*

*

Ads

Senin, 03 Desember 2018

Pendekar Sakti Jilid 008

“Belum ada, Toanio, kebetulan sekali Toanio bertanya tentang hal ini. Sesungguhnya kami bertiga untuk sementara ini mengurus perkumpulan, sementara menanti adanya seorang ketua. Karena kita sudah membicarakan perkumpulan, biarlah kami bertiga mengulangi lagi permohonan kami kepada Thio-toanio. Harap Toanio sudi mengingat akan usaha dan jerih payah Bun-pangcu dan suka memimpin perkumpulan kami yang…..”

“Cukup! Aku sampai bosan mendengarkannya. Berapa kali sudah kukatakan bahwa aku tidak peduli lagi dengan perkumpulan busuk itu? Perkumpulan yang hanya mengutamakan nafsu dan pelanggaran susila?”

“Toanio terlalu tidak adil!” Seorang diantara mereka berseru. “Hanya seorang yang melanggar, akan tetapi Toanio mengutuk kami semua. Apakah kematian Bun-pangcu masih belum cukup merupakan tebusan dosa? Apakah…..”

Belum habis orang itu bicara, tangan Loan Eng menyambar dan terdengar orang itu berseru kesakitan dan tubuhnya terlempar kebelakang sampai lima langkah. Ternyata bahwa tangan Loan Eng tadi telah memukul pundaknya dan sambungan tulang pundaknya terlepas!

Loan Eng memandang dengan mata penuh ancaman.
“Biarlah sedikit hajaran ini membikin kalian kapok dan tidak akan mengganggu aku lagi!”

Setelah berkata demikian, Loan Eng melompat pergi dan sebentar saja nyonya yang keras hati ini telah masuk ke dalam dusun, langsung menuju kerumahnya.

Kwan Cu senang tinggal di rumah keluarga Thio. Tidak saja Loan Eng amat suka dan bersikap baik sekali padanya, juga Bun Sui Ceng, putri dari Loan Eng ternyata adalah seorang anak yang manis dan lincah.

Sui Ceng suka kepada Kwan Cu karena anak ini jauh lebih cerdik dari padanya, dan dalam banyak hal selalu Kwan Cu menjadi penasihatnya. Sui Ceng menganggap Kwan Cu sebagai kakaknya sendiri dan demikian Kwan Cu merasa mendapatkan seorang adik yang manis. Terhadap Loan Eng, Kwan Cu berlaku penuh hormat dan dia pun amat rajin membantu pekerjaan rumah sehingga nyonya janda ini amat suka padanya.

Akan tetapi, kalau semenjak kecil Sui Ceng amat gemar belajar ilmu silat, sebaliknya Kwan Cu tidak pernah mau belajar ilmu pukulan, dan lebih tekun mempelajari ilmu surat dan juga ilmu ginkang!

Sebentar saja Kwan Cu telah memiliki ilmu meringankan tubuh mengagumkan Loan Eng. Benar sebagaimana dugaannya, Kwan Cu amat baik bakatnya, bahkan dalam usia enam tahun anak ini sudah tahu cara melatih diri dalam hal siulian atau samadhi! Di luar kesadaran anak itu sendiri, diam-diam Loan Eng melatih ginkang dan lweekang kepada Kwan Cu.

Dua tahun lewat tanpa terasa dan usia Kwan Cu suda tujuh tahun. Di dalam waktu dua tahun itu, dia telah dapat mempelajari ilmu surat dan kini dia telah lancar dan pandai membaca kitab-kitab tebal, bahkan dengan lancarnya dia dapat membaca kitab-kitab berat yang berisi ujar-ujar para nabi! Benar-benar dalam hal ini pun Loan Eng merasa terkejut dan terheran sekali atas kecerdasan otak anak yang pendiam itu.

Keluarga Thio adalah keluarga yang kaya, maka selain gedung yang besar itu, Loan Eng juga menerima warisan berupa barang-barang berharga. Akan tetapi nyonya janda ini hidup secara sederhana, hanya dibantu oleh dua orang pelayan yang sekalian bekerja sebagai pengasuh Sui Ceng. Semenjak suaminya meninggal, nyonya ini sering kali pergi merantau dan meninggalkan anaknya di dalam asuhan pelayan itu.

Pada suatu pagi Kwan Cu dan Sui Ceng bermain-main di depan rumah. Thio Loan Eng sedang pergi ke kota, membeli barang-barang keperluan yang tak dapat dibeli di dusun mereka,

Sui Ceng sedang memamerkan kepandaian silatnya kepada Kwan Cu. Anak perempuan yang berusia lima tahun ini memang mempunya gerakan yang lincah dan gesit, maka Kwan Cu memandang dengan hati gembira. Dalam pandangannya, Sui Ceng bergerak-gerak seperti orang menari-nari hingga tak terasa pula dia bertepuk tangan memuji.

“Bagus, adik Ceng. Sayang gerakanmu kurang cepat.”

