*

*

Ads

Minggu, 22 April 2012

Ang I Niocu Jilid 024

Pihak Mo-kauw memang mempunyai banyak orang pandai dan mempunyai pengaruh yang luas sekali. Maka tidak begitu mengherankan apabila mereka sudah dapat mencium bau tentang tugas yang dijalankan oleh Kiang Liat untuk mengundang dua orang pandai untuk membantu Bu Pun Su.

Maka Wi Wi Toanio bersama suaminya dan beberapa orang Mo-kauw segera ditugaskan untuk mencegat perjalanan Kiang Liat dan kalau perlu membunuh orang muda ini.

Akan tetapi, kini menghadapi serangan Lian-cu Sam-kiam dari Kiang Liat, Wi Wi Toanio terkejut bukan main. Ia masih bergerak cepat untuk menangkis dan mengelak, akan tetapi gerakan yang aneh dari pedang Kiang Liat masih berhasil membabat ujung lengan bajunya yang hampir membabat putus jari tangan kiri sehingga sambil berseru kaget wanita ini melompat ke belakang dan melepaskan pedang kirinya!

“Gempur dia!” bentak An Kai Seng marah sambil menyerang dengan pedangnya.

Di lain saat, Kiang Liat sudah dikeroyok oleh dua puluh orang lebih yang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi. Kiang Liat kewalahan, apalagi perahu ltu bergoyang-goyang karena gerakan banyak orang. Dalam amukannya Kiang Liat berhasil merobohkan dua orang dan ia terdesak sampai ke pinggir perahu.

Tidak ada lain jalan bagi Kiang Liat. Di atas perahu yang berguncang itu, ia tidak dapat bersilat sebagaimana mestinya, maka untuk mencegah agar ia jangan terjengkang ke dalam air, ia lalu melirik ke bawah. Girang hatinya melihat perahunya masih menempel di pinggir perahu besar, maka sambil memutar pedang sehingga para pengeroyoknya mundur, ia lalu melompat ke arah perahu kecilnya itu.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat tiba-tiba perahu kecilnya bergerak, meluncur maju cepat sekali sehingga tak dapat dicegah lagi, Kiang Liat jatuh ke dalam air!

Air muncrat tinggi dan Kiang Liat menelan air asin. Cepat ia menahan napas dan mumbul lagi ke permukaan air, menggerak-gerakkan kaki tangan sehingga ia dapat bertahan mengambang di atas air. Ia bukan seorang ahli renang, namun kalau hanya menahan diri agar jangan tenggelam saja, ia masih bisa.

Dengan hati mendongkol dan juga heran, Kiang Liat melihat bahwa yang membikin perahu kecilnya terdorong maju adalah seorang laki-laki setengah tua. Laki-laki ini tiba-tiba saja muncul di permukaan air bersama perahu kecilnya berikut layar tambal-tambalan dan ia ini bukan lain adalah laki-laki yang tadi bernyanyi-nyanyi dan kemudian tenggelam bersama perahunya!

Dengan enaknya, laki-laki itu mempergunakan perahu mendorong perahu Kiang Liat. Ketika Kiang Liat melihat perahunya, ia bergidik. Perahunya telah penuh dengan anak panah yang menancap di seluruh badan perahu. Kalau tadi la berhasil melompat ke dalam perahu, ia bersangsi apakah ia akan dapat menangkis hujan anak panah itu.

Kini ia melihat orang tua itu tertawa terkekeh-kekeh kepadanya. Orang setengah tua ini rambutnya awut-awutan, tubuhnya panjang kurus dan mukanya berkeriput. Namun bentuk mukanya masih gagah. Ia hanya satu kali terkekeh kepada Kiang Liat, kemudian tubuhnya tiba-tiba saja melayang naik ke perahu besar.

