*

*

Ads

Minggu, 22 April 2012

Ang I Niocu Jilid 027

“Memang tepat, Kun-lun-pai hanya membasmi orang-orang jahat tidak peduli dari golongan apa,” kata tosu tua dari Kun-lun-pai.

Pek-in-ong yang tinggi kurus seperti tengkorak melompat maju dan ketawa dengan suaranya yang tinggi menusuk telinga.

“Aha, Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai merasa diri sebagai orang-orang bersih di dunia ini dan memandang orang lain sebagai orang-orang jahat. Apakah tidak ada anak murid Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai yang jahat?”

“Kalaupun ada, kami selalu menangkap dan menghukumnya,” kata hwesio Siauw-lim-pai dengan suaranya yang keras.

“Bagus! Bicaralah seperti kau sendiri yang menjagoi di dunia! Hendak kulihat apakah kau sanggup mengambil kembali kitabmu!” kata Pek-in-ong menantang.

Memang di antara Thian-te Sam-kauwcu, orang ke dua ini paling berangasan. Hwesio Siauw-lim-pai yang gemuk itu melangkah maju dan mengebutkan lengan bajunya.

“Omitohud, datang-datang ditantang oleh tuan rumah. Siapakah Sicu? Apa kedudukanmu dalam Mo-kauw? Pinceng Kok Beng Hosiang dari Siauw-lim-pai ingin belajar kenal.”

“Aku adalah Pek-in-ong, ketua nomor dua dari Mo-kauw. Tak perlu banyak aturan, kitab Siauw-lim-pai sudah terletak di depan kita. Kalau kau memang berkepandaian, cobalah kau ambil kembali.”

Kok Beng Hwesio adalah tokoh ke tiga dari Siauw-li-pai, murid ke dua dari Ketua Siauw-lim-pai, yakni Hok Bin Taisu. Dengan tenang ia melangkah maju dan membungkuk, tangan kanannya menyambar ke arah kitab yang terletak di atas kain hitam itu.

Biarpun ia membungkuk mengambil kitab, namun sesungguhnya ini adalah gerakan dari Siauw-lim-pai yang disebut Tit-ci-thian-te (Jari Menuding ke Tanah), suatu sikap bhesi yang amat kuat, siap-sedia menghadapi serangan lawan.

Secepat kilat, Pek-in-ong melangkah maju dan sekali ia menggerakkan tangan yang kanan menepuk ke arah ubun-ubun kepala hwesio gundul itu, sedangkan tangan kiri menyambar ke arah pundak dengan totokan yang lihai.

“Bagus!” seru Kok Beng Hosiang.

Hwesio ini membatalkan niatnya mengambil kitab dan cepat merubah kedudukan tubuh, dua tangan diayun menangkis.

“Plak!”

Dua pasang lengan yang penuh dialiri tenaga lwee-kang bertumbukan. Pek-in-ong tidak bergeming, akan tetapi Kok Beng Hosiang mundur dua tindak! Dari sini saja sudah dapat dibuktikan bahwa tenaga lwee-kang dari tokoh ke dua kaum Mo-kauw itu jauh lebih tinggi.

Pihak Siauw-lim-pai terkejut sekali. Kok Beng Hosiang juga kaget dan cepat ia meloloskan senjatanya yang tadi dililitkan pada perutnya yang gendut, yakni sebuah rantai baja.

“Omitohud, kau kuat sekali. Terpaksa pinceng minta bantuan pian untuk merampas kembali kitab pusaka!”

Rantai itu dipukulkan ke tanah dekat kitab dan aneh! Kitab itu mencelat ke atas. Selagi Kong Beng Hosiang hendak menyambar kitab dengan tangan kiri, Pek-in-ong sudah mendahuluinya, menyambar kitab dengan tangan kanan, melemparkannya kembali ke atas kain dan cepat kedua tangannya bergerak menyerang ke arah iga dan lutut!

Kok Beng Hosiang cepat melangkah mundur dan kini tanpa sungkan-sungkan lagi rantainya menyambar dengan serangan hebat yang disebut Sin-coa-wi-jauw (Ular Sakti Melilit Pinggang). Rantainya menyerang dengan kuat, membabat pinggang lawan.

Pek-in-ong yang masih bertangan kosong itu tidak mengelak sama sekali, membiarkan rantai itu mengenai pinggang dan sekejap kemudian pinggangnya telah terpukul dan terlibat rantai!






Akan tetapi alangkah kagetnya Kok Beng Hosiang ketika merasa betapa rantainya mengenai benda yang amat lunak sehingga tenaga sabetannya tertelan habis, kemudian tiba-tiba ia melihat sepasang lengan yang menyerang cepat sekali ke arah ulu hatinya, disusul oleh tendangan ke arah anggauta rahasia!