“Apa? Kurang cepat? Kwan Cu, kau tidak pernah belajar silat, bagaimana kau berani lancang mengatakan kurang cepat?” Sui Ceng bertanya penasaran.

“Memang aku tak pernah belajar karena aku tidak suka dengan ilmu pukul orang, akan tetapi kalau aku melihat ibumu mengajarmu, ternyata gerakan ibumu jauh lebih cepat dari padamu. Oleh karena itu maka aku bilang gerakanmu kurang cepat.”

Sui Ceng tidak jadi marah. Kalau demikian halnya kata-kata tadi bukan merupakan celaan.






“Mana bisa aku dibandingkan dengan ibu? Tentu saja aku kalah cepat. Ibu adalah seorang yang paling cepat gerakannya di dunia ini.”

Kwan Cu diam saja, akan tetapi diam-diam dia berpikir bahwa kalau dibandingkan dengan dua orang kakek yang dulu dilihatnya di dekat pantai, ibu anak ini jauh sekali.

Kedua anak ini tidak tahu bahwa semenjak tadi, tiga orang laki-laki berdiri agak jauh di luar rumah itu dan memandang ke arah mereka. Tiga orang itu muncul tak lama setelah Loan Eng pergi ke Cin-an dan mereka kini bicara kasak-kusuk, lalu dengan langkah lebar mereka memasuki pekarangan gedung itu.

Kwan Cu memandang dan dia melihat tiga orang yang telah dikenalnya dua tahun lalu. Mereka itu adalah orang-orang yang pernah membujuk kepada Loan Eng untuk menjadi pangcu dari Sin-to-pang dan kemudian ditolak oleh Loan Eng, bahkan seorang di antaranya telah dipukul jatuh. Diam-diam Kwan Cu berkhawatir dan tanpa terasa lagi dia lalu berjalan menghadang di depan Sui Ceng.

“Toanio tidak ada di rumah, harap Sam-wi datang lain kali saja,” kata Kwan Cu kepada mereka.

“Ha-ha-ha, kau bukankah budak pengemis dulu itu? Aku sudah tahu kalau Toanio tidak ada, tak usah kau banyak buka mulut!”

Seorang di antara mereka membentak dan sekali lagi mengulur tangan, dia telah memegang tangan Kwan Cu dan mendorong anak itu roboh terguling.

“Kau manusia busuk!” Sui Ceng dengan marah sekali memaki. “Kau berani menjatuhkan Kwan Cu? Kupukul kepalamu!” Sambil berkata demikian Sui Ceng menyerang dengan kepalan tangannya yang kecil!

Akan tetapi, dengan mudah saja orang itu menangkap tangan dan sekali tarik, Sui Ceng telah berada dalam gendongannya dan kedua tangan anak itu dipegang dalam sebuah tangan tanpa dapat bergerak lagi.

“Lepaskan dia! Lepaskan adik Ceng!”

Kini Kwan Cu sudah melompat bangun, menerjang dalam usaha hendak merampas kembali Sui Ceng.

Akan tetapi, kembali sebuah dorongan membuat dia jatuh jungkir-balik. Sungguh heran tiga orang itu, karena begitu di dorong jatuh, begitu anak gundul itu melompat berdiri lagi dan mencoba untuk merampas Sui Ceng!

“Lepaskan adik Ceng!” serunya berulang-ulang dan dengan nekat dia mencoba untuk merebut anak itu, Sui Ceng juga berseru-seru,

“Kwan Cu, tolonglah aku…!”

Sebuah tendangan mengenai kaki Kwan Cu dan membuat anak itu terlempar jauh, lalu jatuh mengeluarkan suara berdebuk. Akan tetapi, seperti tidak merasakan sesuatu, anak gundul itu telah bangun kembail dan mengejar!

Orang tertua di antara ketiga orang itu, yang berjenggot kasar, memukul kepala Kwan Cu. Anak ini tidak pernah belajar silat, akan tetapi perasaannnya memperingatkan bahwa kalau sampai kepalanya terpukul, mungkin dia akan binasa. Maka dia cepat miringkan kepalanya dan sebaliknya yang terkena pukulan adalah pundaknya.

“Buk!”

Orang itu terkejut sekali karena seperti memukul bantal kapuk saja, dan biarpun Kwan Cu kembali jatuh berguling-guling seperti bola ditendang, namun dia segera melompat kembali dan berteriak-teriak menuntut supaya Sui Ceng dilepaskan!

“Twako, kita tinggalkan anak setan itu!” kata orang yang memondong Sui Ceng sambil melompat pergi, diikuti oleh dua orang kawannya.

“Lepaskan adik Ceng….!”

Kwan Cu mengejar dan kembali ketiga orang itu terkejut bukan main karena melihat betapa anak gundul itu dapat berlari cepat! Memang selama dua tahun ini, yang dengan tekun dipelajari oleh Kwan Cu selain ilmu membaca dan menulis, adalah berlari cepat dan tanpa disadarinya dia melatih ginkang dan lweekang!

