*

*

Ads

Rabu, 12 Desember 2018

Pendekar Sakti Jilid 017

Namun Kwan Cu memang berhati setia. Melihat bahwa dia dan gurunya jatuh ke tanah, dia lalu berguling dan mengatur sedemikian rupa sehingga jatuh, dia berada di bawah dan gurunya menimpa dadanya! Kepala anak ini membentur tanah kering dan debu mengebul, akan tetapi gurunya selamat!

Adapun An Lu Kui yang melihat kudanya menubruk seorang di antara dua orang anak laki-laki itu, membentak marah,

“Anak gila, apakah kau ingin mampus?”

Akan tetapi, terjadilah hal-hal yang luar biasa sekali. Kuda yang tadi ditunggangi oleh Kwan Cu akan menubruk anak yang lebih kecil, akan tetapi ketika dua kaki depan kuda itu sudah terangkat akan menimpa anak itu, dia lalu menggerakkan kedua tangannya, secepat kilat menangkap dua ujung kaki dan sekali gentak saja kuda itu telah melompat ke atas melewati kepalanya sehingga dia selamat!

Anak ini tertawa-tawa geli, sama sekali tidak mempedulikan kuda tadi, melainkan menudingkan jari telunjuknya ke arah Kwan Cu yang jatuh bergulingan.

“Ha-ha-ha, Suheng, kau lihat! Bocah gundul itu main komidi, lucu sekali!”

Adapun An Lu Kui yang kudanya menubruk anak ke dua yang lebih besar, tidak keburu mencegah sehingga kudanya itu dengan kedua kakinya menendang ke arah dada anak tadi.

Akan tetapi, dengan cepat dan tenang, anak yang besar ini lalu menusuk lutut kaki depan kuda yang sebelah kanan, yakni kaki yang berada di depan. Kuda itu mengeluarkan ringkik kesakitan dan tiba-tiba kedua kaki depannya tertekuk dan kuda itu jatuh berlutut!

Baiknya An Lu Kui adalah orang yang berkepandaian tinggi, maka cepat dia dapat melayang ke atas dan berpoksai (membuat salto) beberapa kali sehingga dapat turun dengan selamat!

"Sute, kau lihat. Bukankah kuda ini lebih lucu lagi? Datang-datang dia berlutut dan memberi hormat kepadaku. Bagus, bagus!"

An Lu Kui adalah seorang yang sudah lama merantau di dunia kang-ouw dan tahulah dia bahwa dua orang anak-anak yang usianya sekitar enam tujuh tahun ini tentulah murid-murid dari orang pandai. Maka dia tidak berani berlaku sembarangan sungguhpun dia merasa mendongkol sekali.

"Kalian ini bocah-bocah kecil murid siapakah dan mengapa menghadang perjalanan kami?"

Akan tetapi kedua orang anak kecil itu tidak menjawab dan pada saat itu terdengar suara yang membuat kuda-kuda menjadi terkejut dan gelisah. Itulah suara ketawa yang menyeramkan sekali dan ketika An Lu Kui mendengar ini tiba-tiba dia menjadi pucat sekali.

Suara ketawa itu seperti suara harimau mengaum dan disusul dengan suara ketawa ini lalu terdengarlah kata-kata yang jauh sekali namun cukup membuat telinga merasa sakit saking nyaringnya,

"Heh, heh, heh! Swi Kiat dan Kun Beng, kalian berada di manakah?"

Anak yang lebih kecil, yaitu yang tadi melontarkan kuda tunggangan Kwan Cu di atas kepalanya, segera meruncingkan mulutnya dan keluarlah teriakan yang kecil akan tetapi cukup nyaring,

"Teecu berdua berada di sini, Suhu!"

Kembali An Lu Kui menjadi amat terkejut sekali. Ternyata bahwa khikang dari pada anak kecil ini sudah demikian hebatnya!

Baru saja gema suara jawaban anak ini lenyap, nampak berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di depan mereka berdiri seorang laki-laki berusia sedikitnya enam puluh tahun yang tubuhnya membuat Kwan Cu hampir tertawa. Orang ini pendek dan kecil, sama sekali tidak membayangkan tanda-tanda bahwa ia adalah seorang pandai.

Akan tetapi, ketika melihat orang ini, serta merta An Lu Kui lalu melangkah maju dan menjura dengan sikap hormat sekali.

"Siauwte An Lu Kui mohon maaf apabila melanggar wilayah Pak-lo-sian Cianpwe," katanya.

Akan tetapi kakek itu tidak menghiraukan sama sekali, sebaliknya lalu menoleh kepada Gui Tin dan terdengar dia mengeluarkan suara ejekan dari hidungnnya,






"Hm, apakah si bangkotan Li Kong Hoat-ong itu telah benar-benar mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng?"

