*

*

Ads

Minggu, 16 Desember 2018

Pendekar Sakti Jilid 028

Kita ikuti perjalanan Lu Kwan Cu, anak gundul yang hidupnya selalu dirundung malang. Biarpun dia telah memiliki kekuatan batin yang timbul dari pembawaannya yang aneh, dan diperkuat pula oleh latihan-latihan samadhi semenjak dilatih oleh Loan Eng dan kemudian dilanjutkan menurut petunjuk dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang di terjemahkan oleh suhunya, yakni Gui Tin, namun menghadapi keadaan hidupnya, dia merasa bersedih juga. Ia merasa amat kesunyian.

Tadinya, ketika dia bertemu dengan Pek-cilan Thio Loan Eng, dia telah merasakan kebahagiaan, dan merasa suka sekali ikut pendekar wanita itu. Kemudian setelah dia berpisah dari Loan Eng dan bertemu dengan Gui Tin si sastrawan, dia merasakan kebahagiaan lagi karena dia merasa ada orang yang harus dijaganya, yang dapat dikasihinya dan juga mencintainya. Maka dapat dibayangkan betapa sakit hatinya ketika dia menyaksikan kematian Gui Tin.

Ketika dia melakukan perjalanan seorang diri, pada suatu senja dia tiba di sebuah kaki gunung dan di luar sebuah dusun dia melihat sebuah rumah pondok yang reot dan kosong. Ia merasa girang dan memasuki rumah ini. Perutnya terasa lapar sekali dan kantong uang yang dia dapat dari kakek angkatnya, yakni Menteri Lu Pin, dia taruh di atas lantai dalam rumah itu.

Malam itu bulan purnama dan cahayanya terang sekali! Namun bagi Kwan Cu, bulan yang bundar itu bahkan menimbulkan rasa sunyi yang hampir tak tertahankan. Kalau saja dia tidak memiliki hati yang luar biasa kuatnya, tentu dia telah menangis tersedu-sedu.

Akan tetapi Kwan Cu tidak mau menangis, dia keluar dari rumah pondok reot itu duduk di luar rumah di atas sebuah batu. Ketika dia memandang ke arah bulan yang bundar dan putih kekuningan, dia melihat bulan itu seakan-akan berubah menjadi wajah Loan Eng yang peramah dan sebentar lagi berubah lagi menjadi wajah Gui Tin yang sayang kepadanya.

Ia membuang muka dan tidak berani memandang lagi. Di belakangnya terdapat sebatang pohon yang sudah rontok semua daunnya, tinggal cabang-cabangnya saja, membuat keadaan menjadi makin sunyi. Lu Kwan Cu duduk dan tangan kirinya menunjang dagunya. Ia duduk termenung, tak bergerak seakan-akan telah menjadi patung batu. Kepalanya yang gundul kelimis itu tertimpa cahaya bulan sehingga mengkilap dan wajahnya yang tampan itu nampak sunyi dan sedih.

“Betul kata suhu Gui Tin,” pikirnya, “ilmu silat tak dapat dibilang buruk dan jahat. Tergantung dari orang yang mempergunakannya. Thio-toanio bukanlah seorang yang jahat dan ilmu silatnya dia pergunakan untuk menolong orang. Kalau aku mengerti ilmu silat, tentu tak akan sampai begini keadaanku. Suhu Gui Tin takkan sampai tersiksa sehingga meninggal dunia. Ia pesan supaya aku dapat menemukan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli dan mempelajari isinya. Akan tetapi dimana aku harus mencarinya? Aku harus menemukan petinya lebih dulu agar aku dapat mencari pula kitab itu di dalam buku peta dan sejarah.”

Selagi dia duduk termenung, tiba-tiba dia melihat bayangan banyak orang mendatangi dari depan.

“Itu dia……!” Ia mendengar suara seorang anak perempuan.

“Hei…… Kwan Cu…..!” Kwan Cu mengenal suara ini. Ia berdiri dan menanti datangnya rombongan itu.

“Adik Ceng….!” teriaknya girang.

Di dalam kesunyian seperti itu, melihat orang yang di kenalnya, tentu saja mendatangkan rasa girang. Akan tetapi, dia segera menjadi terheran-heran karena melihat betapa Sui Ceng sedang memanggul sebuah meja bersama dua orang anak laki-laki yang segera dikenalnya pula sebagai dua orang anak laki-laki yang dahulu pernah mempermainkannya, yakni murid-murid dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

Lebih-lebih herannya ketika dia melihat di antara rombongan itu terdapat pula Ang-bin Sin-kai dan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, dua orang kakek yang telah dikenalnya baik-baik.

“Anak baik! Kau sudah berada di tempat ini?” tanya Ang-bin Sin-kai dengan suara girang.

“He, Kwan Cu! Kau masih ingat kepada pinceng, bukan?” kata Jeng-kin jiu kak Thong Taisu dengan suara gembira pula.

