*

*

Ads

Rabu, 18 April 2012

Ang I Niocu Jilid 017

Kiang Liat merasa berbahagia sekali. Tak pernah disangka-sangkanya bahwa nasibnya demikian baik dan menyenangkan. Tidak saja ia beruntung bertemu dengan pengemis sakti Han Le dan menjadi muridnya selama satu tahun mewarisi ilmu kepandaian yang amat tinggi sehingga kepandaiannya yang sudah lihai itu menjadi makin maju, juga terutama sekali ia bertemu dengan Song Lo-kai dan diambil cucu mantu.

Yang membuat ia benar-benar merasa bahagia adalah ketika ia bertemu dengan Song Bi Li. Siapa pernah mengira bahwa cucu seorang kakek bekas pengemis demikian cantik jelitanya? Tidak hanya cantik, juga sikapnya demikian halus lemah-lembut, menimbulkan kasih sayang dan begitu bertemu muka, Kiang Liat terus saja jatuh cinta!

Ia telah mempersiapkan segala keperluan untuk menghadapi pernikahannya yang akan dilangsungkan beberapa hari lagi. Ia telah mengatur rumahnya yang selama ini hanya ia tinggali bersama inang pengasuhnya, telah mengatur semua persiapan agar isterinya kelak suka dan kerasan tinggal di rumahnya ini.

Kemudian ia menyuruh inang pengasuhnya dan beberapa orang pembantu dari kotanya untuk berangkat lebih dulu ke Sui-chun, ke rumah keluarga Song untuk membuat segala persiapan. Ia sendiri sibuk membagi-bagikan undangan kepada sahabat-sahabat baiknya agar mereka suka datang dan mengantarnya ke Sui-chun untuk menambah kegembiraan.

Persiapan terakhir telah dilakukan dan Kiang Liat merasa gembira sekali. Besok pagi-pagi ia akan berangkat ke Sui-chun, bersama beberapa belas orang kawan-kawan baik yang akan menjadi pengiringnya. Sehari itu ia telah pergi jauh ke luar kota, mengunjungi kawan-kawannya yang paling jauh rumahnya. Ia merasa agak lelah ketika sore hari itu ia pulang, melompat turun dari kudanya yang indah, menuntun kuda itu dan menghampiri pintu depan.

Karena di rumahnya telah kosong tidak ada orang lain, maka rumah itu pintunya selalu ditutup. Semua pelayan telah dikirim ke Sui-chun agar setelah pernikahan dilangsungkan dapat mengiringkan sepasang pengantin itu pulang ke Sian-koan. Oleh karena itu, selama beberapa hari ini, Kiang Liat tinggal seorang diri di rumahnya.

Akan tetapi, kesepian ini takkan lama lagi, hanya tinggal semalam lagi dan besok pagi-pagi ia akan berangkat ke rumah calon isterinya! Berpikir sampai di sini, terutama membayangkan wajah Bi Li yang cantik manis, Kiang Liat menjadi berseri wajahnya.

Sambil tersenyum-senyum ia membuka pintu. Ia tidak tahu bahwa semenjak tadi, sepasang mata yang bening dan indah selalu mengintainya dan mata ini bersinar-sinar ketika melihat potongan tubuh pemuda yang amat ganteng ini, tubuh yang tegap dan gagah, wajah yang tampan dengan kulit muka putih bersih, sepasang alis yang hitam tebal berbentuk golok melindungi sepasang mata yang lebar dan bersinar-sinar penuh semangat. Memang Kiang Liat seorang pemuda yang amat gagah dan tampan.

Setelah meninggalkan kudanya di depan pintu, Kiang Liat masuk ke dalam rumah sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Ia hendak mandi, berganti pakaian, kemudian keluar lagi. Memang tidak enak duduk seorang diri di dalam rumah tanpa kawan, apalagi menghadapi peristiwa yang demikian hebat, yakni pernikahannya dengan Nona Song Bi Li! Ia hendak pergi ke beberapa orang sahabat baiknya, mengajak mereka datang ke sini lalu memesan makan minuman dari rumah makan.

