*

*

Ads

Minggu, 16 Desember 2018

Pendekar Sakti Jilid 029

“Bangsat tua bangka curang!” teriak Kiu-bwe Coa-li dan pecutnya menyambar.

Hebat sekali serangan ini karena bulu pecut itu memang panjang kalau diulur terus ada sepuluh kaki. Sembilan helai bulu pecut meluncur ke arah bayangan Hek-i Hui-mo dengan kecepatan luar biasa.

Namun, Hek-i Hui-mo bukanlah seorang yang lemah. Ia masih tetap berlari pergi, namun dia telah menggerakkan tasbihnya di belakang tubuh, diputar sedemikian rupa sehingga tasbih ini merupakan segulungan sinar bundar yang menjadi perisai.

“Trang! Traaang!!” terdengar suara nyaring dan rantaslah tasbih itu dihantam pecut Kiu-bwe Coa-li, sehingga untaiannya terputus dan biji-biji tasbihnya berserakan ke sana ke mari.

Hal ini dapat terjadi karena dalam larinya Hek-i Hui-mo tidak dapat mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, sebaliknya Kiu-bwe Coa-li dalam marahnya melakukan serangan sepenuh tenaga. Hek-i Hui-mo tidak mempedulikan kehilangan senjata tasbih dan terus berlari.

Tiba-tiba menyambar angin besar dan tahu-tahu sebuah batu sebesar kerbau menimpanya dari atas. Cepat Hek-i Hui-mo mengerahkan ginkangnya dan melompat jauh ke kiri.

Terdengar suara keras dan ketika batu besar itu jatuh menimpa, dua batang pohon menjadi tumbang. Ternyata bahwa batu besar itu tadi dilemparkan oleh Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu untuk menghalangi larinya Hek-i Hui-mo. Tentu saja Setan Terbang Baju Hitam ini mengeluarkan keringat dingin, karena biarpun dia lihai, kalau sampai tertimpa batu besar tadi, tubuhnya akan menjadi gepeng!

Baru saja dia berlari beberapa langkah lagi, belasan sinar putih menuju kepadanya sambil mengeluarkan suara mengaung-ngaung seperi belasan ekor tawon. Inilah senjata rahasia Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang berbahaya.

Hek-i Hui-mo cepat mengelak dan berloncatan namun tetap saja sebatang paku menancap pada pundaknya. Ia mengeluh dan menggigit bibirnya, lalu mempercepat larinya.

Ia di juluki orang Hui-mo atau Iblis Terbang, maka tentu saja ilmu lari cepatnya luar biasa sekali. Apalagi pada saat itu, bulan tertutup awan hitam sehingga keadaan menjadi gelap sekali dan sebentar saja dia telah lenyap dari pandang mata.

Empat orang tokoh besar tidak mengejar, karena untuk apa memperebutkan kitab palsu? Apalagi Ang-bin Sin-kai, kakek ini tertawa bergelak dan berkata,

“Biarlah dia mempelajari kitab itu sampai ubanan, dengan ilmu yang tidak asli, aku takut apakah? Hayo Kwan Cu, kau turut aku!” Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai menarik tangan anak gundul itu.

“Ang-bin Sin-kai, nanti dulu!” kata Kiu-bwe Coa-li. “Kau mau membawa kemana anak itu?”

“Dia? Dia adalah seorang anak yang sudah sejak dulu kuanggap sebagai muridku!” jawab Ang-bin Sin-kai. “Kiu-bwe Coa-li, kulihat kau sudah mempunyai murid yang baik. Juga Pak-lo-sian Siangkoan Hai telah mempunyai dua orang murid yang baik. Hanya Jeng-kin-jiu saja kulihat belum mempunyai murid.”

“Siapa bilang? Muridku masih kurahasiakan dan kelak murid-murid kalian akan kalah olehnya. Ha, ha, ha,!” kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu.

“Bagus!” kata Ang-bin Sin-kai. “Kalau begitu, sekarang aku mengambil anak ini sebagai muridku. Kita sama-sama lihat saja sepuluh tahun lagi, siapa yang akan berhasil mengajar kepada murid masing-masing.”

Ia hendak membawa pergi Kwan Cu, akan tetapi Kiu-bwe Coa-li kembali mencegah dengan kata-katanya yang tajam mengancam,

“Ang-bin Sin-kai! Aku tidak sudi mencampuri urusanmu mengambil murid, dan akupun tidak butuh dengan anak gundul ini. Akan tetapi, aku masih curiga padanya. Siapa tahu kalau dia tahu di mana adanya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli? Dan siapa tahu kalau kau berpura-pura mengambil murid kepadanya akan tetapi sebenarnya hendak mencari kitab itu? Aku kenal kecurangan laki-laki macam kau!”

“Habis, kau mau apa?” tanya Ang-bin Sin-kai.






“Anak ini harus dibunuh! Dengan demikain, barulah adil namanya kalau kita saling berlumba mencari kitab itu, tanpa bantuan siapapun juga.”

“Betul, betul!” kata Siangkoan Hai.

Akan tetapi Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tidak setuju dengan rencana ini.
“Betapapun juga, pinceng juga termasuk orang yang telah menolong nyawa anak ini, bagaimana sekarang pinceng tega hati melihat nyawanya direnggutkan orang? Apalagi pinceng yang memberi nama kepadanya. Eh, Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian, kalau kalian akan berkeras membunuh anak ini, tentu aku berdiri di pihak Ang-bin Sin-kai untuk membela dan melindunginya. Baiknya diatur begini saja. Percayakah kau akan sumpah dari Ang-bin Sin-kai si bangsawan jembel ini?”

