*

*

Ads

Rabu, 18 April 2012

Ang I Niocu Jilid 016

Kembali Bi Li termenung bingung.
“Ini pun aku tidak bisa memastikan, Cici. Kelihatannya dia gagah dan baik budi, juga… tampan, bahkan lebih tampan daripada Cia-siucai. Karena aku tidak mungkin menolak kehendak Kong-kong, tadi Cia-siucai datang, menyatakan kehancuran hatinya dan hendak nekat membunuh diri. Baiknya aku dan pelayanku Ceng Si dapat membujuknya agar dia melanjutkan sekolah di kota raja dan akulah yang akan membiayainya sampai tercapai maksudnya. Calon suamiku itu orang yang amat kaya, sedangkan Kong-kong juga bukan orang miskin, maka kiraku jalan inilah yang terbaik, yakni untuk menghibur hatinya.”

Pek Hoa mengangguk-angguk.
“Kau anak baik, dan kau amat cantik jelita. Kau layak hidup bahagia dan mendapatkan seorang suami yang baik dan tampan. Kau bilang tadi calon suamimu lebih cakap daripada Cia-siucai?”

Merah muka Bi Li, akan tetapi dia mengangguk.
“Bukan aku saja yang menganggap demikian, Cici, juga pelayanku Ceng Si menganggap demikian pula.”

“Dan kau bilang gagah perkasa? Apakah dia itu pandai ilmu silat?”

“Tentunya pandai. Kong-kong pernah bilang kepadaku bahwa dia adalah murid dari seorang sakti dan aneh yang bernama Han Le yang menjadi murid dari seorang sakti yang dipuja-puja Kong-kong, yakni mendiang Ang-bin Sin-kai. Akan tetapi aku sendiri tidak kenal siapa adanya orang sakti yang bernama Han Le itu.”

Kalau Pek Hoa tidak tinggi ilmunya. dan dapat mengerahkan lwee-kang dan menyalurkan darah ke mukanya, tentu Bi Li akan melihat perubahan air mukanya ketika ia mendengar nama Han Le ini.

“Jadi calon suamimu itu she Kiang dan tinggal di kota Sian-koan?” tanya pula.

Bi Li mengangguk, Pek Hoa berdiri, memandang wajah Bi Li sekali lagi lalu berkata,
“Adikku yang manis kelak kalau kau sudah punya anak, mungkin kita bertemu lagi karena aku ingin sekali melihat wajah anakmu.”

Bi Li hendak menjawab, akan tetapi tiba-tiba dengan sekali menggerakkan kaki, Pek Hoa sudah melompat di depan Ceng Si, membebaskan totokannya kepada tubuh pelayan ini dan sekali berkelebat ia lenyap dari pandangan mata!

Ceng Si menjatuhkan diri berlutut mengangguk-anggukkan kepalanya seperti ayam makan padi, sambil mengeluh panjang pendek,

“Pouwsat yang mulia, ampunkan hamba… jangan mencabut nyawa hamba…”






Bi Li juga menjatuhkan diri berlutut mulutnya berkemak-kemik menghaturkan terima kasih kepada bidadari yang mengaku kakak kepadanya itu. Kemudian terpaksa ia menyeret Ceng Si berdiri karena pelayan yang ketakutan ini masih saja berlutut sambil sesambatan.

Kita ikuti perjalanan Pek Hoa. Setelah melompat keluar dari taman bunga keluarga Song, ia menghampiri Cia Sun. Sekali tepuk saja ia sudah membikin pemuda ini sadar kembali.

Sebelum Cia Sun sempat membuka mulut, tahu-tahu ia merasa tubuhnya terapung tinggi dan ternyata ia telah dikempit dan dibawa lari oleh Pek Hoa. Setibanya di tempat terang, yakni sudut jalan yang diterangi oleh lampu, Pek Hoa menurunkan pemuda itu, memandangi wajah dan tubuhnya. Agaknya ia puas dan senyumnya manis sekali.

Di lain pihak, Cia Sun menjadi bengong, terpesona ia oleh kecantikan gadis ini dan bau harum yang luar biasa mendebarkan jantungnya.

“Hm… kau tampan juga…” terdengar gadis itu berkata sambil meraba-raba pipinya.

Dari takut dan kaget, Cia Sun menjadi girang. Tak disangkanya bahwa orang yang disangkanya setan dan yang sudah mengganggunya itu adalah seorang gadis muda yang demikian cantik jelitanya bahkan jauh lebih cantik daripada Ceng Si, juga lebih cantik menarik daripada Bi Li yang pendiam dan malu-malu. Gadis ini sebaliknya kelihatan “berani” sekali, berani memuji ketampanannya, bahkan berani membelai-belai pipinya.

“Aduh, Nona. Bukankah kau bidadari dari kahyangan yang turun dari bulan purnama? Apakah hendak mencabut nyawa hamba…?” katanya setengah bergurau.

Melihat pandangan mata Cia Sun, pandangan mata yang penuh arti, sekonyong-konyong Pek Hoa menjadi jemu. Wanita ini semenjak usia belasan tahun sudah sering kali bertukar kekasih, hidupnya demikian busuk dan kotor, dan terkenal sebagai seorang wanita yang cabul.

Hubungannya dengan banyak sekali orang laki-laki membuat ia menjadi jemu apabila melihat sikap laki-laki yang kurang ajar dan melihat laki-laki binal dan ceriwis, ia menjadi bosan dan mual. Kalau sekiranya Cia Sun bersikap takut-takut atau malu-malu, atau marah-marah melihatnya, mungkin Pek Hoa akan jatuh hati kepada pemuda yang tampan ini.

Pek Hoa tidak membutuhkan laki-laki yang ceriwis, karena ia telah bosan dengan sikap seperti ini. Ia membutuhkan laki-laki yang alim, laki-laki yang tidak mudah tergoda oleh kecantikannya. Maka dengan sebal hati ia melemparkan tubuh Cia Sun ke pinggir jalan, merampas kantung uang pemberian Bi Li tadi, lalu pergi dengan cepat meninggalkan pemuda itu yang terlampau kaget dan takut untuk dapat mengeluarkan suara!

Baru saja bayangan Pek Hoa berkelebat pergi, di belakangnya kira-kira sepuluh tombak jauhnya, berkelebat bayangan lain yang tidak kalah gesitnya, yang mengikuti perjalanan gadis itu secara diam-diam tanpa diketahui oleh yang diikutinya.

**** 016 ****





Tidak ada komentar :