*

*

Ads

Rabu, 18 April 2012

Ang I Niocu Jilid 019

Upacara pernikahan antara Kiang Liat dan Song Bi Li dilangsungkan dengan meriah. Banyak sekali tamu yang datang memberi selamat, dan di antaranya bahkan terdapat Han Le Si Pengemis Sakti.

Oleh karena Cap-si Kai-pangcu, empat belas orang ketua perkumpulan pengemis yang lihai juga hadir, maka para tamu tentu saja terheran-heran melihat begitu banyak orang-orang tua berpakaian pengemis, akan tetapi mendapat penghormatan terbesar dari pihak tuan rumah!

Tentu saja mereka yang terheran-heran ini adalah orang-orang biasa, karena orang-orang kang-ouw yang hadir di situ tentu saja mengenal tokoh-tokoh besar ini. Siapakah yang tidak mengenal It-gan Sin-kai pengemis tinggi kurus yang bermata satu itu, yang pernah membikin geger istana karena mencuri masuk ke dalam dapur istana untuk menikmati hidangan-hidangan raja.

Siapa pula tidak mengenal Pat-jiu Siauw-kait pengemis kate berperut gendut seperti orang cacingan itu, yang kini duduk menghadapi meja sambil minum arak begitu saja dari guci yang besarnya hampir sama dengan tubuhnya?

Masih banyak sekali tokoh-tokoh besar, seperti Tiat-tho Mo-kai dan terlalu banyak untuk disebutkan di sini. Pendeknya, empat belas orang pemimpin pengemis yang disebut Cap-si Kai-pangcu, hadir semua. Juga masih ada belasan orang tokoh-tokoh kang-ouw yang sudah kenal dengan Kiang Liat, hadir di situ. Mereka semua ini, termasuk Cap-si Kai-pangcu, menghormati Han Le yang merupakan tokoh tertinggi di tempat itu.

Setelah upacara pernikahan selesai, Han Le mendengar dari muridnya tentang Bu Pun Su, maka ia lalu meninggalkan tempat itu untuk mencari suhengnya. Han Le sudah menyelesaikan tugasnya, sudah memberi tahu kepada tokoh-tokoh pimpinan partai besar untuk berhati-hati dan siap siaga menghadapi pengaruh-pengaruh asing dari barat.

Semenjak saat pertemuan kedua mempelai, Bi Li yakin bahwa ia benar-benar telah mendapatkan seorang suami yang baik. Dan dugaannya ini ternyata tepat, karena memang Kiang Liat amat mencintanya. Tidak mengherankan apabila suami isteri ini hidup penuh kerukunan, saling mencinta dan amat sedap dipandang mata betapa sepasang suami isteri yang keduanya sama tampan ini setiap hari berjalan-jalan di taman bunga sambil tersenyum-senyum dan mengeluarkan kata-kata bermadu.

Karena Kiang Liat sudah tidak ada ayah bundanya, maka Kakek Song, dibantu pula oleh Bi Li membujuknya agar jangan buru-buru sepasang suami isteri itu pindah ke Sian-koan. Kiang Liat tidak keberatan, karena baginya tidak ada perbedaannya. Hidupnya sekarang hanya untuk isterinya seorang, di mana saja ia tinggal asalkan bersama isterinya, ia sudah puas dan bahagia.

Juga ia tidak keberatan ketika isterinya menyatakan kesayangannya kepada Ceng Si dan hendak menjadikan gadis ini pelayannya dan juga kawannya bercakap-cakap apabila Kiang Liat sedang keluar rumah.

Akan tetapi, diam-diam Kiang Liat tidak suka kepada gadis pelayan ini. Sikap gadis ini mengingatkan ia kepada Pek Hoa, wanita siluman itu. Senyuman dan lirikan mata Ceng Si yang juga manis sekali itu, apabila ditujukan kepadanya, bukan lagi merupakan senyum dan kerling sopan dari seorang pelayan wanita terhadap majikannya, melainkan senyum dan kerling seorang wanita muda yang berusaha memancing hati seorang pria!

