*

*

Ads

Jumat, 30 November 2018

Pendekar Sakti Jilid 004

“Lu Kwan Cu, nama yang baik! Aku suka nama ini. Aku Lu Kwan Cu, ya, aku bernama Lu Kwan Cu, siapa lagi kalau bukan ini namaku?” berkali-kali kata-kata ini keluar dari mulut anak kecil yang berjalan seorang diri di jalan raya yang sunyi dan lebar.

Ia sudah kehilangan ingatannya, tidak ingat sama sekali tentang apa yang telah terjadi padanya. Ia tidak ingat lagi akan orang tuanya yang lenyap bersama dengan kapal di mana tadinya dia berada.

Semua telah lenyap ditelan ombak samudera, dan kalau anak ini merupakan orang satu-satunya yang selamat, lalu dia kehilangan ingatannya, siapa lagi orangnya di dunia ini yang dapat menceritakan siapa adanya anak ini dan siapa pula orang tuanya?

Oleh karena tidak mungkin menyelidiki siapa adanya keluarga anak ini, maka biarlah kita mulai sekarang menganggap saja bahwa dia bernama Lu Kwan Cu, anak kecil berusia lima tahun yang seakan-akan dilemparkan oleh ombak laut Po-hai ke dalam dunia, seorang diri tak berteman, hanya berkawan perutnya yang memiliki nafsu makan besar sekali dan baju compang-camping yang kantongnya kosong sama sekali!

Oleh karena desakan perutnya, maka tak lama kemudian anak ini kelihatan mengemis di sana-sini untuk dapat mencari makan bagi perutnya yang bernafsu besar!

Kwan Cu memang tidak seperti anak-anak lain. Sikapnya, wataknya, dan cara dia mengemis pun menjadi bukti bahwa dia adalah seorang yang aneh. Pengemis-pengemis kecil lainnya apabila mengemis tentu akan merengek-rengek, menceritakan kesusahan mereka untuk menarik belas kasihan daripada pendengarnya.

Anak-anak seperti ini biasanya amat rendah hati, dimaki, dipukul, hanya menerima dengan tangis saja. Berbeda jauh dengan Kwan Cu. Ia tidak pernah merengek, tidak pernah mengeluh, agaknya anak ini memang tidak mengenal keluh-kesah.

Pada suatu hari, dalam perantauannya yang tanpa tujuan itu, tibalah dia di kota Lung-to di tepi Sungai Kuning. Memang Kwan Cu setelah meninggalkan laut, lalu mengikuti jalan sepanjang sungai besar dan tak pernah jauh meninggalkan Suangai Huang-ho.

Ia memasuki kota Lung-to dalam keadaan letih dan lapar. Ia telah melakukan perjalanan sehari semalam lamanya. Daerah ini memang kurang penduduknya dan dari satu kota ke kota yang lain amat jauh jaraknya. Semenjak kemarin, Kwan Cu belum makan apa-apa, dan selama sehari semalam itu dia terus-menerus berjalan kaki. Tidak ada sesuatu yang bisa dimakan dalam perjalanan melalui hutan-hutan itu, kecuali air yang memenuhi perutnya.

Akan tetapi Kwan Cu tidak berani minum banyak-banyak karena hal ini mengingatkan dia akan air laut. Anak ini mempunyai perasaan takut terhadap air laut yang bergelombang besar.

Dengan langkah tersaruk-saruk Kwan Cu memasuki pintu gerbang kota Lung-to. Kota ini besar dan ramai, banyak terdapat toko-toko dan restoran besar. Maka sebentar saja Kwan Cu dapat menerima sisa makanan dari sebuah restoran.

Biarpun perutnya sudah lapar sekali, namun Kwan Cu tidak nampak tergesa-gesa ketika dia membawa makanan itu ke bawah sebatang pohon besar di pinggir jalan. Kemudian dia makan sisa makanan yang dia dapat dari pelayan restoran. Cara makannya juga tidak tergesa-gesa, bahkan dengan teliti dia memilih makanan itu.

Ia sama sekali tidak tahu bahwa semenjak dia memasuki kota, dia telah diawasi oleh seorang gemuk yang berwajah menakutkan sekali dan yang gerakan-gerakannya seperti seekor kucing ringannya.

“Daging baik, tulang murni….”

Beberapa kali orang tinggi besar itu berbisik dan nampak puas sekali. Tingkah laku orang tinggi besar ini benar-benar amat megherankan dan mencurigakan. Biarpun tubuhnya besar, namun dia bergerak cepat dan gesit sekali. Anehnya, tiap kali bertemu dengan orang, dia lalu menyelinap dan bersembunyi, dan karena dia memang memiliki gerakan yang ringan dan cepat sekali, tidak ada orang yang melihat dia mengikuti Kwan Cu.

