*

*

Ads

Minggu, 22 April 2012

Ang I Niocu Jilid 030

“Hek-te-ong, tenang dulu! Kau dan dua orang sutemu dari Barat mengacau di Tiong-goan. Kawan-kawan Mo-kauw yang bodoh dapat kalian tipu sehingga mereka mudah saja kalian jadikan boneka, termasuk kakek seperti Kam Ki Sianjin. Tidak itu saja bahkan kalian telah mengganggu Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, mencuri kitab dan pedang. Kemudian kalian berusaha pula untuk merobohkan semua tokoh persilatan. Sekarang aku sudah datang, dan akulah yang bertanggung jawab.”

“Apa kehendakmu?” tanya Hek-teong.

“Tidak banyak, hanya dua macam. Pertama kau hanya mengembalikan kitab kepada Siauw-lim-pai dan pedang kepada Kun-lun-pai, disertai pernyataan maaf atas kekurang-ajaranmu. Kedua, kau dan dua orang sutemu harus segera pergi dari Tiong-goan, kembali ke barat tempat asalmu. Kalau kau hendak menjagoi, di Tibet tempatmu, bukan disini.”

“Ha-ha-ha, kau sombong sekali. Apa kau kira kami ini anak-anak kecil yang akan mudah kau tipu dengan suara suling?”

Bu Pun Su tersenyum dan mencabut suling yang terselip di pinggangnya.
“Suling ini memang biasa untuk menghibur anak-anak kecil dan orang-orang yang berduka, akan tetapi adakalanya dapat dipergunakan untuk mengusir pengacau-pengacau. Hek-te-ong, daripada kita semua berkelahi seperti orang-orang biadab, marilah kita bertaruh. Kalian boleh mengajukan siapa saja untuk menghadapiku mengadu kepandaian. Kalau aku kalah, aku Bu Pun Su takkan peduli lagi kalian akan berbuat apa. Akan tetapi kalau jago-jagomu kalah, kalian harus segera angkat kaki dari sini dan selama hidup jangan menginjak lagi bumi di daerah ini!”

“Manusia sombong, apa sih kepandaianmu maka kau begini sombong? Mari kuantar kau ke neraka!”

Yang berkata demikian adalah Pek-in-ong tokoh ke dua dari Mo-kauw yang tinggi kurus seperti tengkorak. Dengan senjatanya sepasang roda yang lihai sekali, Pek-in-ong langsung menyerang Bu Pun Su. Rodanya berputaran di tangan yang mengeluarkan suara angin mengiung.

“Bagus, aku pemah mengenal patungmu, akan tetapi lebih menarik mengenal orangnya,” kata Bu Pun Su yang dengan amat sederhana dan mudah mengelak dari serangan orang.

Pek-in-ong mendesak terus dan sepasang rodanya menyambar-nyambar mencari lowongan, siap untuk mencabut nyawa Bu Pun Su. Namun, Bu Pun Su adalah seorang pendekar yang memiliki kesaktian luar biasa. Di atas dunia hanya dia seoranglah yang beruntung mewarisi ilmu kepandaian dari kitab sakti Im-yang Bu-tek Cin-keng, dan pendekar ini telah memiliki kepandaian mengenal dasar dan intisari semua gerakan ilmu silat.

Oleh karena itu, dengan mudah saja ia dapat melihat setiap gerakan roda lawan, tahu kemana senjata lawan akan menyerangnya, maka mudah saja baginya untuk menghindarkan diri.

Selain ini, di dalam tubuhnya mengalir sin-kang (hawa sakti) yang terjadi dari hawa murni di dalam tubuhnya sudah kuat sekali, apalagi setelah selama ini ia bertapa tekun bersamadhi mengatur pernapasan dan mencurahkan seluruh jiwanya kepada kekuasaan Yang Maha Kuasa, maka ia memiliki kekuatan lahir batin yang menakjubkan.

Biarpun senjatanya hanya sebatang suling bambu, akan tetapi sungguh aneh dan sukar dipercaya. Setiap kali roda yang terbuat dari baja tulen itu bertemu dengan suling, roda itu terpental kembali dan beberapa kali roda itu akan menghantam kepada Pek-in-ong sendiri.

Para tokoh yang berada di situ, yakni rombongan Bun Sui Ceng dan kawan-kawannya, sungguhpun mereka sudah tahu akan kelihaian Bu Pun Su, namun kembali mereka terheran-heran dan kagum sekali. Bagaimana Bu Pun Su dengan hanya sebatang suling bambu dapat mempermainkan Pek-in-ong seperti seekor kucing mempermainkan tikus? Padahal, semua orang tahu bahwa Pek-in-ong memiliki kepandaian yang amat tinggi!

Pek-in-ong sendiri terheran-heran. Beberapa kali Bu Pun Su mengembalikan roda-rodanya dengan gerak tipu yang serupa benar dengan gerakan yang tadi ia lakukan untuk menyerang lawan aneh ini. Ia merasa penasaran sekali dan mengerahkan seluruh kepandaiannya.