Oleh karena dia telah memiliki tenaga lweekang, dibantu daya luar biasa dari buah ular yang dulu dia makan dengan terpaksa oleh Tauw-cai-houw, maka semua tendangan, pukulan, dan dorongan itu biarpun membuat dia jatuh bangun, namun tidak melukainya!

Tiga orang pemimpin Sin-to-pang yang menculik Sui Ceng berlari terus memasuki hutan dan ketika mereka menengok, mereka tidak melihat Kwan Cu lagi. Mereka tertawa girang dan melanjutkan perjalanan mereka menuju ketengah hutan.

Tiga orang ini tidak mengira bahwa diam-diam Kwan Cu mengikuti mereka. Tadi ketika dia mengejar, dia sendiri merasa heran karena ternyata dalam hal berlari cepat, dia tidak kalah oleh ketiga oran itu! Bahkan kalau dia mau, agaknya dia akan dapat berlari lebih cepat lagi!

Kemudian, ketiga orang itu memasuki hutan, Kwan Cu mendapat pikiran yang amat baik. Kalau dia terus menerus mengejar, seandainya dia dapat menyusul mereka, apa gunanya? Ia takkan dapat menolong Sui Ceng dan ini tidak berarti apa-apa. Lebih baik dia mengejar dan mengintai dengan diam-diam agar dia tahu kemana Sui Ceng dibawa sehingga kemudian dia bisa memberitahukan kepada Loan Eng, ibu dari anak itu. Ini lebih tepat karena kalau sampai dia dapat membawa Loang Eng datang menyusul mereka, apa sih sukarnya merebut kembali Sui Ceng?

Demikianlah, ketika tiga orang itu sudah tiba di tempat persembunyian mereka, yakni di dalam sebuah rumah bambu di tengah hutan, dan ketika Kwan Cu melihat Sui Ceng masuk di situ anak itu cepat berlari keluar dari hutan, kembali ke dusun Tun-hang.

Tak seorangpun di dusun itu tahu tentang penculikan ini, dan keadaan di dalam dusun tetap aman seperti biasa. Kwan Cu masuk kedalam gedung dan ketika pelayan-pelayan bertanya di mana adanya Sui Ceng, dengan tenang Kwan Cu menjawab,

“Adik Ceng dibawa lari oleh tiga orang Sin-to-pang akan tetapi harap kalian jangan ribut-ribut, kita menunggu saja sampai Toanio pulang.”

Akan tetapi, dua orang wanita pelayan itu tentu saja tidak mau diam dan mereka segera mewek-mewek dan sesambatan memanggil-manggil Sui Ceng. Dengan sebal sekali lalu Kwan Cu keluar dan duduk di halaman depan menanti kembalinya Loan Eng.

Siang hari itu juga Loan Eng datang membawa bungkusan besar terisi barang-barang belanjaan dari kota. Dua orang pelayan wanita itu berlari-lari dari dalam sambil menangis.

“Toanio…. Toanio..” kata mereka megap-megap menahan tangis.

“Diam kalian!” Kwan Cu membentak marah sehingga dua orang pelayan itu terkejut.

“Kau….. kau setan cilik!” Pelayan itu memaki. “Nona majikan diculik orang, kau tidak bersusah sedikit juga pun!”

Akan tetapi, ketika mendengar ini, Loan Eng seketika menjadi pucat dan memegang pundak Kwan Cu.

“Apa yang terjadi?” tanyanya dan biarpun mukanya pucat, wanita gagah ini masih bersuara tenang.

“Teecu baru bermain-main dengan adik Ceng di halaman depan ketika tiga orang pengurus Sin-to-pang yang dulu pernah menjumpai Toanio di jalan dua tahun lalu itu datang. Tanpa banyak bicara lagi mereka lalu membawa pergi adik Ceng dan teecu mencoba untuk merebut kembali, akan tetapi teecu dipukul jatuh bangun.”

“Bohong dia! Anak ini tidak susah sedikit pun, mana dia berani mencoba menolong?” Pelayan yang seorang berkata.

“Tutup mulutmu dan pergi kebelakang!” Loan Eng membentak dan dua orang pelayan itu dengan ketakutan dan menyusut air mata pergi kebelakang. “Lanjutkan ceritamu, Kwan Cu,” kata Loan Eng

“Ketiga orang itu membawa adik Ceng keluar dusun dan teecu terus mengikuti mereka.”

“Bagus! Kemana mereka membawa Ceng-ji?”

Loan Eng percaya penuh atas keterangan ini karena maklum bahwa anak ini memiliki ginkang yang cukup tinggi dan tanpa disadari oleh anak itu sendiri, dia telah memberi pelajaran ilmu lari cepat Chou-sang-hui (Terbang Di Atas Rumput)






Tidak ada komentar :