*

*

Ads

Minggu, 16 Desember 2018

Pendekar Sakti Jilid 026

“Jembel tua, kau serahkan kitab itu kepadaku!” seru Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu sambil mengulur tangan hendak merampas.

Tangan kirinya diulur hendak merampas, sedangkan tangan kanannya menonjok dada pengemis tua itu! Pada saat yang sama Hek-i Hui-mo, Kiu-bwe Coa-li, dan Pak-lo-sian Siangkoan Hai juga tidak tinggal diam dan sebentar saja Ang-bin Sin-kai telah dikeroyok empat!

Ang-bin Sin-kai maklum bahwa dia tak mungkin dapat melawan empat orang lihai ini, dan biarpun dia melarikan diri, ilmu lari cepat mereka pun tidak kalah olehnya, maka dia cepat berseru,

“Tahan serangan!” Berkata begini, dia melempar kitab ke atas meja sembahyang kembali.

Empat orang yang menyerangnya, tertegun dan tidak jadi menyerang, karena serangan mereka itu pun hanya berdasarkan ingin merampas kitab, sedangkan kini kitab sudah berada di atas meja lagi, untuk apa menyerang lawan yang sama lihainya itu?

“Hayo, siapa berani mengambil kitab itu, dialah jagoan betul!”

Ang-bin Sin-kai tertawa ha-ha-hi-hi-hi dan menduduki bangkunya yang tadi kembali. Empat orang yang lain, merasa ragu-ragu dan akhirnya mereka pun menduduki bangku dan duduk mengelilingi meja sembahyang di mana terdapat kitab itu.

Semua orang maklum bahwa apabila dia memberanikan diri mengambil kitab, tentu akan diserang oleh empat orang lain dan hal ini tidak mungkin, karena bahayanya terlalu besar. Akhirnya, tak seorangpun di antara mereka berani turun tangan mengambil kitab, dan kelima orang ini hanya saling pandang dan tertawa ha-ha-hi-hi-hi, tertawa masam!

Terdengar suara ketawa kanak-kanak dan yang tertawa adalah Sui Ceng dan Kun Beng. Dua orang anak ini merasa geli karena pemandangan itu benar-benar lucu sekali!

Sebaliknya, Gouw Swi Kiat yang berdarah panas itu merasa mendongkol sekali. Benar suhunya tidak mampu mengambil kitab itu dan kini gurunya, seperti yang lain-lain, hanya duduk saja menghadapi meja sembahyang seperti patung.

Dari sikap ini saja sudah dapat dilihat bahwa Sui Ceng dan Kun Beng memiliki sifat periang yang sama, adapun Swi Kiat mempunyai sifat pemarah dan keras.

“Suhu, apa sih sukarnya mengambil kitab? Ambil dan lawan mereka, masa Suhu akan kalah?” seru Swi Kiat kepada suhunya.

“Hush, diam kau. Tahu apa kau tentang ini?” bentak suhunya dan Swi Kiat makin mendongkol.

“Sayang kepandaianku belum sempurna. Kalau tidak, aku tidak takut menghadapi mereka!” ia mengomel.

Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak.
“Pak-lo-sian, muridmu yang itu benar-benar keras seperti batu. Tidak seperti muridmu yang ke dua itu, yang lunak seperti air!” katanya.

Keluarga dari Hek-mo-ong yang melihat betapa lima orang itu bertempur tidak karuan kemudian kini duduk lagi mengelilingi meja sembahyang, menjadi terheran-heran, takut, dan juga cemas. Akhirnya, isteri Hek-mo-ong memberanikan diri dan maju membungkuk-bungkuk.

“Mau apa kau?” Kiu-bwe Coa-li membentak sehingga nyonya itu menjadi pucat.

“Kami bermaksud hendak mengubur jenazah tiga orang keluarga kami ini, apakah tidak boleh?” tanya nyonya itu dengan suara gemetar.

Di antara lima orang tokoh yang aneh dan menyeramkan itu, Ang-bin Sin-kai boleh dibilang memiliki watak yang paling lembut. Ia menaruh kasih kepada nyonya ini, maka sambil menggerakkan tangan dia berkata,

“Uruslah jenazah itu baik-baik dan bawa pergi dari sini. Akan tetapi, jangan sekali-kali berani menyentuh meja sembahyang kalau kalian sayang kepada nyawa sendiri.”

Setelah mendengar kata-kata ini, nyonya Hek-mo-ong lalu memberi tanda kepada keluarganya dan beramai-ramai akan tetapi hati-hati sekali agar jangan mengganggu lima orang aneh itu, mereka lalu mengangkat tiga buah peti mati itu untuk dikuburkan.

