*

*

Ads

Minggu, 22 April 2012

Ang I Niocu Jilid 026

Awal bulan Lak-gwe di lembah Sungai Yalu Cangpo! Lembah ini biasanya sunyi, tak pernah didatangi manusia karena memang daerah ini masih liar dan sukar didatangi. Binatang-binatang buas yang aneh dan jarang terlihat di hutan-hutan yang sudah dijajah manusia, masih berkeliaran di tempat ini. Orang tanpa memiliki kepandaian tinggi jangan harap dapat keluar dari hutan ini dengan selamat.

Akan tetapi, pada pagi hari itu, di lembah sungai, tepat dimana sungai itu membelok dan kembali mengalir ke arah barat, keadaan ramai sekali. Di sebuah tempat terbuka di pinggir sungai, kelihatan banyak orang yang duduk di atas rumput. Didepan mereka duduk beberapa orang di atas batu karang. Mereka seakan-akan menanti datangnya orang lain. Bekas-bekas tempat pohon ditebang menunjukkan bahwa tempat ini memang sengaja disediakan untuk pertemuan ini.

Jumlah orang yang duduk di atas rumput ada tiga puluh orang lebih, pakaian mereka bermacam-macam, akan tetapi rata-rata mempunyai air muka penjahat. Banyak diantara mereka yang tinggi besar dengan muka kasar, gerak-geriknya, duduk sambil minum arak atau mengobrol dengan kata-kata yang kotor dan kasar. Akan tetapi ada pula yang gerak-geriknya halus dan bermuka tampan, namun sinar matanya tetap membayangkan kekejaman dan kebuasan.

Di depan sekali, di atas batu karang, duduk Thian-te Sam-kauwcu, tiga orang dari barat yang kini menguasai Mo-kauw. Memang mereka ini adalah orang-orang terpenting dari Mo-kauw, yang berkumpul di situ untuk menghadapi musuh.

Tak. jauh dari tiga ketua ini, duduk pula Hek Mo-ko, dan Pek Mo-ko, sepasang manusia iblis yang terkenal lihai dan keji.

Selain mereka ini, masih terdapat banyak tokoh-tokoh yang berilmu tinggi, bahkan di antaranya terdapat pula Kiam Ki Sianjin, seorang yang tinggi sekali ilmu kepandaiannya! Karena pernah menderita kekalahan ketika menghadapi Bu Pun Su, Kiam Ki Sianjin terpaksa menggabungkan diri dengan Thian-te Sam-kauwcu untuk memperkuat kedudukannya.

Akan tetapi yang paling mencolok di antara mereka semua, adalah seorang wanita cantik jelita seperti bidadari yang duduknya terpisah, di sebelah kiri dari tiga ketua itu. Dia ini kelihatannya masih muda, seperti seorang gadis dua puluh tahun, cantiknya benar-benar membuat semua orang laki-laki yang berada disitu menelan ludah dengan hati kagum dan penuh gairah.

Akan tetapi tak seorang pun berani memperlihatkan kekagumannya secara berterang, karena gadis ini bukanlah orang sembarangan. Dia ini adalah murid terkasih dari Thian-te Sam-kauwcu dan dia bukan lain adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat.

Melihat setangkai bunga putih di rambutnya, orang akan mengenal Dewi Jelita ini, akan memandang dengan penuh kekaguman akan tetapi kalau melihat gagang sepasang pedang yang tersembul di pundak kirinya, orang itu akan merasa ngeri karena sepasang pedang itu entah sudah makan berapa banyak nyawa orang-orang tak berdosa!

“Mengapa sampai sekarang dia belum muncul?” terdengar Hek-te-ong orang pertama dari Thian-te Sam-kauwcu yang bertubuh tinggi besar, bertanya.

Suaranya besar seperti tambur dan kulitnya yang hitam itu mengkilap tertimpa sinar matahari pagi.

