*

*

Ads

Minggu, 23 Desember 2018

Pendekar Sakti Jilid 043

Hek-i Hui-mo merasa muaknya panas. Kalau saja kulit mukanya tidak begitu hitam, tentu akan terlihat betapa mukanya menjadi merah. Ia merasa mendongkol dan marah sekali. Hm, pikirnya, kalau saja aku tidak membutuhkan pertolongan cacing buku ini, kuketok kepalanya sampai pecah! Ia menarik muka sungguh-sungguh ketika menjawab.

“Tu-siucai, harap jangan salah mengerti. Kitab ini seperti kau katakan tadi adalah kitab ilmu silat dan ilmu perang. Untuk pinceng pribadi memang tidak ada gunanya, sungguhpun harus pinceng akui bahwa semenjak kecil pinceng paling suka mempelajari ilmu silat. Akan tetapi tidakkah kau lihat betapa buruknya keadaan negara? Kalau pinceng dapat mempelajari ilmu silat dari dalam kitab ini yang juga belum tentu hebat, bukankah pinceng dapat menurunkan kepandaian itu kepada orang-orang gagah sehingga dapat dipergunakan untuk membela negara?”

Pada saat Tu Fu hendak menjawab, tiba-tiba terdengar suara ketawa nyaring dari luar kelenteng, disusul oleh suara seorang wanita berkata,

“Bangsat gundul menjemukan! Kau kira dapat melarikan diri dariku? Kembalikan kitab itu!”

Hek-i Hui-mo terkejut sekali dan sekali dia melompat, dia telah berada diluar kelenteng menghadapi Kiu-bwe Coa-li yang datang bersama muridnya, Sui Ceng! Bukan main kagetnya hati Tu Fu ketika melihat betapa hwesio gendut itu seakan-akan menghilang dari depannya.

“Aduh….., setankah dia?” katanya perlahan.

Kemudian dia mendengar suara gaduh di luar kelenteng. Tu Fu segera memburu keluar dan bukan main heran dan terkejutnya ketika dia melihat dua bayangan orang bertempur di halaman kelenteng seperti iblis sedang menari-nari!

Memang Hek-i Hui-mo tidak membuang waktu lagi. Begitu dia melihat bahwa yang datang adalah Kiu-bwe Coa-li, tanpa banyak cakap lagi dia lalu mengeluarkan tasbih dan Liong-thouw-tung (Tongkat Kepala Naga) dan segera menyerang dengan hebatnya.

Kiu-bwe Coa-li tertawa mengejek dan wanita sakti ini pun lalu menggerakkan pecutnya yang bernama Kiu-bwe-sin-pian (Ruyung Lemas Berekor Sembilan). Pertempuran kali ini bukan main dahsyatnya. Satu lawan satu, tanpa khawatir ada tokoh lain yang mengganggu mereka.

Bun Sui Ceng berdiri di pinggir menonton pertempuran antara gurunya dan Hek-i Hui-mo dengan penuh perhatian. Mukanya yang manis dan elok itu sama sekali tidak nampak gelisah, karena anak ini selain mempunyai hati yang tabah, juga percaya penuh bahwa gurunya pasti akan menang.

“Kiu-bwe Coa-li, kau manusia usilan mengganggu saja!” seru Hek-i Hui-mo dan

Tongkat Kepala Naga di tangan kanannya menyambar bagaikan halilintar ke arah kepala wanita itu.

“Pendeta busuk, kau pencuri tak tahu malu!” balas memaki Kiu-bwe Coa-li dan sedikit miringkan kepala saja, serangan lawan dapat digagalkan.

Pecut berekor sembilan di tangannya tidak tinggal menganggur, cepat melakukan serangan balasan, merupakan sembilan ekor ular yang bergerak dari segala jurusan, menyerang ke sembilan jalan darah di tubuh lawannya!

