*

*

Ads

Rabu, 18 April 2012

Ang I Niocu Jilid 015

Kita kembali ke dusun Sui-chun yang sungguhpun hanya sebuah dusun namun besar menyerupai kota yang cukup ramai. Di rumah keluarga Song pada malam hari itu amat sunyi. Song Lo-kai, atau sekarang lebih terkenal dengan sebutan Song-lo-wangwe karena ia memang kaya raya, sudah tidur pulas. Para pelayan juga sudah tidak kelihatan lagi.

Akan tetapi kalau orang mau menengok ke dalam taman bunga yang luas di belakang gedung itu, ia akan melihat bahwa di dalam kebun itu masih ada beberapa orang bercakap-cakap. Mereka ini bukan lain adalah Song Bi-Li, Ceng Si pelayannya, dan seorang pemuda yang tampan. Pemuda ini bukan lain adalah Cia Sun, siucai miskin yang mencinta Bi Li. Atas bantuan Ceng Si pelayan dari nona itu, Cia Sun pada malam hari ini berhasil memasuki taman.

Tadinya Song Bi Li terkejut, marah dan amat khawatir melihat pemuda itu lancang memasuki tamannya, akan tetapi Cia Sun segera menjatuhkan diri berlutut sambil menangis tersedu-sedu!

“Song-siocia, kau benar-benar berhati kejam. Ambillah sebatang pedang dan bunuhlah saja Cia Sun yang miskin dan malang ini. Untuk apa hidup lebih lama lagi di dunia ini?” Demikian Siucai tampan itu menangis.

Song Bi Li yang masih hijau itu tentu saja dapat dikelabuhi dan merasa amat terharu.
“Cia-siucai, mengapa kau begini berduka? Jangan begitu dan kau pergilah, kalau Kong-kong tahu bahwa kau masuk ke sini, kau tentu akan mendapat kesukaran.”

“Lebih baik diketahui oleh Kong-kongmu agar aku dibunuh! Song-siocia, kau benar-benar kejam sekali. Bagaimana kau dapat menerima pinangan orang lain? Kalau kau menjadi isteri orang lain, bagaimana dengan aku, Cia Sun yang bodoh dan miskin?”

Song Bi Li menjadi merah mukanya. Ia bingung dan bibirnya gemetar, tidak tahu bagaimana harus menjawab. Akhirnya Ceng Si yang mewakili nonanya bicara,

“Cia-kongcu, sudahlah jangan kau terlalu berduka. Nona terpaksa menerima kehendak kong-kongnya, karena dalam pernikahan, apakah daya seorang gadis terhadap kehendak orang tua? Adapun tentang kau, Kongcu, Siocia tentu saja takkan melupakan begitu saja. Bahkan Siocia sudah berjanji kepadaku untuk memberi bekal padamu agar kau melanjutkan pelajaranmu di kota raja, agar kelak kau bisa meniadi seorang berpangkat.”

Cia Sun menangis lagi.
“Bagaimanakah seorang miskin seperti aku ini dapat melanjutkan pelajaran di kota raja? Tidak saja biaya perjalanan ke sana amat besar, juga penghidupan di kota raja amat mahal. Apakah kau ingin aku menjadi seorang pengemis kelaparan disana?”

“Bukan begitu, Cia-sicu,” kata Bi Li, “Biarpun aku tidak terlalu kaya, akan tetapi kiranya aku akan dapat membantumu. Aku sudah merencanakan hal ini dengan Ceng Si, dan inilah sedikit uang untuk bekal di perjalanan, kalau kiranya tidak mencukupi, kelak dengan perantaraan Ceng Si, aku akan dapat membantumu lagi.”

Sambil berkata demikian, Bi Li rnemberi tanda dengan matanya kepada Ceng Si. Pelayan ini lalu mengeluarkan sekantung uang emas yang memang disediakan oleh nonanya, memberikan itu kepada Cia Sun.

Pemuda itu menerimanya lalu berpura-pura marah dan berduka. Ia melemparkan kantung uang itu ke atas lalu menjambak-jambak rambutnya sendiri.

“Apa artinya uang bagiku? Apa artinya kalau aku bisa melanjutkan pelajaran sehingga menerima pangkat tinggi sekalipun? Apa artinya hidup tanpa kau di sampingku, Song-siocia? Cinta kasihku tidak semurah ini, tidak akan terbeli oleh harta dunia, takkan dapat ditukar dengan emas segunung Thai-san!”

“Cia-siucai, harap kau dapat berpikir lebih panjang dan jangan membikin susah padaku,” kata Bi Li. “Memang sudah menjadi kehendak Thian bahwa di dunia ini kita tidak berjodoh. Harap kau suka menaruh kasihan kepadaku. Terimalah uang itu dan kelak akan kutambah sewaktu-waktu kau memerlukannya.”

Pada saat itu kelihatan sinar lampu di kamar Kakek Song yang tadinya padam gelap.