“Ha, ha, ha, agaknya Bu Pun Su sudah hilang nyalinya dan takut kepada kita…!” kata Pek-in-ong orang ke dua yang tinggi kurus seperti cecak kering dan mukanya seperti tengkorak. Suaranya tinggi dan nyaring menusuk telinga.

Mendengar ejekan ini, semua orang ketawa dan bergemalah suara ketawa mereka sampai di permukaan air sungai Yalu Cangpo.

Tiba-tiba suara ketawa mereka itu terhenti. Mereka terkejut mendengar suara ketawa lain yang parau dan keras, yang keluar dari permukaan air sungai!

Cheng-hai-ong, orang ke tiga dari Thian-te Sam-kauwcu yang bertubuh kurus bongkok dan bermata sipit menggerakkan tangan. Sebatang hui-to (golok terbang) meluncur ke arah permukaan air. Air itu bergelombang dan hui-to itu tenggelam, tidak ada tanda sesuatu. Kalau betul di permukaan air tadi ada sesuatu, jelas bahwa hui-to itu tidak mengenai sesuatu.

“Bedebah, berani main gila dengan Cheng-hai-ong!” seru kakek kurus bongkok ini sambil berbangkit dari tempat duduknya.






Ia hendak melompat dan terjun ke dalam air karena orang ke tiga dari Thian-te Sam-kauwcu ini memang seorang ahli dalam air, maka julukannya juga Cheng-hai-ong yang berarti Raja Laut Hijau!

Akan tetapi, ia membatalkan niatnya karena tiba-tiba dari dalam hutan muncul seorang kakek berusia empat puluh tahun lebih bertubuh sedang berpakaian sederhana.

“Thian-te Sam-kauwcu, aku sudah datang tak perlu gelisah!”

Semua orang memandangnya. Bu Pun Su berjalan lambat-lambat naik ke tempat terbuka itu, tongkat kecil di tangan kiri, dipukul-pukulkan di atas tanah ketika ia berjalan. Ia tidak kelihatan membawa senjata, hanya di pinggangnya terselip sebatang suling bulat. Setelah tiba di depan Thian-te Sam-kauwcu, kurang lebih sepuluh tombak jaraknya ia berhenti dan berdiri tegak.

Thian-te Sam-kauwcu sudah lama mendengar nama Bu Pun Su yang menggemparkan dunia kang-ouw dan yang diakui oleh semua tokoh kang-ouw sebagai jagoan nomor satu, akan tetapi baru kali ini mereka bertemu muka dengan pendekat sakti itu.

“Ha ha, ha, ha!”

Hek-te-ong tertawa bergelak sambil memegangi perutnya, menahan kegelian hatinya. Ia tidak hanya geli, akan tetapi juga sengaja mentertawakan orang yang baru datang untuk menguji perasaan Bu Pun Su.

“Inikah yang bernama Bu Pun Su? Lucu sekali! Agaknya sudah tidak ada lagi orang gagah di Tiong-goan sehingga bocah macam ini menjadi jago nomor satu. Ha, ha, ha!”

“Siluman hitam, sombong sekali mulutmu!” terdengar bentakan nyaring seorang wanita dan nampak bayangan berkelebat cepat tahu-tahu Bu Sui Ceng telah berdiri di dekat Bu Pun Su, cambuknya bergoyang-goyang di tangan kanannya.

Thian-te Sam-kauwcu tercengang. Gerakan wanita yang baru datang ini benar-benar hebat, membuktikan bahwa gin-kang dari wanita ini sudah sampai di tingkat tinggi sekali. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa Bu Pun Su memang sengaja tidak memperlihatkan kepandaian, berbeda dengan Bu Sui Ceng yang wataknya keras.

Di belakang Sui Ceng, menyusul datang The Kun Beng yang diikuti oleh Kiang Liat. Melihat Sui Ceng, Bu Pun Su memandang dengan muka tak berubah, akan tetapi wajahnya berseri ketika ia melihat Kun Beng datang bersama Sui Ceng.

“Bagus, kalian datang, ini tanda bahwa kiamat telah tiba bagi Thian-te Sam-kauwcu,” kata Bu Pun Su kepada Sui Ceng dan Kun Beng.

