bagi kita bahwa Song-loya berhati pemurah dan sabar sehingga sebaliknya daripada marah kepada kita, ia memberi peringatan dengan halus dan malah memberi uang begini banyak.”

Namun Cia Sun masih terbenam dalam lamunannya yang sedih. Apakah artinya uang sekantung ini dibandingkan dengan diri Bi Li berikut harta benda dan rumah gedung ditambah sawah ladang yang demikian banyaknya? Ia memutar-mutar otak mencari jalan yang baik, akhirnya ia berkata seorang diri,

“Hanya Ceng Si yang akan dapat memecahkan hal ini! Ceng Si manisku… kekasihku… sebenarnya kaulah yang patut menjadi isteriku. Tanpa kau yang cerdik aku merasa tak berdaya…”






Tidak ada komentar :