Di bagian depan telah dituturkan betapa lihai dan licin adanya pelayan muda ini, Ceng Si telah melihat keadaan Kiang Liat, tentu saja memilih majikannya ini daripada Cia Sun. Ia pikir lebih baik memikat hati majikannya ini yang terang-terangan sudah menjadi suami nona majikannya.

Kalau ia bisa menarik hati Kiang Liat dan menjadi kekasih atau bini mudanya, hidupnya terjamin dan ia akan menjadi seorang nyonya ke dua yang terhormat. Dengan kecantikannya yang lumayan ia berdaya upaya untuk menarik hati Kiang Liat.

Akan tetapi alangkah kecewa dan mendongkolnya hati gadis pelayan ini ketika pada suatu hari, dalam pertemuan empat mata dengan Kiang Liat di ruang belakang, majikannya ini membentaknya perlahan,

“Ceng Si, jangan kau main gila! Aku tidak suka kau tersenyum dan memandang kepadaku seperti itu. Nyonyamu akan menjadi salah mengerti dan akan marah kepadamu. Jangan kau berani ulangi lagi, mengerti?”






Tentu saja Ceng Si merasa seakan-akan mukanya ditampar. Sambil menangis ia berlari masuk ke dalam kamarnya, di mana ia membanting diri di atas pembaringan dan menangis terisak-isak. Hatinya perih sekali, apalagi kalau ia teringat bahwa impiannya buyar seperti asap tertiup angin. Ternyata suami nonanya itu bukan laki-laki biasa, bukan laki-laki mata keranjang seperti kebanyakan laki-laki di masa itu.

Akan tetapi Ceng Si tidak kehilangan akal. Ia mulai membujuk Bi Li, bahkan akhirnya berani mengancam dengan menyindir bahwa kalau Bi Li tidak mau membantunya, ia akan membuka rahasia tentang hubungan nonanya ini dengan Cia Sun dahulu sebelum menikah! Akhirnya, Bi Li menjumpai suaminya dan ketika mereka bercakap-cakap gembira, Bi Li berkata perlahan,

“Suamiku, kelak kalau kau mempunyai niat untuk mengambil seorang isteri ke dua, aku baru merasa rela dan senang hati kalau kau mengambil Ceng Si sebagai bini mudamu.”

Kiang Liat terkejut sekali dan ia membelalakkan matanya.
“Eh, apa, apa yang kau ucapkan ini? Bagaimana kau bisa bicara seperti ini, isteriku? Bagaimana kau bisa bicara tentang aku mengambil bini muda?”

Bi Li memeluk suaminya dan terseyum.
“Mengapa begitu saja kau kaget? Bukankah sudah menjadi kebiasaan umum di kalangan bangsawan dan hartawan untuk mengambil bini muda sampai tiga empat orang? Tentu saja aku lebih bersukur kalau kau tidak melakukan ini, akan tetapi kalau terpaksa… ambillah Ceng Si, pelayanku yang setia itu.”

“Omongan apa ini? Aku takkan menikah lagi dengan siapapun juga! Aku cinta kepadamu dan kau seorang bagiku sudah cukup. Mengapa mesti menurut kebiasaan gila itu? Apalagi harus mengambil Ceng Si? Ah…! Tidak, seribu kali tidak!” kata-katanya ini diucapkan keras-keras dan mereka tidak tahu bahwa Ceng Si mendengarkan di luar jendela.

Gadis ini menjadi pucat mendengar ucapan keras dari Kiang Liat dan untuk kedua kalinya, ia menangis di kamarnya.

