*

*

Ads

Minggu, 22 April 2012

Ang I Niocu Jilid 028

Cheng-hai-ong tertawa bergelak dan Cin Giok Sianjin cepat membuka bungkusan obat untuk mempergunakan obat penawar racun yang disengaja dibekalnya. Ia maklum dari rasa gatal pada lukanya bahwa jarum hijau itu mengandung racun.

Baiknya Kun-lun-pai terkenal dengan obat-obatnya anti racun, maka ia masih dapat menyelamatkan nyawanya, sungguhpun tak mungkin dapat maju bertempur lagi. Ia perlu bersamadhi untuk mengerahkan lwee-kang dan mengusir pengaruh racun dengan hawa mumi di dalam tubuhnya.

Han Le marah sekali. Pemimpin-pemimpin rombongan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai telah dikalahkan dan diam-diam ia merasa menyesal sekali mengapa tokoh-tokoh pertama dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai tidak mau keluar sendiri.

Agaknya kedua partai besar itu terlalu memandang rendah kepada pihak Mo-kauw, maka Ketua Siauw-lim-pai, Hok Bin Tosu dan Ketua Kun-lun-pai yang baru Keng Thian Siansu tidak mau datang sendiri. Kalau dua kakek itu datang, tentu akan lain keadaannya, sungguhpun belum tentu mereka dapat mengalahkan Thian-te Sam-kauwcu yang benar-benar lihai itu.

“Thian-te Sam-kauwcu! Kalian benar-benar tidak memandang mata kepada Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai yang terkenal sebagai partai besar. Tidak saja kalian mencuri kitab dan pedang, bahkan sekarang kalian dengan sombong telah melakukan hinaan-hinaan,” kata Han Le.

“Ha, ha, ha, yang kalah merasa terhina, itu sudah jamak. Salahkah kami kalau kebetulan kepandaian kami memang jauh lebih tinggi daripada kepandaian kalian?” kata Hek-te-ong sambil ketawa bergelak diikuti oleh anak buahnya.

“Hek-te-ong, alangkah sombongmu!” bentak Han Le marah sekali. “Dahulu yang menjadi lima tokoh besar dunia persilatan adalah guruku Ang-bin Sin-kai dan para Locianpwe Kiu-bwe Coa-li, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Pak-losian Siangkoan Hai dan Hek I Hui-mo. Biarpun mereka ini merupakan tokoh-tokoh dari delapan penjuru, namun mereka masih tidak sesombong kau dan kawan-kawanmu, tidak pernah mau menghina partai lain, apalagi melakukan pencurian yang rendah! Bahkan setiap kali muncul orang jahat, para locianpwe itu turun tangan membasminya!”

“Ha, ha, ha, kau pengemis bau murid Ang-bin Sin-kai. Apa kau kira dapat menakut-nakuti kami dengan nama-nama lima tokoh besar yang sudah mampus itu? Andaikata mereka masih hidup, kamipun ingin sekali menjajal kepandaian mereka, apalagi sekarang mereka sudah mampus. Apa yang perlu kami takutkan?”

“Bangsat bermulut besar. Murid Kiu-bwe Coa-li berada di sini! Aku Bun Sui Ceng mewakili mendiang guruku untuk membasmi Mo-kauw!” bentak Bun Sui Ceng sambil bersiap-siap dengan cambuknya.

“Pinto Swi Kiat Siansu mewakili mendiang Suhu Pak-lo-sian Siangkoan Hai menggempur orang jahat!” kata Swi Kiat Siansu dengan tenang dan sama sekali tidak memandang mata kepada Thian-te Sam-kauwcu.

“Siancai, siancai, biarpun mendiang Suhu Hek I Hui-mo menjalani jalan hitam, namun kiranya beliau akan turun tangan kalau menghadapi siluman-siluman sombong seperti kalian! Biarlah pinto Pok Pok Sianjin mewakilinya.” kata pula Pok Pok Sianjin sambil mengerling tajam.