“Nah, Loya agaknya bangun…” kata Ceng Si ketakutan.






“Cia-siucai, lekas pergi, Kong-kong bangun…” kata Bi Li.

Ceng Si mengambil kantung uang itu dan menarik tangan Cia Sun menuju ke pintu taman. Pemuda ini cepat-cepat membawa kantung uang itu dan keluar dari taman.

“Ceng Si, jangan lupa bujuk dia memberikan mainan indah, hiasan rambut berupa kupu-kupu dan bunga cilan yang ia terima dari calon suaminya itu,” katanya perlahan ketika mereka hendak berpisah.

Ceng Si mengangguk.
“Asal kau jangan lupa kelak mengawiniku,” jawabnya.

Kemudian pemuda itu menyelinap di dalam gelap, sedangkan Ceng Si kembali ke dalam taman.

Akan tetapi, baru saja beberapa langkah Cia Sun berjalan dengan hati girang sambil membawa sekantung uang emas itu, tiba-tiba menyambar bayangan yang amat ringan. Cia Sun terkejut sekali ketika melihat bayangan orang menyambar turun di depannya dan tercium bau yang amat harum olehnya.

Saking kagetnya hampir saja ia berteriak, akan tetapi begitu bayangan itu mengulur tangan dan jari-jari yang halus menyentuh lehernya, pemuda ini tidak dapat mengeluarkan apa-apa. Jalan darah Ah-tai-hiat di lehernya telah ditotok! Maka ia hanya dapat memandang dengan mata terbelalak.

“Hm, kau hendak mempermainkan seorang gadis kaya? Bagus sekali, orang macam kau harus dicokel kedua matanya!” terdengar bentakan yang halus merdu, “Kau rebah dulu disini, hendak kulihat gadis macam apa dia yang hendak kau permainkan itu.”

Kembali jari-jari halus bergerak menotok pundak dan robohlah Cia Sun, roboh dengan tubuh lemas tak dapat bergerak, karena kini jalan darah Thian-hu-hiat yang ditotok secara istimewa sekali. Cia Sun tidak tahu siapa yang melakukan perbuatan ini, karena keadaan amat gelap. Hanya ia tahu bahwa orang itu adalah seorang wanita yang memiliki suara merdu, serta berbau harum sekali.

Wanita ini bukan lain adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, murid terkasih dari Thian-te Sam-kauwcu. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ia telah dikalahkan oleh Bu Pun Su dan berhasil melarikan diri sambil melepas semacam alat peledak yang menimbulkan asap hitam tebal.

Akan tetapi, setelah melarikan diri beberapa hari kemudian ia merasa seperti selalu dikejar-kejar atau diikuti oleh Bu Pun Su! Sungguhpun ia tidak pernah melihat pendekar sakti ini mengikutinya, namun perasaannya selalu tidak enak dan demikianiah, malam hari itu ia terus melanjutkan perjalanannya sampai di dusun Sui-chun.

Melihat rumah gedung Song Lo-kai, ia tertarik dan ingin mencuri masuk dan beristirahat di situ, secara kebetulan ia melihat pertemuan antara Song Bi Li dan Cia Sun dan kemudian ia membikin pemuda itu tidak berdaya.

Pek Hoa Pouwsat atau lebih singkat disebut Pek Hoa karena memang demikianlah nama asalnya, melompat ringan dan tiba kembali di dalam taman bunga. Keadaan di situ hanya remang-remang belaka maka ia tidak dapat melihat jelas bagaimana wajah Bi Li, Ceng Si dan juga Cia Sun. Kini setelah Cia Sun pergi Bi Li berani menyuruh pelayannya menyalakan lampu taman sehingga keadaan di situ terang.

Melihat wajah Bi Li, Pek Hoa amat kagum. Tak terasa ia berseru,
“Ayaa, tidak tahunya gadis ini cantik jelita sekali…”

Suaranya terdengar oleh Bi Li dan Ceng Si sehingga dua orang gadis itu terkejut sekali. Selagi mereka bingung dan terheran-heran, muncullah Pek Hoa dari balik batang pohon, muncul bagaikan seorang peri, cantik jelita dan menyiar kan bau harum melebihi bunga-bunga di taman.

Ceng Si buru-buru berlutut.
“Ampunkan hamba, Pouwsat yang baik…” ratapnya.

Pek Hoa tersenyum lalu berkata,
“Memang, orang yang mengandung dosa di hatinya paling mudah ketakutan dan paling mudah minta ampun kepada Kwan Im Pouwsat!”

Tadinya Bi Li tertegun dan ia pun amat kagum melihat seorang wanita yang demikian cantiknya. Kini melihat sikap Ceng Si dan mendengar kata-kata Pek Hoa, timbul dugaannya bahwa memang yang datang ini tentulah Dewi Welas Asih Kwan Im Pouwsat yang sering muncul di dalam dongeng kuno. Maka ia pun lalu melanjutkan diri berlutut di depan Pek Hoa.

