*

*

Ads

Minggu, 22 April 2012

Ang I Niocu Jilid 023

Sebulan kemudian, Kiang Liat sudah menukar kudanya dengan sebuah perahu yang membawanya terapung-apung di laut sebelah timur. Dari para nelayan ia mendapat keterangan bahwa di dekat pantai di mana air Sungai Huai-kiang mengalir ke laut itu hanya terdapat tiga buah pulau kosong yang tidak ada penghuninya. Hatinya girang karena kalau hanya tiga saja pulau yang berada di situ, mudah kiranya mencari wanita sakti yang bernama Bun Sui Ceng.

Perahu yang dibeli oleh Kiang Liat adalah perahu yang baru dan kuat sekali, layarnya juga masih baru, terbuat dari kain yang tebal. Dayungnya juga baik sekali, maka pelayarannya maju dengan laju.

Belum jauh ia meninggalkan pantai, tiba-tiba ia mendengar suara orang bernyanyi. Kiang Liat merasa heran sekali karena dari manakah datangnya suara nyanyian di atas lautan yang sunyi itu? Ia menengok dan terlihatlah olehnya sebuah perahu butut dengan layar bertambal-tambal sedang berlayar meninggalkan pantai.

Jarak antara dia dan perahu butut itu masih amat jauh, sehingga orang yang duduk di dalam perahu itu tidak kelihatan jelas, akan tetapi suara orang yang bernyanyi itu demikian jelas terdengar olehnya. Ia merasa terkejut sekali. Mungkinkah ada orang memiliki lwee-kang demikian hebatnya? Atau barangkali kebetulan saja suara itu terbawa oleh angin laut yang meniup kencang?

Karena tertarik, ia memandang penuh perhatian. Setelah perahu butut yang ternyata cepat sekali gerakannya itu datang mendekat, ia melihat samar-samar bahwa penumpangnya adalah seorang laki-laki setengah tua yang pakaiannya tidak karuan, seperti seorang pengemis.

Orang. itu mendayung perahunya dan Kiang Liat melihat hal yang amat aneh. Ia tahu bahwa angin bertiup kencang dan perahunya sendiri pun amat laju oleh tiupan angin pada layar. Dalam keadaan seperti ini, dayung tidak perlu digunakan lagi, karena betapapun kuatnya orang mendayung perahu, takkan dapat melawan kekuatan tenaga angin meniup layar.

Akan tetapi anehnya, perahu butut yang sudah digerakkan oleh layar yang melengkung terhembus angin, masih terdorong cepat ke depan tiap kali orang itu menggerakkan dayungnya. Ini menandakan bahwa tenaga dorongan dayung itu masih lebih hebat dan lebih kuat daripada tenaga tiupan angin pada layar tambal-tambalan itu!

Tiba-tiba Kiang Liat yang sudah memandang terheran-heran itu, mengeluarkan seruan kaget. Betapa ia takkan kaget kalau melihat perahu butut itu tiba-tiba amblas dengan kepala lebih dulu ke dalam air dan sekejap mata kemudian, perahu berikut layar dan orangnya lenyap dari permukaan air!

“Celaka…!” serunya. “Perahu itu telah karam…!”

Akan tetapi ia merasa heran sekali. Bagaimana perahu dapat karam seperti itu? Lebih tepat kalau dikatakan bahwa perahu itu sengaja menyelam dengan kepala di depan. Akan tetapi mungkinkah ini? Mana bisa ada orang menyelam berikut perahu dan layarnya!

“Dukk!”

Kiang Liat tersentak kaget. Tanpa ia ketahui karena sejak tadi ia menoleh ke belakang, tahu-tahu kini perahunya menumbuk sebuah benda yang keras, besar dan berat. Ia memandang dan melihat bahwa perahunya telah bertumbukan dengan sebuah perahu besar dan terdengar suara ketawa terkekeh-kekeh di atas perahu besar itu.

Baiknya Kiang Liat cepat-cepat menggerakkan dayung untuk mengatur gerak perahunya sehingga perahunya tidak sampai tenggelam. Akan tetapi terdengar suara keras dan tiang layarnya patah. Bukan main mendongkolnya hati Kiang Liat. Ia berdiri di dalam perahunya dan berdongak memandang ke atas. Dari perahu besar itu ia mendengar suara tertawa lagi, kemudian lapat-lapat ia mendengar suara khim (alat tetabuhan) yang dimainkan orang, lalu disusul oleh suara nyanyian wanita.

“Kurang ajar! Siapa berani main-main dan sengaja menabrak perahuku?” seru Kiang Liat marah.

Tidak ada jawab dari petahu besar yang kini tidak bergerak lagi dan masih menempel dengan perahunya. Saking jengkelnya, Kiang Liat mengayun dayungnya, memukul badan perahu besar sekuat tenaga.

“Krakk!”

