*

*

Ads

Rabu, 18 April 2012

Ang I Niocu Jilid 012

“Demikianlah, Sute,” kata Bu Pun Su kepada Han Le setelah menuturkan itu semua. “Kiranya tidak akan meleset terlalu jauh dugaanku bahwa tiga orang aneh itu mempunyai hubungan dengan dua pencurinya ini. Siapa lagi kalau bukan mereka yang berani dan begitu gegabah mencuri dua barang pusaka keramat yang dipuja-puja oleh Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai? Dan aku mendengar kabar pula, bahwa Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko, itu tokoh Mo-kauw yang berkepandaian tinggi dan bertabiat ganas, telah diambil murid oleh tiga orang itu. Kalau Hek Pek Mo-ko dua saudara yang berkepandaian begitu tinggi masih menjadi murid mereka, dapat diduga bahwa kepandaian mereka memang betul-betul tinggi. Selain ini, aku masih mendengar kabar lagi bahwa kecuali Hek Pek Mo-ko, mereka bertiga masih mempunyai seorang murid perempuan yang jauh lebih jahat, bahkan lebih pandai daripada Hek Pek Mo-ko. Kalau pihak Mo-kauw mempunyai begitu banyak orang-orang pandai, sedangkan sepak terjang mereka selalu disembunyikan, aku merasa kuatir sekali.”

“Suheng, urusan itu sebetulnya tidak amat besar, akan tetapi mengapa tadi Suheng menyebut-nyebut tentang kebangsaan dan kebudayaan? Apa hubungannya kehilangan kitab dari Siauw-lim-pai dan pedang dari Kun-lun-pai itu dengan kebangsaan dan kebudayaan?”

Bu Pun Su menarik napas panjang,
“Belum kuceritakan semua keterangan yang dapat kukumpulkan, Sute. Aku mendengar berita yang tentu saja masih belum dapat dipercaya betul, bahwa tiga orang yang kini telah menguasai golongan Mo-kauw itu, bercita-cita untuk menaklukkan semua orang kang-ouw di negeri ini. Mereka adalah orang-orang dari barat, dan mereka berhasil menaklukkan semua orang kang-ouw, dan hal ini bukan tidak mungkin melihat kelihaian mereka yang kudengar memang luar biasa sekali tentu saja urusan ini dekat sekali hubungannya dengan kebangsaan dan kebudayaan kita. Tidak ingatkah kau betapa orang orang asing selalu mengilar dan ingin mencaplok negara kita? Kalau sampai orang-orang kang-ouw berada di bawah kekuasaan tiga orang ini sehingga dapat mereka perintah dan pergunakan, apa sukarnya merampas negara kita? Dan kalau sampai kepandaian mereka itu dapat disebar dan menggantikan ilmu silat dari bangsa kita sendiri bukankah berarti kebudayaan kita akan terpengaruh oleh kebudayaan asing pula? Ini bukan soal kecil, Sute, karenanya aku sengaja mencarimu agar kau suka membantuku, demikian pula kita harus mendatangi semua ketua partai persilatan itu untuk bersama-sama menghadapi mereka itu.”

“Siapakah sebetulnya mereka itu, Suheng? Dan orang-orang macam apakah mereka itu.”

“Aku sendiri belum pernah bertemu dengan mereka akan tetapi aku sudah rnendapat keterangan serba terbatas tentang mereka. Kabarnya mereka itu adalah saudara-saudara segolongan. Yang pertama bernama atau berjuluk Hek-te-ong (Raja Tanah Hitam), yang kedua berjuluk Pek-in-ong (Raja Awan Putih) dan yang ketiga berjuluk Cheng-hai-ong (Raja Laut Hijau). Mereka datang dari barat dan begitu datang mereka merobohkan semua tokoh Mo-kauw sehingga para tokoh Mo-kauw itu takluk dan mengangkat mereka menjadi pemimpin dan menyebut mereka Thian-te Sam-kauwcu (Tiga Ketua Agama Bumi dan Langit). Selain itu, rnereka mengajar agama baru yang berpusat pada penyembahan dan pemujaan terhadap Bumi, Langit dan Laut. Selanjutnya aku tidak mendengar jelas dan karenanya aku ingin menyelidikinya sendiri.”