Belum habis gema suara Bu Pun Su ini, berturut-turut muncul Swi Kiat Sian-su dan Pok Pok Sianjin, diikuti oleh Han Le!

Sui Ceng tidak mau membuang banyak waktu. Ia melangkah maju menghampiri tempat duduk Thian-te Sam-kauwcu. Di depan tiga orang Ketua Mo-kauw ini, di atas tanah, terbentang sehelai kain dan di atas kain berwarna hitam itu terletak sebuah kitab dan sebatang pedang. Sekali melihat saja, Sui Ceng sudah dapat menduga dan ia berkata nyaring,

“Inikah kitab Siauw-lim-pai dan pedang Kun-lun-pai yang dicuri oleh kaum siluman?” Kembali ia melangkah maju.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang lambat dan perlahan, akan tetapi menyeramkan. Yang tertawa adalah Cheng-hai-ong. Tangannya bergerak dan belasan benda warna hijau menyambar ke arah kitab dan pedang.

Ketika Sui Ceng melihat, ternyata bahwa sekeliling kain tempat kitab dan pedang itu telah terkurung oleh anak-anak panah berwarna hijau yang menancap di atas tanah, begitu rapi seperti ditancapkan dan diatur dengan tangan. Dengan adanya anak-anak panah itu, maka kitab dan pedang itu terkurung rapat!

Demonstrasi kepandaian ini tidak aneh kalau orang tahu bagaimana cara mempergunakannya. Biasanya, anak panah hanya diluncurkan dengan bantuan busur, akan tetapi melepaskan belasan batang anak panah sekaligus hanya dengan lontaran tangan dan dapat mengenai sasaran demikian tepatnya, jarang sekali ada orang dapat menirunya. Selain membutuhkan latihan, juga membutuhkan lwee-kang yang amat tinggi.

“Hah, pertunjukan kanak-kanak macam itu siapa sih yang hargai?” kata Sui Ceng. Cambuknya bergerak. Terdengar suara, “Tar! Tar!” beberapa kali dari sembilan ujung cambuknya dan tanpa mengenai kitab dan pedang, anak-anak panah yang tertancap di sekeliling kain hitam itu lenyap beterbangan ke kanan kiri!

“Heh-heh-heh, terima kasih atas pertunjukan ini. Kau tentu murid Kiu-bwe Coa-li!” kata Cheng-hai-ong dengan senyum mengejek, sungguhpun di dalam hatinya ia merasa kagum sekali.

Pada saat itu, terdengar suara orang datang ke tempat itu dan ketika semua orang memandang, ternyata datang pula dua rombongan orang, masing-masing rombongan terdiri dari sepuluh orang. Rombongan pertama adalah rombongan hwesio dari Siauw-lim-pai yang dikepalai oleh dua orang hwesio tua bertubuh gemuk. Rombongan ke dua adalah rombongan tosu dari Kun-lun-pai yang dikepalai oleh seorang tosu tua yang kurus dan tinggi.

Pada saat semua orang memandang kepada rombongan ini, dari pihak Mo-kauw meloncat keluar seorang wanita setengah tua yang cantik. Wanita ini adalah Wi Wi Toanio yang memegang sebuah tusuk konde perak, dipegang di tangan kanan dan diangkat tinggi-tinggi. Dia melompat ke depan dan memandang ke arah rombongan Bu Pun Su, matanya mencari-cari dan ia berseru heran,

“Dimana dia…?”

Tak seorang tahu apa yang dimaksudkan oleh Wi Wi Toanio, akan tetapi pada saat itu, Bun Sui Ceng dan yang lain-lain juga merasa heran karena tanpa mereka ketahui, Bu Pun Su telah menghilang dari situ. Tak seorang pun tahu kemana perginya pendekar sakti ini!