“Ayaa…!”

Kok Beng Hosiang terpaksa melepaskan rantainya dan melompat jauh ke belakang, karena hanya jalan inilah yang dapat membebaskan ia dari maut.

“Ha, ha, ha, hanya demikian saja kepandaian tokoh Siauw-lim-pai? Ha, ha, ha!”

Sambil berkata demikian, Pek-inong mempergunakan jari-jari tangannya yang kurus panjang untuk mematahkan rantai itu menjadi berkeping-keping, seperti orang mematahkan sebatang hio saja!

Han Le dan yang lain-lain terkejut sekali. Bukan main kehebatan lwee-kang dari Pek-in-ong. Kun Beng sendiri harus mengakui bahwa kepandaian Pek-in-ong tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya sendiri!

Bok Beng Hosiang, suheng dari Kok Beng Hosiang melompat maju dengan toya kuningan di tangannya. Ia marah sekali dan membentak,

“Pek-in-ong, kau terlalu menghina Siauw-lim-pai! Biar pinceng mencoba untuk merampas kembali kitab pusaka!”

Pek-in-ong tertawa,
“Hwesio gundul, nanti dulu. Jangan bergerak sembarangan, harus diadakan perjanjian dulu. Kau siapakah? Apakah kau memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada Kok Beng Hosiang?”

Bukan main gemasnya hati Bok Beng Hosiang.
“Orang sombong, dengarlah, Pinceng adalah Bok Beng Hosiang, barusan suteku telah kau kalahkan, biar sekarang pinceng yang mencoba kelihaianmu.”

“Nanti dulu, harus dengan perjanjian. Kalau aku kalah, kau boleh mengambil kitabmu yang butut, akan tetapi kalau kau kalah, kau sebagai wakil Siauw-lim-pai harus bertekuk lutut dan mengakui kami sebagai orang-orang yang lebih berkuasa dan mengakui Mo-kauw sebagai partai yang lebih tinggi dan kuat daripada Siauw-lim-pai. Bagaimana?”

Muka Bok Beng Hwesio sebentar merah sebentar pucat.
“Keparat, kami orang-orang Siauw-lim-pai tidak takut mati untuk membela kebenaran dan membasmi siluman-siluman seperti kau! Biarpun mati, pinceng takkan sudi bertekuk lutut dan selamanya Siauw-lim-pai takkan mengakui Mo-kauw yang sesat sebagai partai besar. Terimalah senjataku!” Sambil berkata demikian, Bok Beng Hosiang langsung menyerang dengan toyanya.

Harus diketahui bahwa Bok Beng Hosiang adalah murid pertama dari Hok Bin Taisu, kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada sutenya, dan senjata yang ia pergunakan adalah sebuah toya. Semua orang tahu bahwa ilmu toya dari Siauw-lim-pai amat kuat dan lihai, maka pengharapan semua orang diletakkan kepada tokoh ini.

Melihat sambaran toya yang amat kuat dan dahsyat, Pek-in-ong tidak berani menangkis, melainkan melompat mundur sambil memuji,

“Eh, eh, ada isinya juga si gundul ini!”

Di lain saat ia telah mengeluarkan senjatanya yang aneh, yakni sepasang roda. Tak lama kemudian terdengar suara keras ketika toya itu berkali-kali beradu dengan dua roda yang dipegang di kedua tangan.

Tenaga lwee-kang mereka tidak jauh selisihnya, akan tetapi sepasang roda itu benar-benar amat lihai. Tidak saja dapat dipergunakan untuk menangkis dan memukul, akan tetapi juga beberapa kali roda-roda itu dilepas, berputar-putar dan meluncur ke arah tubuh lawan, lalu disambar kembali.

Maka sebentar saja Bok Beng Hosiang telah terkurung oleh sepasang roda itu yang berputar-putar, kadang-kadang menyerang langsung dari tangan Pek-in-ong, kadang-kadang terlepas dan menyambar-nyambar dengan dahsyat dari atas!

Bok Beng Hosiang hanya dapat bertahan dua puluh jurus. Kepalanya telah menjadi pening dan pada suatu saat, serangan berantai dari Pek-in-ong tidak dapat dihindarkannya dan pundaknya terpukul oleh roda.

“Krek!”

Bok Beng Hosiang mengeluh dan terhuyung ke belakang, cepat ditarik oleh Kok Beng Hosiang dan diselamatkan. Tulang pundak hwesio gemuk ini telah hancur!

“Ha, ha, ha, Siauw-lim-pai tidak patut menyimpan kitab pusaka!” Pek-in-ong mentertawakan sambil menyimpan sepasang rodanya.

Han Le, Sui Ceng, Kun Beng, Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu marah sekali. Akan tetapi sebelum mereka sempat bergerak, tosu tua pemimpin rombongan Kun-lun-pai telah melompat maju.