Orang ini tubuhnya besar dan nampak kuat, mukanya bundar dengan mulut lebar seperti mulut barongsai. Jenggotnya pendek dan kaku seperti jarum, sudah putih sebagian.

Yang menyolok adalah pakaiannya, karena bajunya berwarna merah darah sedangkan celananya berwarna biru! Melihat sesuatu mengganjal di dalam punggung bajunya, dapat diduga bahwa orang ini membawa sebuah senjata tajam.

Pada masa itu banyak timbul kekacauan, maka soal membawa-bawa senjata tajam bukanlah pemadangan baru. Bukan hanya ahli-ahli silat yang membawa-bawa senjata pedang atau golok, bahkan orang-orang yang tidak mengerti ilmu silat pun sebagian besar membawa senjata pelindung diri.

Ketika Kwan Cu tengah makan, orang tinggi besar itu datang mendekati dengan muka menyeringai. Kwan Cu mengangkat mukanya memandang. Wajah orang itu tidak membuat dia takut, bahkan anak kecil ini lalu mengerutkan kening. Ia telah memilih tempat di bawah pohon di mana tidak ada orang dan sunyi. Dari situ terlihat orang-orang mondar-mandir di jalan raya, akan tetapi tak seorangpun menaruh perhatian kepada anak kecil jembel yang sedang makan di bawah pohon. Mengapa orang ini datang dan memandangnya dengan muka menyeringai?

“Orang tua, apakah kau lapar?” tanya Kwan Cu menunda makannya

Orang itu melengak, lalu tertawa.
“Aku memang lapar sekali!”






Nampak sikap orang itu benar-benar seperti kelaparan dan mengilar. Kwan Cu melihat makanan yang masih ada sisanya dan terpegang di tangan kirinya dalam sebuah mangkok butut. Sebetulnya dia belum kenyang betul akan tetapi perutnya sudah tidak perih lagi seperti tadi. Tiba-tiba dia angsurkan mangkoknya kepada kakek itu dan berkata,

“Nah kauambil dan makanlah ini!”

Kembali orang itu tertegun. Diam-diam dia merasa geli melihat sikap anak kecil ini.
“Kau tidak tahu siapa aku,” pikirnya, “maka kau berani menghina”

Sebetulnya siapakah kakek yang berwajah menyeramkan ini? Kalau orang-orang yang berjalan di jalan raya itu tahu siapa dia, tentu akan terjadi geger. Telah beberapa hari ini, timbul kegemparan di kota Lung-to karena beberapa orang anak kecil lenyap terculik orang. Telah payah orang-orang pergi menyelidik, akan tetapi percuma saja karena penculik itu dalam melakukan pekerjaannya, tidak meninggalkan bekas sama sekali.

Orang-orang hanya mengira bahwa penculik itu tentu menculik anak-anak dengan maksud untuk menjual anak-anak itu sebagai budak belian, karena selalu yang dipilih adalah anak-anak yang manis dan sehat.

Kalau saja orang tahu bahwa penculik anak-anak itu adalah Tauw-cai-houw, seorang setengah gila yang melakukan perbuatan-perbuatan ganas dan amat menyeramkan, tentu orang-orang akan menjadi gempar!

Tauw-cai-houw (Harimau Menagih Hutang) adalah seorang tokoh berkepandaian tinggi yang mempunyai kebiasaan aneh dan mengerikan sekali. Ia menangkap anak-anak kecil bukan sekali-kali untuk dijual belikan, melainkan untuk di……. makan!

Dan kini Tauw-cai-houw berada di kota Lung-to dan telah menculik beberapa orang anak kecil. Lebih dari itu, pada hari itu Touw-cai-houw bahkan sedang mendekati Kwan Cu dan ditawari sisa makanan oleh anak ini!

“Anak manis, kau makanlah biar kenyang,” kata Tauw-cai-houw dengan kedua matanya berputar-putar. Memang muka yang bundar dari orang ini mirip dengan muka harimau. “Kalau kau masih kurang, bilang saja, aku akan menyediakan untukmu.”

Kemudian, kakek ini melihat mangkok di tangan Kwan Cu yang butut serta isinya yang terdiri dari makanan sisa. Ia cepat menyambar dan tahu-tahu mangkok itu telah dirampasnya dan dibanting hancur. Kwan Cu memandang heran dan juga marah, akan tetapi Tauw-cai-houw berkata,

“Tunggulah sebentar. Makanan seperti itu tidak seharusnya kaumakan. Tunggu sebentar, aku akan mencarikan makanan yang baik untukmu.”

Ia lalu melangkah lebar ke arah restoran dan tak lama kemudian, betul saja dia kembali dengan langkah lebar menghampiri Kwan Cu sambil membawa dua mangkok penuh terisi makanan-makanan yang hangat mengebul!