Para pembaca cerita Pendekar Sakti tentu maklum mengapa Bu Pun Su melenyapkan diri. Pendekar sakti ini tadi melihat Wi Wi Toanio berada di antara rombongan Mo-kauw, maka melihat wanita itu muncul sambil mencabut tusuk konde, ia lekas-lekas melarikan diri dengan cepatnya.

Sebagaimana diketahui dalam cerita Pendekar Sakti, Bu Pun Su pernah terlibat dalam urusan asmara dengan Wi Wi Toanio dan pernah bersumpah di depan wanita ular berbahaya ini bahwa ia akan selalu menuruti kehendak Wi Wi Toanio.

Adapun tusuk konde itu adalah hadiahnya kepada Wi Wi Toanio dan di depan tusuk konde itulah ia bersumpah! Oleh karena itu, apabila Wi Wi Toanio mengeluarkan benda ini di depannya, apapun juga yang terjadi, Bu Pun Su selalu akan tunduk dan menyerah, sesuai dengan sumpahnya yang tak mungkin ia langgar sendiri.

Di antara semua orang yang berada disitu, yang tahu sebab perginya Bu Pun Su, hanyalah Han Le seorang. Kepada sute ini saja Bu Pun Su membuka rahasianya, menceritakan dengan terus terang akan kebodohannya sehingga ia dahulu di waktu mudanya masuk ke dalam perangkap Wi Wi Toanio. Oleh karena itu, kini Han Le tampil ke muka, mewakili Bu Pun Su dan berkata kepada Thian-te Sam-kauwcu,

“Thian-te Sam-kauwcu, kiranya kalian sudah tahu betul apa maksud kedatangan kami, terutama sekali mengapa rombongan saudara dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai datang kesini. Tak perlu bicara panjang lebar, adalah milik kedua partai itu yang kalian curi secara tidak tahu malu. Kini kalian menghendaki kami datang, sebenarnya apakah kehendak kalian?”

Hek-te-ong berdiri dari batu karang yang didudukinya tadi. Wajahnya yang hitam itu menyeringai lebar, sama sekali tidak memandang mata kepada Han Le.

“Ha, ha, ha, entah kemana perginya Bu Pun Su, akan tetapi kiranya dia takut kepada kami. Kami tak perlu pula bicara panjang lebar, tak perlu menyembunyikan maksud kami. Memang kitab Siauw-lim-pai dan po-kiam (pedang pusaka) Kun-lun-pai telah kami bawa ke sini, karena tanpa mengambil dua benda ini, kiranya kalian takkan mau menerima undangan kami. Ketahuilah, sudah lama kami mendengar betapa golongan kalian memandang rendah kepada kami kaum Mo-kauw, banyak penghinaan telah kami alami. Akan tetapi sekarang tiba waktunya kami untuk memperlihatkan, siapa sebetulnya yang lebih kuat. Kitab dan pedang dapat kami ambil tanpa kalian mengetahui, ini saja sudah membuktikan bahwa kami kaum Mo-kauw tidak boleh dipandang rendah. Sekarang, terus terang saja kami menuntut agar kalian suka berjanji bahwa selanjutnya pihak kalian tidak boleh mengganggu kami dan mengakui kami sebagai sebuah partai persilatan terbesar di dunia kang-ouw. Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai adalah partai-partai terbesar maka kedua partai itulah yang kami tuntut supaya sekarang mengakui kami sebagai pimpinan partai terbesar!”

Han Le tersenyum mengejek,
“Hek-te-ong, kau bicara sombong sekali. Belum pernah orang-orang gagah di dunia kang-ouw mengganggu siapapun juga, kecuali mereka yang jahat dan sesat. Kalau Mo-kauw merasa terganggu, itu tandanya bahwa sepak terjang anggauta Mo-kauw memang tidak patut. Bagaimana kau menghendaki kami berjanji tidak akan mengganggu? Lebih baik kalian yang berjanji selanjutnya akan memperbaiki sepak terjang, tentu kami takkan sudi mengganggu.”

“Betul, betul sekali!” kata hwesio tua dari Siauw-lim-pai.






Tidak ada komentar :