Akan tetapi, ia masih belum tahu bahwa pada saat itu, sepasang mata bening dan jeli terus mengintainya! Mata yang memandangnya penuh kekaguman, penuh nafsu, dan kadang-kadang penuh kebencian!

Kiang Liat melangkah tegap ke arah kamarnya, mendorong daun pintu kamar tidurnya, melangkah masuk dan….

“Siapa kau…?” tanyanya terkejut sekali dan terheran-heran.

Di atas pembaringannya duduk seorang gadis yang berpakaian indah, seorang gadis sebaya dengan Bi Li yang cantik sekali, yang duduk menggoyang-goyangkan kedua kaki kecil yang tergantung dari pembaringan sambil miringkan kepala memandang kepadanya dan bibirnya tersenyum-senyum manis sekali!

Tadinya untuk sesaat Kiang Liat mengira bahwa inilah yang disebut orang siluman wanita, yang sering muncul dalam dongeng-dongeng, kalau tidak demikian, bagaimanakah seorang dara juita seperti itu tahu-tahu dapat memasuki kamar tidur seorang pemuda dan duduk di atas pembaringan dengan kakinya ongkang-ongkang dan senyum manis menantang?






Akan tetapi, ketika melihat gagang siang-kiam tersembul dari balik punggung gadis itu Kiang Liat berpikir lain. Tentu seorang gadis kang-ouw dan kedatangannya tentu mempunyai maksud tertentu, entah baik entah buruk, akan tetapi lebih condong kepada maksud yang tidak baik.

“Kau siapakah, Nona? Dan apakah kehendakmu memasuki kamarku?” tanyanya lagi, kini suaranya tidak sekeras tadi karena pemuda ini cepat dapat menekan perasaannya.

Ia tak dapat menyembunyikan kekagumannya melihat gadis yang demikian cantiknya dan pandang mata kagum ini menyenangkan hati gadis itu yang memperlebar senyumnya.

“Jawab dulu, senangkah kau melihat aku di kamar tidurmu?” gadis ini bertanya, suaranya merdu merayu dan pandang matanya mencuri hati dengan kerling tajam menyambar.

Kiang Liat mengerutkan keningnya.
“Bagaimana aku bisa menyatakan senang atau tidak kalau aku belum tahu siapa adanya kau ini dan apa keperluanmu datang ke sini?”

Gadis manis itu tertawa kecil.
“Kau betul juga, sekarang jawablah pertanyaan yang lebih mudah. Cukup cantikkah aku dalam pandanganmu?”

Kini merahlah wajah Kiang Liat. Hatinya berdebar. Selama hidupnya belum pernah ia melihat gadis secantik ini, kecuali Bi Li, dan gadis yang berani seperti ini. Akan tetapi, sikap genit dan kecabul-cabulan ini tidak menyenangkan hatinya. Kiang Liat bukan sebangsa pemuda pemogoran yang mudah menjadi gila melihat wajah cantik!

“Nona, omongan apakah ini? Aku bukan orang yang biasa menilai kecantikan orang lain! Sekarang katakan siapa kau dan apa perlumu masuk ke kamarku?”

Biarpun jawaban ini ketus dan membayangkan kemarahan hati, namun aneh sekali, gadis ini tidak marah, bahkan sebaliknya ia kelihatan gembira sekali.

“Ha, kau gagah ganteng, tampan dan baik sekali, tidak seperti segala macam hidung belang yang menjemukan!” gadis itu berseru, kemudian ia sekali menggerakkan tubuh telah melompat turun, gerakannya ringan sekali sehingga mengejutkan hati Kiang Liat.

“Kiang Liat, aku tahu siapa kau. Kau adalah murid dari Han Le si pengemis hina itu, bukan? Dan kau akan menikah dengan Nona Song Bi Li yang cantik jelita, bukan?”

