*

*

Ads

Kamis, 20 Desember 2018

Pendekar Sakti Jilid 039

Terbelalak sepasang mata Kwan Cu memandang suhunya.
“Waaah, Suhu. Bagaimana teecu menghadapi seekor harimau? Binatang itu galak sekali dan terkenal sebagai raja hutan. Apakah teecu kiranya akan sanggup mengalahkan harimau?”

“Kau baru saja mempunyai kepandaian ilmu pukulan Sam-hoan-ciang, tentu saja masih berat. Biar sekarang aku melatihmu dengan ilmu mempertahankan diri yang di sebut Ilmu Silat Pai-bun-tui-pek-to (Mengatur Pintu Menghadapi Ratusan Golok). Kalau kau sudah bisa mainkan ilmu silat ini, agaknya takkan mudah kau diserang lawan.”

Dengan girang Kwan Cu lalu mulai mempelajari Pai-bun-tui-pek-to, yang dilakukan mengandalkan ginkang yang tinggi. Isinya hanya ilmu-ilmu untuk mengelak dan menangkis serangan lawan dan melindungi diri mempergunakan kecepatan tubuh dan mengatur pada saat bagaimana mempergunakan tenaga lweekang dan saat bagaimana pula mempergunakan gwakang. Terlalu panjang untuk dituturkan sejelasnya, pendeknya ilmu silat Pai-bun-tui-pek-to ini amat baik untuk seorang ahli silat tangan kosong kalau menghadapi lawan-lawan yang bersenjata.

Beberapa bulan lewat tak terasa dan Kwan Cu sudah memperoleh kemajuan pesat. Belum boleh di kata bahwa dia telah menyempurnakan ilmu Pai-bun-tui-pek-to, karena tidak seperti Sam-hoan-ciang yang mempunyai tiga jurus, ilmu mempertahankan diri ini biarpun hanya mempunyai delapan belas macam jurus, namun setiap jurus dapat dipecah-pecah menjadi puluhan bagian. Semua tergantung daripada kedudukan lawan menyerang.

Kini Ang-bin Sin-kai menurut kehendak muridnya lagi, yakni mencari Bukit Liang-san yang masih amat jauh. Ketika mereka tiba di kota Thiat-ang-bun, kota kecil yang berpintu gerbang besi berwarna merah, mereka berhenti selama tiga hari.

Di dalam kota kecil itu banyak terdapat pemandangan indah, bahkan di sebelah selatan kota terdapat telaga kecil yang airnya biru dan dikelilingi pohon-pohon dan kembang-kembang. Ang-bin Sin-kai suka sekali pelesir di daerah ini, maka dia bermalas-malasan untuk meninggalkannya.

Pada hari ketiga, ketika Kwan Cu dan gurunya tengah berjalan di dekak telaga itu, mereka melihat berkelebatnya seorang Tartar yang tampan dan berpakaian perwira. Ang-bin Sin-kai tidak mengenal orang ini, akan tetapi Kwan Cu mengenalnya baik-baik. Apalagi, semenjak mereka memasuki kota Thiat-ang-bun, Kwan Cu yang selalu mengambil perhatian pada apa yang berada di sekitarnya, melihat orang ini beberapa kali sehingga timbul pikirannya bahwa orang ini tentu sedang menyelidiki keadaan dia dan gurunya. Dan orang itu bukan lain adalah An Lu Kui, adik dari Panglima An Lu Shan.

Akan tetapi An Lu Kui seperti yang tidak mengenal lagi kepada Kwan Cu dan anak ini pun tidak mempedulikannya. Ia tidak mempunyai hubungan lagi dengan perwira ini, tidak ada sangkut-pautnya lagi.

Kwan Cu tidak tahu sebetulnya, setelah bertemu dengan dia dan gurunya, An Lu Kui diam-diam melakukan penyelidikan dan selalu mengikutinya. Siapa tahu kalau-kalau anak aneh ini hendak mengambil kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli? Adapun kakek jembel yang bersama dengan bocah itu, Lu Kui tidak mengenalnya sama sekali. Kalau saja dia tahu bahwa kakek itu adalah Ang-bin Sin-kai, agaknya siang-siang dia sudah angkat kaki dan kabur.

“Suhu, ada orang mengikuti kita,” kata Kwan Cu perlahan kepada suhunya.

“Mana dia?”

“Entah, dia sudah pergi lagi, Suhu. Akan tetapi, beberapa kali teecu melihatnya dan agaknya dia memperhatikan kita.”

“Siapa sih orangnya?”

“Dia adalah penculik yang dahulu membawa teecu dan Gui-siucai ke markas Panglima An Lu Shan, yaitu adik dari panglima itu sendiri yang bernama An Lu Kui.”

“Hm, dia mau apa?”

“Entahlah, Suhu. Akan tetapi, lebih baik kalau Suhu mengetahuinya, karena dia lihai. Dulu pernah teecu melihat dia mendorong roboh sebatang pohon besar, sungguhpun dia tidak berdaya menghadang Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan dua orang muridnya.”