Akan tetapi sia-sia belaka, bahkan ketika ia menyerang dengan hebatnya, melontarkan sepasang rodanya yang susul menyusul menimpa kepala Bu Pun Su, pendekar ini mengangkat sulingnya. Tepat sekali suling itu masuk ke dalam roda, diputar-putarnya suling itu sehingga rodanya ikut berputar lalu roda itu dilontarkan kembali ke arah kepala Pek-in-ong!






Pek-in-ong terkejut, cepat mengulur tangan menyambut rodanya sendiri. Akan tetapi ia terjengkang karena tidak kuat menahan lontaran yang penuh tenaga dahsyat itu. Roda kedua menghantam kepala Bu Pun Su, akan tetapi Pendekar Sakti ini mengibaskan tangannya dan… roda itu cepat meluncur ke bawah, menghantam kaki Pek-in-ong yang terjengkang.

“Plak!” Kaki kanan Pek-in-ong terkena pukulan rodanya sendiri.

“Aduh… aduh…!”

Semua orang hampir tak dapat menahan ketawa ketika melihat Pek-in-ong berloncat-loncatan dengan kaki kiri sambil memegangi kaki kanan yang patah tulangnya dan bukan main sakitnya. Setelah berloncat-loncatan beberapa kali meringis-ringis, Pek-inong roboh pingsan!

Hek-te-ong mengeluarkan suara gerengan seperti seekor biruang marah. Matanya menjadi merah seperti mengeluarkan api. Sekali tangannya bergerak, berhamburan debu hijau dan hitam ke arah Bu Pun Su. Pendekar ini maklum bahwa lawannya mengeluarkan bubuk beracun.

“Semua mundur jauh-jauh!” teriaknya kepada kawan-kawannya.

Bun Sui Ceng dan yang lain-lain cepat melompat ke belakang, menyambar tubuh-tubuh kawan-kawan yang kurang gesit. Han Le menyeret Kiang Liat karena orang muda ini berlaku lambat. Akan tetapi ada beberapa orang anak buah Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai tidak keburu lari dan mereka tiba-tiba terbatuk-batuk dan roboh dengan muka menjadi hitam, napas mereka sudah putus!

“Keji sekali kau, Hek-te-ong!” seru Bu Pun Su marah, dan ia lalu menggerakkan kedua lengan, melakukan pukulan Pek-in-hoat-sut yang mengeluarkan uap putih dan segera semua bubuk berwama itu terusir kembali menghantam ke arah rombongan Hek-te-ong sehingga orang-orang Mo-kauw itu menjadi kocar-kacir!

“Bu Pun Su mampuslah kau!” teriak Hek-te-ong dan senjatanya menyambar laksana kilat.

Menghadapi senjata penggada kepala biruang ini, Bu Pu Su tidak berani berlaku lambat. Ia menyelipkan sulingnya dan sebagai penggantinya, dicabutnya sebatang pedang yang berkilauan cahayanya. Inilah pedang pusaka Liong-coan-kiam, pedang pusaka yang ia terima dari kakeknya, yakni Menteri Lu Pin!

Sambaran senjata di tangan Hek-te-ong mengenai angin ketika Bu Pun Su mengelak dan sekejap kemudian dua orang sakti ini bertempur. Bukan main hebatnya pertempuran ini. Bu Pun Su pernah mengamuk ketika ia dahulu di waktu muda menghadapi Kam Ki Sianjin dan kawan-kawannya, akan tetapi selama hidupnya baru kali ini ia menghadapi tandingan yang benar-benar tangguh.

Kepandaian Hek-te-ong masih mengatasi kepandaian Ang-bin Sin-kai bahkan masih lebih ganas dan berbahaya daripada kepandaian Kiu-bwe Coan-li dan yang lain-lain!

Namun, Bu Pun Su sekarang jauh bedanya dengan Bu Pun Su ketika masih mempergunakan nama Lu Kwan Cu. Sekarang kepandaian Bu Pun Su sudah sampai di puncak kesempurnaan, ilmu silat Im-yang Bu-tek Cin-keng sudah mendarah daging kepadanya. Gerakan-gerakannya sudah otomatis dan hawa sin-kang di tubuhnya tanpa diatur lagi sudah melindungi seluruh anggauta tubuh. Bahkan dalam menghadapi Hek-te-ong, pendekar sakti ini masih mempunyai waktu untuk mempelajari ilmu silat aneh dari Ketua Mo-kauw ini.

Seratus jurus lebih mereka bertempur. Tiba-tiba Hek-te-ong berseru keras dan sekali ia menepuk dadanya, dari sebuah kancing besar di dadanya menyambar keluar tiga batang jarum merah ke arah tubuh Bu Pun Su. Serangan gelap ini ia barengi dengan pukulan penggadanya, disusul dengan cengkeraman tangan kiri dan yang terakhir sekali, dua kakinya melakukan tendangan berantai!