“Siancai, siancai! Thian-te Sam-kauwcu memang lihai. Akan tetapi sayang kepandaian mereka dipergunakan untuk maksud buruk. Pinto Cin Giok Sianjin dari Kun-lun-pai datang untuk mengambil kembali pedang!”

Sambil berkata demikian, tosu tua ini melangkah tenang mengambil pedang. Baru saja tangannya diulur, terdengar suara mendesing dan tiga batang anak panah hijau menyambar ke arah tangannya! Cin Giok Sianjin berlaku tenang, cepat tangannya mengibas dan tiga batang anak panah itu terpental kembali ke arah penyerangnya, yakni Cheng-hai-ong orang ke tiga dari Thian-te Sam-kauwcu!

“Ha, ha, ha, ini baru namanya orang pandai!”

Cheng-hai-ong tertawa sambil melompat maju menghadapi Cin Giok Sianjin yang terpaksa membatalkan niatnya mengambil pedang pusaka Kun-lunpai. Ia melihat orang kurus bongkok bermata sipit berpakaian serba hijau berdiri di depannya sambil memegang sebatang rantai yang ujungnya ada tengkoraknya!

Cin Giok Sianjin adalah tokoh kedua dari Kun-lun-pai, murid dari mendiang Seng Thian Siansu, Ketua Kun-lun-pai. Tosu ini sudah puluhan tahun menjelajah dunia kang-ouw dan sudah puluhan kali bertemu dengan lawan tangguh, akan tetapi baru kali ini ia melihat senjata sehebat dan seperti itu. Mana ada orang bersenjata rantai yang ujungnya dipasangi tengkorak?

Akan tetapi ia dapat menenangkan hatinya dan mengeluarkan sebatang pedang. Kun-lun-pai terkenal dengan ilmu pedangnya dan dengan tenang ia berdiri tegak, melintangkan pedang di depan dada dengan jurus pertahanan Locia-pai-hud (Locia Menyembah Buddha).

“Tosu bau, mari kita main-main sebentar!” kata Cheng-hai-ong dan secepat kilat menyambar, tengkorak di ujung rantainya bergerak ke arah kepala Cin Giok Sianjin.

Tosu ini cepat mengelak dan pedangnya menusuk langsung dari dadanya ke dada lawan. Cheng-hai-ong miringkan tubuh dan kembali tengkoraknya menyambar, kini dari arah belakang agak ke kanan, menghantam leher tosu Kun-lun-pai. Cin Giok Sianjin melihat hebatnya serangan ini, maka ia tidak berani mengelak, dan cepat menangkis dengan pedangnya.

“Plak!”

Tengkorak itu terpukul miring, akan tetapi tidak pecah, sebaliknya, tosu Kun-lun-pai itu merasa tangannya tergetar.

“Lihai sekali…” katanya dan sebentar kemudian pedangnya berubah menjadi segulung sinar putih, menyambar-nyambar laksana seekor naga mengurung lawan.

Ia telah mengeluarkan kepandaiannya dan memainkan Kun-lun Kiam-hoat yang lihai. Bukan main cepatnya gerakan pedangnya, cepat dan berat disertai tenaga lwee-kang.

Namun, Cheng-hai-ong masih tertawa-tawa dan mengimbangi permainan lawan dengan ilmu silatnya yang aneh sekali. Tidak hanya tengkorak di ujung rantai yang menyerang, kadang-kadang kedua kakinya menendang-nendang, tangan kirinya mencengkeram, sikunya berkali-kali mencari sasaran, bahkan tekukan lututnya sering diangkat menghantam perut dan tempat berbahaya.

Swi Kiat Siansu berkata lirih.
“Hm, ilmu silat barat dicampur dengan ilmu gulat dari Mongol. Benar-benar lihai sekali.”

Juga yang lain-lain merasa kagum dan terpaksa memuji kepandaian orang ke tiga dari Thian-te Sam-kauwcu itu. Mereka mulai mengkhawatirkan keselamatan Cin Giok Sianjin, karena setelah bertempur tiga puluh jurus, jelas kelihatan tosu itu mulai terdesak.

Tiba-tiba Cheng-hai-ong berseru aneh dan Cin Giok Sianjin berseru kaget, terhuyung-huyung dan melompat mundur cepat sekali. Mukanya pucat dan dari jidatnya nampak merah, temyata kulit jidatnya telah terluka!

Hanya tokoh-tokoh besar saja yang melihat betapa tadi dari mulut tengkorak itu menyambar keluar tiga batang jarum hijau ke arah muka Cin Glok Sianjin. Biarpun tosu ini sudah berkelit, namun tetap saja jidatnya tergores oleh sebatang jarum hijau sehingga mengeluarkan darah!






Tidak ada komentar :