Kwan Cu lalu menuturkan pengalamannya ketika diculik oleh An Kui dahulu. Gurunya tersenyum dan berkata gembira,

“Bagus, kalau begitu, biarlah dia menjadi pengujimu.”






“Penguji bagaimana, Suhu?”

“Kau sudah mempelajari ilmu mempertahankan diri Pai-bun-tui-pek-to, coba kau menghadapi dia, hitung-hitung untuk berlatih. Kalau dia muncul lagi, kau pancing dia ke luar kota, ke tempat sunyi.”

Kwan Cu mengangguk, dan hatinya berdebar. Ia tahu bahwa An Lu Kui murid mendiang Li Kong Hoat-ong itu tidak boleh dibuat main-main. Ia adalah seorang perwira yang pandai dan gagah perkasa, bagaimana dia yang baru melatih ilmu silat beberapa bulan saja sanggup menghadapinya? Akan tetapi karena dia bersama suhunya perlawanannya adalah atas perintah suhunya, hatinya menjadi besar.

Tak lama kemudian, benar saja dia melihat An Lu Kui muncul lagi, berjalan di sebelah belakang. Kwan Cu menengok dan sengaja memperlihatkan muka ketakutan, lalu menggandeng tangan suhunya dibawa berjalan menuju ke pegunungan kecil yang tidak jauh dari situ letaknya. Pancingannya berhasil karena An Lu Kui melihat wajah Kwan Cu nampak ketakutan dan bergesa-gesa ke bukit kecil, lalu mengejar!

Setelah berada di tempat yang sunyi di bukit kecil itu, Kwan Cu berhenti dan bersama suhunya menengok ke belakang. An Lu Kui cepat berlari menghampiri mereka dan setelah berhadapan, dia menegur.

“Eh, tidak tahunya kau Kwan Cu bocah itu! Kau hendak pergi kemanakah?”

Kwan Cu memang sudah mendapat perintah dari gurunya untuk mencoba kepandaiannya dengan perwira ini, maka dia memancing keributan dengan meniru jawaban Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu ketika dahulu bertemu dengan dia di pintu gerbang kota raja, maka dia menjawab,

“Aku datang dari belakang dan menuju ke depan. Ada urusan apakah kau menyusulku, An-sianseng?”

Tentu saja An Lu Kui mendelikkan matanya mendengar jawaban yang kurang ajar ini.

“Bocah gundul! Ketika dulu mejadi murid Gui-suicai, kau masih mengerti aturan dan bersikap sopan, sekarang kau telah menjadi seorang berandalan. Jawab yang betul, kau hendak pergi kemana?”

“Kemana pun aku pergi, tiada sangkut-pautnya dengan kau!” kata Kwan Cu dengan sengaja agar perwira ini marah dan menyerangnya sehingga dia dapat mempraktekkan ilmu silatnya Pai-bun-tui-pek-to.

“Setan cilik! Bukankah kau pergi ke tempat disembunyikan Kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng? Hayo jawab yang betul, kalau tidak, akan kukemplang kepalamu yang gundul itu sampai pecah!”

Tiba-tiba terdengar suara tertawa meledak dari Ang-bin Sin-kai.
“Ha, ha, ha! Agaknya semua orang sudah tergila-gila kepada kitab tiada guna itu! Eh, Kwan Cu, kenapa kau meladeni badut ini? Kait saja kakinya, biar dia menggelundung ke bawah!”

Bukan main marahnya An Lu Kui mendengar ejekan ini.
“Bangsat tua bangka! Apakah matamu buta dan tidak mengenal orang? Kau berhadapan dengan An Lu Kui, adik dari panglima besar An Lu Shan! Berlutut kau!”

Kwan Cu melangkah maju.
“Orang she An, jangan kau menghina guruku!”

“Kau setan gundul mau apa?” bentak An Lu Kui yang cepat menampar dengan tangan kanannya ke arah kepala Kwan Cu yang gundul.

Akan tetapi dengan sedikit menundukkan kepala saja, Kwan Cu sudah dapat mengelak dari pukulan ini.

An Lu Kui penasaran dan marah sekali. Sambil menggereng seperti seekor harimau buas, dia menubruk maju dan mengirim pukulan bertubi-tubi, diselingi dengan tendangan kakinya!

Akan tetapi, sebentar saja dia menjadi tertegun ketika melihat betapa dengan gerakan amat lincah, Kwan Cu dapat mengelak dari semua pukulan dan tendangannya itu. Bukan main! Baru beberapa bulan berselang, bocah gundul ini masih belum memiliki gerakan demikian lincah.

Ah, jangan-jangan gurunya yang seperti pengemis jembel itu berkepandaian tinggi pula, pikirnya. Maka dia mempercepat serangannya dan kini dia menggunakan ilmu silatnya disertai pengerahan tenaga lweekang!