Kiang Liat ternganga keheranan. Ia sudah sering kali melihat ahli-ahli silat tinggi bergerak, akan tetapi baru kali ini ia melihat orang melompat seperti kakek itu. Perahu kecil yang ditinggalkannya sama sekali tidak bergoyang dan ketika kakek tadi melompat, seakan-akan ia bersayap dan terbang ke atas begitu saja!

Terdengar suara gaduh di atas perahu, disambung oleh suara ketawa dan jerit kesakitan. Tak lama kemudian, sesosok bayangan melayang turun dan tahu-tahu kakek tadi telah berada di atas perahu Kiang Liat yang penuh anak panah.

“Locianpwe harap tinggalkan nama!” terdengar suara Wi Wi Toanio dari atas perahu.

Orang tua itu tertawa bergelak.
“Wi Wi Toanio, aku datang dan pergi tak pernah memperkenalkan nama!”






“Kau tetah menghina dan merusak patung Sam-kauwcu!” terdengar suara lain, suara laki-laki.

Orang itu tertawa bergelak,
“Ha,ha, beritahukan kepada Thian-te Sam-kauwcu supaya mereka jangan terlalu sombong dengan patung-patungnya!”

Perahu besar itu tadinya tidak bergerak, akan tetapi kini perahu itu mulai bergerak pergi setelah orang-orangnya memasang layar. Agaknya mereka takut sekali menghadapi orang aneh tadi.

Orang itu pun hanya tertawa saja melihat perahu itu pergi dari situ. Kiang Liat memandang kagum dan heran, akan tetapi tak lama kemudian ia mendongkol sekali karena tanpa menoleh kepadanya, laki-laki itu mendayung perahu dan pergi dari situ.

Kiang Liat hendak memperingatkan orang itu bahwa perahu mereka tertukar, akan tetapi ia menahan niatnya. Agaknya orang itu sengaja menukar perahu yang butut itu dengan perahunya yang masih baik, akan tetapi mengingat orang itu telah menolongnya, pantaskah kalau ia ribut-ribut urusan perahu tertukar? Kekuatan orang itu luar biasa sekali dan sebentar saja perahunya telah lenyap dari pandangan matanya.

Biarpun mendongkol, Kiang Liat merasa beruntung juga bahwa peristiwa itu lewat tanpa mendatangkan bencana kepadanya. Perahu yang ia duduki itu butut, akan tetapi layarnya yang tambal-tambalan masih ada.

Ia benar-benar tak dapat mengerti bagaimana orang itu tadi dapat menyelam bersama perahunya termasuk layar-layarnya! Angin bertiup dan cepat-cepat Kiang Liat memegang tali layar untuk mengemudikan perahunya, menuju ke pulau kecil yang kelihatan samat-samar dari situ.

Tak lama kemudian sampailah ia di sebuah pulau kecil yang penuh dengan pohon-pohon liar. Ketika ia mendaratkan perahunya dan menurunkan layar, ia melihat sebuah perahu penuh anak panah di tepi pantai. Hatinya berdebar. Tak salah lagi, orang setengah tua yang aneh tadi telah mendarat pula di pulau itu!

Baru saja Kiang Liat melompat ke darat, tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu ia berhadapan dengan seorang wanita baju putih yang kurus. Wanita itu usianya kurang lebih empat puluh tahun, wajahnya agak pucat akan tetapi masih kelihatan cantik. Sepasang alisnya dikerutkan dan bibirnya ditekuk sedemikian rupa sehingga kelihatannya galak dan gagah sekali. Tangan kanan wanita itu memegang sebatang cambuk yang ujungnya bercabang-cabang.

“Bocah lancang kurang ajar, berani sekali kau mendarat di pulau tanpa ijin!” wanita itu berseru marah dan cambuknya menyambar ke arah Kiang Liat.

Kiang Liat kaget sekali. Sambaran cambuk itu mendatangkan angin dingin dan cepat ia melompat ke belakang sambil mencabut pedangnya, karena ia tahu bahwa ia berhadapan dengan seorang yang lihai.