Manusia biasa saja mana mampu membebaskan diri dari serangan ganas yang bertubi-tubi dari yang semuanya dapat merampas nyawa ini? Namun Bu Pun Su bukan manusia biasa, melainkan seorang manusia yang sudah amat kuat jiwa raganya, sudah amat tinggi ilmunya dan memiliki kesaktian yang tiada keduanya.

la maklum bahwa jarum-jarum merah itu berbahaya sekali, maka ia cepat meniup ke arah jarum-jarum itu dengan tenaga khi-kang sepenuhnya sehingga jarum-jarum itu runtuh, kemudian tangan kirinya menangkis cengkeraman tangan kiri lawan, tubuhnya direndahkan sedikit sehingga tendangan berantai mengenai dada dan perutnya. Akan tetapi, pedangnya cepat sekali membabat senjata lawan.

Dalam satu detik itu terjadi hal-hal yang luar biasa sekali. Dua buah kaki Hek-te-ong tepat menendang perut dan dada Bu Pun Su, akan tetapi Bu Pun Su tidak bergeming, sebaliknya tubuh Hek-te-ong terpental ke belakang. Penggada itu terkena babatan pedang, putus bagian leher kepala biruang dan kepala biruang itu sendiri meluncur ke bawah amat cepatnya dan…. terdengar suara keras kepala biruang itu mengenai kepala Pek-in-ong yang masih menggeletak pingsan. Kepala Pek-in-ong pecah bersama kepala biruang itu.

Melihat ini, Hek-te-ong terkejut dan marah sekali. Dengan suara menggereng seperti binatang buas, ia menubruk Bu Pun Su dengan kedua tangan direnggangkan, lakunya seperti seekor biruang menerkam.

Bu Pun Su tak dapat mengelak lagi, juga tidak tega untuk menyerang lawan dengan pedangnya. Cepat ia membanting pedang sehingga menancap di atas tanah, dan dengan kedua tangannya, ia menyambut datangnya lawan. Dua pasang tangan yang amat kuat bertemu, saling cengkeram dan saling membetot. Dua orang sakti mengadu tenaga lwee-kang, karena dari sepuluh jari tangan masing-masing keluar hawa lwee-kang yang disalurkan.

“Krek… krek… krek…!”

Suara ini amat mengerikan mereka yang menonton pertempuran, karena jelas bahwa itu adalah suara tulang-tulang yang patah! Tak lama kemudian, Hek-te-ong menjerit panjang dan tubuhnya terjengkang ke belakang, lalu roboh dengan jari-jari tangan masih merupakan cengkeraman kuku iblis.

Akan tetapi ia sudah tidak bernapas lagi dan tubuhnya kaku seperti balok. Ternyata bahwa dalam adu tenaga lwee-kang tadi, ia terkena pukulan hawa lwee-kangnya sendiri yang membalik karena tidak dapat menahan sin-kang yang mengalir keluar dari jari-jari tangan Bu Pun Su.

Bu Pun Su menarik napas panjang.
“Siancai… siancai…” katanya perlahan, “Hek-te-ong dan Pek-in-ong binasa karena kehendak Tuhan…”

Cheng-hai-ong berdiri pucat. Ia marah dan sedih sekali melihat dua orang kakak seperguruannya tewas dalam keadaan mengerikan. Ia maklum bahwa kalau dua orang kakaknya kalah oleh Bu Pun Su, apalagi dia yang kepandaiannya lebih rendah. Akan tetapi, ia tidak dapat membiarkan begitu saja tanpa menuntut balas. Malu kalau ia tidak turun tangan. Diam-diam otaknya bekerja dan ia lalu maju menghampiri Bu Pun Su, sikapnya tenang.

“Bu Pun Su, kau telah menewaskan kedua orang suhengku. Kau tentu maklum bahwa hal ini tak dapat kubiarkan begitu saja. Terpaksa aku melupakan kebodohan sendiri dan menantangmu mengadu nyawa.”

“Aku tahu dan aku bersedia, Cheng-hai-ong,” jawab Bu Pun Su sambil menarik napas panjang.

Kalau tidak amat terpaksa dan demi keselamatan kaum pendekar di kang-ouw, ia segan untuk membunuh oriang.

“Kedua suhengku mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi dariku, toh mereka tewas dalam tanganmu. Apalagi aku. Oleh karena itu, kiranya sebagai orang yang lemah aku berhak menentukan sifat pertandingan ini, ataukah kau merasa keberatan, Bu Pun Su?”

Bu Pun Su tersenyum dingin,
“Sesukamulah, aku akan selalu mengiringi kehendakmu. Pertandingan mengadu kepandaian macam apa pun akan kuterima.”

“Bagus!”

Tiba-tiba sikap lemah-lembut dan mengalah dari Cheng-hai-ong lenyap, berganti dengan sikap yang gembira dan sinar mata yang kejam!






Tidak ada komentar :