*

*

Ads

Jumat, 14 Desember 2018

Pendekar Sakti Jilid 024

Dengan girang sekali Hek-mo-ong setelah berhasil merampas kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, berlari cepat sambil tertawa-tawa menuju ke rumahnya di puncak Hek-mo-san.

Ia tinggal bersama dua orang adiknya dan isteri serta ipar-iparnya di dalam satu rumah besar di kampung yang cukup ramai, dimana dia dianggap sebagai seorang tuan tanah yang cukup kaya-raya. Memang semenjak bertahun-tahun yang lalu, Hek-mo-ong tidak berkelana lagi di dunia kang-ouw, melainkan hidup aman di dalam kampung ini.

Ketika dia melangkah masuk ke dalam rumahnya, dia disambut oleh dua orang adiknya, juga dua orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan kasar yang menyambutnya bersama isteri-isterinya yang cantik. Isteri Hek-mo-ong sendiri masih muda lagi cantik dan genit sekali.

Melihat kegembiraan Hek-mo-ong, mereka beramai-ramai mengajukan pertanyaan, akan tetapi Hek-mo-ong hanya menjawab sambil tertawa-tawa.

“Lekas membikin masakan yang enak, keluarkan arak yang wangi! Kita rayakan hari besar ini, karena tak lama lagi aku Hek-mo-ong akan menjagoi di seluruh permukaan bumi! Tunggu saja kalian, Ang-bin Sin-kai, Jeng-kin-jiu, Pak-lo-sian, Hek-i Hui-mo, dan Kiu-bwe-coa-li! Sebentar lagi, kalian terpaksa harus bertekuk lutut dan tunduk kepadaku, mengakui keunggulan Hek-mo-ong sebagai orang yang terpandai! Ha-ha-ha-ha-ha!”

Adik-adiknya dan ipar-iparnya, juga isterinya sudah tahu akan keanehan watak Hek-mo-ong, maka mereka tidak berani bertanya lagi sebelum orang ini menceritakannya sendiri. Maka segera makanan dan arak disediakan dan mereka makan minum dengan gembira sekali.

Setelah makan kenyang, barulah Hek-mo-ong mengeluarkan peti hitam itu dari sakunya, meletakkannya di atas meja sambil berkata bangga.

“Lihat, inilah kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!”

“Twa-pek (Uwa) mengapa kitab seperti kotak kayu?” memotong seorang anak kecil yang menjadi putera dari saudara termuda.

“Kau tahu apa?” bentak ayahnya atau adik termuda dari Hek-mo-ong. “Peti itu hanya tempat saja, tentunya.”

Karena tidak sabar lagi, mereka lalu mendesak kepada Hek-mo-ong untuk membuka peti itu. Dua orang adik Hek-mo-ong, ketika peti itu dibuka, menjenguk dari kanan kiri. Hek-mo-ong tertawa-tawa lalu menggunakan kedua tangannya untuk membuka peti itu.

“Ser! Ser! Ser!” berturut-turut, tujuh batang anak panah yang secara pandai dipasang An Lu Shan itu menyambar ke atas cepat sekali.

Kalau bukan Hek-mo-ong, tentu orang yang membukanya akan mati saat itu juga, terpanggang oleh anak-anak panah itu. Akan tetapi Hek-mo-ong telah memiliki kepandaian yang amat tinggi.

Begitu melihat menyambarnya cahaya hitam dari dalam peti, dia berseru keras dan kedua tangannya bergerak menangkis sehingga anak-anak panah itu terpental ke kanan kiri. Celaka sekali, kedua adiknya yang menjenguk dari kanan kiri itu tak sempat mengelak dan tepat sekali muka mereka tertembus anak-anak panah sehingga mereka roboh tak berkutik lagi. Muka itu menjadi bengkak dan biru, amat mengerikan.

Tentu saja isteri-isteri mereka menangis dan menjerit-jerit memeluki mayat kedua orang itu. Hek-mo-ong sendiri untuk beberapa lama berdiri bagaikan patung, akan tetapi setelah dia mengeluarkan kitab itu dan membalik-balikkan lembarannya, timbul lagi kegembiraannya.

“Sudah, jangan menangis di sini. Mereka sudah mati, sudahlah. Sudah patut kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng didapatkan dengan pengorbanan besar. Urus jenazah mereka baik-baik, dan kalian ini tak usah menangis, mulai sekarang boleh ikut aku saja sebagai pengganti suami-suamimu.”

Tak seorang pun berani membantah, akan tetapi ucapan ini saja sudah cukup dipakai ukuran orang macam apa adanya Hek-mo-ong ini! Sambil tertawa-tawa dan tidak menghiraukan perkabungan, dia lalu minum arak dan membalik-balik lembaran kitab yang baru saja dirampasnya itu.

Akan tetapi, tiba-tiba dia menjadi pucat sekali dan mukanya meringis-ringis menahan sakit. Kedua tangannya bergerak memegangi perut, dada, dan leher karena dia merasa betapa bagian-bagian tubuh itu merasa amat panas dan sakit.