Perahu besar bergoyang keras, akan tetapi badan perahu tidak apa-apa, sebaliknya dayung yang dipegangnya patah dan ujungnya hancur berkeping-keping. Ketika ia meraba dengan tangannya, ternyata olehnya bahwa badan perahu besar itu berlapiskan besi.






Suara khim berhenti dan sebuah kepala yang besar nongol dari atas pinggiran perahu besar, diikuti makian,

“Demi setan air! Siapakah yang berani mampus memukul perahu!”

Suara itu parau dan ketika Kiang Liat memandang ke atas, ia melihat muka yang kulitnya kasar dan bopeng, dengan sepasang mata bundar dan hidung pesek.

“Jahanam!” Kiang Liat balas memaki. “Perahumu yang menabrak perahuku. Apakah kau buta?”

Si Muka Bopeng menyeringai dan Kiang Liat mendengar suara wanita dari atas perahu besar,

“Tiat-thouw-gu (Kerbau Kepala Besi), apakah orang she Kiang yang berada di bawah itu?”

Kiang Liat terkejut sekali. Bagaimana ada orang dapat mengenalnya? Siapakah wanita itu?

Si Muka Bopeng yang disebut Tiat-thouw-gu menjawab,
“Agaknya betul dia, Wi Wi Toanio. Apakah aku boleh menabrak dan menggulingkan perahunya agar ia mampus di perut ikan?”

“Jangan! Undang ia ke atas, aku ingin menyaksikan sampai di mana kehebatan ilmu silatnya,” jawab suara wanita itu.

Tiat-thouw-gu memandang kepada Kiang Liat, menyeringai,
“Eh, bukankah kau orang she Kiang dari Sian-koan?”

“Babi muka hitam, aku betul Kiang Liat dari Sian-koan! Apakah alasannya maka manusia-manusia rendah macam engkau berani menghinaku?”

“Ha, ha, ha, suaramu besar sekali, bocah. Kau mendengar sendiri tadi, Wi Wi Toanio minta kau naik. Beranikah kau?”

“Mengapa tidak berani?”

Sambil berkata demikian, Kiang Liat menggenjot tubuhnya dan dengan gerakan ringan sekali ia telah melompat ke atas. Untuk menjaga diri agar jangan ia dibokong musuh, ia mencabut pedangnya dan memutar pedang sambil melompat ke atas perahu besar.

Ketika ia sudah berdiri di dalam perahu, ia menghadapi banyak orang yang kelihatannya rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Di tengah rombongan orang yang menumpangi perahu besar itu, ia melihat seorang wanita setengah tua yang cantik sekali, berdiri dengan sepasang pedang di tangan, sedangkan di sebelahnya berdiri seorang laki-laki setengah tua berpakaian mewah yang juga tampan dan gagah.

Dan di kepala perahu terdapat tiga patung sebesar manusia, patung tiga orang laki-laki yang aneh, yang seorang tinggi kurus seperti tengkorak, yang kedua kurus bongkok bermata sipit dan yang ke tiga, di tengah-tengah, tinggi besar, seperti raksasa.

Kiang Liat tidak tahu patung siapakah itu. Akan tetapi melihat wanita dan laki-laki yang nampaknya halus gerak-geriknya itu ia tidak berani sembarangan, bahkan menjura dengan hormat.

“Tidak tahu siapakah Cu-wi sekalian dan mengapa pula mengganggu aku orang she Kiang.”

Wanita itu tersenyum dan nampak ia manis sekali. Kiang Liat dapat menduga bahwa dahulu di waktu mudanya, wanita ini tentu cantik sekali.

“Kiang-enghiong, bukankah kau murid Han Le dan kau disuruh oleh gurumu untuk mencari bala bantuan guna membantu Bu Pun Su?”

Kembali Kiang Liat tertegun. Bagaimana orang ini dapat mengetahui semua urusannya?

“Apa yang sedang kukerjakan, sedikitpun tidak ada sangkut-pautnya dengan Cu-wi sekalian. Sekarang, apa yang Cuwi kehendaki maka menghadang perjalananku?” kata Kiang Liat, sedikit pun tidak merasa gentar menghadapi orang yang dua puluh lebih banyaknya itu.

Terdengar suara orang-orang itu tertawa, dan wanita itu berkata,
“Kiang-enghiong, aku adalah Wi Wi Toanio dan gurumu tentu akan mengerti mengapa aku menghadang pelayaranmu disini. Sudah lama aku mendengar akan kelihaian Han Le, maka sekarang bertemu dengan kau yang menjadi muridnya, aku tidak akan menyia-nyiakan waktu. Sesungguhnya, kewajibanku ialah untuk melenyapkan kau di tempat ini, akan letapi aku tidak mau berlaku kejam terhadap seorang muda seperti kau ini. Marilah kita main-main sebentar sebelum aku mengajak kawan-kawanku berunding apa yang akan kami lakukan atas dirimu.”

