*

*

Ads

Jumat, 30 November 2018

Pendekar Sakti Jilid 003

“Buang air itu, untuk apa memenuhi perut?”

Katanya dan seketika itu juga air laut mengalir keluar dari mulut anak itu sehingga perutnya menjadi kempis kembali. Lalu ia meletakkan anak itu di atas tanah, telentang dan menggerak-gerakkan kedua tangan anak itu sehingga dada itu terangkat beberapa kali. Akan tetapi tetap saja anak itu tidak dapat bernapas lagi. Si hwesio menjadi gemas.

“Anak bandel, bandel dan tolol!” makinya.

Akan tetapi biarpun dia memaki demikian, namun dia lalu mendekatkan mulutnya pada bibir anak itu lalu menempelkan mulutnya yang besar memenuhi bibir kecil anak tadi dan meniup menyedot beberapa kali!

Si pengemis tua hanya memandang saja dan diam-diam dia merasa iri hati terhadap kepandaian hwesio gemuk ini, karena dia sendiri sama sekali tidak mengerti tentang cara-cara penyembuhan.

Tak lama kemudian, terdengar anak itu mengeluh dan pernapasannya jalan kembali. Hanya sebentar dia mengeluh dan menggeliat-geliat, kemudian setelah membuka matanya, anak itu melompat berdiri.

Dua orang kakek itu diam-diam memandang kagum. Anak ini benar-benar memiliki tulang yang baik dan juga daya tahan luar biasa sehingga baru saja terhindar dari bahaya maut, sekarang telah bergerak dengan tangkas pula.

“Anak baik, siapa kau?” pengemis tua itu bertanya.

“Bagaimana dengan nasib penumpang-penumpang lain?” hwesio itu pun bertanya.

Untuk sejenak anak itu memandang bingung dan biarpun dia telah mrngingat-ingat, namun dia benar-benar telah kehilangan ingatannya.

“Siapa aku? Di mana aku? Ah…. aku tidak tahu. Siapakah lopek dan losuhu ini?”

Anak ini mempunyai suara yg nyaring dan sepasang matanya bersinar-sinar tajam sekali. Ang-bin Sin-kai dan Jeng-kin-jiu Ka Thong Taisu saling pandang, kemudian mereka berdua tertawa besar.

“Aku dipanggil Ang-Bin Sin-kai,” pengemis itu memperkenalkan diri.

“Dan pinceng adalah Kak Thong Taisu,” menyambung hwesio gemuk.

“Mengapa aku berada di sini?” anak itu bertanya.

“Kalau tidak ada Hai-liong-ong (Raja Naga Laut) ngamuk, mana bisa kau ditelan ombak? Dan kalau tidak ada kami dua orang tua bangkotan, mana bisa kau berada di sini?” kata kakek pengemis itu yang memang sudah biasa mempergunakan kata-kata yang sukar dimengerti.

Akan tetapi ternyata anak itu cerdik sekali. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang kakek itu sambil berkata,

“Aku sungguh tidak mengerti mengapa aku tenggelam di laut, akan tetapi atas pertolongan Ji-wi losuhu, sungguh aku berterimakasih sekali. Semoga Kwan Im Pouwsat memberkahi Ji-wi yang mulia.” Ia lalu berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya berkali-kali.

Dua orang kakek itu saling pandang dengan mata terbuka lebar-lebar. Mereka merasa girang sekali melihat sikap anak ini.

“Eh, anak baik, agaknya orangtuamu pemuja Kwan Im Pouwsat. Bagus sekali!” Kata Kak Thong Taisu. “Siapakah orang tuamu dan siapa pula namamu? Dari mana kau datang?”

Anak itu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan muka sedih.
“aku tidak tahu siapa orang tuaku, siapa pula namaku aku sudah lupa lagi. Darimana aku datang? Entahlah, yang terang dari laut, karena bukankah Ji-wi mengeluarkan aku dari laut?” ia menudingkan jarinya yang kecil itu ke arah laut.

Kembali dua orang kakek itu saling pandang.
“Hemmm, dia telah kehilangan ingatannya karena mengalami hal yang amat dahsyat di tengah laut. Kasihan!” kata Kak Thong Taisu.

“Anak, kalau begitu, aku hendak memberi nama kepadamu, maukah kau?”

Anak itu mengangguk. Ang-bin sin-kai menjadi girang sekali.
“Kalau begitu, mulai sekarang kau she (bernama keturunan) Lu!”