King Liat kembali terkejut dan mengerutkan kening.
“Benar semua dugaanmu itu, sungguhpun aku tidak mengerti bagaimana kau bisa ketahui semua itu. Akan tetapi, siapakah kau, Nona?”

“Orang-orang di dunia barat biasa menyebutku Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, akan tetapi bagimu, kau boleh memanggil aku Pek Hoa saja, atau Hoa-moi, bukankah itu lebih enak dan manis terdengarnya?”

Kiang Liat belum pernah mendengar nama ini, akan tetapi sikap Pek Hoa yang makin binal dan genit ini, benar-benar menyebalkan hatinya. Ia tidak dapat menyangkal bahwa gadis ini amat cantik, lagi menyiarkan bau yang amat harum memenuhi kamarnya, akan tetapi kegenitan gadis ini melenyapkan kekagumannya.

Alangkah jauh bedanya dengan Bi Li calon isterinya! Biarpun dalam kecantikan, agaknya Bi Li sendiri pun tidak akan menang dari gadis luar biasa ini yang memiliki kecantikan seperti bidadari.

“Jangan kau mengacau tidak karuan!” Kiang Liat membentak marah. “Aku tidak kenal kau siapa dan tidak peduli tentang semua panggilan itu. Lekas katakan, apa maksudmu datang ke kamarku?” Pemuda ini sekarang menjadi curiga dan juga amat marah.

Watak Pek Hoa memang aneh. Kalau sekiranya Kiang Liat bersikap lemah seperti yang diperlihatkan oleh pemuda Cia Sun, kalau saja Kiang Liat terpesona oleh kecantikannya, memuji-mujinya dan mencoba untuk bersikap kurang ajar, mungkin sekali Pek Hoa akan menjadi sebal dan mungkin akan segera turun tangan membunuhnya, karena dia adalah murid Han Le yang amat dibenci oleh Pek Hoa. Di dunia ini hanya dua orang yang dibenci oleh Pek Hoa, yakni Bu Pun Su, dan Han Le, terutama sekali Bu Pu Su.

Akan tetapi, oleh karena sikap Kian Liat keras dan sama sekali tidak tunduk oleh kecantikannya, hati Pek Hoa menjadi runtuh! Baru sekarang gadis ini bertemu dengan seorang pemuda yang begini tampan dan gagah, yang tidak bertekuk lutut menghadapi kecantikannya. Inilah pemuda yang diidam-idamkannya, pemuda yang dicari-carinya! Maka, menghadapi bentakan yang penuh kemarahan dari Kiang Liat, ia menjadi makin tertarik dan makin gembira.

“Kiang Liat, kau menjadi makin gagah kalau marah-marah. Kau mau tahu mengapa aku datang ke kamar tidurmu? Karena aku tiba di rumah ini tidak melihat seorang pun manusia, maka aku memilih kamar tidur ini untuk mengaso.”

“Apa maksudmu mengunjungi aku?” tanya Kiang Liat gemas melihat sikap genit dan mendengar jawaban melantur itu.

“Kau adalah murid pengemis tua bangka Han Le dan dia itu musuhku maka tentu saja aku datang untuk mengambil nyawamu. Akan tetapi, melihat mukamu, aku menjadi kasihan sekali dan aku akan mengampuni dan tidak mengganggumu, sebaliknya aku ingin sekali membikin kau bahagia. Permusuhan antara kita akan hilang kalau saja kau mau membatalkan pernikahanmu dengan Song Bi Li dan sebagai gantinya, kau mengambil aku sebagai isterimu…”

“Tutup mulutmu yang kotor!” Kiang Liat marah sekali dan mencabut pedangnya. “Kau ini perempuan jalang berani sekali bermain gila di sini…?” Kian Liat benar-benar marah sehingga ia mendamprat gadis itu.