“Celaka.... keparat An Lu Shan.... aduh....!” Ia terhuyung-huyung, menubruk meja sehingga kitab itu terlempar ke atas lantai.

Isterinya dan ipar-iparnya memburu dan menubruknya.






“Aduh....” Hek-mo-ong menjerit-jerit dan mulutnya mulai berbusa. “Awas.... peti itu.... jangan disentuh.... aduh, mati aku!” tubuhnya kaku, matanya mendelik, mulutnya berbusa dan dia tidak bernapas lagi!

Kalau orang lain, tentu sudah sejak tadi mati karena pengaruh racun. Tadi dia memegang-megang peti, kemudian makan. Sudah menjadi kebiasaan orang-orang kasar seperti Hek-mo-ong, biarpun tangannya kotor, kalau mau makan terus saja makan tanpa mencuci atau membersihkan tangannya, maka sebentar saja racun di tangannya terbawa masuk ke perut. Akan tetapi dia memang bertubuh kuat sehingga racun itu agak lama merobohkannya.

Tentu saja isteri-isteri dari tiga orang itu beserta anak-anak dan keluarganya, menangis dan sebentar saja di situ terdengar jerit tangis ramai sekali. Ketika dua orang adik Hek-mo-ong tadi tewas, mereka tidak berani menangis karena takut kepada Hek-mo-ong. Setelah sekarang Hek-mo-ong sendiri mati, semua orang menangis sepuasnya!

Keluarga itu dengan dibantu oleh para tetangga dan orang sedusun yang datang berlayat, lalu mengurus tiga jenazah itu. Peti hitam itu atas perintah isteri Hek-mo-ong lalu dibakar, adapun kitabnya lalu ditaruh di atas meja sembahyang di depan peti mati Hek-mo-ong. Tiga peti mati dijajarkan dan peti mati Hek-mo-ong di tengah-tengah. Juga meja sembahyangnya paling besar.

Pada keesokan harinya, ketika orang-orang masih ramai bersembahyang dan hio mengebulkan asapnya bergulung-gulung, datanglah seorang tokouw di tempat itu! Tokouw itu tangan kanannya memegang pecut berbulu sembilan helai dan tangan kirinya menggandeng tangan seorang anak perempuan yang mungil dan cantik manis. Dia bukan lain adalah Kiu-bwe Coa-li dan muridnya Bun Sui Ceng!

Ketika Kiu-bwe Coa-li melihat tiga peti mati itu berjajar di halaman dan semua orang menangis dan berkabung, ia mengerutkan keningnya. Adapun keluarga Hek-mo-ong segera menyambut tokouw ini, sebagaimana layaknya menyambut seorang pertapa wanita, yang mereka anggap datang untuk memberi hiburan kepada warga yang mati.

“Silakan duduk, Suthai,” kata mereka.

Kiu-bwe Coa-li tidak menjawab, melainkan memandang ke arah peti-peti mati, kemudian matanya mencari-cari sesuatu dengan pandangan yang tajam sekali.

“Di mana Hek-mo-ong?” tanyanya tiba-tiba dengan suara keren.

Ditanya demikian, isteri dari Hek-mo-ong melangkah maju dan menangis.
“Suthai yang mulia, suamiku telah meninggal dunia,” lalu tangisnya makin menjadi.

Kiu-bwe Coa-li tertegun dan memandang tajam.
“Yang mana petinya?” tanyanya pula.

Karena tidak menyangka buruk, isteri Hek-mo-ong menunjuk ke arah peti mati di tengah-tengah sambil berkata,

“Itulah peti mati suamiku.”

Dengan langkah perlahan, Kiu-bwe Coa-li menghampiri peti itu. Sui Ceng tidak senang melihat peti mati, maka sejak tadi ia telah melepaskan tangannya dari gandengan gurunya dan kini anak ini duduk di atas sebuah bangku, memandang ke arah meja sembahyang dengan perasaan heran dan kagum melihat hiasan-hiasan dalam upacara sembahyang itu.

Kiu-bwe-coa-li mendekati peti mati Hek-mo-ong, lalu mengulur tangan kirinya dan menepuk-nepuk peti mati itu beberapa kali dengan perlahan. Semua orang mengira bahwa pendeta wanita itu memberi berkah kepada yang mati, maka mereka menjadi terharu dan girang.

Tak seorang pun di antara mereka pernah mengira bahwa tepukan-tepukan perlahan itu merupakan serangan-serangan pukulan lweekang yang dahsyat bukan main! Ternyata bahwa Kiu-bwe Coa-li masih tidak percaya penuh akan kematian Hek-mo-ong dan diam-diam menyerang isi peti mati itu. Kemudian dia melirik ke arah peti mati di kanan kiri peti mati Hek-mo-ong.

“Siapa yang berada di dalam dua peti mati itu?” tanyanya kepada isteri Hek-mo-ong.

