*

*

Ads

Jumat, 07 Desember 2018

Pendekar Sakti Jilid 011

Lu Pin, seorang sastrawan yang amat pandai, juga terkenal sebagai seorang ahli pahat atau ahli ukir patung yang luar biasa, berkat jasa-jasanya dalam urusan pemerintahan, telah diangkat menjadi menteri oleh kaisar.

Sesuai dengan bakatnya, dia dijadikan menteri urusan kebudayaan, dan karena jasa Lu Pin inilah maka pada masa itu, kebudayaan di Tiongkok diperkembang dan dipupuk. Seni-seni ukir, seni lukis dan lain-lain mendapat perhatian pemerintah.

Dilihat dari luar, nampaknya penghidupan Menteri Lu Pin ini makmur dan senang, akan tetapi kalau orang melihat menteri itu duduk di dalam kamarnya seorang diri, orang itu akan melihat betapa menteri yang pandai dan berwatak jujur dan adil ini sering kali duduk termenung dan menghela nafas berulang-ulang. Pada wajahnya yang bersinar agung dan keningnya yang lebar itu terbayang kemuraman dan kedukaan hati yang besar sehingga biarpun usianya baru empat puluh tahun lebih, namun dia nampak lebih tua. Apakah yang menindih perasaan menteri yang memperoleh kedudukan tinggi ini? Banyak sekali.

Menteri Lu Pin berasal dari keluarga rakyat biasa saja, akan tetapi berkat kemauan besar dan keuletannya, dia dapat melanjutkan pelajarannya sampai mendapat gelar siucai, dan bakatnya yang memang luar biasa membuat dia menjadi seorang satrawan dan seniman yang tinggi kepandaiannya.

Akan tetapi dia ketika mudanya sudah banyak menderita, bergaul dengan orang-orang senasib sependeritaan, yakni seniman-seniman yang hidupnya terlantar dan tidak mendapat perhatian dari pemerintah.

Kini setelah menjadi menteri, teringatlah dia akan nasib kawan-kawannya, nasib saudara saudaranya yang masih amat sengsara. Oleh karena itulah maka seringkali dia termenung dan bersedih hati. Yang lebih-lebih membuat hatinya sakit adalah keadaan kakaknya. Di dalam dunia ini dia hanya mempunyai kakaknya itu sebagai saudara satu-satunya, karena keluarga lain sudah tidak ada lagi.

Akan tetapi berbeda dengan dia, kakaknya ini menuntut penghidupan yang jauh berlainan. Kakaknya semenjak kecil biarpun bersama dia mempelajari kesusastraan, namun bakat kakaknya bukan di situ letaknya, melainkan dalam ilmu silat! Juga, watak kakaknya ini berbeda jauh dengan dia.

Kalau Lu Pin bercita-cita tinggi untuk mencapai kedudukan dan kemuliaan, adalah kakaknya itu tidak peduli akan semua ini. Bahkan akhir-akhir ini dia mendengar kakaknya itu merantau bagaikan seorang pengemis jembel! Inilah yang amat mengganggu hatinya, akan tetapi dia tidak berdaya. Kakaknya ini selain memiliki kepandaian tinggi sekali dalam hal ilmu silat, juga mempunyai watak yang aneh.

Sebelum Lu Pin diangkat menjadi menteri, pernah dia mencari dan bertemu dengan kakaknya dan ketika kakak ini di bujuk-bujuknya untuk mencari kedudukan, baik dalam hal pembesar sipil maupun militer karena kakaknya mempunyai kepandaian bun (silat), kakaknya bahkan menjadi marah dan memaki-makinya!

“Pin-te (adik Pin), apakah matamu sudah buta? Kalau mata lahirmu buta, tak mungkin mata batinmu buta pula! tidak dapatkah kau melihat betapa negara kita ini dipegang oleh orang-orang yang tak patut disebut manusia pula? Tak dapatkah kau melihat kaisar dan seluruh anggota pemerintahan adalah orang-orang yang mengutamakan kesenangan belaka, yang melakukan korupsi besar-besaran dan menginjak-injak rakyat sendiri? Apakah kau mengajak aku membantu manusia-manusia macam begitu? Cih, lebih baik aku mati saja!” demikian kakaknya ini mengakhiri kata-katanya lalu pergi meninggalkannya.