Akan tetapi, lima orang itu tetap saja duduk mengelilingi meja sembahyang tanpa berani turun tangan, akan tetapi juga tidak sudi mengalah dan tidak mau meninggalkan tempat itu! Hari sudah mulai senja dan tiba-tiba Sui Ceng yang merasa kesal berkata kepada gurunya,






“Suthai, perutku lapar, hidangan di meja sembahyang itu tidak diperlukan, bukan? Lebih baik berikan kepada teecu!”

Kiu-bwe Coa-li boleh jadi seorang wanita sakti yang berhati baja dan terkenal ganas, akan tetapi terhadap muridnya ini, ia menaruh hati kasih sayang yang besar.

Mendengar kata-kata muridnya ini, ia lalu bangkit dari tempat duduknya, menggerakkan pecutnya yang berbulu sembilan itu ke arah meja dan dengan luar biasa sekali dua helai bulu pecutnya melibat pinggir piring sebelah bawah dan mengangkat piring itu terus dilontarkan ke belakan dimana muridnya berdiri!

Hebat sekali demonstrasi tenaga lweekang ini, karena piring yang penuh kue mangkok itu melayang tanpa jatuh kuenya sama sekali! Sui Ceng menyambut piring ini dengan kedua tangannya dan ternyata selama ikut dengan gurunya, anak perempuan ini sudah memiliki kepandaian yang lumayan juga karena ia dapat menyambut piring itu tanpa ada kue yang jatuh.

Bocah ini lalu mengambil sebuah mangkok dan makan kue dengan enaknya. Pada saat ia makan kue, ia melirik ke arah Kun Beng da tiba-tiba ia menyodorkan piring kue mangkok itu kepada Kun Beng. Anak laki-laki ini tersenyum dan mengambil sebuah kue mangkok, lalu dimakannya tanpa mengeluarkan sepatah pun kata.

Sui Ceng menyodorkan piringnya kepada Swi Kiat, akan tetapi Swi Kiat membuang muka lalu berjalan ke dalam rumah untuk minta makanan dari tuan rumah yang segera melayaninya dengan ramah karena takut kepada gurunya. Benar-benar keras hati anak ini, akan tetapi Sui Ceng tidak menghiraukannya, bahkan mencela kepada Kun Beng,

“Suhengmu itu kepala batu. Aku tidak suka kepadanya!”

Sebaliknya Kun Beng memuji nona kecil ini,
“Kau baik hati, aku suka kepadamu.”

“Hm, memberi kue bukan berarti bahwa aku suka kepadamu!” jawab Sui Ceng merengut. “Hanya karena aku tadi mendengar suara perutmu berkeruyuk!”

Ia menyodorkan lagi piringnya dan tanpa sungkan-sungkan Kun Beng lalu mengambil sebuah kue lagi. Keduanya saling pandang dan tertawa. Diam-diam kedua anak kecil ini telah mendapat kecocokan dalam pertemuan yang aneh ini.

Pak-lo-sian Siangkoan Hai tertawa melihat ini.
“Eh, Ular Betina Buntut Sembilan (Kiu-bwe Coa-li).! Muridmu itu baik sekali, tidak seperti kau! Kelak kalau ada jodoh, aku akan menemuimu untuk membicarakan urusan mereka berdua itu!”

Akan tetapi Kiu-bwe Coa-li diam saja, bahkan memperlihatkan muka tidak senang.
“Kalian ini orang-orang lelaki sungguh menjemukan dan menggemaskan!” katanya sambil membanting kaki kirinya. “Masa kita harus duduk diam saja menjadi patung di sini? Baik diatur begini saja. Aku menantang kalian maju melawan aku seorang demi seorang, jangan main keroyokan! Kalau ada yang dapat mengalahkan cambukku ini, biarlah aku mengalah dan tidak mengharapkan kitab itu lagi. Hayo, siapa berani maju lebih dulu?”

Sambil berkata demikian, wanita sakti ini lalu bangkit berdiri dan mengayun-ayun cambuknya dengan sikap menantang sekali.

“Akan kuhancurkan kepala kalian empat orang laki-laki tolol.”

Melihat sikap gurunya, Sui Ceng merasa girang dan bangga sekali. Ia menoleh kepada Kun Beng dan Swi Kiat lalu berkata,

“Lihat, guruku lebih gagah perkasa. Mana orang seperti gurumu dapat melawan dan mengalahkannya?”

Karena kata-kata ini diucapkan dengan keras-keras, maka terdengar pula oleh Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang menjadi panas perutnya juga. Ia melompat bangun dari bangkunya menghadapi Kiu-bwe Coa-li. Memang watak dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai ini sombong dan dalam hal ilmu silat, maka dia tidak pernah mau mengalah terhadap siapapun juga.