“Sekarang apa yang hendak kau lakukan Suheng?”

“Aku hendak mengajak engkau untuk membantuku membubarkan sarang murid dari Thian-te Sam-kauwcu.”

“Sarang dari muridnya? Di sini?”

“Ya, di lembah Huang-ho sebelah selatan itu. Kira-kira lima puluh li dari sini. Thian-te Sam-kauwcu menyebar anak buahnya untuk mendirikan cabang di mana-mana untuk membujuk dan mengadakan hubungan dengan orang-orang kang-ouw. Dengan secara kebetulan sekali aku mendengar bahwa muridnya, Hek Pek Mo-ko, bersarang di daerah ini. Aku tidak tahu sampai dimana kelihaian mereka, namun mendengar akan kehebatan kepandaian Thian-te Sam-kauwcu, aku tidak mau berlaku sembrono dan lebih menguntungkan kalau kau ikut serta.”

Han Le merasa agak terheran. Ia percaya akan kepandaian suhengnya yang sepuluh kali lipat lebih tinggi daripada kepandaiannya, mengapa suhengnya mengajaknya?

“Suheng, bukankah kau mengajak aku untuk menjadi saksi agar sepak terjangmu terhadap mereka itu tidak akan disalah-tafsirkan oleh tokoh-tokoh kang-ouw?”

Bu Pun Su tersenyum.
“Kau makin cerdik, Sute. Memang demikianlah. Kita tahu bahwa sejak dulu Hek Pek Mo-ko biarpun menjadi tokoh Mo-kauw yang amat terkenal, namun belum pernah dua orang itu mengganggu kita orang-orang kang-ouw, bahkan mereka dapat disebut sebagai tokoh-tokoh Mo-kauw yang selalu menjauhkan diri dan menjaga agar jangan sampai timbul bentrokan antara mereka dengan Beng-kauw. Akan tetapi sekarang aku hendak menyelidiki dan kalau perlu membasmi sarang mereka, maka amat baik kalau kau ikut menyaksikannya.”






Berangkatlah dua orang sakti ini menuju ke tempat yang dimaksudkan oleh Bu Pun Su. Tempat yang dimaksudkan itu adalah sebuah dusun di tepi Sungai Huang-ho, yang dikelilingi oleh hutan-hutan kecil dan kelihatannya menyeramkan.

Begitu kedua orang ini tiba di luar dusun mereka berjalan biasa saja. Berturut-turut, beberapa orang dusun, ada yang berpakaian seperti petani ada pula seperti nelayan, bertemu dengan mereka.

Setiap orang dusun ini melayangkan pandang mata dan mereka ini kelihatan bercuriga. Bahkan ada beberapa orang nelayan yang masih muda dan kelihatannya kuat-kuat diam-diam mengikuti Han Le dan Bu Pun Su. Tentu saja dua orang sakti ini mengetahui hal itu, akan tetapi mereka berpura-pura tidak melihat dan berjalan dengan biasa dan tenang.

Sebuah kelenteng besar yang berada di dusun itu sungguh tidak sesuai dengan rumah-rumah penduduk yang kecil lagi miskin. Kelenteng ini agaknya belum lama diperbarui dan anehnya, yang kelihatan membersihkan kelenteng itu bukanlah hwesio-hwesio seperti pada kelenteng-kelenteng lain, melainkan orang-orang dusun, laki-laki perempuan yang bekerja di halaman depan, di kanan kiri dan di dalam kelenteng itu!

Mereka ini ketika melihat Bu Pun Su dan Han Le memasuki pekarangan kelenteng, segera melarikan diri ke dalam kelenteng seperti orang ketakutan. Bu Pun Su tersenyum dan berbisik kepada Han Le,

“Lihat, Sute, betapa besar pengaruh dan kekuasaan mereka. Agaknya rakyat dusun juga terkena tipu daya mereka dan sudah mulai memeluk agama baru itu.”