Kiu-bwe Coa-li, Hek-i Hui-mo, dan Pak-lo-sian juga mendekati Kwan Cu sehingga anak ini terkurung di tengah-tengah. Juga tiga orang tokoh ini mengeluarkan suara memuji dan manis.

Kwan Cu adalah seorang anak yang mempunyai otak cerdik sekali. Melihat orang-orang itu bersikap manis, dia melirik ke arah meja yang kini telah diturunkan oleh tiga orang anak-anak itu dan melihat kitab di atas meja, tahulah dia bahwa tentu mereka ini membutuhkan pertolongannya untuk membaca buku itu!






“Cu-wi sekalian datang mengejar teecu apakah ingin bertanya sesuatu tentang kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng itu?” tanyanya sambil menuding ke arah kitab di atas meja.

“Benar-benar! Kau benar-benar seorang anak yang cerdas!” kata lima orang itu hampir berbareng.

“Kau tentu dapat membacanya, bukan?” tanya Ang-bin Sin-kai.

“Kwan Cu, kau telah menjadi murid Gui Tin, tentu gurumu itu telah mengajarkan membaca huruf-huruf aneh dalam kitab itu, bukan?” kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu penuh gairah.

“Bagaimana isinya? Tentang ilmu silatkah?” tanya Kiu-bwe Coa-li.

“Lekas kau baca agar kami mendengarnya, anak baik!” kata Pak-lo-sian.

Hanya Hek-i Hui-mo seorang yang tidak bicara apa-apa, akan tetapi seluruh perhatiannya dicurahkan ke arah Kwan Cu dan kitab itu. Berbeda dengan empat orang lainnya, tokoh barat dari Tibet ini tidak khawatir takkan mendapatkan membaca kitab itu tanpa bantuan Gui Tin. Di Tibet terdapat sekumpulan buku-buku kamus di dalam gudang kesusastraan lama dan kalau perlu, dia dapat mencuri kamus atau buku-buku tentang bahasa yang di pergunakan dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng itu.

“Tidak ada gunanya bagi Ngo-wi (Tuan Berlima) untuk bersusah payah membaca kitab itu. Tidak tahukah Ngo-wi bahwa kitab itu adalah kitab palsu?” kata Kwan Cu sambil menggelengkan kepala dan memandang kepada lima orang itu dengan sinar mata menyatakan kasihan!

Terdengar seruan-seruan keras dan lima orang itu melompat mengelilingi Kwan Cu lebih dekat dengan sinar mata mengancam.

“Apa katamu?”

“Jangan bohong bocah!”

“Kuhancurkan kepalamu yang gundul kalau kau menipu kami!”

Kwan Cu menggeleng-geleng kepalanya yang gundul, yang tak mau tumbuh rambut lagi semenjak dia dijejali buah coako oleh Tauw-cai-houw dahulu itu. Biarpun menghadapi ancaman, dia tetap tenang-tenang saja.

“Apa gunanya aku membohong? Teecu mendengar dari suhu Gui Tin bahwa kitab ini betul-betul palsu, bukan Im-yang Bu-tek Cin-keng yang aslinya.”

Di antara lima tokoh besar itu, Ang-bin Sin-kai paling sayang kepada Kwan Cu. Pengemis Sakti Muka Merah ini mendekati Kwan Cu dan dengan suara halus dia berkata,

“Lu Kwan Cu, jangan kau bicara sembarangan. Kau tidak tahu betapa besar arti ucapanmu tadi untuk kami. Dengar, kau menghadapi lima orang ahli silat terbesar di seluruh penjuru pada saat ini, maka jangan main-main. Sekali saja seorang di antara kami timbul hati marah, nyawamu takkan dapat dipertahankan lagi. Kau bilang kitab ini palsu? Kwan Cu, buktikan. Beri alasannya yang masuk akal!”

Kwan Cu memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan sinar mata tajam. Heran sekali hatinya, setelah pengemis tua ini bicara halus, dia melihat persamaan yang amat mengherankan antara pengemis ini dengan Menteri Lu Pin kakek angkatnya!

“Locianpwe, selain suhu Gui Tin pernah menceritakan kepada teecu, juga teecu sudah mempelajari sedikit ilmu sejarah.” Kemudian dengan sepasang matanya yang lebar dan jeli, anak ini memandang kepada lima orang tokoh besar itu seorang demi seorang, lalu katanya, “Tentu Ngo-wi pernah mempelajari sejarah pula, bukan? Tahukah Ngo-wi, kitab ini ditulis jaman apa?”

Lima orang tua itu saling pandang.

“Aku tahu,” kata Ang-bin Sin-kai cepat-cepat, “ditulis dalam jaman Kerajaan Shia, bukan begitu?”

“Pinceng pun tahu, betul-betul ditulis dalam jaman Kerajaan Shia, ribuan tahun yang lalu,” kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu.

