*

*

Ads

Rabu, 18 April 2012

Ang I Niocu Jilid 013

“Hm, kau agaknya isteri Hek Mo ko.”

“Benar,” jawab wanita itu, “Kau siapakah dan bagaimana suamiku mengijinkan kau masuk ke sini?”

Bu Pun Su sebetulnya segan untuk bicara dengan isteri orang lain, akan tetapi melihat wanita ini masih amat muda dan cantik, sedangkan Hek Mo-ko demikian buruk rupa dan setengah tua, ia tak dapat menahan hatinya untuk tidak bertanya.

“Apakah Hek Mo-ko telah menculik dan memaksamu menjadi isterinya?”

Untuk sejenak wanita itu diam saja, kemudian ia berdiri dan berkata marah,
“Kau ini manusia dari manakah begini kurang ajar? Aku menikah dengan suamiku secara baik-baik dan sah, ada sangkut-paut apakah dengan kau maka kau bertanya-tanya?”

Bu Pun Su merasa seperti ditampar pipinya. Mukanya menjadi merah sekali. Inilah tak disangka-sangkanya sama sekali dan baru sekarang ia melihat atau dapat menduga bahwa isteri Hek Mo-ko ini sedang mengandung.

“Maaf, maaf…” katanya perlahan dan ia lalu keluar lagi dari kamar itu.

Setelah puas menyelidiki di dalam kelenteng dan tidak mendapatkan sesuatu, ia lalu keluar lagi. Setibanya di ruang luar, ia berdiri menghadapi tiga patung yang sebesar manusia itu.

Buatan patung ini demikian halus sehingga menyerupai manusia benar-benar. la memandang kepada wajah patung yang mewakili Thian-te Sam-kauwcu itu untuk memperhatikan mereka. Benar-benar mereka ini kelihatan angker dan dari sikap mereka ia dapat menduga bahwa tiga orang ini bukanlah orang sembarangan. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Siapa tahu kalau-kalau dua benda yang dicuri dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai itu disembunyikan di dalam patung-patung ini?

Ia melangkah maju dan meraba pundak patung Pek-in-ong yang berdiri di kiri, yakni patung yang tinggi kurus mukanya seperti tengkorak. Tiba-tiba terdengar suara mendesis dan dari mulut patung itu menyambar keluar sinar hitam yang menyerang ke arah leher dan muka Bu Pun Su!

Pendekar ini bukan sembarangan ahli silat, melainkan seorang sakti yang mewarisi ilmu silat dan ilmu-ilmu aneh dari IM-YANG-BU-TEK-CINKENG. Seorang ahli silat tinggi lainnya belum tentu dapat menghindarkan serangan tiba-tiba dari mulut patung itu, akan tetapi Bu Pun Su dengan amat tenang miringkan kepalanya sehingga sinar hitam itu menyambar lewat. Ia mencium bau yang amat amis, maka diam-diam ia bergidik. Tahulah Bu Pun Su bahwa yang menyambar lewat tadi adalah segenggam jarum-jarum halus berwarna hitam yang mengandung bisa yang amat jahat.

Bu Pun Su tersenyum. Ia maklum bahwa dua patung yang lain tentu mengandung alat rahasia pula, akan tetapi dia bukan Bu Pun Su kalau merasa gentar. Orang lain mungkin akan merasa khawatir dan tidak berani mengganggu dua patung yang lain, akan tetapi Bu Pun Su bahkan tertarik dan ingin tahu sekali bagaimana cara dua patung yang lain akan menyerangnya!

Ia mau coba-coba dan ini pun tidak aneh, karena orang seperti Bu Pun Su ini memang sudah biasa menantang dan bermain-main dengan maut! Ia menghampiri patung di kanan, yakni patung dari Ceng-hai-ong yang bertubuh kurus bongkok dan matanya sipit itu. Dengan tenang Bu Pun Su menepuk pundak patung itu dan secepat kilat kedua tangan patung itu bergerak, dengan kukunya yang panjang patung itu mencengkeram ke depan, kedua tangan menyambar dari kanan kiri!

“Aha, kau ahli gulat kiranya!”

Bu Pun Su mengejek sambil bergerak melangkahkan kaki mundur, mengelak dari cengkeraman itu. Akan tetapi, tiba-tiba dari jari-jari tangan itu menyambar keluar benda cair berwarna hijau yang baunya harum!

Bu Pun Su kali ini tidak mengelak, melainkan menggerakkan ujung lengan baju sebelah kiri darimana keluar tenaga Pek-in-hoat-sut yang mengepulkan uap putih, sehingga benda cair itu terpercik kembali dan membasahi muka patung.

“Hm, kiranya semua ahli racun yang berbahaya,” pikir Bu Pun Su.






Ia pikir bahwa patung di tengah, yang amat menyeramkan dan tinggi besar itu, tentulah yang paling lihai. Namun ia tidak gentar, bahkan gembira dan sambil tersenyum ia melangkah menghampiri patung ini.

“Coba perlihatkan kelihaianmu!” katanya sambil menepuk dada patung tinggi besar ini.