Setelah yakin bahwa usahanya mendekati Kiang Liat tidak berhasil dan harapannya untuk menjadi isteri ke dua dari Kiang Liat sudah tidak mungkin lagi, Ceng Si mengambil jalan ke dua. Kini ia mengalihkan perhatiannya kepada Cia Sun dan mulailah ia mengadakan hubungan dengan siucai itu. Mulailah ia memeras Bi Li untuk memberi uang dan perhiasan kepada Cia Sun melalui dia. Bahkan ia berani menyampaikan pesan Cia Sun, minta perhiasan rambut kupu-kupu dan bunga cilan yang amat indahnya itu.

Bi Li tidak berani menolak. Nyonya muda ini maklum bahwa ia telah berada dalam kekuasaan Ceng Si dan Cia Sun. Sekali saja ia menolak permintaan mereka dan mereka menyampaikan rahasianya kepada suaminya, akan celakalah dia!

Bi Li terlalu mencinta suaminya dan baru sekarang terbuka matanya bahwa dahulu dia tertipu. Bahwa Cia Sun mencintanya karena dia cantik dan terutama sekali karena dia kaya. Dan ia pun kini tahu pula bahwa antara Cia Sun dan Ceng Si terdapat perhubungan yang kotor. Baru terbuka matanya betapa rendah dan jahatnya siasat dua orang itu terhadapnya, dan dia menyesal. Pernikahannya dengan Kiang Liat membuat Bi Li merasa berbahagia sekali, akan tetapi ia menjadi gelisah kalau teringat akan ancaman-ancaman dari Ceng Si dan Cia Sun.

Ia tahu bahwa nasibnya terletak di dalam genggaman tangan Ceng Si, pelayan ini telah berhasil mendapatkan surat yang dahulu ia tulis untuk Cia Sun, dan dengan surat inilah Ceng Si selalu mengancamnya apabila minta sesuatu.

Bi Li tidak berani membuka semua rahasia ini kepada suaminya. Kalau saja ia berani melakukan hal ini, kiranya semua akan beres dan takkan timbul urusan besar. Ia belum dapat menyelami jiwa yang gagah dari suaminya, tidak mengenal akan watak orang-orang gagah di dunia kang-ouw yang menjunjung tinggi kegagahan dan menghargai kejujuran.

Bi Li merasa ngeri untuk menceritakan tentang urusannya dan kesulitannya itu kepada suaminya. Ia takut kalau-kalau disangka yang bukan-bukan, disangka berlaku tidak senonoh di waktu dahulu. Padahal, kalau ia bercerita terus terang, Kiang Liat akan dapat mempertimbangkannya dengan bijaksana. Sayang seribu sayang bahwa Bi Li tidak berani membuka rahasia, bahkan menutupinya dengan penuh rasa khawatir, dan ia memberikan apa saja yang dikehendaki oleh Ceng Si dan Cia Sun sehingga banyak uang dan perhiasan mengalir keluar!

Keadaan ini berlangsung terus tanpa diketahui oleh Kiang Liat dan beberapa bulan kemudian Kiang Liat mengajak isterinya pindah ke Sian-koan. Tadinya Kiang Liat segan mengajak Ceng Si, akan tetapi atas desakan Bi Li, terpaksa Ceng Si ikut juga, menjadi pelayan pribadi Bi Li.

Setahun kemudian, Bi Li melahirkan seorang anak perempuan yang mungil sekali. Suami isteri itu merasa girang dan Kiang Liat memberi nama puterinya itu Kiang Im Giok.

Mula-mula Bi Li memang khawatir kalau suaminya kecewa, karena pada masa itu, para ayah ingin melihat anaknya lahir laki-laki. Namun ternyata Kiang Liat berbeda dengan orang lain. Ia sama sekali tidak kelihatan kecewa dan untuk ini Bi Li merasa amat berterima kasih. Cinta kasihnya terhadap suaminya makin menebal. Hidup nyonya muda ini tentu akan penuh kebahagiaan kalau saja ia tidak diganggu oleh Ceng Si dan Cia Sun.

