*

*

Ads

Minggu, 22 April 2012

Ang I Niocu Jilid 025

Di lain pihak, kepandaian The Kun Beng sudah disaksikan oleh Kiang Liat. Pendekar ini adalah murid ke dua dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai, yang telah mewarisi ilmu tombak dari mendiang suhunya. Maka ilmu tombaknya juga jarang ada yang dapat menandingi pada masa itu. Ujung tombak ketika digerakkan tergetar sehingga ujung itu seakan-akan berubah menjadi belasan banyaknya, mengeluarkan suara mendenging yang menyakitkan anak telinga. Setiap tusukan, tangkisan, atau pukulan dari tombak dan gagangnya disertai tenaga lwee-kang yang luar biasa kuatnya.

Demikian, dua orang itu bertempur dengan amat hebatnya. Kadang-kadang keduanya lenyap dari pandangan mata, tertutup oleh selimut dari gulungan sinar senjata mereka. Bahkan Kiang Liat sendiri yang terhitung seorang ahli silat kelas tinggi, menjadi pening dan tidak dapat mengikuti gerakan-gerakan mereka dengan baik.

Akan tetapi, setelah bertempur dengan cepat ini sampai puluhan jurus, tiba-tiba mereka kelihatan lagi dan kini pertempuran dilangsungkan tanpa mengalihkan kedua kaki. Mereka berdiri berhadapan dengan jarak dekat dan hanya kedua tangan mereka saja yang bergerak dan senjata mereka yang menyambar-nyambar pergi datang!

Kiang Liat melongo. Selama hidupnya belum pernah ia melihat pertempuran sehebat ini. Memang pernah ia menyaksikan kepandaian istimewa dari gurunya, Han Le, terutama ia pernah pula mengagumi kehebatan supeknya, Bu Pun Su. Pernah pula ia menghadapi orang-orang lihai seperti Pek Hoa Pouwsat dan lain-lain, akan tetapi belum pernah ia melihat dua orang sakti bertanding sehebat ini! Padahal pertandingan mereka itu hanya “main-main” belaka, bukan untuk saling membunuh, hanya sekedar mengadu limu atau menguji tingkat saja.

Setelah beberapa puluh jurus dilewatkan dengan pertempuran lambat, kembali mereka bertempur cepat. Tiba-tiba terdengar suara “brett” dan melayanglah sehelai robekan kain.

“Sui Ceng, aku mengaku kalah…” kata Kun Beng yang melompat keluar dari kalangan pertandingan.

Yang melayang tadi adalah robekan ujung bajunya, rupa-rupanya terkena sabetan cambuk Sui Ceng.

Sui Ceng merengut, mukanya yang agak pucat itu menjadi merah.
“Kau memang laki-laki tahu! Selalu memperlihatkan sifat lemah dan mengalah. Siapa tidak tahu bahwa kau tadi sengaja miringkan gagang tombakmu sehingga ujung cambukku dapat merobek ujung bajumu? Cih, kau selalu mengecewakan hatiku!”

“Aku memang kalah, Sui Ceng,” kata Kun Beng, wajahnya nampak berduka sekali.

Sui Ceng membanting-banting kedua kakinya. Tiba-tiba ia dan Kun Beng menengok ke arah Kiang Liat ketika mendengar orang muda itu berkata,

“Ji-wi telah memperlihatkan kepandaian yang tiada keduanya di kolong langit. Kepandaian Ji-wi Locianpwe seperti kepandaian dewa saja. Boanpwe Kiang Liat yang bodoh merasa beruntung sekali dapat menyaksikan kepandaian hebat itu.” Sambil berkata demikian, Kiang Liat menjura dengan penuh penghormatan.

Sui Ceng tiba-tiba tertawa senang,
“Ah, benar juga, Kun Beng. Kau selalu sungkan dan mengalah kalau mengadu kepandaian denganku. Sekarang ada orang muda ahli pedang ini, biar dia yang menentukan siapa yang lebih unggul di antara kita. Eh, orang she Kiang, cabutlah pedangmu!”