“Sayang Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tidak ada wakilnya,” kata Kun Beng tersenyum mengejek. “Karena Suhu Pak-losian Siangkoan Hai telah diwakili oleh Suheng, biarlah aku The Kun Beng mewakili mendiang Jeng-kin-jiu yang gagah perkasai!”

“Bagus sekali! Jadi lima tokoh besar itu kini telah diwakili oleh murid-muridnya. Kami memang ingin sekali mencoba kepandaian mereka. Hayo, siapa yang hendak maju lebih dulu?” kata Hek-te-ong memandang rendah.

“Biarlah aku memperlihatkan kebodohanku,” kata Han Le yang cepat maju sambil mencabut pedangnya.

Sebelum Hek-te-ong menghadapinya, di pihak Mo-kauw muncul seorang kakek kate dengan telinga lebar, pakaiannya serba hitam. Dia ini adalah Hek Mo-ko yang berkata kepada Hek-te-ong.

“Twa-suhu, biarlah teecu menghadapi murid Ang-bin Sin-kai ini. Ingin teecu merasai kelihaian Hun-khai-kiam-hoat dari Ang-bin Sin-kai. Heh-heh-heh-heh!”






Setelah gurunya mengangguk, Hek Mo-ko lalu meloloskan sepasang senjatanya yang aneh, yakni sebatang pedang bengkok dan seuntai tasbeh,

“Han Le pengemis busuk, kita bertemu lagi sekarang dalam pertandingan satu lawan satu yang menentukan. Hayo kau keluarkan segala kepandaianmu akan kulihat.”

Han Le mendongkol sekali. Ia sudah tahu akan kelihaian Iblis Hitam ini. Akan tetapi ia tidak menjadi gentar sungguhpun ia tahu bahwa ia menghadapi lawan tangguh dan harus berlaku hati-hati sekali.

“Majulah, Hek Mo-ko,” katanya sambil melintangkan pedang.

Sambil tertawa terkekeh-kekeh Hek Mo-ko mulai menyerang. Pedangnya yang aneh bentuknya itu membuat gerakan melingkar, disusul oleh tasbehnya yang meluncur ke arah lambung Han Le.

Maklum akan bahayanya serangan orang kate ini Han Le tidak berani berlaku lambat. Pedangnya bergerak cepat dan dengan jurus-jurus terlihai dari Hun-khai-kiam-hoat, tidak saja ia menangkis dan menggagalkan serangan lawan, bahkan dengan kontan keras ia membalas serangan Hek Mo-ko dengan sabetan dan tusukan maut.

Ilmu pedang Hun-khai-kiam-hoat warisan Ang-bin Sin-kai sudah hebat, apalagi ditambah dengan pelajaran yang didapat dari lukisan-lukisan ilmu silat dari Im-yang Bu-tek-cin-keng di dalam guha di Pulau Pek-hio-to, maka bukan main lihainya ilmu pedang yang dimainkan oleh Han Le. Diam-diam Hek Mo-ko memuji dan tahulah ia mengapa dahulu ketika menghadapi pengemis ini, sutenya hampir saja celaka.

Namun, bagi Han Le juga tidak mudah mengalahkan Hek Mo-ko, karena selain dalam ilmu silat Iblis Hitam yang kecil ini masih lebih lihai daripada Pek Mo-ko, juga tenaga lwee-kangnya amat tinggi, masih lebih kuat daripada tenaga lwee-kang Han Le.

Setelah pertempuran berjalan lima puluh jurus lebih, tiba-tiba saja Hek Mo-ko merubah gerakannya. Kini ia bergerak lambat, akan tetapi dengan pengerahan tenaga lwee-kang sepenuhnya sehingga tiap kali pedang di tangan Han Le terbentur dengan pedang bengkok atau tasbeh, pedang murid Ang-bin Sin-kai ini terpental dan telapak lengannya panas!

