*

*

Ads

Minggu, 22 April 2012

Ang I Niocu Jilid 029

Pok Pok Sianjin menghampiri pedang dan kitab, hendak mengambilnya, akan tetapi tiba-tiba dari samping ada angin menyambar, Pok Pok Sianjin terkejut sekali dan cepat melompat mundur.

Sebatang pedang hampir saja menabas putus lengannya, demikian cepatnya gerakan pedang yang menyerangnya itu. Ketika ia menengok, ia melihat seorang kakek tua sekali berdiri sambil mengurut-urut jenggot.

“Kiam Ki Sianjin, kembali kau berada di antara orang-orang jahat!” Pok Pok Sianjin memaki. “Memang, ular belang selalu berkawan dengan segala binatang berbisa.”

“Ha, ha, ha, bocah kemarin sore berani main gila. Gurumu sendiri belum tentu berani berlagak sombong di depanku, kau masih kanak-kanak bau ingus ketika aku sudah menjagoi dunia kangouw. Tidak tahukah kau bahwa di dunia kang-ouw sekarang ini tidak ada orang-orang yang dapat menandingi Thian-te Sam-kauwcu? Mengapa kau masih membutakan mata? Lebih baik kalian cepat mengakui bahwa Thian-te Sam-kauwcu memang patut menjadi pimpinan besar dari semua partai.”

“Ngaco-belo! Kau memang ular kepala dua, kau kira aku takut kepadamu?”

Pok Pok Sianjin tak mau membuang banyak waktu lagi, cepat ia menyerang dengan tongkatnya.

Dengan tertawa mengejek, Kiam Ki Sianjin menggerakkan pedang dan menangkis serangannya. Segera keduanya bertempur seru. Bagi para pembaca cerita Pendekar Sakti tentu masih ingat bahwa Kiam Ki Sianjin adalah tokoh besar yang lihai, bahkan ia pernah bekerja sama dengan Hek I Hui-mo. Sekarang melihat murid Hek I Hui-mo berada di pihak Bu Pun Su, selain heran ia juga marah sekali. Apalagi ketika ia melihat betapa dengan mudah Pok Pok Sianjin mengalahkan Pek Mo-ko, ia tak dapat menahan kemarahannya dan muncul ke depan tanpa bertanya lagi kepada Thian-te Sam-kauwcu, karena memang tingkat kepandaiannya sudah tinggi, tidak jauh selisihnya dengan tingkat kepandaian tiga ketua itu.

Betapapun lihainya Pok Pok Sianjin, menghadapi pedang Kiam Ki Sianjin ia repot juga. Murid Hek I Hui-mo ini memang tadinya hanya seorang sastrawan muda dan ia hanya terpaksa saja menjadi murid tokoh besar Hek I Hui-mo (baca Pendekar Sakti). Maka setelah ia mewarisi ilmu silat tinggi, ia jarang sekali berlatih dan biarpun kepandaiannya sudah tinggi, akan tetapi ia jarang bertempur.

Kini yang dihadapinya adalah seorang ahli silat tinggi yang boleh dibilang pekerjaannya sehari-hari hanya bersilat dan bertempur, maka dalam jurus ke empat puluh, pedang Kiam Ki Sianjin berhasil melukai pundaknya. Terpaksa Pok Pok Sianjin melompat ke belakang, ditertawai oleh Kiam Ki Sianjin.

Kun Beng marah sekali dan sambil memaki keras ia melompat maju menggantikan Pok Pok Sianjin, tombaknya terus digerakkan menyerang Kiam Ki Sianjin. Kakek ini tertawa terkekeh-kekeh dan menggerakkan pedangnya menangkis sehingga sekejap kemudian mereka telah bertanding mati-matian.

Melihat bahwa sute itu pun agaknya takkan dapat menangkan Kiam Ki Sianjin yang lihai, Swi Kiat berseru keras dan murid pertama dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai ini memasuki kalangan pertandingan dengan senjatanya yang ampuh di tangan, yakni sepasang kipas, senjata istimewa dari mendiang gurunya!

“Perlahan dulu, tukang dapur!”

Hek Mo-ko membentak dan bersama Pek Mo-ko, ia menyambut Swi Kiat Siansu. Dua saudara iblis hitam putih ini telah mengambil senjata cadangan dan biarpun mereka telah terluka, namun luka yang ringan itu tidak menghambat gerakan mereka. Terpaksa Swi Kian Siansu menghadapi keroyokan Hek Pek Mo-ko yang tentu saja amat berbahaya setelah maju bersama.

Pok Pok Sianjin yang terluka pundaknya, tidak mau tinggal diam melihat dua orang kawannya didesak. Ia melompat maju dan tongkatnya kembali menyambar-nyambar, akan tetapi sebelum ia dapat membantu, terdengar suara ketawa merdu dan tahu-tahu seorang gadis cantik jelita menyambut tongkat dengan sepasang pedang.