Akan tetapi, cambuk itu aneh sekali gerakannya. Biarpun sabetan pertama tidak mengenai sasaran, namun seakan-akan lengan wanita itu bisa terulur panjang dan cambuk itu kembali menyerang. Kini ujung cambuk yang begitu bercabang-cabang itu bergerak-gerak seperti ular, menyerang ke jalan darah di tujuh bagian!

Kiang Liat berseru keras dan memutar pedangnya untuk melindungi tubuh. Akan tetapi, tiba-tiba ia merasa tubuhnya kaku. Pedangnya terlilit oleh sebatang ujung cambuk dan pundaknya kena ditotok, membuat ia seketika merasa kaku tubuhnya dan di lain saat itu rebah lemas, pedangnya terampas!

Wanita itu tertawa mengejek, memasukkan pedang rampasan ke dalam sarung pedang yang tergantung di pinggang Kiang Liat, kemudian menyeret tubuh Kiang Liat pada lengannya, dibawa naik ke atas bukit. Di atas bukit itu, seorang laki-laki setengah tua telah menantinya dan Kiang Liat melihat bahwa laki-laki itu adalah orang aneh yang tadi telah menolongnya di atas laut ketika ia dikeroyok orang-orang Mo-kauw.

“Sui Ceng, apakah benar-benar kau begitu tega hati dan berkeras membiarkan aku bersengsara dan mati dalam keadaan hidup?” terdengar laki-laki itu berkata.

Kiang Liat menjadi kaget sekali. Tidak tahunya bahwa wanita yang ganas dan lihai ini adalah Bun Sui Ceng, orang yang dicari-carinya dan yang disebut oleh gurunya sebagai wanita yang lihai. Memang ia wanita lihai sekali, akan tetapi kalau wataknya demikian ganas, tipis sekali harapan minta tolong kepada orang macam ini, pikir Kiang Liat.

“Kun Beng, kau sudah tua, akan tetapi mengapa hatimu tetap muda? Cih, benar-benar tidak tahu malu!” jawab wanita itu.

Kun Beng menghela napas dan menggeleng-geleng kepalanya.
“Sui Ceng jangan kau salah duga. Sudah lama aku dapat mengalahkan nafsu dan semua kata-kataku terhadapmu bukan sekali-kali didorong oleh nafsu, melainkan didorong oleh hasratku hidup seperti manusia biasa. Apakah kau juga ingin mati dan meninggalkan dunia begitu saja tanpa meninggalkan keturunan yang akan menyambung riwayat hidupmu?”

Sui Ceng, atau lengkapnya Bun Sui Ceng murid Kiu-bwee Coa-li, membanting-banting kakinya dan keningnya dikerutkan.

“Menyebalkan, menyebalkan! Kun Beng, seperti kau tidak tahu saja. Apa sih baiknya hidup? Penuh penderitaan, penuh kepalsuan, penuh penyesalan dan penuh keributan-keributan! Siapa ingin mempunyai keturunan untuk merasakan semua penderitaan ini? Tidak, cukup diderita oleh kita sendiri, jangan menurunkan nyawa lain untuk mengalami pahit getir seperti yang kita alami. Sudahlah mari kita habiskan hidup dengan berlumba, siapa yang lebih cepat maju!”

Kun Beng kelihatan sedih sekali.
“Sui Ceng, tak kusangka bahwa kau berhati yang dingin dan keras. Akan tetapi, aku tetap tidak percaya. Kau sengaja mengeraskan hati, padahal aku yakin bahwa kau masih mencinta padaku. Sui Ceng, apakah sampai puluhan tahun kau masih saja belum dapat mengampuni kesalahan-kesalahanku?”

Mendengar percakapan ini, Kiang Liat menjadi terharu dan juga jengah. Tanpa disengaja, ia mendengarkan percakapan dari dua orang tua tentang cinta kasih, dua orang yang bicara mengenai hal demikian gawat secara begitu saja di depannya, tanpa tedeng aling-aling!