“Hamba mohon berkah dari Kwan Im Pouwsat yang mulia,” kata gadis ini perlahan.

Pek Hoa melangkah maju dan mengangkat bangun gadis itu.
“Song-siocia, bangunlah. Aku memang seorang dewi, akan tetapi bukan Kwan-Im Powsat, melainkan Pek Hoa Pouwsat. Kau cantik sekali, Nona. Siapakah namamu?”

Bi Li mengangkat muka dan memandang dengan terheran. Mengapa sikap seorang dewi kahyangan seperti ini? Begini biasa seperti sikap seorang gadis biasa? Akan tetapi alangkah cantik jelitanya, alangkah harum baunya.

“Nama hamba Song Bi Li, dan tentang kecantikan… biarpun hamba mendapat berkah Kwan Im Pouwsat, namun kalau dibandingkan dengan Paduka, hamba kalah jauh….”

Bukan main girangnya hati Pek Hoa Pouwsat. Gadis ini memang semenjak usia belasan tahun, amat gila untuk menjadi cantik dan selalu ia merasa khawatir kalau kecantikannya sampai berkurang atau hilang.

Oleh karena ini, dengan kepandaiannya, ia berhasil menemukan cara pengobatan untuk merawat kecantikannya, bahkan untuk membuat ia kelihatan selalu muda belia. Oleh karena inilah maka biarpun usianya sudah tiga puluhan, ia masih kelihatan seperti seorang gadis muda yang demikian ayu, tentu saja ia merasa amat terpuji dan bangga.

Dengan hati bangga dan girang ia menggandeng tangan Bi Li, kemudian ia bergerak cepat dan tahu-tahu Ceng Si telah kena ditotok sehingga menjadi kaku seperti patung. Akan tetapi dalam pandangan mata Bi Li, ia hanya melihat Pek Hoa menunjuk dengan jarinya ke arah Ceng Si yang masih berlutut dan pelayannya itu lalu menjadi kaku!

“Jangan bergerak dan berlutut di situ sampai kami selesai bercakap-cakap!” kata Pek Hoa.

Peristiwa ini membuat Bi Li makin percaya bahwa ia sedang bercakap-cakap dengan seorang dewi tulen! Ia menurut saja ketika Pek Hoa mengajaknya duduk di atas bangku-bangku yang dipasang di dekat kolam ikan emas, di bawah penerangan lampu minyak yang berwarna merah.

“Bi Li, biarlah selanjutnya aku menyebut namamu saja, dan kau boleh menyebutku cici,” kata Pek Hoa.

Bi Li terkejut. Bagaimana ia boleh menyebut cici (kakak) kepada seorang bidadari?
“Akan tetapi…”

“Jangan membantah. Ini perintahku, mengerti? Aku lebih tua daripadamu.”

Bi Li menjadi berani mendengar ini.
“Akan tetapi, sesungguhnya kau kelihatan lebih muda dariku, maka lebih pantas kalau aku menyebut moi-moi.”

Pek Hoa memandang tajam sambil tersenyum girang sekali.
“Adikku yang baik! Betul-betulkah kata-katamu ini?”

“Bagaimana aku berani membohong? Begini cantik jelita, seperti bunga baru mekar, paling banyak usiamu tujuh belas tahun dan aku sudah delapan belas!” jawab Bi Li.

Pek Hoa tertawa geli, akan tetapi girang sekali hatinya. Dipuja oleh laki-laki, baginya tidak aneh dan dianggapnya bahwa semua laki-laki hanya tukang membohong untuk membujuk dan mengambil hati, akan tetapi dipuji oleh seorang gadis yang begini cantik ini lain lagi.

“Tidak, Li-moi aku lebih tua. Usiaku sudah… sembilan belas tahun. Li-moi, sebetulnya kedatanganku ini hendak memberi berkah dan pertolongan kepadamu dengan Siucai she Cia itu, akan tetapi aku lebih suka mendengar dari mulutmu sendiri. Sebenarnya, apakah yang terjadi antara kau dan dia?”

Bi Li terkejut, akan tetapi ketika ia teringat bahwa ia berhadapan dengan seorang bidadari, ia tidak merasa aneh, bahkan tidak malu-malu untuk membuat pengakuan.

“Aku sudah lama kenal dengan Cia-siucai, Cici Pek Hoa. Dan dia itu… dia menyatakan cinta kepadaku.”

“Apa kau tidak cinta kepadanya?”

Bi Li termenung dan ragu-ragu.
“Entahlah, Cici, kau lebih tahu tentunya. Aku tidak mengerti tentang cinta ini.”

“Teruskan, lalu bagaimana?”

“Kemudian, atas kehendak Kong-kong, aku harus menikah dengan seorang she Kiang dari kota Sian-koan, seorang pemuda gagah perkasa yang pernah menolong nyawa Kong-kong.”

“Dan kau tidak suka kepadanya?”






Tidak ada komentar :