Temyata bahwa Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, murid terkasih dari Thian-te Sam-kauwcu telah turun tangan! Pek Hoa Pouwsat memiliki kepandaian yang istimewa dan masih lebih tinggi tingkatnya daripada Hek Pek Mo-ko, maka tentu saja dalam beberapa belas jurus Pok Pok Sianjin telah terdesak hebat, terkurung oleh sepasang pedang dan keselamatannya terancam sekali!






Sui Ceng menjadi bingung. Ia menoleh ke sana ke mari mencari-cari Bu Pun Su. Baru pembantu dan murid-murid Thian-te Sam-kauwcu saja yang maju, pihaknya telah terdesak. Tak disangkanya bahwa pihak Mo-kauw demikian lihai. Kalau sampai Thian-te Sam-kauwcu sendiri yang maju, dapat diramalkan bahwa dia dan kawan-kawannya takkan dapat keluar dari tempat itu dengan selamat.

“Maju…! Serbu dan rampas kitab dan pedang!” hampir berbareng, para pimpinan Siauw-lin-pai dan Kun-lun-pai memberi aba-aba dan dua puluh orang Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai serentak maju sambil menggerakkan senjata masing-masing.

Hek-te-ong tertawa bergelak.
“Kawan-kawan, sambut mereka! Jangan biarkan hidup seorang juga! Kalau kita dapat menumpas mereka, dunia kang-ouw pasti akan mengakui kekuasaan kita!”

Pihak Mo-kauw bersorak-sorai dan terjadilah perang tanding yang hebat dan mati-matian. Sui Ceng tidak mau pusingkan tentang Bu Pun Su lagi, sungguhpun hatinya amat mendongkol.

“Benar-benarkah Kwan Cu berubah menjadi seorang pengecut yang tak tahu malu?” pikirnya.

Namun ia tidak mau tinggal diam dan sekali ia berseru nyaring, cambuknya berbunyi, “Tar! Tar! Tar!” dan seketika itu juga, empat orang anak buah Mo-kauw roboh menjerit dan bergulingan untuk menghadapi maut!

Sui Ceng hendak mengamuk terus. Tiba-tiba ia melompat mundur karena ia mendengar suara Bu Pun Su berbisik dekat telinganya,

“Sui Ceng, demi keselamatan semua kawan, kau robohkan lebih dulu Wi Wi Toanio. Kau lihat wanita yang berbaju biru memegang pedang itu. Serang dia dan robohkan sampai tidak berdaya. Awas, di sebelah kirinya, laki-laki yang memakai baju kuning itu adalah An Kai Seng, musuh besar kita!”

Sui Ceng memandang ke sana ke mari, akan tetapi tidak melihat Bu Pun Su. Ia sudah menjadi marah sekali ketika mendengar bahwa yang berbaju kuning adalah An Kai Seng, maka sekali ia melompat, ia telah berhadapan dengan An Kai Seng. Tanpa banyak cakap, ia lalu menyerang.

“Jahanam An, mampuslah kau!”

Cambuknya menyambar hebat, mengeluarkan bunyi yang keras sekali. An Kai Seng yang diserang secara mendadak, kaget bukan main. Ia bukan seorang lemah dan cepat pedangnya menangkis. Namun ia tidak berdaya karena kali ini, Sui Ceng mempergunakan semua ujung cambuknya yang berjumlah sembilan.

Pedang An Kai Seng dapat menangkis sebagian ujung cambuk, akan tetapi tetap saja dua ujung cambuk menotok jalan darahnya satu di leher dan satu lagi di ubun-ubun! An Kai Seng menjerit ngeri dan roboh tak bemapas lagi.

“Perempuan jahat, kau berani mencelakai suamiku!”

Wi Wi Toanio menjerit dan mengirim tikaman dengan pedang. Namun tentu saja Wi Wi Toanio bukan merupakan lawan tangguh bagi Bun Sui Ceng, murid Kiu-bwe Coa-li yang lihai ini. Beberapa gebrakan saja, Wi Wi Toanio roboh pingsan terkena sabetan cambuk pada pinggangnya.

Gemas mengingat bahwa perempuan ini adalah isteri musuh besamya, yakni An Kai Seng keturunan An Lu San yang amat dibencinya, Bun Sui Ceng mengayun cambuk hendak memberi pukulan maut.

Akan tetapi tiba-tiba ia terjengkang ke belakang dan di depannya berdirilah Hek-te-ong dengan senjatanya yang aneh di tangan, yakni sebuah penggada kepala biruang! Sambaran senjata ini saja sudah dapat membuat Sui Ceng terjengkang, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya tenaga dari ketua Mo-kauw ini.

Akan tetapi Sui Ceng memang tak pemah mengenal takut. Cambuknya bergerak-gerak laksana sembilan ekor ular dan ia menyerang Hek-te-ong dengan pengerahan tenaga seluruhnya.

Diam-diam Hek-te-ong harus mengakui keganasan dan kehebatan wanita ini, akan tetapi karena memang ia telah memiliki kepandaian yang amat tinggi, lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Kiam Ki Sianjin, ia dapat menghadapi Bu Sui Ceng dengan amat baiknya. Bahkan senjatanya penggada yang aneh itu dengan amat kuat dan pasti mulai mendesak Sui Ceng.