“Kun Beng,” suara Sui Ceng terdengar lembut, agaknya kata-kata Kun Beng tadi mengharukan hatinya. “Bukan aku yang keras hati, melainkan kaulah. Cinta kasihmu sampai puluhan tahun belum padam, benar-benar menandakan bahwa kau berhati sekeras baja. Akan tetapi, seperti juga dulu telah kukatakan kepadamu berkali-kali, kalau tidak salah sudah empat belas kali kau datang menyusul dan membujukku, aku akan menuruti kehendakmu kalau kau sudah bisa mengalahkan cambukku!”

Kun Beng menundukkan kepalanya, kemudian menggeleng-gelengkan kepala itu.
“Sui Ceng, kemana saja kau pergi, aku mencari dan menyusulmu. Sampal kau lari ke Go-bi-san, ke perbatasan Mongol, ke rimba raya di lembah Huang-ho, aku menyusulmu. Akan tetapi kau tahu bahwa aku tidak dapat menurunkan tangan untuk bertanding silat denganmu, aku tidak dapat mengalahkanmu. Andaikata aku dapat, aku pun tidak akan tega mengalahkanmu. Aku tidak ingin menjadi suamimu karena kekerasan, atau karena kau terpaksa, aku menghendaki kau suka menerimaku sebagai suamimu dengan cinta kasih.”

“Jangan ngaco-belo!” Sui Ceng membentak marah, akan tetapi Kiang Liat maklum bahwa wanita sakti itu terharu sekali, buktinya dua butir air mata menitik turun ke atas pipinya. “Kun Beng, sudah dua tahun kita tidak bertemu, mari kau melayani cambukku barang seratus jurus!”

Kun Beng menarik napas panjang.
“Kau memang doyan berkelahi. Biasanya aku melayanimu supaya kau gembira. Akan tetapi, sekarang aku akan berusaha mengalahkanmu. Siapa tahu kalau-kalau dengan kekalahanmu, akan kalah pula kekerasan kepalamu, Sui Ceng.”

Setelah berkata demikian, Kun Beng membuka baju luarnya dan mengeluarkan sebatang tombak yang kelihatannya butut dan kotor, akan tetapi di antara batang yang kotor itu kelihatan kilauan dari logam aslinya.

Sui Ceng mengeluarkan seruan girang dan dengan kaki kirinva ia menendang tubuh Kiang Liat yang tadi menggeletak di depannya karena orang muda ini masih tidak berdaya dan berada dalam keadaan tertotok. Tubuh Kiang Liat terguling sampai lima tombak lebih, akan tetapi ia dapat melompat bangun karena tendangan itu ternyata adalah obat untuk membebaskannya dari totokan.

Ia tidak berani sembarangan bergerak hanya duduk di atas tanah dan memandang dengan hati tertarik dan penuh perhatian. Hatinya berdebar. Ia diutus oleh gurunya untuk mencari dan minta bantuan agar dua orang aneh itu, akan tetapi sekarang ia menjumpai mereka dalam keadaan hendak bertarung untuk memperebutkan kebenaran pendapat masing-masing! Benar-benar aneh sekali dua orang ini.

Sui Ceng adalah murid tunggal terkasih dari Kiu-bwe Coa-li, tentu saja ilmu silatnya tinggi sekali. Kepandaian tunggal yang istimewa dari Kiu-bwe Coa-li, yakni permainan cambuk, diturunkan kepadanya, maka dalam hal permainan senjata aneh ini, Sui Ceng amat pandai dan tidak kalah lihainya dari mendiang Kiu-bwe Coa-li.

Cambuknya itu ujungnya bercabang sembilan dan setiap ujung merupakan senjata maut yang mengerikan. Jangankan sampai kena pukul, baru terkena totokan saja, setiap ujung cabang dapat mencabut nyawa lawan!






Tidak ada komentar :