*

*

Ads

Jumat, 07 Desember 2018

Pendekar Sakti Jilid 013

Kak Thong Taisu lalu melemparkan mangkoknya yang butut sehingga makanan itu tumpah di atas tanah.

“Makanan busuk, diberi oleh seorang yang pelit!”

Kemudian ia memukulkan tongkatnya ke mangkok itu, dan aneh sekali! Mangkok itu tidak menjadi hancur, bahkan lalu mencelat keatas yang segera diterimanya dengan tangannya, dan mangkok itu kini telah menjadi bersih seperti dicuci saja.

“Hm, orang-orang kota raja ini semuanya kaya-kaya dan pelit-pelit, menyebalkan sekali!”

“Losuhu, kalau teecu boleh bertanya, Losuhu hendak pergi ke mana dan datang dari manakah?” tanya Kwan Cu

“Pinceng datang dari belakang dan hendak menuju ke muka,” jawab hwesio tua itu seperti orang berkelakar. “Sekarang telah bertemu dengan kau, muridku, maka aku tidak khawatir lagi akan kelaparan, karena ada orang yang akan mencarikan makanan untukku!”

“Teecu bukan murid Losuhu, dan tentu saja teecu mau mencarikan makanan untuk Losuhu, yaitu kalau Losuhu merasa lapar.”

Kak Thong Taisu nampak terkejut.
“Apakah kau sudah bertemu Ang-bin Sin-kai dan sudah diambil murid olehnya?”

Kwan Cu menggeleng kepalanya.
”Tidak, teecu tidak bertemu dengan Locianpwe itu. Akan tetapi seandainya bertemu, teecu tidak akan menjadi muridnya.”

“Ha-ha-ha, kepalamu yang gundul itu keras juga kiranya!”

Setelah berkata demikian, dengan tongkatnya Kak Thong Taisu mengemplang kepala Kwan Cu.

“Plak!” ujung tongkat itu mengenai kepala yang gundul itu, akan tetapi biarpun dia merasa sakit sekali dan kepalanya tiba-tiba menjadi benjol, Kwan Cu tidak menaruh hati sakit atau pun marah.

Ia hanya mengejapkan matanya tiga kali untuk menahan sakit. Diam-diam dia malah merasa geli mendengar kata-kata hwesio ini. Hwesio ini sendiri mempunyai kepala yang gundul, bundar, dan besar, juga amat licin, akan tetapi masih memakinya sebagai kepala gundul!

Sungguh cocok kata-kata kuno yang menyatakan bahwa mencari keburukan orang lain sama mudahnya seperti mencari kerbau di ladang, sebaliknya mengetahui keburukan sendiri sama sukarnya dengan mencari sebuah jarum di dalam tumpukan rumput kering!

“Bagaimana apakah kau masih tidak mau menjadi muridku?”

Kwan Cu menggeleng kepala dan dia teringat akan pengalaman-pengalamannya selama ini dan menarik kesimpulan bahwa hanya orang-orang ahli silat yang selalu menimbulakan keributan dan kerusuhan, serang-menyerang atau bunuh-membunuh.

“Mengapa kau tidak mau menjadi muridku? Hayo jawab dan beri penjelasan yang betul, kalau tidak akan kuketok kepalamu sampai pecah!”

Hwesio gemuk itu nampak tidak sabar dan mendongkol sekali. Orang-orang muda sedunia akan berebut menjadi muridnya, dan anak gundul jembel ini, dia bahkan menampik!

“Mengapa?” Kwan Cu mengerutkan kening, mengingat-ingat lalu berkata dengan suara tetap, “Karena teecu teringat akan peribahasa kuno yang menyatakan bahwa: binatang menggunakan kekerasan karena dia tidak berakal, maka seorang manusia lebih rendah dari pada binatang apabila dia melakukan kekerasan. Nah, oleh karena itu, teecu tidak suka belajar ilmu silat, Losuhu. Teecu anggap peribahasa itu tepat sekali. Binatang yang tidak berakal mempergunakan kekerasan tanpa kesadaran, sebaliknya kalau manusia melakukan kekerasan, dia sadar sepenuhnya kalau kelakuannya itu salah dan jahat!”






Hwesio itu memandang kepadanya dengan mata terbelalak lebar, kemudian dia memandang keatas sambil tertawa bergelak-gelak. Suara ketawa ini keras dan hebat sekali sehingga Kwan Cu merasa tanah yang diinjaknya sampai tergetar oleh gema suara tertawa itu.

Adapun orang-orang yang lewat di situ, menjadi kaget sekali, akan tetapi ketika mereka memandang dan mencoba untuk mendekati, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu lalu memandang kepada mereka dengan mata dipelototkan. Mereka menjadi takut dan pergi lagi cepat-cepat!

“Ha, ha, ha! Lucu, lucu, lucu! Eh, Kwan Cu, kata-katamu itu membuat mataku melihat seekor lembu yang baru lahir menyusui seekor lembu tua yang menjadi neneknya!”

“Mana, Losuhu?” tanya Kwan Cu yang merasa heran. “Mana ada anak lembu yang baru terlahir dapat menyusui lembu lain, neneknya pula?”