Terdengar Kak Thong Taisu tertawa bergelak-gelak. Suara ketawanya ini keras sekali sehingga anak itu terkejut. Ia merasa telinganya sakit sekali mendengar suara ketawa ini, maka cepat-cepat dia menutup telinganya dengan kedua tangannya.

“Mengapa kau tertawa, setan gundul?” Ang-bin Sin-kai membentak marah.

“Ha-ha-ha, kau jembel tua bangka ini biarpun di luarnya seperti jembel, ternyata masih belum dapat melupakan asal keturunan bangsawanmu! Biarlah, anak ini kauberi she. Bagiku, apakah artinya nama keturunan? Merepotkan saja! Anak baik, kau sekarang she Lu seperti she pengemis tua bangka ini. Akan tetapi namamu adalah aku yang akan memilihkan. Kau sekarang memakai nama Kwan Cu.”






“Lu Kwan Cu…” anak itu berkata perlahan seperti kepada diri sendiri.

Tadi melihat hwesio itu berhenti tertawa, dia telah menurunkan tangan yang dipakai menutupi telinganya.

“Ya, Lu Kwan Cu, nama baik, bukan?” si pengemis berkata girang. “Dan mulai sekarang kau menjadi muridku!”

“Eh, eh, eh, Ang-bin Sin-kai, kau melantur apa lagi? Siapa bilang dia menjadi muridmu? Dia adalah muridku, tahu?”

“Tidak, hwesio gundul terlalu banyak makan! Dia adalah muridku. Lu Kwan Cu adalah murid Ang-bin Sin-kai!”

“Gila! dia muridku!”

“Aku yang datang menolongnya dari gelombang laut!”

“Dan aku yang mengalirkan kembali nyawa ke dalam tubuhnya!”

Dua orang kakek ini kembali berhadapan dengan mata mencereng, siap untuk memperebutkan anak itu. Keduanya bersitegang dan akhirnya tanpa dapat dicegah lagi keduanya lalu bertanding pula!

Mereka mengeluarkan ilmu pukulan yang paling dahsyat sehingga pasir berhamburan terkena angin pukulan mereka. Bahkan ketika anak yang sekarang bernama Lu Kwan Cu itu terdorong oleh angin pukulan, anak itu terguling-guling bagaikan sehelai daun tertiup angin keras.

Tentu saja dia menjadi terkejut sekali dan anak ini lalu mencari tempat perlindungan di belakang sebuah batu karang besar. Ia mengintai dan menonton pertempuran itu dengan kedua matanya yang lebar dan tajam itu terbuka lebar-lebar.

Kini pertempuran yang terjadi jauh lebih hebat daripada malam tadi, karena kalau malam tadi mereka bertempur hanya mengandalkan pendengarannya, sekarang mereka dapat mengerahkan seluruh kepandaian dan ketajaman mata mereka. Rasa lapar terlupa dan adanya hanya nafsu untuk menang!

Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring dari anak itu,
“Aneh, aneh! Aku kesunyian mencari kawan. Dua orang ini di tempat yang begini sunyi saling bertemu dan mendapat kawan, mengapa bahkan saling pukul seperti kerbau gila? Ah, celaka, tentu mereka berdua ini miring otaknya!”

Mendengar omongan ini, biarpun sedang berkelahi, kedua orang kakek itu saling pandang sambil membelalakkan mata, akan tetapi mereka melanjutkan perkelahian itu.

Ketika anak kecil tadi melihat betapa dua orang kakek itu masih saja berkelahi, agaknya dia menjadi bosan. Diam-diam dia lalu pergi meninggalkan tempat itu.

Jeng-kin-jiu dan Ang-bin Sin-kai tentu saja tahu akan hal ini, akan tetapi mereka sedang mengerahkan kepandaian untuk merobohkan lawan yang amat tangguh, sehingga mereka kurang memperhatikan anak yang pergi itu.

Setelah matahari naik tingi, kelelahan dan rasa lapar membuat kedua-duanya menjadi lemas dan dengan sendirinya perkelahian itu berhenti pula! Mereka duduk di atas pasir terengah-engah sambil saling pandang.

“Kau tua bangka gundul benar-benar hebat kepandaianmu!” Ang-bin Sin-kai berkata memuji.