Kwan Cu baru saja belajar beberapa bulan. Adapun An Lu Kui telah memiliki kepandaian tinggi, maka tentu saja menghadapi serangan-serangan hebat ini, Kwan Cu menjadi repot sekali.

Memang betul bahwa dengan Ilmu Silat Pai-bun-tui-pek-to, dia masih dapat mengelak dan menangkis, akan tetapi dia tidak dapat membalas sama sekali dan seakan-akan untuk bernapas pun tiada kesempatan!

“Kau menyia-nyiakan banyak kesempatan baik!” kata Ang-bin Sin-kai mencela muridnya. “Campur Pai-bun-tui-pek-to dengan Sam-hoan-ciang!”

Kwan Cu maklum akan maksud suhunya namun karena kurang pengalaman tetap saja dia tidak dapat membalas serangan-serangan An Lu Kui yang mengamuk makin hebat itu.

An Lu Kui kali ini benar-benar penasaran dan marah sekali. Sudah dua puluh jurus lebih dia menyerang, namun tetap saja belum pernah dia dapat menempiling kepala lawannya si bocah gundul ini. Kini mendengar ucapan kakek itu, mengertilah dia bahwa kakek ini memang benar-benar lihai dan terang bahwa si bocah gundul mendapat latihan dari dia.

Celaka, keluh An Lu Kui, kalau aku tidak lekas-lekas mengalahkan setan cilik ini, aku bisa di permainkan oleh setan besar itu. Maka dia lalu mencabut sepasang siang-kek (senjata tombak bercagak) dari punggungnya dan memutar dua senjata ini bagaikan kitiran cepatnya.

“Kwan Cu kau melompatlah ke punggungku dan lihat baik-baik aku mainkan Pai-bun-tui-pek-to dan Sam-hoan-ciang!” kata Ang-binSin-kai.

Kwan Cu tertawa girang dan sekali dia mengenjotkan kedua kakinya, bagaikan seekor monyet dia telah melompat ke atas punggung suhunya.

An Lu Kui merasa kepalang dan dia sudah merasa malu dan marah dipermainkan oleh Kwan Cu, maka kini dia menyerang kakek jembel itu dengan ilmu silatnya yang lihai dan berbahaya.

Kwan Cu melihat gerakan tubuh suhunya dengan penuh perhatian. Dengan digendong di punggung suhunya, dia merasa seakan-akan dia sendiri yang menghadapi An Lu Kui dan dia mengintai dari balik punggung gurunya itu kepada semua gerakan An Lu Kui dan gerakan suhunya. Benar saja, gurunya menghadapi sepasang tombak cagak An Lu Kui dengan ilmu mempertahankan diri Pai-bun-tui-pek-to!

Melihat betapa gerakan gurunya amat sederhana, namun dapat dengan tepat dan tenang menghindarkan semua serangan sepasang tombak cagak di tangan An Lu Kui. Kwan Cu menjadi kagum sekali. Kini terbukalah matanya dan tahulah dia bahwa tadi di waktu menghadapi serangan An Lu Kui dia terlalu gugup dan terlalu membuang gerakan sendiri.

Sebetulnya kalau dia bisa tenang seperti suhunya, tak usah terlalu banyak bergerak dan hanya bergerak seperlunya saja, Ilmu Silat Pai-bun-tui-pek-to sudah dapat menyelamatkan diri dari serangan lawan.

“Kau lihat lowongan-lowongan itu?” kata Ang-bin Sin-kai kepada muridnya. “Buka matamu baik-baik, tiap kali dia melakukan serangan, tentu terbuka sebuah pintu! Mengertikah kau? Coba sekarang kau mencari dan menemukan pintu yang terbuka dan kau gunakan tanganmu menyerang pintu terbuka itu!”

Kwan Cu mengerti. Yang dimaksud oleh gurunya tentang pintu terbuka adalah bagian-bagian tubuh yang terbuka atau tidak terlindung dari lawan dan kini setelah berada di punggung suhunya dan tidak gugup karena dia sendiri tidak menghadapi serangan, memang matanya terbuka dan dia dapat melihat betapa setiap kali menyerang, An Lu Kui membuka sebagian tubuhnya yang tidak terlindung sama sekali.

Mendengar perintah suhunya, mulailah Kwan Cu menyerang dengan pukulan Sam-hoan-ciang! Tiap kali An Lu Kui menyerang, tentu terbuka sebuah pintu di dadanya, lambungnya, pundaknya, lehernya, dan lain-lain bagian tubuh lagi.

Kwan Cu tidak menyia-nyiakan waktu baik ini dan tiap kali serangan datang, suhunya mengelak dan dia menghantam dengan tangannya. Sebentar kemudian terdenga suara “bak! bik! buk!” dan tubuh An Lu Kui selalu terpukul dengan tepat oleh tangan Kwan Cu yang kecil!






Tidak ada komentar :