Memang semenjak kecil, kakaknya yang bernama Lu Sin itu, beradat keras, tinggi hati, dan kasar. Akan tetapi Lu Pin maklum sedalam-dalamnya bahwa di dunia ini tidak ada orang yang lebih mulia batinnya dari pada kakaknya itu! Inilah hal pertama yang membuat Lu Pin merasa menderita batinnya, biarpun dia kini telah menjadi seorang menteri berkedudukan tinggi dan dimuliakan orang senegerinya.

Soal kedua yang menekan batinnya adalah rumah tangganya. Menteri Lu Pin hanya mempunyai seorang anak laki-laki dan puteranya ini pun sudah menikah pula dan menjabat seorang pembesar bagian sipil. Karena rumah Lu Pin besar sekali dan menteri ini tidak mau berpisah dari puteranya, dia minta agar supaya puteranya sekeluarga tinggal bersama dia.

Akan tetapi puteranya akhirnya pindah juga ke rumah lain karena mantu perempuan selalu bercekcok dengan ibu mertua! Inilah yang memberatkan hati Menteri Lu Pin. Biarpun rumah gedung baru dari puteranya itu berada di kota raja pula dan tidak jauh, namun melihat isterinya tidak akur dengan anak mantunya, sungguh merupakan hal yang sangat mengecewakan.

Dan karena isteri puteranya adalah puteri dari seorang berpangkat pangeran, tentu saja dia makin merasa tidak enak. Lu Pin amat sayang kepada cucu laki-laki yang bernama Lu Thong. Anak ini tampan, bermata lebar, tidak kalah bagusnya dengan putera-putera pangeran, selalu berpakaian mewah dan manja sekali.






Kadang-kadang diam-diam Lu Pin mengakui bahwa watak cucunya ini kurang baik, pemarah seperti ibunya dan pengecut seperti ayahnya, akan tetapi karena dia hanya cucu satu-satunya, maka Lu Pin amat sayang kepadanya. Sering kali menteri ini menyuruh datang cucunya itu, atau bahkan dia sendiri memerlukan datang ke rumah puteranya untuk mengunjungi dan melihat Lu Thong.

Pada suatu hari, ketika Lu Pin kebetulan sedang berada di rumah puteranya, dia mendengar Lu Thong menangis dan rewel. Ia lalu bertanya dan mendapat jawaban dari puteranya bahwa anak itu rewel sekali minta dipanggilkan guru silat yang pandai karena anak ini ingin belajar ilmu silat!

Menteri Lu Pin menghela napas. Ia mengelus-elus kepala Lu Thong yang menangis sambil berkata,

“Cucuku yang tampan. Mengapa kau ingin mempelajari ilmu kepandaian yang kasar dan mengerikan itu? Dari pada kau memegang golok atau pedang yang hanya akan menimbulkan pertumpahan darah, aku akan lebih merasa girang dan tenteram hatiku kalau melihat kau menggerakkan alat tulis membuat syair yang baik atau lukisan yang indah!”

“Tidak, Kong-kong, aku ingin belajar silat. Dalam bermain-main, kalau berkelahi aku selalu kalah. Aku mau menjadi pendekar, mau menjadi orang gagah yang ditakuti karena kepandaianku, bukan karena harta dan kedudukan Ayah atau Kong-kong!” anak itu merengek-rengek dengan manja.

“Anak manja!” Ayahnya membentak marah-marah. “Apakah kau akan menjadi seorang petualang yang liar?” kemudian dia menepuk kepalanya sendiri sambil berkata, “Hm, celaka benar. Agaknya darah Pek-hu (Uwa) yang kotor, darah petualang yang memalukan mengalir pula dalam darah anak ini!”