“Kiang Liat, butakah matamu? Buka matamu baik-baik dan lihatlah, apakah aku tidak lebih muda dan jauh lebih cantik daripada Bi Li. Selain lebih cantik, aku lebih gagah, lebih kaya! Kalau kau menjadi suamiku, apa yang kurang bagimu? Ingin senang? Aku cukup cantik dan aku tahu bagaimana untuk menyenangkan hatimu. Kau ingin hidup mewah? Kekayaanku jauh lebih besar daripada kekayaanmu atau kekayaan Bi Li. Atau kau menghadapi musuh-musuh besar? Tak usah khawatir, kalau aku Pek Hoa menjadi isterimu, tanpa aku turun tangan semua musuh-musuhmu akan melarikan diri tunggang-langgang!”

“Jangan ngoceh lagi! Lekas kau minggat dari sini, aku tidak sudi melihat mukamu atau mendengar suaramu! Pergi…!!”

Pek Hoa mulai marah. Pipinya yang halus dan putih itu kini menjadi merah. Ia tidak suka melihat laki-laki lemah yang mudah jatuh oleh kecantikan, akan tetapi ia pun tidak suka melihat laki-laki yang memandang rendah kecantikannya. Apalagi hinaan yang keluar dari mulut Kiang Liat sudah melampaui batas.

Kalau menuruti kemarahannya, ingin ia sekali turun tangan merampas nyawa pemuda ini, akan tetapi kalau ia memandang muka yang tampan dan gagah itu, hatinya tidak tega. Bagaimanapun juga, ia harus mendapatkan laki-laki ini sebagai suaminya atau sebagai kekasihnya. Sukar mencari seorang pemuda seperti Kiang Liat ini.

“Kalau aku tidak mau pergi, kau mau apa sih?” tanyanya sambil tersenyum mengejek.

“Aku akan memaksamu dengan pedangku!” Kiang Liat membentak.

“Aha, kau mau main-main senjata dengan nonamu? Mari-mari, anak manis, mari keluar, kita boleh main-main sedikit!”

Sambil berkata demikian, Pek Hoa melambaikan tangannya dan sekali berkelebat ia telah menerobos keluar dari jendela.

Diam-diam Kiang Liat terkejut sekali melihat gin-kang yang luar biasa ini, akan tetapi ia bukan seorang penakut. Cepat iapun melompat keluar melalui jendela, mengejar wanita aneh itu.

Ternyata Pek Hoa telah menantinya di luar rumah, di pekarangan yang lebar dan diterangi oleh lampu minyak yang tergantung di bawah genteng. Gadis ini memandang ringan sekali kepada Kian Liat. Karena pikirnya kepandaian Han Le saja ia tidak takut dan masih sanggup menangkan, apalagi kepandaian muridnya! Ia tidak tahu bahwa Kiang Liat hanya satu tahun menjadi murid Han Le, dan bahwa sebelum menjadi murid Han Le pemuda ini telah memiliki kepandaian yang tinggi juga.

Melihat Pek Hoa telah berdiri dengan lagak menantang, bertolak pinggang tanpa mengeluarkan senjata, Kiang Lia membentak,

“Perempuan rendah, keluarkan senjatamu kalau kau hendak mencoba kelihaianku!”

“Mengapa harus mengeluarkan senjata? Apa kau kira dapat mengalahkan Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat biarpun aku hanya bertangan kosong? Orang muda, maju dan seranglah, tak usah ragu-ragu, jangan takut kalau kulit tubuhku akan lecet terkena pedangmu yang tumpul!”

Kiang Liat marah sekali.
“Lihat pedang!” teriaknya dan ia mulai menyerang.

Mula-mula, pemuda ini tidak menyerang sungguh-sungguh, karena betapapun gemasnya melihat gadis genit dan cabul ini, ia tidak tahu permusuhan apakah yang ada antara gadis ini dengan gurunya, dan ia tidak tega serta merasa malu untuk melukai seorang gadis muda yang melawannya dengan bertangan kosong saja.






Tidak ada komentar :