Diantara para tokoh itu, hanya Swi Kiat Siansu seorang yang tahu bahwa dalam perubahan ini terjadi kecurangan dari pihak Thian-te Sam-kauwcu. Swi Kiat Siansu sudah banyak pengalamannya di dunia kang-ouw, terutama sekali di daerah barat dimana banyak diyakinkan ilmu hoat-sut (sihir).

Tadi secara kebetulan ia melihat Hek-te-ong memandang tajam ke arah Hek Mo-ko dengan mulut bergerak-gerak. Sungguhpun tidak terdengar sedikit pun suara dari mulutnya, namun Swi Kiat Siansu maklum apa yang telah terjadi.

“Hek-te-ong, kau curang!” serunya marah. “Diam-diam kau membantu Hek Mo-ko!”

“Siapa membantu?” Hek-te-ong mengejek. “Aku tidak bergerak dari tempat dudukku!”

Semua orang juga heran mendengar dakwaan Sui Kiat Siansu tadi. Akan tetapi sesungguhnya memang Hek-te-ong telah membantu Hek Mo-ko dengan ilmu mengirim suara yang disalurkan dengan tenaga lwee-kang melalui pengerahan khi-kangnya.

Suara ini biarpun perlahan, namun langsung bergema di telinga Hek Mo-ko tanpa terdengar oleh orang lain. Hek-te-ong yang berpemandangan luas dan tajam, tahu bahwa tanpa merubah siasat, sukar bagi Hek Mo-ko untuk mencari kemenangan, maka diam-diam ia membisikkan siasat kepada Hek Mo-ko untuk mempergunakan tenaga lwee-kang sepenuhnya dalam pertempuran itu.

Benar saja, setelah Hek Mo-ko merubah cara bertempurnya, Han Le menjadi sibuk. Biarpun ia berada di pihak menyerang, akan tetapi setiap tangkisan lawan merupakan serangan balasan yang langsung merugikannya.

Tiba-tiba ia mendengar suara bisikan perlahan yang mengejutkan hatinya. Ia mengenal baik suara itu, yakni suara suhengnya, Bu Pun Su. Seakan-akan Bu Pun Su berdiri di dekatnya dan berbisik di dekat telinganya,

“Sute, jangan adu senjata. Pergunakan gin-kang dan serang dia dengan Bu-eng-kiam-sut!”

Han Le girang sekali. Ia maklum akan kelihaian suhengnya, dan ia tahu bahwa biarpun tadi menghilang, ternyata Bu Pun Su berada di dekat situ dan sekarang berusaha menolongnya. Cepat ia berseru keras dan pedangnya berubah gerakannya. Kini pedang berkelebat menyambar ke sana sini. Bayangan Han Le lenyap terbungkus gulungan sinar pedang. Bukan main cepatnya gerakan Bu-eng-kiam-sut (Ilmu Pedang Tanpa Bayangan) ini!

Ia berhasil, Hek Mo-ko mengeluarkan seruan kaget dan sebentar saja terdesak mundur. Beberapa kali Hek Mo-ko menggerakkan sepasang senjatanya, memukul membabi-buta, namun tak pernah senjatanya yang digerakkan dengan tenaga lwee-kang sepenuhnya itu dapat menyentuh senjata maupun tubuh lawannya.

Tiba-tiba dengan gerakan cepat, Han Le berhasil menusuk paha Hek Mo-ko dengan pedangnya. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia merasa pedangnya terpental dan hanya dapat merobek celana dan sedikit daging berikut kulit paha lawan!

“Aduh!” teriak Hek Mo-ko yang cepat menggunakan pedang bengkoknya menyabet ke arah pedang Han Le.

“Cring…!”

Pedang terlepas dari tangan Han Le dan telapak tangannya pecah-pecah kulitnya. Keduanya melompat mundur. Hek Mo-ko terluka pahanya. Han Le terluka telapak tangannya. Setelah memungut pedangnya, Han Le berkata,

“Hek Mo-ko, kau lihai sekali.”