Tiba-tiba menteri Lu Pin memandang puteranya dengan marah.
“Tutup mulutmu dan jangan kau berani mengeluarkan kata-kata kotor terhadap Sin-ko (Kakak Sin)!”

Lu Seng Hok, putera dari Lu Pin itu, memandang kepadanya dan menghela napas.
“Ayah memang aneh sekali. Pek-hu Lu Sin sudah terang sekali mencemarkan nama keluarga Lu. Ia beberapa kali mengacau, mengganggu pembesar-pembesar tinggi, bahkan pernah mengacau dalam dapur istana menghabiskan makanan kaisar. Orang seperti itu bukankah hanya membikin malu kepada kita saja? Celakanya, banyak orang-orang besar mengetahui hubungan kita dengan dia.”

“Sudah, Hok-ji (Anak Kok), jangan kita bicara lagi tentang Pek-humu itu. Betapapun juga, dia adalah seorang yang budiman, jauh lebih baik dari aku atau kau.”

Seng Hok tidak berani membantah ayahnya, akan tetapi di dalam hatinya dia mengejek dan diam-diam dia berkata di dalam hati,

“Huh manusia macam itu! Jembel tua memalukan, kerjanya hanya mengacau mengandalkan silatnya.”

Kemudian, karena tidak berani membantah ayahnya, dia menimpakan kemarahannya kepada anaknya, yang dimaki-maki lagi.

“Kau tak perlu membuka mulut minta belajar silat lagi pendeknya, kau tidak boleh belajar silat!”

Akan tetapi kini perhatian Lu Thong tertarik ketika mendengar nama Lu Sin disebut-sebut.

“Kong-kong, apakah kakek Lu Sin itu benar-benar lihai ilmu silatnya? Aku pernah mendengar orang bilang bahwa seluruh bala tentara kerajaan tidak dapat menangkap dan melawan dia.”

Menteri Lu Pin mengangguk-angguk sambil memeluk cucunya yang terkasih.
“Cucuku, kakekmu Lu Sin itu biarpun hidup sebagai petualang, namun dia seorang yang luar biasa sekali. Kepandaian silatnya pada waktu itu sukar dicari tandingannya, dan dia dijuluki Ang-bin-sinkai. Memang, kalau orang memiliki kepandaian silat seperti dia itu, barulah orang-orang tidak berani main-main terhadapnya, dan kalau saja adatnya tidak begitu kukuh dan aneh, kalau saja dia menerima pangkat, tentu dengan mudah dia akan diberi pangkat tinggi dalam bidang kemiliteran kaisar. Bahkan kaisar pernah menawarkan kedudukan Koksu (Guru Negara) kepadanya. Sayang….. dia lebih senang merantau.”

“Menjadi pengemis kotor!” Lu Seng Hok menambahkan. “Anak rewel, apa kau ingin mempunyai kepandaian silat tinggi dan kemudian menjadi seorang pengemis jembel?”

Akan tetapi Lu Thong tampak diam saja. Anak kecil ini biarpun manja dan rewel, namun harus diakui bahwa dia memiliki pikiran yang amat cerdik. Ia lalu memandang kepada ayahnya dan berkata,

“Ayah, kalau kau berhasil membujuk kakek Lu Sin untuk tinggal di sini dan mengajar ilmu silat kepadaku, bukankah itu baik sekali? Selain dia tidak mengembara dan memalukan ayah, juga aku bisa mendapat pimpinan dari seorang ahli.”

“Kau tidak akan belajar silat!” kata Lu Seng Hok dengan kukuh.

“Ayah, betapun juga kakek Lu Sin adalah keluarga kita. Dia masih tetap saja menggunakan nama keturunan Lu! Kalau kita mempunyai orang tua yang berkepandaian tinggi itu, apakah akan kata orang kalau aku sebagai keturunan lu tunggal, sama sekali tidak mengerti ilmu silat dan amat lemah? Kong-kong terkenal sebagai ahli bu. Ini merupakan dwi tunggal yang baik sekali dan kalau aku dapat mempelajari bun dan bu di bawah pimpinan dua orang tua ini bukankah aku akan menjadi seorang bun-bu-cwan-jai (ahli satra dan ahli silat)?”