Setekah berkata demikian tiba-tiba dia menoleh kepada An Lu Kui dan pandang matanya yang tadinya suram-muram itu mendadak menjadi tajam luar biasa sehingga An Lu Kui terkejut sama sekali karena pandang mata itu seakan-akan menembusi dadanya!

An Lu Kui sesungguhnya tidak mengerti tentang kitab itu, maka dengan terus terang dia berkata,

"Locianpwe (sebutan untuk orang tua yang tingkatnya jauh lebih tinggi), siauwte sama sekali tidak tahu tentang kitab itu. Mendengarpun baru sekarang. Sesungguhnya siauwte diutus oleh suhu Li Kong Hoat-ong untuk mengundang Gui-siucai karena suhu amat mengaguminya."

Pandangan mata kakek itu benar-banar mengancam sekali dan keningnya yang keriputan itu menjadi makin nyata garis-garis keriputnya.

"Eh, kau hendak mengandalkan nama An Lu Shan dan suhumu Li Kong Hoat-ong dan tidak mau mengaku? Hayo bicara terus terang!"

"Sungguh, Locianpwe, siauwte……… siauwte tidak tahu…" An Lu Kui yang tadinya galak itu kini nampak ketakutan.

Tiba-tiba tubuh kakek itu bergerak dan tahu-tahu dia melompat ke dekat orang Tartar itu. Pada saat lain, sebelum An Lu Kui sempat mengelak, kakek ini telah menangkap lehernya dan sekali menggentak tubuh orang Tartar ini terlempar ke atas, tinggi sekali!

Bagaikan sekarung beras tubuh An Lu Kui terlempar dan dari atas jatuh pula ke bawah tanpa berdaya sedikitpun. Ternyata tangkapan pada lehernya tadi sekaligus telah merupakan tekanan pada jalan darahnya yang membuat dia menjadi lumpuh!

Kebetulan sekali tubuh orang Tartar itu menimpa Swi Kiat, murid terbesar dari kakek itu. Anak ini usianya paling banyak delapan tahun, akan tetapi kepandaiannya sudah hebat. Ia menerima tubuh orang Tartar itu dengan kedua tangannya, lalu sambil tertawa lebar dia melemparkan tubuh itu kepada adik seperguruannya, yaitu yang bernama Kun Beng.

Anak ini lebih muda dari Kwan Cu, paling banyak enam tahun, dan wajahnya tampan serta periang. Sambil tertawa geli anak ini lalu menggunakan tangan kanan menahan punggung An Lu Kui yang terlempar ke arahnya, sekali tangan kirinya menepuk tubuh belakang orang Tartar itu, An Lu Kui mencelat lagi ke atas dan kini melayang ke arah kakek tadi.

Kakek itu lalu menerimanya dengan menotok pundak An Lu Kui yang jatuh berdebuk di depan kakinya, akan tetapi orang Tartar itu kini telah terbebas dari totokan dan dapat bergerak. Ia menjatuhkan diri berlutut dengan muka pucat sekali.

"Locianpwe, biarpun siauwte dibunuh memang benar-benar siauwte tidak tahu tentang kitab itu," katanya dengan suara gemetar.

Kwan Cu paling tidak suka kalau orang menggunakan kekerasan, apalagi melihat kakek dan dua orang muridnya itu mempermainkan An Lu Kui yang tidak berdaya sama sekali, timbulah rasa penasaran dalam dadanya.

"Mempergunakan kepandaian untuk menghina orang, sungguh tak patut sekali. Menangkan orang lain hanya memiliki tenaga besar, menangkan diri sendiri barulah betul-betul patut disebut kuat!"

"Hush, Kwan Cu…" Gurunya mencegah dan memandang khawatir.

Kakek itu cepat menengok dan ketika melihat Kwan Cu, nampak kekaguman membayang di dalam sinar matanya.

"Hm, kau murid Gui-siucai? Tidak patut, tidak patut!"

"Suhu, segala kutu buku macam ini apa gunanya? Biar teecu menghajar sedikit adat padanya!" berkata Kun Beng dengan marah, akan tetapi Swi Kiat mencegahnya.

"Kalau kau katakan dia kutu buku, untuk apa melawan segala kutu buku, Sute? Tulang-tulangnya terlalu lemah, jangan-jangan dia akan mati dalam tanganmu!"

"Diamlah kalian berdua. Kulihat ada apa-apanya dalam diri anak ini." Kakek ini lalu berpaling kepada An Lu Kui. "Biarlah, memandang ucapan anak ini aku percaya padamu. Pergilah!"

Dengan tergesa-gesa dan juga lega sekali, An Lu Kui lalu mengajak kawan-kawannya, juga Kwan Cu dan Gui Tin, untuk pergi dari situ cepat-cepat.