“Kiu-bwe Coa-li, siapa sih yang takut menghadapi cambukmu sembilan ekor itu? Mari kita main-main sebentar!” Sambil berkata demikian, orang pendek kecil ini lalu mengeluarkan sepasang kipas.

Inilah senjata yang lihai sekali dari Siangkoan Hai, yakni sepasang kipas berwarna hitam dan putih. Ia memiliki ilmu silat kipas yang disebut Im-yang San-hwat, yang permainannya membutuhkan tenaga lweekang dan gwakang yang dimainkan berbareng.

Pak-lo-sian Siangkoan Hai mempunyai dua macam ilmu silat yang tinggi dan lihai, yakni ilmu kipas ini dan ilmu tombak. Selain dua macam ilmu silat dengan senjata yang amat lihai ini, juga dia memiliki ilmu silat tangan kosong yang jarang ada bandingannya di dunia ini.

Sekarang, karena dia menghadapi Kiu-bwe Coa-li yang memegang sebuah cambuk, yakni senjata yang lemas, ia merasa rugi kalau harus menghadapinya dengan tombak, maka dia memilih sepasang kipasnya untuk menghadapinya. Dua orang sakti itu telah saling berhadapan dan agaknya tidak lama lagi mereka akan bergebrak ramai.

“Nanti dulu!” kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu sambil melompat maju dan tubuhnya yang bulat itu seakan-akan menggelundung maju dan tahu-tahu telah berada di tengah, di antara kedua jago tua yang hendak bertanding. “Harus diadakan perjanjian lebih dulu yang adil!”

“Apa maksudmu, keledai gundul?” Kiu-bwe Coa-li memandang tajam.

“Kalau dalam pertandingan ini ada yang kalah dan sampai mampus, itu lebih baik lagi. Akan tetapi kalau tidak sampai mati dan dia sudah dirobohkan, dia harus pergi dan tidak berhak lagi menginginkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Yang menanglah yang akan menghadapi lawan ke dua!”

Ang-bin Sin-kai maklum dalam pertandingan antara orang-orang lihai ini, sukar dibilang bahwa yang kalah masih dapat hidup, maka dia lalu melompat maju juga dan sambil tertawa-tawa dia mengacung-acungkan tangannya seperti yang hendak mengusulkan sesuatu dalam rapat!

“Nanti dulu, aku pun mau mengajukan saran yang adil! Kata-kata si gundul gendut ini ada betulnya, akan tetapi masih kurang adil.”

“Cecak kering, bagaimana kau bilang masih kurang adil?” tanya Jeng-kin-jiu sambil tertawa lebar.

“Kalau dibiarkan dua orang berhantam, biarpun ada yang menang, tentu si pemenang itu sudah empas-empis napasnya dan sudah habis tenaganya, maka bagaimana dia harus menghadapi lawan ke dua? Ini tidak adil, karena tentu dia akan kalah oleh tenaga baru! Lebih baik kalau dalam tiap pertandingan dibatasi, yakni dengan pembakaran hio pendek yang kering. Begitu pertempuran dimulai, hio dinyalakan dan setelah hio terbakar habis, pertempuran harus dihentikan.”

“Hm, hio terbakar habis setelah ilmu silat dimainkan tiga puluh jurus kurang lebih. Bagaimana kalau tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang?” tanya Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

Ang-bin Sin-kai garuk-garuk kepalanya.
“Kalau tidak ada yang kalah, dapat diulang kembali untuk kedua kalinya.”

Semua orang menyatakan setuju, maka Ang-bin Sin-kai cepat menyalakan hio dan ditancapkan di tempat hio yang berada diatas meja sembahyang.

“Mulai!” kata Ang-bin Sin-kai sambil mengangkat tangan ke atas seperti seorang wasit pertandingan!

“Lihat senjata!” Kiu-bwe Coa-li berseru dan menggerakkan pecut menyerang lawannya.

Pak-lo-sian Siangkoan Hai menangkis dengan kipas di tangan kiri yang berwarna putih. Inilah kipas yang dipergunakan dengan tenaga lweekang dan yang cepat sekali dipergunakan untuk menangkis.

Seperti diketahui, ujung pecut adalah benda lemas, maka biarpun digerakkan oleh pemegangnya dengan pengerahan tenaga dalam, ketika tertangkis oleh kipas yang mengebut, lalu bertolak kembali.

Akan tetapi, Siangkoan Hai tidak berani berlaku lambat, dan cepat dia membalas serangan lawan dengan kipas kanan yang berwarna hitam dengan mengerahkan tenaga gwakang.

Wanita sakti itu cepat mengelak dan ketika ia mengayun cambuknya, kembali sembilan helai bulu cambuk bergerak-gerak bagaikan sembilan ekor ular yang hidup dan mengancam nyawa lawan!






Tidak ada komentar :