Patung ini besar dan tinggi sekali sehingga Bu Pun Su hanya sampai di leher tingginya. Begitu tangan kanan Bu Pun Su menepuk dada patung, terdengar suara keras dan dada patung itu tiba-tiba terbuka, dari mana keluar menyambar uap hitam yang menyerang ke depan.

Ini masih disusul dengan bergeraknya kaki kanan patung yang melakukan tendangan kilat ke depan, kemudian dari mata, hidung, telinga dan mulut patung itu menyambar keluar asap hitam sedangkan kedua tangan memukul pula ke depan. Inilah serangan sekaligus yang amat luar biasa dan berbahaya sehingga Bu Pun Su sendiri menjadi terkejut. Pendekar sakti ini tidak berani menangkis, melainkan melompat mundur cepat sekali sambil menggoyang-goyang kepalanya.

“Kau jahat sekali… jahat sekali…”

Setelah berkata demikian, ia lalu melompat keluar dari kelenteng. Ia sudah puas karena ketika tangannya menepuk patung-patung tadi, ia telah mengerahkan lwee-kangnya sehingga kalau di situ tersembunyi benda keras seperti pedang mustika, tentu terdengar bunyi pedang itu. Namun tadi ia hanya mendengar suara mendengung tanda bahwa di dalam patung itu hanya terisi hawa, maka ia telah mengerahkan tenaga dan merusak patung itu dengan diam-diam.

Ia benci melihat tiga patung itu, bukan benci kepada orang karena macamnya, akan tetapi benci kalau mengingat betapa tiga orang dari barat ini telah menguasai Mo-kauw dan menyebar pelajaran atau agama baru yang sesat. Dimana ada pendeta-pendeta suci yang menganjurkan pemeluk-pemeluk agamanya memuja dan menyembah mereka sendiri?

Setibanya di luar kelenteng, Bu Pun Su disambut oleh Pek Mo-ko dengan muka merah.
“Bu Pun Su kau telah menghina kami, kau telah mengotori kelenteng kami yang suci. Biarpun namamu sudah terkenal di seluruh kolong langit, jangan kira bahwa aku Pek Mo-ko takut melawanmu!”

“Habis, kau mau apa?” tanya Bu Pun Su, “Seperti sudah kukatakan tadi, aku datang mencari kitab dan pedang dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai yang hilang dan terus terang saja aku mencurigai Thian-te Sam-kauwcu. Akan tetapi sayang aku tidak dapat menemukannya di dalam kelenteng ini.”

Hek Mo-ko terdengar tertawa mengejek.
“Kau memang gatal tangan dan suka mencampuri urusan orang lain. Bu Pun Su, setelah kau datang dan mengacau kelenteng kami, sebagai tuan rumah terpaksa kami harus membela diri dari hinaan ini. Kedatanganmu mengacau kelenteng ini berarti sebuah tantangan, kalau kami tidak melayani bukankah kami akan ditertawai orang? Nah, bersiaplah, kita boleh main-main sebentar.”

Sambil berkata demikian, Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko masing-masing mengeluarkan senjata mereka. Dua orang Iblis Hitam Putih ini lihai dan senjata mereka juga bukan senjata sembarangan.

Di tangan kanan mereka memegang sebatang pedang yang ujungnya bercabang. Pedang ini bukan saja amat ampuh dan kuat karena terbuat dari bahan yang baik akan tetapi juga ujungnya yang bercabang itu dapat dipergunakan untuk mengait dan merampas serta merusak senjata lawan.

Akan tetapi, betapapun lihainya pedang di tangan kanan, masih lebih lihai lagi senjata aneh yang berada di tangan kiri mereka. Senjata ini berupa seuntai tasbeh dari logam hitam. Tasbeh ini dapat dimainkan begitu saja, akan tetapi dapat pula dilepas sambungannya sehingga merupakan sebuah pian atau senjata rantai yang hebat. Masih dapat dipergunakan dalam lain cara, yakni batu-batu tasbeh itu dapat diloloskan keluar dari untaiannya dan dipergunakan sebagai senjata yang berbahaya!

Melihat sikap Hek Pek Mo-ko yang menantang ini, Han Le mendahului suhengnya. Ia melompat ke depan menghadapi mereka sambil mencabut pedangnya yang jarang keluar dari sarung itu.

“Hek Pek Mo-ko, kalian berdua dan kami pun berdua. Biarlah kita mencoba kepandaian masing-masing, seorang daripadamu boleh melawan aku dan yang seorang lagi nanti menghadapi Suheng Bu Pun Su.”

“Hek Pek Mo-ko dua saudara tak pernah berpisah,” kata Hek Mo-ko, “Kami sudah bersumpah hidup bersama mati berdua, dalam pertempuran kami selalu maju bersama.”

“Itu tidak adil!” kata Han Le.

Dia tidak gentar menghadapi seorang di antara mereka akan tetapi kalau dikeroyok dua, selain berat juga tidak adil.

“Suheng, biarlah kali ini aku menghadapi dia sendiri!” kata Pek Mo-ko yang berwatak berangasan dan baru saja ia berkata demikian tasbeh di tangan kirinya sudah bergerak menyambar kepala Han Le.