Ketika mereka telah membalapkan kuda dan pergi jauh sehingga kakek dan dua orang muridnya tidak nampak lagi, tiba-tiba terdengar suara kakek itu. Biarpun orangnya tidak kelihatan, namun suaranya terdengar dekat sekali,

"Gui Tin, lain kali pada waktunya, akulah yang benar-benar akan membutuhkan bantuanmu. Selamat jalan!"

Kwan Cu terheran-heran dan semenjak pertemuan tadi, berubahlah pandangannya terhadap ilmu silat. Sebetulnya sejak Gui Tin bicara tentang ilmu silat dan kegunaannya, dia telah tertarik sekali, akan tetapi tetap saja hasrat untuk belajar ilmu silat masih amat lemah dalam hatinya.

Kini, menyaksikan kelihaian dua orang anak kecil itu, dia menjadi tertarik dan ingin sekali memiliki kepandaian seperti mereka! Inilah sifat anak-anak yang betapapun juga masih melekat dalam hatinya.

"An-sianseng (Tuan An), sebetulnya siapakah kakek yang luar biasa sekali itu?"

Diam-diam Kwan Cu membandingkan kakek tadi dengan dua orang luar biasa yang pernah dijumpainya, yakni Ang-bin Sin-kai dan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. Melihat keadaan, keanehan dan kelihaian mereka, agaknya tiga orang itu mempunyai tingkat yang sudah tinggi sekali.

Sebetulnya An Lu Kui sedang marah, mendongkol dan penasaran sekali. Oleh seluruh barisan di bawah kakaknya, dia dianggap sebagai orang gagah yang disegani dan dihormati. Tidak tahunya, di sini dia telah mengalami penghinaan dari seorang kakek dan dua orang anak-anak. Akan tetapi oleh karena menganggap Kwan Cu telah berjasa di hadapan kakek tadi, dia menjawab juga,

"Dia adalah seorang sakti bernama Siangkoan Hai yang berjuluk Pak-lo-sian (Dewa Tua dari Utara). Untuk daerah utara boleh dibilang dia menjadi tokoh terbesar. Biasanya biarpun orang menduga bahwa dia berada di daerah utara, dia tidak pernah muncul kecuali terjadi perkara-perkara besar dan biasanya dia tidak mau mencampuri segala urusan dunia. Kita benar-benar sial sekali bertemu dengan dia."

Akan tetapi, Gui Tin berkata perlahan kepada Kwan Cu,
"Kita benar-benar beruntung bertemu dengan dia. Aku pun baru kali ini melihat wajahnya, biarpun namanya sudah lama kudengar. Kwan Cu, perhatikanlah, di dalam dunia persilatan, terdapat lima orang yang paling terkenal. Mereka itu adalah Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang merajai daerah utara, ke dua adalah Ang-bin Sin-kai yang menjagoi di pantai timur, ke tiga hwesio tibet bernama Hek-i Hui-mo (Iblis Terbang Jubah Hitam) yang menjadi tokoh terbesar bagian barat. Adapun orang ke empat dan ke lima merajai daerah selatan, yakni yang seorang Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu yang sudah kau kenal dan orang ke dua adalah seorang wanita tua yang terkenal dengan nama julukan Kiu-bwe Coa-li (Ular Betina Buntut Sembilan)! Menurut berita yang kudengar, mereka berlima ini kepandaiannya seimbang dan kini mereka sedang berusaha untuk memperebutkan sebuah kitab ilmu perang dan ilmu silat yang bernama Im-yang Bu-tek Cin-keng. Tadi kuanggap ini hanya kabar angin belaka, akan tetapi setelah sikap Dewa Tua Utara tadi, agaknya betul juga kabar itu."

"Gui-lopek, apakah sesungguhnya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang di perebutkan oleh orang-orang luar biasa itu? Dan apakah selain lima orang tokoh itu, di dunia ini tidak ada orang-orang pandai ilmu silat yang lain lagi?"

Pada saat itu An Lu Kui mendekatkan kudanya. Gui Tin memberi tanda dengan matanya agar Kwan Cu tidak banyak bicara lagi, kemudian kakek pengemis itu berkata seakan-akan menjawab pertanyaan Kwan Cu,

"Kau tanyakan tentang nama-nama tokoh besar? Ah, menyebut yang lain-lain tidak ada artinya. Kalau Pek-cilan Thio Loan Eng barulah seorang wanita pendekar berilmu tinggi!"

Mendengar ini, An Lu Kui mengejek dan tersenyum.
"Gui-siucai, kau orang bun mana tahu tentang tokoh-tokoh besar dalam ilmu persilatan? Kepandaian Pek-cilan biarpun aku belum tentu dapat menandinginya, namun kalau dibandingkan dengan suhu Li Kong Hoat-ong, bukankah itu sama dengan membandingkan sebuah bukit anakan dengan Gunung Thai-san?"






Tidak ada komentar :