Kiang Liat menjadi marah sekali. Terang bahwa ia dipandang ringan, dan ia maklum pula bahwa orang-orang ini tentulah bukan kawan, dan kalau bukan musuh besar gurunya, tentu musuh besar Bu Pun Su atau setidaknya anak buah Mo-kauw yang dipimpin oleh Thian-te Sam-kauwcu. Teringat akan ini tiba-tiba ia menoleh ke arah tiga buah arca di kepala perahu dan ia berkata,

“Hm, salahkah dugaanku bahwa tiga buah patung itu adalah arca-arca dari Thian-te Sam-kauwcu?”

“Matamu awas sekali, Kiang-enghiong. Memang, mereka itu adalah arca-arca dari ketiga ketua kami yang mulia,” kata Wi Wi Toanio.

“Kalau begitu, kalian adalah anggauta-anggauta Mo-kauw!”

“Benar, bersiaplah kau dengan pedangmu!”

Kiang Liat maklum bahwa tidak ada lain jalan baginya kecuali bertempur mati-matian. Ia sudah banyak mendengar dari suhunya akan kekejaman orang-grang Mo-kauw yang tidak mau memberi ampun kepada orang yang mereka musuhi.

Sambil menggereng hebat, Kiang Liat menggerakkan pedang menangkis tusukan Wi Wi Toanio yang sudah mulai menyerangnya. Segera terjadi pertempuran sengit antara dua orang ini. Yang lain-lain berdiri mengelilingi dan menonton.

Sepasang pedang di tangan Wi Wi Toanio benar-benar lihai sekali. Gerakannya cepat dan aneh, tenaga lwee-kangnya pun hebat sekali. Bahkan, dengan terus terang Kiang Liat harus mengaku bahwa dalam hal kecepatan dan tenaga dalam, ia masih kalah oleh lawannya ini. Baiknya ia memiliki ilmu pedang warisan Kiang yang sudah diperkuat dan diperhebat oleh gurunya, maka ia dapat melakukan penjagaan diri yang kuat.

Wi Wi Toanio penasaran dan terheran-heran. Sudah tiga puluh jurus mereka bertempur, belum juga ia mampu mendesak orang muda itu. Laki-laki tadi berdiri di dekatnya, mengeluarkan seruan heran dan berkata dengan suaranya yang halus,

“Aneh sekali, aku berani bertaruh bahwa ini bukan Hun-khai-kiam-hoat Ang-bin Sin-kai!”

Mendengar seruan ini, diam-diam Kiang Liat mengeluh. Tidak saja wanita yang menjadi lawannya ini tangguh sekali, juga seruan laki-laki tadi menyatakan bahwa laki-laki itu pun seorang ahli silat yang pandai.

Tidak sembarangan ahli silat dapat mengenal Hun-khai-kiam-hoat, dan laki-laki itu dapat menyatakan bahwa ilmu pedangnya bukan Hun-khai-kiam-hoat. Karena tahu bahwa ia dikepung oleh orang-orang Mo-kauw yang tinggi kepandaiannya, Kiang Liat menjadi nekat. Pedangnya digerakkan dengan cepat dan ia mengeluarkan seluruh kepandaian yang ia dapat dari Han Le selama satu tahun.

Usahanya berhasil baik. Wi Wi ‘I’oanio mengeluarkan seruan kaget dan dalam beberapa gebrakan, Wi Wi Toanio dapat terdesak mundur oleh serangan Kiang Liat, orang muda ini telah mengeluarkan tiga jurus ilmu pedang yang disempurnakan oleh Han Le, yakni pertama-tama ia menyerang dengan gerak tipu Pek-in-koan-goat (Awan Putih Menutup Bulan), lalu disambung dengan Sin-eng-liap-in (Garuda Mengejar Awan), dan akhirnya ia menyerang terus tanpa menghentikan pedangnya dengan gerak tipu Sian-jin-hoan-eng (Dewa Menukar Bayangan).

Tiga serangan berantai ini merupakan puncak dari ilmu pedangnya yang oleh Han Le disebut Lian-cu-sam-kiam (Tiga Tikaman Pedang Berantai) dan amat lihai gerakannya. Tiga jurus serangan ini dapat dilakukan terus-menerus dan ganti-berganti karena dari jurus pertama ke jurus ke dua atau ke tiga mempunyai hubungan yang amat dekat dan dapat disambung menurut sesuka hatinya.

Wi Wi Toanio adalah seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi. Pembaca dari cerita Pendekar Sakti tentu masih ingat bahwa Wi Wi Toanio adalah isteri dari An Kai Seng, keturunan dari An Lu Shan. Juga Wi Wi Toanio inilah yang dengan kecantikannya yang luar biasa telah menjatuhkan hati Bu Pun Su dan menyeret Pendekar Sakti itu ke dalam lumpur kehinaan.

Semenjak dikalahkan oleh Bu Pun Su, suami isteri ini mempelajari ilmu silat tinggi dan akhirnya mereka bersekutu dengan pihak Mo-kauw, menjadi anggauta pimpinan yang disegani.






Tidak ada komentar :