Hek Mo-ko menyeringai, ia mendongkol sekali karena dalam pertandingan tadi, biarpun ia dapat membuat pedang lawan tertangkis, namun ia sendiri menderita luka di paha, sehingga kalau dibandingkan, kerugiannya lebih besar.

“Kau patut menjadi murid Ang-bin Sin-kai,” katanya perlahan.

Pek Mo-ko melompat ke depan dan mengangkat dadanya yang bidang. Ia marah melihat kakaknya terluka, maka dengan lantang ia berkata,

“Siapa lagi yang hendak gagah-gagahan mewakili Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai merampas kembali kitab dan pedang? Majulah, aku Pek Mo-ko akan menjaga dua benda ini!” Ia berdiri tegak di dekat kitab dan pedang, sikapnya menantang sekali.

Pok Pok Sianjin marah sekali melihat lagak tengik dari Pek Mo-ko ini. Ia melompat ke depan dan menghadapi Pek Mo-ko dengan tongkat hitam di tangan.

“Pek Mo-ko, ucapanmu itu menandakan bahwa kau seorang rendah dan seperti katak dalam sumur. Akulah orangnya, Pok Pok Sianjin murid Hek I Hui-mo yang akan menghadapimu. Majulah menerima kematian!”

Pek Mo-ko gentar melihat Pok Pok Sianjin. Sebetulnya, kalau dijelaskan, Hek I Hui-mo masih ada hubungan dengan gurunya, karena gurunya itu terhitung adik seperguruan Hek I Hui-mo. Akap tetapi, karena sekarang ia telah menjadi murid Thian-te Sam-kauwcu, dan ketiga orang gurunya yang lihai masih berada di situ, ia tidak mau memperlihatkan takutnya, ia sebaliknya tertawa bergelak,

“Ha, ha, Pok Pok Sianjin, alangkah bedanya kau dengan mendiang gurumu. Pantas kau dahulunya kutu buku, mana bisa menjadi seorang yang berpikir luas? Kalau gurumu masih hidup, tentu kau akan dicaci-maki!”

Pok Pok Sianjin marah sekali mendengar ini. Memang sebetulnya ia mempunyai pendirian lain dengan mendiang gurunya. Hek I Hui-mo terkenal sebagai seorang liar kejam dan mengandalkan kepandaian sendiri, yang tidak segan-segan melakukan perbuatan jahat untuk kepentingan dan keuntungan sendiri. Andaikata gurunya masih hidup dan berada di situ, belum tentu gurunya mau membantu pihak Bu Pun Su. Sekarang mendengar makian Pek Mo-ko, ia cepat menubruk maju menggerakkan tongkatnya.

Ilmu tongkat dari Pok Pok Sianjin adalah warisan dari tokoh besar Hek I Hui-mo yang kepandaiannya setingkat dengan Kui-bwe Coa-li atau Ang-bin Sinkai. Maka dapat dibayangkan betapa hebatnya tongkat hitam yang dimainkannya itu. Pek Mo-ko cepat menangkis dengan tasbehnya, akan tetapi sekali benturan saja, untaian tasbehnya terlepas dan putus!

Dengan kaget Pek Mo-ko melompat ke samping dan membalas dengan serangan kilat, mempergunakan pedang bengkoknya dan sekali menangkis, kembali pedang Pek Mo-ko terpental, hampir terlepas dari pegangan.

Kemudian terjadilah pertempuran hebat. Namun mudah dilihat bahwa Pek Mo-ko masih kalah lihai sehingga ia main mundur saja. Pada suatu saat yang tepat, tongkat di tangan Pok Pok Sianjin berhasil menyodok dada Pek Mo-ko yang terjengkang dan roboh sambil muntahkan darah. Baiknya tenaga lwee-kangnya sudah matang sehingga ia dapat memelihara, dan menjaga isi dada. Ia muntahkan darah bukan karena terluka, melainkan karena terlalu keras mengerahkan hawa menjaga dada. Namun ia tak mungkin dapat melawan terus dan Hek Mo-ko menyeretnya ke pinggir.






Tidak ada komentar :