Kiang Liat ragu-ragu, akan tetapi melihat sinar mata wanita sakti itu, ia tidak berani membantah. Dicabutnya pedangnya dan ia memandang kepada Sui Ceng dengan mata bertanya.

Kiang Liat tertegun. Selama hidupnya baru satu kali ini ia menghadapi perintah seaneh ini, yaitu ketika ia bertemu dengan Bu Pun Su, supeknya. Sekarang, lagi-lagi ia menghadapi perintah serupa dari Bun Sui Ceng!

“Boanseng mana berani berlaku kurang ajar?” katanya perlahan.

“Bodoh! Aku sedang menguji kepandaian dengan Kun Beng. Hendak kami lihat di antara kami, siapa yang lebih dulu dapat merobohkanmu. Hayo serang!”

Panaslah perut Kiang Liat. Ia merasa dihina sekali, hendak dijadikan permainan oleh dua orang aheh itu, maka tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, ia lalu menggerakkan pedangnya, menyerang dengan gerak tipu yang paling lihai dari ilmu pedangnya, yakni Lian-cu Sam-kiam.

Serangannya ini hebat dan ilmu pedang ini adalah petunjuk dari Han Le, maka tingkatnya sudah tinggi sekali. Kalau tadi Kiang Liat dengan mudah ditawan oleh Bun Sui Ceng dalam segebrakan saja, adalah karena Kiang Liat diserang tiba-tiba dan ia tidak menyangka sama sekali akan kelihaian Sui Ceng.






Akan tetapi sekarang, ia sudah maklum bahwa ia menghadapi seorang yang kepandaiannya jauh mengatasinya, maka begitu menyerang, ia mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa dan mengerahkan semua tenaga lwee-kangnya.

“Ayaaa… bagus sekali ilmu pedang ini!” seru Bun Sui Ceng gembira. Ia melompat, cambuknya terayun dan di tengah udara terdengar suara “tarr-tarr-tarr!” berkali-kali dari ujung-ujung cambuknya.

Sui Ceng benar-benar kagum karena ia tidak mengira bahwa orang muda itu mempunyai kiam-hoat yang demikian lihai. Akan tetapi, betapapun hebat ilmu pedang keluarga Kiang yang sudah disempurnakan oleh petunjuk-petunjuk Han Le, tingkat kepandaian Kiang Liat memang jauh lebih rendah. Ia kalah banyak dalam gin-kang, lwee-kang, dan kemahiran gerakan silat. Apalagi memang senjata di tangan Sui Ceng itu benar-benar aneh dan hebat.

Dengan mati-matian Kiang Liat membela diri dan membalas dengan jurus-jurus pilihan, namun pada jurus ke tiga belas ia tak dapat mempertahankan diri lagi. Sebatang ujung cambuk di tangan Sui Ceng bagaikan seekor ular telah membelit kaki kanannya dan tanpa dapat dicegah lagi, Kiang Liat terpelanting roboh ketika Sui Ceng menarik cambuknya!

Kiang Liat bangkit berdiri dengan muka merah. Ia tidak merasa sakit. sama sekali, hanya pakaiannya yang menjadi kotor. Setelah mengebut-ngebut pakaiannya, ia menjura kepada Sui Ceng.

“Terima kasih atas pelajaran dan petunjuk Locianpwe.”

Sebaliknya, Sui Ceng memandang kepadanya dengan tersenyum girang.
“Baru sekarang aku bertemu dengan seorang muda yang kepandaian ilmu pedangnya demikian tinggi. Tak malu aku mengaku bahwa sampai sekarang pun aku belum dapat mengenal ilmu pedangmu,” katanya.

Terdengar The Kun Beng tertawa terkekeh,
“Sui Ceng, biarpun ilmu pedang bocah she Kiang ini lihai, tetap saja dalam tiga belas jurus ia roboh olehmu. Aku mana bisa melakukan hal itu? Sudahlah, aku pun mengaku kalah dalam pertandingan ini.”

“Kau curang!” Sui Ceng membentak, “Mana bisa pertandingan dianggap kalah kalau belum dilakukan? Eh, orang she Kiang, sekarang kau pergunakan pedangmu, seranglah dia si tua bangka itu!”