Ketika ayah dan anak ini bersitegang mempertahankan pendirian masing-masing, Lu Pin mendengarkan saja dan mendengar ucapan Lu Thong dia menjadi girang sekali. Wajah orang tua ini berseri-seri dan dia lalu bertepuk tangan.

“Bagus, bagus sekali! Lu Thong, kaulah agaknya yang akan mengharumkan nama keluarga Lu! Hok-ji, ucapan puteramu itu betul sekali. Sekarang kita harus mencari Pek-humu Lu Sin dan kita membujuknya untuk melatih Lu Thong. Bagus sekali!”

Seng Hok setelah berpikir-pikir, juga menyetujui kehendak ayahnya ini. Ia pikir bahwa tentu saja amat baik kalau Lu Thong menjadi seorang ahli sastra merangkap ahli silat. Ayah mana yang tidak akan suka melihat puteranya menjadi seorang bun-bu-cwan-jai?

Akan tetapi mencari Ang-bin Sin-kai Lu Sin tidak semudah mencari orang lain. Nama Ang-bin Sin-kai memang sudah amat terkenal, dari seorang pengemis yang paling jembel sampai kaisar sendiri mengenal nama tokoh besar yang luar biasa ini. Akan tetapi di mana adanya kakek aneh ini, tak seorang pun mengetahuinya!

Dan karena sekarang sudah menyetujui untuk memberi kesempatan kepada Lu Thong belajar ilmu sialat, maka Lu Seng Hok mulai mengundang guru silat untuk memberi pimpinan dasar kepada puteranya. Akan tetapi, Lu Thong tidak demikian mudah dipuaskan hatinya. Segala macam guru silat saja, dia tidak sudi mengangkat menjadi gurunya.

Anak ini paling suka memelihara anjing dan di pekarangan depan gedung ayahnya, penuh dengan anjing-anjing yang galak, besar dan juga bagus. Ia selalu dimanja oleh ayahnya yang sengaja membeli anjing-anjing besar dan bagus. Lu Thong memelihara lebih dari sepuluh ekor anjing!

Ia pernah mendengar tentang kakak kong-kongnya yang bernama Ang-bin Sin-kai Lu Sin itu dan pernah mendengar cerita bahwa kakeknya ini pernah memukul mati seekor harimau tanpa menyentuh kulitnya! Oleh karena itu tiap kali ada guru silat yang diundang oleh ayahnya datang hendak mengajarnya, dia minta kepada guru silat ini untuk memukul anjingnya tanpa menyentuh kulitnya!

Dan akibatnya banyak sudah guru silat yang tidak mampu merobohkan anjing itu tanpa menyentuh kulitnya, sebaliknya ada beberapa orang di antara guru-guru silat itu yang menjadi korban gigitan anjing galak!

Oleh karena sebegitu jauh Lu Thong masih juga belum mempunyai guru yang pandai dalam ilmu silat dan dia masih belum mau belajar silat. Ayahnya menjadi bingung dan juga bohwat (kehabisan akal) menghadapi anaknya yang terus rewel minta supaya kakeknya, Ang-bin Sin-kai Lu Sin, dipanggil datang!

Pada suatu hari masih pagi sekali Lu Thong sudah bermain-main di halaman gedung ayahnya. Tiga ekor anjing yang terbesar dan terbaik menemaninya di situ. Anak ini mengajar anjing-anjingnya melompat, mencari barang yang disembunyikan, dan lain-lain.

Tiba-tiba tiga ekor anjing ini mengonggong keras dan berlari ke arah pintu. Dari pintu gerbang masuk seorang pengemis tua yang pakaiannya sudah penuh tambal-tambalan, rambutnya awut-awutan, dan kulit tubuhnya kotor dan ada penyakit gatal di sana-sini, terutama sekali pada kakinya. Ketika dia datang memasuki pintu gerbang, banyak lalat mengerubung dan mengikutinya.






Tidak ada komentar :