“Dan kau pengemis kurus kering ternyata lebih hebat daripada dahulu. Kalau saja pinceng berhasil mendapatkan kitab IM YANG BU TEK CIN KENG, tentu kau takkan dapat bertahan begitu lama.” Kata Keng-kin-jiu Kak Thong Taisu sambil menarik napas panjang.

“Im-yang Bu-tek Cin-keng takkan terjatuh ke tanganmu, gundul. Kitab itu pasti akan menjadi milikku. Kau lihat saja!”

“Hem, belum tentu. Semua tergantung atas keputusan Thian. Siapa yang terpilih untuk menjadi ahli silat nomor satu di dunia, barulah akan berhasil mendapatkan kitab rahasia itu.”

“Baik-baik, mari kita berlomba mendapatkan kitab itu. Sekarang lebih baik kita menunda pertempuran kita sampai salah seorang berhasil mendapatkan kitab, baru bertempur pula. Bagaimana pikiranmu?”

“Baik, Ang-bin Sin-kai. Memang perutku sudah lapar sekali. Eh, di mana Lu Kwan Cu?” Hwesio itu bertanya sambil memandang ke kanan kiri.

“Biar saja, dia sudah pergi, karena kita tidak dapat disebut mana yang kalah, mana yang menang, siapa yang akan menjadi gurunya? Biarlah, biar dia sendiri yang menentukan siapa yang hendak dijadikan guru. Antara guru dan murid harus ada jodoh, bukan?”

Hwesio itu mengangguk, kemudian keduanya lalu memanggang ikan yang mereka tangkap dari laut, lalu makan bersama. Kalau dilihat memang aneh dan menggelikan sekali.

Dua orang kakek tua bangka ini, karena sedikit urusan saja telah saling gempur mati-matian. Mereka telah bertempur sampai berjam-jam sampai kehabisan tenaga dan biarpun mereka tidak menderita luka-luka parah, namun setidaknya tentu ada kulit-kulit pecah dan biru-biru. Sekarang mereka duduk makan-makan berdua seperti dua orang kawan baik yang sedang berpelesir di pinggir laut!

Sehabis makan, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu berkata,
“Ang-bin Sin-kai, sekarang pinceng hendak pergi. Dua orang sahabat telah bertemu dan telah mengalami banyak kesenangan. Setiap pertemuan tentu berakhir, maka mengapa menyusahkan perpisahan? Hanya satu hal pinceng hendak berpesan. Dalam hal diri Lu Kwan Cu, di antara kita siapa yang berhak mendapatkannya lebih dulu, berhak mengajar lebih dulu selama lima tahun. Setelah itu harus mengoperkannya kepada orang lain, jangan mau dimonopoli sendiri saja.”

Pengemis itu mengangguk,
“Kecuali kalau orang lain itu mampu merebutnya bukan?”

“Tentu saja! Anak itu bertulang baik, dia pantas diperebutkan.”

Setelah berkata demikian Kak Thong Taisu lalu melompat dan amat mengagumkan ginkang dari hwesio gendut ini. Biarpun tubuhnya seperti bola gendutnya, sehingga kalau berjalan nampak seperti menggelundung, akan tetapi dalam sekali berkelebat saja, tubuhnya telah lenyap dari hadapan Ang-bin Sin-kai!

Kakek pengemis ini seperti kawan atau juga boleh disebut lawannya, lalu berdiri di pinggir pantai dan memandang ke laut seperti orang melamun. Bibirnya bergerak-gerak perlahan dan terdengar dia berbisik,

“Im-yang Bu-tek Cin-keng, kitab rahasia yang dirindukan oleh semua tokoh kang-ouw, dan Lu Kwan Cu, anak kecil aneh itu pula….. ah, aku seakan-akan melihat pertalian antara keduanya ini!”

Sampai berjam-jam kakek ini berdiri bagaikan patung di pinggir laut, pikirannya terbawa ombak yang bergerak-gerak tiada hentinya.

Kakek pengemis yang aneh, hwesio gendut yang ganjil, anak kecil yang penuh rahasia, kemudian kitab yang disebut-sebut itu pun kitab yang aneh pula. Semua ini terjadi di pantai laut Po-hai yang penuh rahasia alam.

Memang di dunia ini banyak sekali terjadi hal-hal yang aneh, aneh bagi pandangan mata manusia. Siapakah berani bilang bahwa alam tidak berkuasa? Siapa pula dapat mengikuti sifat daripada To? Kekuasaan Thian nampak di mana-mana!

**** 003 ****





Tidak ada komentar :