“Mereka adalah kedua adik suamiku, Suthai,” jawab nyonya itu sambil sesenggukan. Dan kembali ramai orang-orang menangis di tempat itu.

Pada saat itu, terdengar suara ketawa keras. Semua orang terkejut dan menengok. Ternyata, entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan peti-peti mati itu sudah berdiri seorang hwesio gemuk berpakaian serba hitam yang berkali-kali menyebut nama Buddha.

“Omitohud!” Kemudian, sambil mengoceh seorang diri, dia berkata lagi, “Tidak tahunya iblis neraka telah mendahului pinceng (aku) dan merenggut nyawa Hek-mo-ong.”

“Hm, Hek-i Hui-mo, alat penciumanmu lebih tajam dari seekor anjing buduk!” kata Kiu-bwe Coa-li dengan senyum mengejek.

Hwesio itu yang bukan laih adalah Hek-i Hui-mo, tertawa bergelak.
“Ha, ha, ha! Kiu-bwe Coa-li, kau benar-benar cepat. Hampir saja pinceng ketinggalan!”

Setelah berkata demikian, hwesio ini lalu melakukan upacara sembahyang di depan peti mati Hek-mo-ong.

Akan tetapi yang dipakai sembahyang bukannya hio yang dibakar, melainkan tiga batang hio hitam yang tidak dibakar. Orang-orang merasa heran sekali akan tetapi Kiu-bwe-coa-li maklum bahwa tiga batang hio hitam itu sebenarnya bukanlah hio, melainkan tiga batang jarum hitam yang disebut Hek-tok-ciam (Jarum Racun Hitam)! Mulut hwesio ini berkemak-kemik membaca doa, kemudian setelah selesai sembahyang dia menggerakkan tangannya dan lenyaplah tiga batang hio hitam itu!

Orang-orang lain tidak tahu ke mana perginya benda-benda hitam itu dan mereka mengira hwesio gemuk ini main sulap. Akan tetapi Kiu-bwe Coa-li tersenyum dan tahu bahwa hwesio Tibet yang lihai ini telah menyambitkan jarum-jarum itu yang meluncur laksana kilat ke arah tiga buah peti mati dan telah menembusi peti-peti itu untuk menyerang isinya! Jadi seperti juga dia sendiri, Hek-i Hui-mo Si Iblis Terbang Baju Hitam ini tidak percaya akan kematian Hek-mo-ong dan diam-diam menyerang isi peti mati!

“Sebelum mati, suamimu membawa sebuah peti kecil terisi kitab, di manakah peti itu ditaruhnya? Peti itu adalah milikku, sekarang harap dikeluarkan dan dikembalikan kepadaku!” Kata Kiu-bwe Coa-li kepada isteri Hek-mo-ong.

“Peti celaka itu!” seru isteri Hek-mo-ong. “Peti hitam celaka itulah yang telah membunuh suamiku dan adik-adiknya! Kami telah membakar peti siluman itu, Suthai!”

Terdengar seruan tertahan dan tahu-tahu Kiu-bwe Coa-li dan Hek-i Hui-mo telah bergerak dan berdiri di depan nyonya itu, sikap mereka mengancam dan beringas sekali.

“Dibakar??” tanya Hek-i Hui-mo dengan suara parau dan keras sehingga nyonya Hek-mo-ong terkejut sekali.

“Dan isinya, kitab itu.... apakah terbakar pula?” tanya Kiu-bwe Coa-li, pandang matanya mengancam.

Kalau nyonya itu menganggukkan kepala, tak salah lagi ia tentu akan mati dalam sekali pukul oleh dua orang tokoh kang-ouw yang mengerikan itu. Akan tetapi nyonya itu menggelengkan kepalanya lalu menunjuk ke arah meja sembahyang di depan peti mati Hek-mo-ong.

“Itulah dia kitab setan itu, yang tadinya berada di dalam peti hitam.”

Tubuh Kiu-bwe Coa-li berkelebat ke arah meja hendak mengambil kitab itu, akan tetapi tahu-tahu di dekat kibat itu, di atas meja, terdengar bunyi nyaring dan tiga batang jarum hitam telah menancap di situ! Kiu-bwe Coa-li cepat melompat ke belakang dan menoleh pada Hek-i Hui-mo yang berdiri tersenyum-senyum!

“Aha, Hek-i Hui-mo! Kau hendak main-main dengan pinni?” tanya Kiu-bwe Coa-li dengan pandang mata tajam dan cambuknya digerak-gerakkan dalam tangannya.

“Kiu-bwe Coa-li, kita datang di tempat yang sama dan dengan maksud yang sama pula. Tak boleh kau mau menang sendiri saja! Aku pun membutuhkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!”

Dua orang tokoh besar itu berdiri saling pandang dengan sikap mengancam, keduanya sama jauhnya dari meja sembahyang di mana keduanya maklum bahwa bergerak lebih dulu berarti bahaya maut. Mereka saling menanti, dan sekali lawannya bergerak, tentu akan mengirim serangan.






Tidak ada komentar :