“Aku percaya!” kata Siangkoan Hai dengan suara tegas.

“Aku pun percaya!” kata Kiu-bwe Coa-li ragu-ragu, “akan tetapi apa maksudmu?”

“Biar dia bersumpah bahwa dia takkan mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng dari kitab yang didapatkan atas pertolongan anak gundul ini,” kata Kak Thong Taisu.

“Bagus, kalau begitu aku setuju!” kata Kiu-bwe Coa-li dan Siangkoan Hai.

Akan tetapi Ang-bin Sin-kai menjadi makin merah mukanya.
“Aku tidak sudi bersumpah! Kalian boleh percaya kepadaku atau tidak, habis perkara. Pendeknya aku berjanji takkan mempergunakan Kwan Cu untuk mencari kitab itu.”

Tiba-tiba Kwan Cu menjatuhkan diri berlutut di depan Ang-bin Sin-kai. Anak ini, dalam semua percakapan dalam pertemuan itu, dapat menarik kesimpulan bahwa dia paling cocok dan suka kepada kakek jembel yang mukanya seperti kakek angkatnya itu, maka dia telah mengambil keputusan untuk berguru kepadanya.

“Suhu, teecu pun baru mau menjadi muridmu kalau Suhu suka bersumpah seperti yang diminta oleh Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tadi.”

Ang-bin Sin-kai membelalakkan kedua matanya dan memandang kepada Kwan Cu.
“Eh, bocah aneh. Bukankah dulu kau tidak sudi mempelajari ilmu memukul orang?”

“Sekarang teecu sudah berubah pikiran. Bukankah para nabi mengajarkan bahwa orang harus setiap hari berubah pikiran-pikirannya yang tadinya tidak benar dan sesat?” jawab Kwan Cu.

Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak.
“Boleh, boleh, biar aku bersumpah bahwa kalau aku mempergunakan Kwan Cu untuk mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, biar aku si pengemis jembel akan mampus seperti seekor anjing dan kelak nyawaku dilempar ke dalam neraka jahanam!” Kemudian disambungnya kata-katanya ini dengan suara menyindir, “Andaikata orang lain mendapatkan kitab itu, apanya sih yang harus ditakuti?”

Kiu-bwe Coa-li menjadi girang sekali dan tertawa nyaring, kemudian ia melompat ke arah Sui Ceng, memegang tangan muridnya dan sekali berkelebat saja ia dan muridnya telah lenyap dari situ.

Siangkoan Hai juga mengajak dua orang muridnya pergi, demikian pula Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, sambil tertawa-tawa dia “menggelundung” pergi dari situ.

“Hayo kita pergi, Kwan Cu,” kata Ang-bin Sin-kai acuh tak acuh.

“Nanti dulu, Suhu. Teecu meninggalkan sesuatu di dalam pondok itu.”

Anak itu berlari-lari ke dalam pondok mengambil kantongnya yang penuh uang emas pemberian kakek angkatnya.

“Apa itu?” tanya gurunya.

“Uang emas, Suhu.”

Ang-bin Sin-kai membuka kantong itu dan terbelalak matanya melihat uang emas sebanyak itu.

“Eh, darimana kau dapatkan uang ini?”

“Dari Kong-kong (Kakek)!” Makin tertegun Ang-bin Sin-kai mendengar jawaban ini.

“Bocah aneh, siapa kong-kongmu? Bukankah nenek moyangmu hanya samudera luas saja?’

Lu Kwan Cu tersenyum.
“Ini mungkin salah Suhu sendiri. Suhu memberi she Lu kepada teecu dan sekarang Menteri Lu Pin mengangkat teecu sebagai cucunya!”

Ia lalu menceritakan pengalamannya bertemu dengan Menteri Lu Pin! Tentu saja Ang-bin Sin-kai yang sebenarnya bernama Lu Sin dan menjadi kakak dari Lu Pin, terkejut dan juga terharu sekali.

“Buang saja uang itu, untuk apa sih? Memberatkan dan mengotorkan saja.”

“Mengapa dibuang, Suhu? Bukankah bisa dipakai untuk membeli makanan kita?”

Kakek itu melototkan matanya.
“Jadi kau termasuk orang-orang yang meributkan soal makan? Buang saja!”

“Sayang, Suhu.”

“Eh, bocah gundul! Baru pada saat pertama kau sudah berani membantah suhumu?”

“Rakyat banyak sekali yang menderita dan sengsara. Daripada dibuang disini, kalau ditemukan orang hanya akan membuat orang itu menjadi tersesat hidupnya. Bukankah lebih baik dibagi-bagikan kepada orang-orang yang membutuhkannya?”

Ang-bin Sin-kai menarik napas panjang.
“Kau lebih terikat dengan dunia dari padaku. Sesukamulah.”

Maka berjalanlah Ang-bin Sin-kai, mula-mula lambat-lambat, akan tetapi ketika dia melihat betapa muridnya yang gundul itu dapat mengikutinya, dia mempercepat jalannya. Dan biarpun gurunya hanya berjalan lambat-lambat saja kelihatannya, bagi Kwan Cu, dia harus mengerahkan seluruh ginkangnya untuk berlari cepat mengimbangi kecepatan suhunya!

**** 029 ****





Tidak ada komentar :