Diam-diam Kiang Liat merasa kasihan dan terharu mendengar semua percakapan antara dua orang setengah tua ini. Dia sendiri sudah merasakan kebahagiaan berumah tangga, hidup penuh kasih sayang dan saling mencinta dengan Bi Li. Mengapa dua orang aneh ini tak dapat mengecap kebahagiaan itu? Kalau saja aku dapat menjadi perantara atau jembatan agar supaya mereka saling mendapatkan, pikir Kiang Liat.

“Baik, Boanpwe akan menyerang. Awaslah, Locianpwe!” katanya dan pedangnya bergerak cepat menyerang Kun Beng.

“Eh, eh, lihai sekali…”

Kun Beng juga memuji dan suaranya gembira. Ahli silat manakah yang tidak gembira menghadapi pertandingan ilmu silat? Ia mengerakkan tombaknya dan terdengar suara berdencing ketika tombak bertemu dengan pedang.

Biarpun Kun Beng menangkis perlahan saja, namun Kiang Liat merasa telapak tangannya pedas dan tergetar hebat. Ia terkejut sekali dan bersilat lebih hati-hati. Ia tidak membiarkan pedangnya bertemu dengan tombak.

Akan tetapi setelah bertanding beberapa jurus, tahulah Kiang Liat bahwa lagi-lagi kakek ini mengalah terhadap Sui Ceng. Kalau tadi dengan cambuknya, Sui Ceng menyerangnya dengah hebat, penuh nafsu untuk cepat-cepat merobohkan, adalah Kun Beng ini lebih banyak bertahan daripada menyerang.

Kiang Liat tidak mau membiarkan hal ini terjadi, maka pada jurus ke sepuluh, ia tidak menarik kakinya yang kena diserampang oleh tombak dan tergulinglah dia! Kun Beng berdiri terpaku, Sui Ceng tertawa geli, dan Kiang Liat merayap bangun.

“Kun Beng, kali ini kau menang!” kata Sui Ceng.

“Benar, dan Ji-wi Locianpwe sekarang dapat melanjutkan perjodohan itu!” kata Kiang Liat.

“Bocah lancang, apa maksudmu?”

Sui Ceng membentak dan ia telah melompat ke depan Kiang Liat dengan sinar mata bernyala penuh ancaman.

Kiang Liat kaget sekali, tak disangkanya bahwa wanita sakti ini akan marah.
“Bukankah tadi Ji-wi Locianpwe hendak mempergunakan Boanpwe sebagai ujian? Bukankah tadi Locianpwe menyatakan bahwa kalau Locianpwe kena dikalahkan, maka perjodohan baru dapat terjadi? Boanpwe hanya mengatakan apa yang tadi boanpwe dengar, maka mohon banyak maaf apabila boanpwe tanpa disengaja berkata lancang.”

“Sui Ceng, orang muda pun merasa kasihan kepada kita, mengapa kau tidak kasihan kepada diri sendiri?” Kun Beng berkata, suaranya gemetar.

Akan tetapi Sui Ceng marah sekali. Cambuknya diayun ke atas kepala, menimbulkan suara yang nyaring,

“Kau bocah lancang mulut, berani sekali bicara tentang urusan orang lain. Kau harus diberi hajaran!”

Baiknya sebelum cambuk itu meluncur ke tubuh Kiang Liat, Kun Beng melompat dan menahan Sui Ceng.

“Sabar Sui Ceng. Bocah she Kiang ini datang kesini karena diutus oleh Lu Kwan Cu!”

“Apa…? Utusan Lu Kwan Cu…?”

Sui Ceng menurunkan tangannya yang tiba-tiba kelihatan lemas, matanya terbelalak memandang kepada Kiang Liat. Kiang Liat tidak tahu bahwa Lu Kwan Cu adalah nama asli dari Bu Pun Su, maka ia tidak mengerti. Hanya ia ingat akan pesan suhunya bahwa di depan dua orang ini, ia harus banyak-banyak menyebut nama Bu Pun Su, oleh karena itu ia segera menjawab,

“Ji-wi Locianpwe… boanpwe Kiang Liat diutus Suhu Han Le dan Supek Bu Pun Su untuk mencari Ji-wi.”