Hek-i Hui-mo terkejut sekali melihat serangan hebat ini. Ia maklum akan kelihaian lawan dan sudah mendengar pula tentang keganasan Kiu-bwe Coa-li yang terkenal sekali turun tangan, tentu akan menewaskan lawan. Maka tanpa ayal lagi dia lalu menggerakkan tasbihnya diputar sedemikian rupa dibantu oleh Tongkat kepala Naga untuk melindungi tubuhnya. Beberapa kali terdengar suara, ”Tar! Tar! Tar!” dari pecut di tangan Kiu-bwe Coa-li, sungguh membikin hati menjadi ngeri.

Makin lama, pertempuran berjalan makin seru dan gerakan mereka menjadi makin cepat.Tiga macam senjata berubah menjadi gulungan sinar yang paling menarik dan indah dipandang adalah gerakan cambuk di tangan Kiu-bwe Coa-li.

Cambuk yang berujung sembilan itu merupakan segundukan sinar yang bertangan sembilan, seperti seekor ikan gurita yang berjari sembilan. Setiap ujung cambuk ini merupakan perenggut nyawa yang lihai sekali.

Namun ilmu silat Hek-i Hui-mo juga tidak kalah hebatnya. Dia adalah seorang tokoh barat yang pernah menggemparkan Tibet, yang telah menjatuhkan jago-jago dan tokoh-tokoh dari barat dan boleh dibilang, selama melakukan perantauannya di dunia kang-ouw, Hek-i Hui-mo tak pernah terkalahkan. Entah sudah berapa ratus orang lawan terpaksa mengakui kehebatan ilmu silatnya dan sudah berapa puluh lawan binasa di tangannya!

Tasbihnya berputar menjadi segundukkan sinar bundar seperti mustika naga sakti, adapun tongkatnya yang merupakan naganya sehingga sepasang senjata di tangannya itu bergerak-gerak bagaikan seekor naga mengejar mustikanya!






Sukarlah untuk dikatakan siapa yang lebih lihai diantara dua orang tokoh besar ini. Masing-masing memiliki keistimewaan sendiri dan keduanya mengaku bahwa selamanya baru kali ini mereka menghadapi tandingan yang benar-benar seimbang dan berat.

Agaknya pertempuran ini akan menjadi pertandingan mati hidup yang berjalan lama sekali sebelum seorang di antara mereka menggeletak tak bernyawa lagi di depan kaki lawannya.

Pecut Kiu-bwe Coa-li menyambar, saking kerasnya, sampai terdengar angin bersiutan, dan karena sembilan ekor bulu pecut itu menyambarnya dari berbagai jurusan dalam kecepatan yang tidak sama, maka suara angin itu terdengar aneh sekali, bagaikan sembilan buah suling ditiup berbareng.

Hek-i Hui-mo menangkis dengan tongkat yang disapukan dan sehelai daripada ujung pecut Kiu-bwe Coa-li menyambar dan melibat kaki meja sembahyang yang sudah berdiri miring.

Hebat sekali tenaga manita sakti ini, karena meja itu melayang ke atas dan bagaikan disambitkan, meja itu menimpa tempat di mana Sui Ceng berdiri. Melihat hal itu, Tu Fu menjerit. Akan tetapi dia membelalakkan kedua matanya saking kagum dan heran melihat anak perempuan yang manis itu menampar dengan tangan kirinya yang kecil.

“Brakk!” meja itu pecah berkeping-keping!

Kini tongkat Liong-thouw-tung di tangan kanan Hek-i Hui-mo menyambar pinggang Kiu-bwe Coa-li. Serangan ini dilakukan sekuat tenaga sehingga wanita sakti itu tidak berani menangkis. Tubuhnya melompat ke atas dan mundur. Akan tetapi Hek-i Hui-mo tidak mau memberi hati dan terus melangkah maju lalu menyapu lagi dengan tongkatnya, dibarengi memukul kepala lawan dengan tasbihnya!