Sementara itu, Kiang Liat yang tadinya tidak berdaya karena ia maklum akan rendahnya tingkat kepandaiannya menghadapi para tokoh besar itu, setelah melihat dua pihak berperang tanding tanpa memilih jago, segera mencabut pedangnya dan menyerbu.

Ia paling benci melihat Pek Hoa Pouwsat yang pernah mengganggunya. Apalagi kalau ia teringat akan kata-kata isterinya bahwa wanita cantik seperti siluman ini pemah berjanji untuk menengok anaknya, kekhawatirannya amat besar. Kini melihat Pek Hoa Pouwsat mendesak Pok Pok Sianjin, tanpa ragu-ragu lagi ia lalu terjun ke dalam pertempuran dan mempergunakan segala kepandaiannya untuk membantu Pok Pok Sianjin.

Eh, bocah she Kiang, kau masih belum mampus?”

Pek Hoa Pouwsat yang mengenal Kiang Liat mengejek dan pedangnya kini bermain-main di atas kepala Kiang Liat. Kalau tidak ada Pok Pok Sianjin, tentu dalam beberapa jurus saja Kiang Liat akan roboh. Setelah Kiang Liat membantu, keadaan Pok Pok Sianjin tidak begitu terdesak lagi, karena biarpun Kiang Liat masih kalah jauh tingkat kepandaiannya, namun kiam-hoat dari orang muda ini tak boleh dibilang lemah.

Pek Hoa Pouwsat gemas sekali. Dicabutnya sehelai saputangan dari saku bajunya. Melihat saputangan merah ini, Kiang Liat terkejut sekali.

“Locianpwe, awas saputangan beracun itu…!” katanya.

Akan tetapi terlambat, sambil tertawa kecil Pek Hoa Pouwsat mengebutkan saputangannya.

Pada saat yang amat berbahaya itu, terdengar suara orang,
“Perempuan keji!” dan tiba-tiba saputangan merah itu direnggut lepas dari tangan Pek Hoa Pouwsat dan di lain saat, terdengar suara “tak!” dan patahlah pedang di tangan kiri perempuan itu!

Pek Hoa Pouwsat menjadi pucat dan ia melompat jauh ke belakang, mulutnya memaki-maki,

“Bu Pun Su, lain kali kubunuh kau…”

Memang Bu Pun Su yang turun tangan pada saat berbahaya itu. Tadinya ketika melihat Wi Wi Toanio, terbang semangatnya. Ia maklum bahwa kalau perempuan berbahaya itu mempergunakan tusuk konde untuk mempengaruhinya, ia takkan berdaya.

Maka cepat-cepat Bu Pun Su pergi dan mengintai dengan hati gelisah. Melihat betapa pihaknya menderita kekalahan, ia lalu mengirim suara untuk membantu Han Le, kemudian ia mengirim suara pula kepada Bun Sui Ceng untuk merobohkan Ang Kai Seng dan Wi Wi Toanio.

Setelah dilihatnya bahwa Wi Wi Toanio telah tak berdaya pula, dengan girang Bu Pun Su lalu menerjang maju. Pertama-tama ia menolong Kiang Liat dan Pok Pok Sianjin yang hampir saja menjadi korban saputangan merah beracun dari Pek Hoa Pouwsat. Setelah itu, ia lalu cepat menolong yang lain.

Pedang dan golok orang-orang Mo-kauw beterbangan, orang-orangnya roboh menjerit kesakitan tanpa melihat siapa yang merampas senjata dan merobohkan mereka. Demikian cepatnya gerakan Bu Pun Su Pendekar Sakti.

“Tahan semua senjata! Thian-te Sam-kauwcu, kalau kalian memang laki-laki, jangan main keroyokan. Aku Bu Pun Su lawanmu. Mari kita mengadu kesaktian secara laki-laki!”

Mendengar ini dan melihat betapa orang-orangnya banyak yang roboh, Het te-ong lalu memberi aba-aba untuk menyuruh orang-orangnya mundur. Keadaan menjadi sunyi kembali.

Mereka yang terluka, baik dari pihak Mo-kauw maupun dari anak-anak buah Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, ditolong oleh kawan-kawannya dan ditarik ke belakang untuk diobati.

“Bu Pun Su, kenapa kau baru muncul?” Sui Ceng menegur marah kepada Bu Pu Su.

Pendekar itu tersenyum, mengejapkan mata kepadanya.
“Sekarang tiba saatnya aku menghadapi mereka. Terima kasih atas bantuanmu tadi, Sui Ceng,” kata Bu Pun Su yang cepat melangkah maju menghadapi Thian-te Sam-kauwcu yang berdiri tegak dengan muka merah.

“Bu Pun Su, kau telah berani merusak patung-patung kami dan sekarang kau pula yang harus bertanggung jawab atas keributan ini. Kalau tidak ada kau di sini, kiranya semua orang gagah akan insyaf dan mengakui kami sebagai sahabat dan pemimpin,” kata Hek-te-ong.






Tidak ada komentar :