*

*

Ads

Minggu, 23 Desember 2018

Pendekar Sakti Jilid 041

Ketika Lu Thong sudah siap, cucu menteri ini serta-merta melancarkan serangan-serangan hebat dengan kedua kepalan tangannya. Kwan Cu cepat mainkan Pai-bun-tui-pek-to, ilmu silat mempertahankan diri yang baru saja dipelajarinya.

Ketika lengan tangannya beradu dengan lengan tangan Lu Thong, dia merasa kulit lengannya pedas, maka tahulah dia bahwa Lu Thong memiliki tenaga gwakang yang lihai sekali.

Memang, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu adalah seorang ahli gwakang yang memiliki tenaga hebat. Semenjak belajar kepadanya, dia telah melatih kedua tangan muridnya ini dengan tekun dan menggembleng tangan Lu Thong dengan latihan-latihan memukul pasir panas. Biarpun usianya masih delapan tahun, namun Lu Thong telah berani mempergunakan lengannya untuk menangkis serangan tongkat!

Kwan Cu berlaku hati-hati dan dalam menghadapi serangan lawannya, dia lalu mempergunakan tenaga lweekang. Ia tidak mau mengadu kekerasan, dan hanya menolak lengan lawan dengan meminjam tenaga.

Kagetlah Lu Thong ketika dia merasa betapa kedua tangan Kwan Cu seperti karet saja, lunak dan setiap pukulannya dapat ditangkis dengan tak banyak tenaga. Ia menjadi penasaran dan mengeluarkan ilmu silatnya, menyerang dengan Ilmu Silat Lam-hai-kong-jiu yang ganasnya seperti gelombang Laut Selatan mengamuk.

Kwan Cu terdesak hebat dan payah juga. Biarpun ilmu silatnya Pai-bun-tui-pek-to dapat dipergunakan untuk menghindarkan semua serangan lawan, dan biarpun dia melihat adanya pintu-pintu terbuka dalam kedudukan Lu Thong, namun dia tidak sempat membalas serangan lawan.

Cara mengombinasikan Ilmu Silat Pai-bun-tui-pek-to dan Sam-hoan-ciang belum dipahaminya benar. Namun dengan sekuat tenaga dia melakukan perlawanan. Beberapa kali kepalan tangan Lu Thong telah mengenai tubuhnya, namun berkat tenaga lweekang, pukulan itu tidak sampai membuat dia terjungkal.

Menarik sekali kalau dilihat sikap kedua orang kakek yang menonton murid-murid mereka bertempur. Ang-bin Sin-kai duduk di atas tanah, bersandar kepada pohon dan menonton dengan mata merem melek, sedikit pun tidak mengeluarkan suara dan tidak pula bergerak.

Akan tetapi, sebaliknya, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tidak mau diam, seperti orang melihat ayamnya diadu. Ia berjingkrak-jingkrak, sebentar-sebentar berseru “ah!,” “bagus!” atau mencela “salah!” sambil memperhatikan gerakan muridnya. Kaki tangannya bergerak-gerak seakan-akan dia sendiri yang bertempur.

“Untuk apa kau mempelajari tendangan Liong-jiauw-twi (Tendangan Kaki Naga)?” tiba-tiba dia berkata seperti mencela muridnya.

Padahal ucapan ini merupakan petunjuk dan mendengar ini, Lu Thong lalu menambah serangannya dengan tendangan yang datangnya bertubi-tubi dan cepat sekali. Menghadapi serangan ini, Kwan Cu tak berdaya dan dengan kerasnya sebuah tendangan mengenai pahanya sehingga tubuhnya terlempar jauh dan jatuh berduduk ke atas tanah!

“Ha, ha, ha! Ang-bin Sin-kai, muridmu kalah!”

Kwan Cu menjadi merah mukanya dan teringat akan nasihat suhunya, dia lalu menjura kepada Lu Thong dan berkata,

“Kepandaianmu hebat. Aku mengaku kalah!”






Lu Thong mengangkat dadanya dan memandang bangga. Gurunya menepuk-nepuk pundaknya dengan gembira. Ang-bin Sin-kai bangkit berdiri dan pada wajahnya terbayang sinar kegembiraan pula. Ia merasa gembira melihat jalannya pertandingan tadi, karena dia maklum bahwa dasar dari kedua orang anak itu sudah terlihat nyata.

Kwan Cu jauh lebih kuat dan kalau saja anak gundul itu sudah mempelajari ilmu menyerang yang hebat, sekali terkena pukulannya Lu Thong tentu takkan dapat bangun kembali tanpa menderita luka hebat. Sedangkan Kwan Cu yang berkali-kali mengalami pukulan dan sekali tendangan hebat, sama sekali tidak terluka! Pula, dia senang melihat cara muridnya mengaku kalah.

“Hwesio gendut. Yang baik-baik kau melatih Lu Thong agar kelak tidak mengecewakan. Sepuluh tahun kemudian, kita bertemu lagi dan kita mengadu murid-murid kita. Beranikah kau?”

“Ha, ha, ha! Pengemis kurus, tentu saja aku berani. Boleh, boleh! Sepuluh tahun kemudian kita bertaruh dalam pibu murid-murid kita.”

“Bagus! Taruhanku begini. Kalau muridku menang kau harus memberi hadiah semacam ilmu silat, sebaliknya kalau Lu Thong menang aku akan menambah dengan semacam ilmu silat pula kepadanya. Bagaimana?”

“Ha, ha, ha! Kau memang pengemis kelaparan yang licik! Bagimu, menambah pelajaran kepada muridku tidak ada ruginya karena dia adalah cucumu sendiri. Akan tetapi bolehlah, aku pun sudah berjanji ingin menjadi guru dari bocah gundul goblok ini!”

Ang-bin Sin-kai lalu mengajak muridnya pergi, akan tetapi sebelum pergi, dia menoleh kepada Lu Thong dan memandang dengan tajam sambil berkata,

”Thong-ji, karena kau adalah cucu dari Lu Pin, maka aku hendak memberi nasihat. Hilangkanlah sifat kesombonganmu, karena kalau kau pelihara sifat itu, kelak kau tentu akan mengalami kekecewan karena kesombonganmu.”

Ketika mengangkat muka memandang Lu Thong merasa terkejut sekali melihat sinar mata kakek itu demikian tajam dan seakan-akan menembus sampai menjenguk ke dalam lubuk hatinya! Ia buru-buru menundukkan mukanya dan belakang lehernya terasa dingin.

“Baik, Kong-kong,” katanya perlahan.

Ang-bin Sin-kai lalu pergi bersama Kwan Cu. Bocah gundul ini merasa penasaran dan tidak hanya tubuhnya merasa sakit sekali. Begitu bertemu, gurunya telah menurunkan ilmu silat yang hebat kepada Lu Thong seperti yang dilihatnya tadi. Sedangkan dia hanya menerima ilmu-ilmu silat yang untuk menahan serangan Lu Thong saja masih tidak sanggup!

Akan tetapi, dasar dia memang anak yang taat dan penerima, dia tidak mau berkata apa-apa dan diam-diam dia mengambil keputusan bahwa kelak dia akan mencari ilmu silat sendiri yang membuat dia tidak terkalahkan!

**** 041 ****





Tidak ada komentar :