Han Le memandang ke dalam kelenteng. Dari pintu yang terbuka, kelihatan tiga buah arca sebesar manusia, merupakan tiga orang laki-laki tua yang pakaiannya seperti hwesio-hwesio dari Tibet, bertubuh tinggi besar dan angker. Yang tengah benar-benar amat tinggi besar seperti raksasa, yang berdiri di kiri agak kurus sehingga mukanya seperti tengkorak, sedangkan yang berdiri di kanan punggungnya bongkok dan matanya sipit sekali seperti meram.

“Itulah agaknya patung-patung Thian-te Sam-kauwcu yang dipuja-puja semua pengikutnya,” kata Bu Pun Su pula kepada Han Le.

Dari pintu dalam muncullah dua orang dan Han Le hampir tertawa geli ketika ia melihat dua orang itu. Yang seorang bertubuh pendek dan kate sama sekali, telinganya besar seperti telinga gajah, pakaiannya serba hitam. Adapun orang ke dua bertubuh tinggi besar, telinganya kecil seperti telinga tikus, sedangkan pakaiannya serba putih.

Usia mereka kurang lebih empat puluh tahun dan dari mata mereka, Han Le dapat menduga bahwa mereka adalah ahli-ahli lwee-keh yang memiliki kepandaian tinggi. Juga, melihat pakaian mereka biarpun ia belum pernah bertemu dengan dua orang ini, Han Le dapat menduga bahwa mereka tentulah Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko.

Hek Mo-ko yang bertubuh kecil pendek itu tertawa bergelak melihat dua orang pendekar itu.

“Ha, ha, ha, selamat datang, Bu Pun Su dan Han Le, Ji-wi Tai-hiap! Sungguh kami mendapat kehormatan besar sekali dengan kunjungan Ji-wi ini, dan ketiga orang guru besar kami tentu akan berterima kasih sekali!”

Bu Pun Su dan Han Le tertegun. Bagaimana dengan sekali pandang saja iblis hitam kate itu dapat mengenal mereka? Padahal selamanya mereka belum pernah bertemu muka dengan sepasang iblis hitam putih ini dan keadaan Bu Pun Su maupun Han Le tidak sedemikian aneh seperti Hek Mo-ko sehingga mudah dikenal orang.

Berbeda dengan Hek Mo-ko yang suka tertawa dan mukanya lucu, Pek Mo-ko selalu bersungut-sungut dan wajahnya murung.

“Kalian ini orang-orang Beng-kauw ada urusan apakah mengunjungi kami yang kalian anggap sebagai orang-orang busuk dari Mo-kauw?” tanyanya sambil memandang tajam dengan sepasang matanya yang sipit.

Bu Pun Su tidak biasa memutar-mutar omongan dan ia selalu bicara dan bertindak secara langsung. Sambil tersenyum ia berkata terus terang,

“Hek Pek Mo-ko, baru kali ini kita kebetulan saling bertemu dan keadaan kalian ternyata tetap dan sesuai sekali dengan nama kalian yang terkenal jahat dan aneh. Ketahuilah, aku dan suteku ini datang ke sini karena kami mendengar tentang adanya tiga orang See-thian yang kini mencengkeram Mo-kauw, tiga orang See-thian yang sombong dan bercita-cita menaklukkan dunia kang-ouw kita. Aku mendengar pula tentang hilangnya kitab rahasia dari Siauw-lim-pai dan pedang pusaka dari Kun-lun-pai, dan aku mendengar pula bahwa banyak tokoh Mo-kauw yang tadinya biarpun berbeda paham dengan Beng-kauw namun tetap menjaga kegagahan, sekarang bersaing dan berebut untuk menikah dengan gadis-gadis muda, yang tentu saja dipaksanya! Dan aku mendengar pula bahwa kalian iblis-iblis tua ini pun telah menikah.”

Pek Mo-ko mengeluarkan suara gerengan dari tenggorokannya akan tetapi Hek Mo-ko tertawa geli. Suara ketawanya mula-mula rendah dan perlahan, akan tetapi makin lama makin meninggi dan nyaring sehingga menyakitkan telinga.

Mendengar ini saja Han Le maklum bahwa lwee-kangnya dari Hek Mo-ko ini amat tinggi sehingga dia sendiri belum tentu dapat menandinginya.