“Bagus!” seru pengemis sakti ini dan cepat ia mengelak sambil menggerakkan pedangnya yang menusuk ke arah ulu hati lawannya.

Akan tetapi Pek Mo-ko ternyata memiliki gerakan yang gesit sekali. Tusukan pedang ini ia tangkis dengan pedangnya yang berujung aneh itu. Cabang ujung pedangnya menempel dan diputar demikian rupa untuk mengait badan pedang Han Le dan hendak mematahkannya.

Akan tetapi Han Le bukanlah murid Ang-bin Sin-kai kalau ia tidak bisa menghindarkan diri dari serangan lawan ini. Dengan gerakan Sian-jin-khai-in (Dewa Membuka Awan) ia melakukan gerakan “membuka” dari ilmu pedang Hun-khai-kiam-hoat ajaran Ang-bin Sin-kai, dan pedangnya yang terkait itu secara aneh telah membuka serangan lawan sehingga Pek Mo-ko bukannya dapat merampas atau mematahkan pedang lawan, bahkan telapak tangannya merasa panas sekali sehingga ia cepat-cepat menarik pulang pedangnya. Sebagai gantinya, kembali tasbeh menyambar ke lambung Han Le.

Han Le terkejut sekali. Tidak disangkanya bahwa lawan ini dapat bergerak secepat itu, cepat melakukan serangan lanjutan begitu serangan pertama ditangkis. Ia lalu memutar pedangnya dan mengerahkan semua tenaga dan kepandaian untuk menghadapi lawan yang amat lihai ini.

Di lain pihak, Pek Mo-ko diam-diam harus mengakui kelihaian kiam-hoat lawannya. Tidak saja lihai, akan tetapi juga aneh sekali dan mempunyai gerakan yang otomatis setiap kali menghadapi desakannya. Ia tentu saja tidak tahu bahwa selain telah mewarisi Hun-khai-kiam-hoat dan ilmu-ilmu silat tinggi dari gurunya, yakni Ang-bin Sin-kai, juga Han Le telah mempelajari dengan tekunnya lukisan-lukisan di Pulau Pek-le-tho sehingga biarpun hanya kulitnya, ia telah sedikit-sedikit mempelajari ilmu-ilmu yang lihai dari Im-yang-bu-tek-cin-keng! Pelajaran ini membuat gerakan Han Le menjadi otomatis dan matanya amat tajam dapat mengikuti semua arah tujuan serangan lawan.

Pek Mo-ko menggereng keras dan kedua senjatanya yang aneh itu diputar cepat, bertubi-tubi dan berganti-ganti melakukan serangan maut. Namun, dengan pedangnya, Han Le dapat membendung gelombang gerakan serangan ini sehingga sampai lima puluh jurus lebih mereka bertempur, tidak ada yang terdesak.

Kepandaian mereka jauh berbeda sifatnya, namun tingkat mereka boleh dibilang seimbang sehingga pertempuran itu benar-benar merupakan pertempuran yang amat seru.

Saking penasaran menghadapi lawan yang amat tangguh ini, Pek Mo-ko melepaskan sambungan tasbehnya sehingga tasbeh ini sekarang bukan merupakan lingkaran, melainkan menjadi sebatang pian yang lemas dan panjang. Pek Mo-ko dan suhengnya sudah melakukan ratusan pertempuran dan mereka jarang sekali dikalahkan orang.

Di sebelah barat atau selatan dari Tibet, mereka berdua merupakan sepasang iblis yang ditakuti dan disegani, bahkan golongan-golongan partai persilatan besar di barat seperti Go-bi-pai dan Kun-lun-pai, semua mengakui kelihaian Hek Pek Mo-ko. Akan tetapi sekarang menghadapi Han Le, Pek Mo-ko tidak berdaya, bahkan tidak dapat mendesak, sungguhpun ia tak dapat dikatakan kalah oleh pengemis sakti itu.

Saking marahnya, dalam jurus ke tujuh puluh, Pek Mo-ko berseru keras dan secepat kilat pedangnya membacok dari kanan ke kiri. Ketika Han Le mengelak, pedang ini cepat sekali membalik dan menyambar ke leher. Inilah gerakan yang tidak terduga-duga, apalagi ketika tasbeh yang sudah menjadi pian itu menyambar ke lambung!

Han Le maklum bahwa tidak mungkin ia menghindarkan diri dari dua serangan yang dilakukan sekaligus ini, maka ia lalu mengeluarkan kepandaiannya yang amat lihai dan keberaniannya yang luar biasa.

Pedang yang menyambar lehernya ditangkisnya dengan pedangnya sendiri, sambil mengerahkan tenaga, “menempel” sehingga dua pedang itu begitu bertemu lalu tak dapat terpisah kembali, seakan-akan besi berani dengan besi! Adapun tasbeh yang menyambar ke lambung kirinya, cepat ditangkis dengan tangan kiri, lalu ia mengerahkan tenaga membetot.






Tidak ada komentar :