Kiu-bwe Coa-li cepat mengelak dan tongkat yang kuat itu menyambar tiang kelenteng di bagian depan.

“Kraaaakk…….. bruuuk……!” Tiang itu patah dan mengeluarkan suara hiruk-pikuk!

“Aduh, tahan…..! Tahan……! Apa-apaan sih semua ini? Apakah Ji-wi (Tuan Berdua) tidak malu? Orang-orang tua bertingkah seperti anak-anak kecil berebut kembang gula. Ada urusan dapat diurus, mohon mendengar kata-kata siauwte,” Tu Fu berseru berkali-kali sambil mengangkat kedua tangannya ke atas.

Kalau saja tidak mengingat bahwa Tu Fu adalah orang yang dapat dimintai tolong menterjemahkan kitab yang tidak dapat mereka baca sendiri itu, mana dua orang tokoh lihai ini mau mendengarkan kata seorang sastrawan lemah seperti Tu Fu? Keduanya melompat kebelakang dan saling pandang bagaikan dua ekor harimau sedang marah.

“Tu-siucai, kau menahan kami mau apakah?” tanya Kiu-bwe Coa-li dengan suara dingin sehingga Tu Fu merasa bulu tengkuknya berdiri. Bukan main hebatnya wanita ini, pikirnya, sudah bukan merupakan manusia lagi!

“Harap Suthai suka bersabar, dan demikian pula Lo-suhu. Sebetulnya, mengapa Ji-wi bertempur mati-matian seakan-akan di dunia ini tidak ada pekerjaan lain yang lebih baik daripada saling gempur dan saling mencoba untuk membunuh?”

Hek-i Hui-mo menarik napas panjang.
“Tak lain karena kitab itulah. Kami berebut Kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!”

Tu Fu masih membawa kitab itu. Kini dia mengangkat kitab itu tinggi-tinggi dan berkata,
“Memperebutkan kitab ini? Alangkah lucunya. Dan untuk dapat membaca dan mengerti isinya saja, Ji-wi tidak bisa dan sengaja datang untuk minta siauwte menterjemahkannya?”

Kiu-bwe Coa-li mengangguk dan berkata tegas,
“Orang she Tu, tak usah direntang panjang lagi. Memang kami membutuhkan isi kitab itu. Akan tetapi karena di sini kami dua orang, terpaksa kami harus melenyapkan salah seorang lebih dulu, barulah nanti kau yang bekerja, menterjemahkan kitab itu. Hayo, Hek-i Hui-mo, kita selesaikan pertempuran kita!”

“Baik, Kiu-bwe Coa-li. Awaslah kau!”

Dua orang jago tua ini sudah bersiap-siap lagi untuk bertempur mati-matian, akan tetapi Tu Fu segera mencegah mereka. Sastrawan ini, seperti juga Gui Tin dan Li Po atau sastrawan dan seniman-seniman lainnya, tidak suka akan kekerasan dan mencinta kedamaian, maka tentu saja Tu Fu tidak mau melihat dua orang aneh itu saling gempur mati-matian seperti tadi.

“Tahan!” katanya keras. “Kalau Ji-wi berkeras hendak saling bunuh, aku Tu Fu takkan mau menterjemahkan kitab ini. Biar Ji-wi memaksa dan membunuhku, aku takkan mau menterjemahkannya.”

Mendengar ini, kedua orang tokoh kang-ouw itu tertegun dan saling pandang. Mereka sudah maklum bahwa sastrawan-sastrawan dan seniman-seniman sama anehnya dengan orang-orang kang-ouw bahkan mereka itu lebih hebat pula. Biarpun mereka itu memiliki jasmani yang lemah, namun mereka berhati keras dan tidak takut mati.