“Tak salah lagi, pinceng juga tahu sedikit tentang sejarah,” menyambung Hek-i Hui-mo yang semenjak tadi berdiam diri saja. “Kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng memang ditulis jaman Kerajaan Shia.”

Berseri wajah Kwan Cu,
“Eh, ternyata Ngo-wi adalah orang-orang terpelajar!” serunya. “Sayangnya kurang lengkap pengetahuan Ngo-wi. Kalau Ngo-wi tahu bahwa kitab ini di tulis di dalam jaman Shia, tentu Ngo-wi akan tahu pula bahwa kitab ini palsu!”

“Mengapa demikian?” suara Kiu-bwe Coa-li mengguntur.

“Karena pada jaman Shia belum ada kertas! Menurut guruku Gui Tin, kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng ditulis di atas sutera. Oleh karena itulah maka teecu berani katakan bahwa kitab ini palsu!”

Lima orang tua itu saling pandang dan menarik sekali untuk melihat keadaan air muka mereka yang tiba-tiba menjadi amat kecewa. Tiba-tiba terdengar bunyi suara “tar! tar!!” dan pecut di tangan Kiu-bwe Coa-li bergerak melayang-layang, lalu sehelai bulu pecut itu menyambar ke arah leher Kwan Cu dan membelitnya!

“Hayo katakan, pelajaran apa saja yang tertulis di dalam kitab yang dianggap palsu ini! Katakan terus terang kalau tidak pecutku akan memanggang lehermu!”

Kwan Cu merasa bahwa bulu pecut itu melilit lehernya bagaikan ular hidup terasa dingin mencekik. Ia cepat mengerahkan tenaga dalam dan mengatur napasnya sesuai dengan pelajaran yang dia latih dari kitab itu, dan lenyaplah rasa dingin, juga kini tidak terasa amat mencekik lagi.

“Aku tidak tahu.” Kata Kwan Cu.

“Bohong!” bentak Kiu-bwe Coa-li dan ia menggetarkan tangannya yang memegang cambuk sehingga lilitan makin erat, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia merasa telapak tangannya agak kesemutan, tanda bahwa dari leher anak gundul itu keluar getaran tenaga perlawanan yang aneh!

Kekagetannya ini belum lenyap ketika tiba-tiba dia merasa bulu pecutnya mengendur dan ternyata Ang-bin Sin-kai dengan perlahan memegang bulu pecut yang melilit leher anak itu sambil berkata,

“Kiu-bwe Coa-li, kita semua memerlukan anak ini, jangan dia diganggu!” sambil berkata demikian, dengan pengerahan tenaga lweekang, dia memencet bulu pecut itu dan memunahkan serangan Kiu-bwe Coa-li pada Kwan Cu dan otomatis lilitan itu terlepas lagi.

Kiu-bwe Coa-li mendelikkan matanya kepada Ang-bin Sin-kai, akan tetapi dia melihat betapa tiga orang tua yang lain sudah mendekatinya dengan sikap mengancam pula seperti ketika ia hendak mengambil kitab itu dulu. Ternyata bahwa kini anak gundul inilah yang diperebutkan!

“Di mana kitab aslinya,” Kiu-bwe Coa-li membentak sambil memandang kepada Kwan Cu. “Awas jangan membohong.”

“Siapa perlu membohong. Kalian ini orang-orang tua benar-benar aneh sekali. Kitab lapuk itu untuk apakah?” kata Kwan Cu jengkel. “Guruku Gui Tin pernah menyatakan bahwa memang ada kitab asli Im-yang Bu-tek Cin-keng akan tetapi tidak menerangkan di mana, hanya samar dikatakan bahwa kitab itu berada di dalam sebuah pulau kosong yang amat berbahaya di luar timur Tiongkok. Nah, aku bicara terus terang, biar kalian akan membunuhku pun, aku tak dapat bicara lain dan habis perkara!”

Memang hebat sekali kalau dilihat. Lima orang tua itu sudah aneh sekali wataknya, namun melihat ketabahan dan keberanian Kwan Cu menghadapi mereka, benar-benar luar biasa sekali.

Melihat sikap Kwan Cu, Sui Ceng menjadi kagum sekali dan anak perempuan ini mendekatinya.

“Kau hebat, Kwan Cu…..” katanya.

Kwan Cu hanya memandang dan tersenyum sedih kepadanya.
“Apanya yang hebat, adik Ceng? Aku hanya menimbulkan keributan belaka….”

Pada saat itu, bulan yang tadinya bercahaya gemilang, tiba-tiba tertutup oleh datangnya awan hitam yang terbawa angin. Keadaan menjadi gelap gulita dan tiba-tiba menyambar bayangan Hek-i Hui-mo ke arah meja. Disambarnya kitab itu dari atas meja lalu melompat pergi!






Tidak ada komentar :