Ketika dua mangkok masakan itu diletakkan di depannya, Kwan Cu menjadi mengilar sekali. Bau makanan yang sedap itu telah membuat perutnya yang belum kenyang tiba-tiba menjadi lapar lagi.

Kalau menurutkan nafsunya, ingin dia segera menyikat dua mangkok masakan itu, akan tetapi anak ini memang aneh. Ia bahkan menggerakkan kepalanya menoleh kepada Tauw-cai-houw, lalu berkata,

“Orang tua, aku tidak bisa makan masakan ini.”

Untuk ketiga kalinya Tauw-cai-houw melengak.
“He? Mengapa?”

“Kita tidak saling mengenl, juga tidak ada hubungan sesuatu antara kita. Mengapa kau datang-datang menghadiahkan dua mangkok masakan? Tentu ada udang dibalik batu. Apakah sebenarnya kehendakmu?”

Kini Tauw-cai-hauw benar-benar tercengang. Belum pernah dia bertemu dengan seorang anak kecil seaneh ini. Kata-kata itu tidak patut keluar dari mulut seorang anak-anak, pantasnya diucapkan oleh seorang dewasa yang sudah banyak pengalaman hidup!

“Anak, siapa namamu? Kau benar-benar cerdik, suka hatiku melihatmu.”

“Aku Lu Kwan Cu, dan siapakah kau, Lopek? Dan apa sebabnya kau datang-datang berlaku manis kepadaku? Aku tidak mempunyai sesuatu sebagai penukar dua mangkok masakan yang mahal ini.”

Tauw-cai-houw tertawa bergelak, sehingga beberapa orang yang lewat didekat tempat itu berhenti lalu memandang. Akan tetapi begitu Tauw-cai-houw itu memelototkan matanya, orang-orang itu merasa takut dan buru-buru pergi lagi.

“Anak bodoh, mengapa ribut-ribut tentang penukaran? Aku pun mengambil masakan-masakan itu tanpa bayar!”

“Apa? Kau merampas dengan kekerasan?” tanya Kwan Cu dengan mata terbelalak.

“Tidak bisa disebut perampasan karena pemiliknya tidak tahu makanannya kuambil.”

“Kalau begitu kau mencuri!” dengan kata-kata ini, Kwan Cu lalu mendorong dua mangkok masakan itu sehingga terguling dan semua masakan yang masih mengebul panas itu tumpah di atas tanah yang kotor. “Aku tidak sudi makan barang curian dan kau pencuri tua ini lekas pergi jangan mengganggu aku lagi!”

Dari perasaan heran, kakek itu kini menjadi marah.
“Tolol, disuruh makan biar gemuk dan sehat, kau banyak membantah. Kaukira dapat membantah di depan Tauw-cai-houw?”

Setelah berkata demikian, tangannya menyambar dan tahu-tahu Kwan Cu telah ditangkap lehernya seperti harimau menangkap kelinci. Lalu orang tinggi besar yang mengerikan ini melangkah lebar, membawa Kwan Cu yang tak dapat berkutik lagi.

Orang-orang yang melihat ini, menjadi ribut. Ketika mereka mengejar dan melihat betapa kakek bermuka harimau itu berlari cepat sekali, mereka berteriak-teriak,

“Ah, tentu dia penculik anak-anak itu! Kejar!”

“Tangkap penculik anak-anak!”

“Bunuh dia!”

Teriakan-teriakan susul-menyusul dan para pengejar makin banyak, akan tetapi kakek itu benar-benar lihai karena dalam sekejap mata saja dia sudah hilang dari pandangan mata orang banyak, tidak tahu kemana menghilangnya.

Sebentar saja, gegerlah seluruh kota Lung-to dan semua orang membicarakan tentang penculik itu. Banyak orang memberi bumbu sehingga tak lama kemudian, orang menggambarkan penculik itu sebagai seorang siluman yang bermuka singa dan yang mengerikan sekali!

Para penjaga keamanan kota menjadi sibuk karena mereka berusaha untuk mencari dan menangkap penculik yang telah beberapa hari mengacau kota itu. Akan tetapi tetap saja tidak ada seorang pun tahu kemana perginya si penculik.

Pada saat orang-orang sedang kebingungan dan geger, muncullah seorang wanita yang amat cantik dan juga bersikap gagah sekali. Wanita ini masih muda, usianya takkan lebih dari dua puluh lima tahun, pakaiannya sederhana berwarna putih, akan tetapi kesederhanaan pakaiannya ini yang menambah kecantikan wajah dan potongan tubuhnya yang langsing dan padat itu makin nampak nyata.

Di pinggangnya tergantung sebatang pedang yang gagangnya beronce benang-benang sutera merah. Rambutnya yang panjang terurai ke belakang itu diikat dengan pengikat rambut dari sutera merah pula.






Tidak ada komentar :