Kiu-bwe Coa-li dan Hek-i Hui-mo percaya dan tahu bahwa kata-kata yang keluar dari mulut sastrawan ini menyatakan tidak mau membantu, biar dia dibunuh atau disiksa sekalipun, tetap dia takkan mau menterjemahkan isi kitab itu. Dan apa artinya kitab itu tanpa ada penterjemahnya? Tiada beda dengan kertas-kertas pembungkus belaka!

“Habis, kalau di sini ada kami berdua, bagaimana Tu-siucai hendak mengaturnya?” tanya Hek-i Hui-mo dengan suara minta pertimbangan.

Tu Fu mempersilahkan mereka duduk di atas lantai di depan kelenteng. Kemudian dia melambaikan tangan kepada Sui Ceng yang tanpa ragu-ragu datang menghampiri.

“Anak baik, kau benar-benar hidup dalah alam yang aneh,” kata sastrawan itu sambil mengelus-elus rambut Sui Ceng yang hitam, halus, dan panjang, kemudian sastrawan in berkata kepada dua orang tokoh kang-ouw itu. “Harap Ji-wi dengarkan baik-baik keputusanku yang tak dapat diubah lagi. Siauwte sanggup membantu dan menterjemahkan isi kitab ini, akan tetapi hanya dengan syarat. Pertama, siauwte hanya akan menterjemahkan dengan cara membacanya saja dan Ji-wi harap mendengarkan dengan penuh perhatian dan mengingatnya baik-baik. Kedua, sehabis membaca semua isi kitab, kitab ini harus dibakar di depan siauwte, agar tidak menjadi perebutan mati-matian lagi. Hanya dengan dua macam syarat ini siauwte mau menolong, kalau tidak, biar Ji-wi akan membunuh siauwte, tak nanti siauwte mau menterjemahkannya. Bagaimana?”

Kedua orang tokoh kang-ouw itu saling pandang. Celaka, pikir mereka, bagaimana dapat menghafal isi kitab dengan sekali mendengar saja? Akan tetapi kalau mereka tidak mau menerima, selain sastrawan aneh ini tak mungkin dipaksa, juga mereka masih saling berhadapan dan untuk mendapatkan kitab itu harus bertempur mati-matian dulu. Andaikata menang, bagaimana pula isi kitab dapat diterjemahkan? Apalagi kalau sampai terdengar oleh tiga orang tokoh besar yang lain dan mereka datang pula, tentu akan makin berabe saja!

“Aku setuju!” kata Kiu-bwe Coa-li. “Hanya aku minta supaya pembacaan dilakukan dua kali!”

Kiu-bwe Coa-li memang cerdik. Ia datang bersama muridnya dan dia percaya akan kecerdikan otak Sui Ceng. Tentu muridnya akan dapat membantu dan mengingat-ingat bunyi isi kitab itu.

Hek-i Hui-mo tidak dapat mencari jalan lain. Ia pun tahu bahwa fihak Kiu-bwe Coa-li untung dengan adanya Sui Ceng, maka dia merasa ragu-ragu, lalu berkata,

“Tidak adil sekali. Kau dibantu oleh muridmu sedangkan aku hanya seorang diri!”

“Kau boleh mencari seorang pembantu pula,” jawab Kiu-bwe Coa-li.

Tu Fu mengerti akan maksud pembicaraan dua orang itu, akan tetapi dia pun tidak dapat memecahkan persoalan ini. Kebetulan sekali pada saat itu, terdengar tindakan kaki dan muncullah seorang anak laki-laki berusia kurang lebih delapan tahun.

“Tu-sianseng, hakseng (murid) datang membawa makanan,” kata anak itu sambil memandang kepada tamu-tamu gurunya dengan mata terheran.

“Eh, Tu-siucai, siapakah anak ini?” tanya Hek-i Hui-mo yang memandang tajam kepada anak laki-laki yang berwajah tampan dan jujur ini.

Biarpun anak ini bertubuh kurus dan tinggi, namun dia memiliki bakat yang baik juga untuk belajar silat.






Tidak ada komentar :