Cia Sun telah mendapatkan banyak uang yang diperasnya dari Bi Li melalui Ceng Si, berubah menjadi seorang pemuda pemogoran dan pemalasan. Uang itu cepat sekali habisnya, dihambur-hamburkannya seperti orang membuang pasir belaka.

Setelah Bi Li dan suaminya pindah ke Sian-koan, ia pun menyusul ke kota itu, menyewa kamar di dalam sebuah hotel itu. Ia membeli seekor kuda yang bagus dan kerjanya setiap hari hanya berpesiar! Perhubungannya dengan Ceng Si dilanjutkan tanpa ada halangan.

Pada suatu hari, ketika Bi Li dan suaminya sedang menimang-nimang puteri mereka, Bi Li berkata dengan nada penuh keheranan,

“Suamiku, Im Giok mempunyai muka yang hampir sama dengan Enci Pek Hoa.”

Kiang Liat terkejut bukan main.
“Apa katamu? Pek Hoa siapa…?”

Bi Li juga terkejut, merasa bahwa ia telah kelepasan bicara, maka dengan muka kemerahan ia berkata,

“Enci Pek Hoa adalah seorang dewi dari kahyangan. Suamiku, jangan kau mentertawakan aku dan mengira aku tahyul dan bicara yang bukan-bukan. Kejadian itu amat ajaib maka selama ini aku tak pernah mengatakan kepadamu, takut kalau-kalau kau akan mentertawakan aku.”

“Coba ceritakan, isteriku. Aku takkan mentertawakanmu. Siapakah dewi itu dan bagaimana kau bisa bertemu dengan dia?” tanya Kiang Liat dan hatinya berdebar gelisah.

Bi Li lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat yang dipuji-pujinya sebagai seorang dewi yang amat cantik jelita. Kiang Liat mendengarkan penuturan isterinya itu dengan mata terbelalak dan hatinya merasa tidak enak sekali. Tahulah dia sekarang bahwa dahulu Pek Hoa dapat datang mencarinya ke Sian-koan setelah mendengar dari Bi Li bahwa dia adalah murid dari Han Le!

“Pek Hoa-cici baik sekali, suamiku. Dia bilang bahwa kelak dia akan datang menjenguk kalau aku sudah mempunyai anak…”

Makin gelisah hati Kiang Liat. Akan tetapi dia diam saja, tidak berani ia menerangkan kepada isterinya yang lemah itu bahwa sebenarnya orang yang dikira dewi oleh isterinya itu bukan lain adalah seorang iblis wanita yang amat jahat!

Semenjak mendengar penuturan isterinya itu, Kiang Liat selalu bersikap waspada. Tiap malam ia diam-diam melakukan penjagaan, takut kalau-kalau iblis wanita itu datang mengganggunya. Oleh karena kewaspadaannya inilah maka ia mulai melihat sesuatu yang amat mencurigakan di waktu malam.

Kadang-kadang ia mendengar suara kaki kuda yang datang dari jauh kemudian berhenti di belakang rumahnya, agak di luar pagar kebun bunga kecil yang berada di belakang rumah. Kadang-kadang pula ia mendengar suara orang bercakap-cakap di tengah malam menjelang pagi!

Hatinya mulai curiga dan pada malam hari itu, ketika mendengar suara kuda berhenti di belakang, ia diam-diam turun dari pembaringan lalu berjalan keluar melalui pintu belakang. Waktu itu telah menjelang fajar dan ia membuka pintu perlahan-lahan, mengintai keluar.

Ia melihat sesosok bayangan keluar dari pintu samping, berlari-lari ke arah taman bunga. Kemudian, bayangan ini bertemu dengan bayangan lain yang memasuki pintu pagar yang agaknya sudah dibuka dari dalam.

Hati Kiang Liat berdebar gelisah. Melihat gerak-gerik dua orang itu, mereka adalah orang-orang biasa dan sama sekali tidak seperti gerakan orang yang pandai ilmu silat, apalagi kalau yang datang Pek Hoa tentu tidak demikian caranya.






Tidak ada komentar :