Hwesio itu menudingkan jarinya itu kepada Kwan Cu.
“Kaulah anak lembu itu! Kau hendak memberi pelajaran kepadaku tentang filsafat, bukankah itu sama saja dengan seekor anak lembu hendak menyusui neneknya? Ha,ha,ha, kau tahu satu tidak tahu lima, tahu lima tidak tahu sepuluh! Kwan Cu, tidak ada sesuatu di permukaan bumi ini yang memiliki sifat tunggal, semua tentu memiliki dua sifat yang bertentangan, dua sifat yang bagi kita manusia biasa disebut menguntungkan dan merugikan! Pernahkah kau mendengar orang mengeluh karena hari sedang hujan yang lain mengeluh karena tidak ada hujan? Pernahkah kau mendengar munculnya matahari disambut dengan senyum oleh seorang dan sebaliknya disambut dengan muka cemberut oleh orang lain? Semua hal mempunyai dua sifat, tergantung dari pada yang menghadapinya. Kekerasan tak terkecuali, memiliki dua sifat menguntungkan dan merugikan. He, anak gundul goblok, tahukah kau sekarang bahwa belum tentu kekerasan itu salah dan jahat seperti anggapanmu tadi?”

Kwan Cu mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia tertarik sekali karena memang dia suka akan filsafat-filsafat kebatinan. Ia sudah terlalu banyak membaca buku kuno dan semenjak belajar membaca, otaknya sudah dijejali oleh segala macam filsafat ini.

“Benar-benarkah semua hal di dunia ini mempunyai dua sifat baik dan buruk, Losuhu?”

Hwesio itu mengangguk-anggukkan kepalanya yang bundar.
“Tentu! Coba kau sebutkan sesuatu sebagai contoh.”

Kwan Cu menengok ke sana ke mari, dan tiba-tiba dia menunjukkan telunjuk ke arah tahi kuda yang bertumpuk di pinggir jalan.

“Apakah barang kotor itu juga mempunyai sifat baik? Teecu menganggapnya kotor dan hanya merugikan saja, mengotori jalan, menimbulkan bau tak sedap dan menjijikkan kalau di pandang.”

“Anak bodoh, itu karena kau memandangnya dari segi yang merugikan saja. Tahukah kau bahwa keluarnya benda itu dari perut kuda mendatangkan dua macam keuntungan? Pertama, untung bagi si kuda sendiri karena kalau tidak bisa keluar perutnya akan kembung dan dia akan mati! Kedua, tahi kuda itu kalau sudah meresap ke dalam tanah menjadi pupuk yang amat baik dan menyuburkan tanah. Bukankah itu keuntungan-keuntungan belaka dan termasuk sifat-sifat baik?”

Kwan Cu melengak dan terpaksa dia tersenyum geli. Sepasang matanya yang lebar dan bersinar-sinar itu bergerak kenan kiri, menandakan bahwa otaknya yang cerdik bekerja keras. Ia mencari akal untuk mengalahkan hwesio gemuk ini dengan pendirian yang aneh itu.

“Losuhu, ada satu hal lagi. Apakah kejahatan juga mempunyai sifat baik?”

Kini Kak Thong Taisu yang melengak. Ia merasa seperti dadanya di todong oleh senjatanya sendiri. Senjata makan tuan! Akan tetapi hwesio ini adalah seorang manusia yang sudah matang luar dalam tentu saja tidak mau kalah. Sambil menggerak-gerakkan kedua matanya yang seperti kelereng itu, dia berkata,

“Tentu saja bocah tolol! Kalau tidak ada kejahatan di dunia ini, mana mungkin ada kebaikan? Siapa mau bicara kebaikan kalau tidak ada kejahatan? Siapa bisa mengatakan baik kalau tidak ada buruk dan mana di dunia ini ada orang berbudi kalau tidak ada orang jahat? Kejahatan merupakan imbangan dari pada kebajikan seperti Im (positif) menjadi imbangan dari pada yang (negatif) kalau salah satu tidak ada mana mungkin dunia bisa berputar dan matahari bisa terbit dan tenggelam?”

Filsafat ini terlalu berat bagi otak Kwan Cu yang masih kecil, maka untuk beberapa lama dia bengong saja.

Sebaliknya setelah berkata demikia Kak Thong Taisu tertawa bergelak.
“Ha,ha,ha, anak bodoh, anak tolol!”

“Losuhu,” Kwan Cu mendapatkan bahan pula ketika mendengar makian ini,
“apakah kebodohan juga mempunyai sifat baik?”

“Tentu saja, kalau tidak bodoh dulu, mana bisa menjadi pintar? Tanpa adanya kebodohan, mana manusia mengenal kepintaran?”

Dibalikkan seperti ini, Kwan Cu mulai dapat menangkap dan dia tertawa bergelak, menimpali suara ketawa hwesio gemuk itu sehingga dua orang ini tertawa-tawa, membikin orang-orang yang lewat di situ memandang terheran-heran.

”Orang-orang miring otaknya…” demikian mereka berbisik.

“Kwan Cu, kau terlalu sekali. Perutku menjadi lapar karena kau mengajakku bercakap-cakap saja. Hayo kau carikan makanan untukku. Hanya di rumah-rumah bangsawan-bangsawan terdapat makanan enak.”

Hwesio gemuk ini mengajak Kwan Cu memasuki kota raja. Kak Thong Taisu menyuruh Kwan Cu berjalan dahulu dan menyuruh anak ini minta makanan dari rumah gedung bangsawan.

Kwan Cu menurut dan kebetulan sekali dia memasuki halaman gedung dari pembesar Lu di mana dia melihat Lu Thong sedang menyuruh tiga ekor anjing-anjingnya mengeroyok seorang kakek pengemis itu sebagaimana telah di tuturkan di bagian pertama dari cerita ini.

**** 013 ****





Tidak ada komentar :