“Bu Pun Su, baru kali ini aku mendengar kau menaruh perhatian kepada nasib golongan Mo-kauw! Ada apakah kau mencampuri urusan dunia orang golongan kami? Memang guru besar kami telah datang, sengaja dari barat mereka datang untuk memberi bimbingan kepada kami dan untuk menjaga agar kami tidak selalu dihina dan dipandang rendah oleh golongan lain. Apakah kau iri hati? Ha, ha, ha, agaknya kau benar-benar iri hati, apalagi tentang pernikahan-pernikahan kami dengan gadis-gadis muda yang cantik manis, karena kau sendiri sampai tua tidak laku, ha, ha, ha!”

“Ngaco!” Han Le membentak marah. “Bagaimana jawabanmu tentang hilangnya kitab rahasia Siauw-lim-pai dan pedang pusaka Kun-lun-pai?”

Hek Mo-ko memandang kepada Han Le dan tersenyum sindir.
“Hilangnya kitab dan pedang, ada hubungan apakah dengan kami? Kau dan suhengmu ini terkenal sebagai orang-orang sakti, masa untuk mencari benda-benda yang hilang harus bertanya kepada kami? Carilah sendiri kalau memang pandai.”

“Baiklah, Hek Pek Mo-ko, aku akan mencari ke dalam kelenteng ini!” kata Bu Pun Su.

“Jangan kau berani menginjak kotor tempat suci kami…!” kata Pek Mo-ko marah dan ia bergerak untuk menghalangi.

Akan tetapi ia melongo karena gerakan Bu Pun Su luar biasa cepatnya sehingga sebelum Pek Mo-ko tiba di depan pintu untuk menghadang, Bu Pun Su sudah berkelebat masuk ke dalam kelenteng!

Pek Mo-ko hendak mengejar ke dalam, akan tetapi tiba-tiba tangannya dipegang oleh Hek Mo-ko.

“Sute, tak perlu dikejar, biarkanlah dia melihat-lihat tempat kita!”

Tadinya Han Le sudah bersiap-siap untuk bertempur, akan tetapi melihat mereka tidak jadi mengganggu Bu Pun Su, ia pun diam saja, berdiri tenang sambil tersenyum.

Dengan cepat sekali Bu Pun Su memasuki kelenteng. Tiga orang yang agaknya menjadi pelayan atau pembantu Hek Pek Mo-ko, orang-orang lelaki yang berpakaian seperti pendeta dan gerakannya cepat dan kuat, maju menubruknya.

Akan tetapi mereka berseru kaget sekali dan bulu tengkuk mereka berdiri ketika tiba-tiba mereka bertiga itu terjengkang ke belakang sebelum tangan mereka menyentuh pakaian Bu Pun Su, seakan-akan ada tenaga aneh keluar dari pendekar sakti ini yang mendorong mereka ke belakang!

Bu Pun Su tidak pedulikan mereka, terus ia menyelidiki keadaan di dalam kelenteng dengan mata yang awas dan tajam. Setiap kamar diselidikinya, akan tetapi ia tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Kalau kitab dan pedang itu disembunyikan di dalam kelenteng, kiranya takkan terlepas dari pandang mata pendekar ini.

Di dalam dua kamar, ia melihat dua orang wanita cantik yang masih muda dan bermuka pucat. Mereka ini tidak menjerit melihat dia datang, hanya memandang dengan mata terbelalak.

“Apakah kau isteri Hek Mo-ko?” tanyanya kepada wanita di dalam kamar pertama.

Wanita itu menggeleng kepalanya,
“Aku isteri Pek Mo-ko, kau siapakah berani berlancang memasuki kamarku?”

Kemudian wanita ini tertawa menyeringai sehingga muka yang tadinya cantik ini berubah seperti muka iblis. Bu Pun Su berdebar kaget. Ternyata isteri Pek Mo-ko ini agak miring otaknya! Ia tidak bertanya lebih lanjut dan ketika ia bertemu dengan wanita ke dua di kamar lain ia bertanya pula,






Tidak ada komentar :