“Hm, Bu Pun Su menyuruh kau mencariku, ada urusan apakah?” tanya Sui Ceng sambil mengerutkan keningnya.

Dengan singkat Kiang Liat lalu menuturkan apa yang ia dengar dari Han Le yakni bahwa di dunia persilatan muncul tiga tokoh asing yang lihai dan yang kini menguasai dunia kang-ouw, mengancam semua orang gagah yang tidak mau menggabungkan diri dengan Mo-kauw.

Dan bahwa pada bulan enam yang akan datang, pihak Mo-kauw menantang Bu Pun Su dan orang-orang gagah lainnya untuk mengadakan penentuan siapa yang berhak menguasai dunia kang-ouw, di sebelah barat bukit Heng-tuan-san.

Mendengar ini, Sui Ceng nampaknya tidak tertarik sedikitpun juga.
“Serombongan tikus-tikus busuk macam itu saja, apa artinya bagi Bu Pun Su? Aku berani mempertaruhkan kepalaku bahwa Bu Pun Su seorang diri pun akan sanggup membasmi mereka sampai ke akar-akarnya. Mengapa pula harus orang seperti aku dan Kun Beng membantu?”

“Akan tetapi sekarang keadaannya lain lagi, Sui Ceng,” kata Kun Beng, menggirangkan hati Kiang Liat yang tadinya sudah kecewa, “kali ini musuh-musuh Bu Pun Su agaknya benar-benar hendak berusaha merebut kekuasaan di dunia kang-ouw. Bahkan kedatangan Kiang-enghiong ke sini tak terluput dari perhatian mereka sehingga Kiang-enghiong dihadang di tengah samudera. Tahukah kau siapa yang menghadangnya dan hendak membunuhnya agar dia jangan minta bantuan kita?”

“Siapa? Anak buah Mo-kauw?” tanya Sui Ceng acuh tak acuh.

“Benar, akan tetapi bukan anak buah sembarangan, melainkan An Kai Seng sendiri dan isterinya, siluman betina Wi Wi Toanio!”

Mendengar ini, mata Sui Ceng bercahaya.
“Apa? Dan kau tidak bunuh mampus mereka?”

Kun Beng tersenyum dan menggeleng kepala.
“Aku tidak mau membikin kau kecewa, Sui Ceng. Membasmi mereka adalah tugasmu, bukan?”

“Di mana mereka?” Sui Ceng menggerakkan cambuknya.

“Kau dapat bertemu dengan mereka kelak pada awal bulan enam di Yalu Cangpo, tikungan sebelah barat Gunung Heng-tuan-san,” jawab Kun Beng.

“Bulan enam kurang tiga bulan lagi, Heng-tuan-san tidak dekat, mari kita berangkat!” kata Sui Ceng tiba-tiba sambil berlari ke pantai.

Kun Beng memegang lengan Kiang Liat.
“Orang muda, mari kita berangkat!”

Kiang Liat tak dapat menahan ketika tiba-tiba ia ditarik dengan cepatnya oleh Kun Beng. Akan tetapi hatinya girang sekali karena tidak disangka-sangkanya, tugasnya dapat dipenuhinya demikian mudah.

Lebih gembira lagi hatinya ketika di dalam perjalanan menuju ke Heng-tuan-san itu, Sui Ceng dan Kun Beng yang suka melihat orang muda ini, berkenan menurunkan beberapa jurus silat tinggi sehingga Kiang Liat mendapat kemajuan yang luar biasa.

Bahkan ia telah menerima pelajaran ilmu lari cepat dari Sui Ceng sehingga ia dapat melakukan perjalanan dengan leluasa bersama dua orang tokoh ini, tak perlu lagi ia digandeng oleh Kun Beng. Ilmu lari cepat dari Sui Ceng yang disebut Yan-cu-hui-po (Tindakan Seperti Walet Terbang) memang luar biasa sekali, dan berkat dari besarnya bakat dasar dalam diri Kiang Liat, pendekar muda ini dapat mempelajarinya dengan amat cepat.

**** 025 ****





Tidak ada komentar :