*

*

Ads

Minggu, 23 Desember 2018

Pendekar Sakti Jilid 044

“Dia adalah Li Siang Pok, seorang anak dari kota Kai-feng. Ayahnya seorang sastrawan pula dan dia datang di sini untuk belajar kesusastraan dari siauwte.”

“Hm, jadi dia boleh dibilang muridmu?” Tu Fu mengangguk membenarkan. “Bagus! Pinceng mengambil dia sebagai pembantuku! Dengan adanya dia yang membantu pinceng, mengingat-ingat isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, maka keadaan pinceng dan Kiu-bwe Coa-li menjadi berimbang. Ini baru adil namanya!”

Tu Fu ragu-ragu, lalu bertanya kepada Siang Pok,
“Siang Pok, Lo-suhu ini minta bantuanmu untuk mengingat-ingat bunyi isi kitab kuno yang akan kubacakan. Maukah kau?”

Siang Pok adalah seorang anak yang suka sekali akan kesusastraan, tentu saja mendengar akan dibacanya kitab kuno, tanpa berpikir panjang lagi dan tanpa bertanya lebih jelas, dia menganggukkan kepalanya.

“Hakseng bersedia, Sianseng!”

Demikianlah, mereka semua duduk bersila di atas kelenteng sebelah luar. Keadaan disitu sunyi dan ketika Tu Fu mulai membaca isi kitab, suaranya terdengar lantang dan jelas.

Empat orang yang duduk mengelilinginya, yakni Hek-i Hui-mo, Kiu-bwe Coa-li, Sui Ceng, dan Siang Pok, mendengarkan dengan penuh perhatian. Kitab itu tidak terlalu tebal dan isinya pun tidak begitu banyak, karena seperti juga kitab-kitab kuno lainnya, ditulis hanyalah garis besarnya saja.

Sebagaimana diketahui, kitab itu isinya dibagi menjadi dua soal, yakni tentang ilmu silat dan tentang ilmu perang. Kepandaian Tu Fu ini dalam hal bahasa kuno, tidak kalah oleh mendiang Gui Tin, maka dia dapat membacanya dengan amat lancar.

Kiu-bwe Coa-li dan Sui Ceng, tidak mendengarkan atau lebih tepat, tidak memperhatikan sama sekali akan bunyi ilmu perang yang dibaca oleh Tu Fu. Guru dan murid ini mencurahkan seluruh perhatiannya kepada bunyi ilmu silat saja.

Sebaliknya, karena tidak diberi tahu lebih dulu, anak laki-laki yang bernama Lai Siang Pok itu mendengarkan seluruh isi kitab, yaitu bagian ilmu silat dan bagian ilmu perangnya. Demikian pula, Hek-i Hui-mo, karena dia mempunyai cita-cita pemberontakkan, dia juga memperhatikan kedua bagian ini.

Hampir satu hari lamanya Tu Fu membaca habis kitab itu untuk kedua kalinya dan semua fihak merasa puas. Kiu-bwe Coa-li dan Hek-i Hui-mo karena mengerahkan seluruh ingatan untuk mengingat-ingat kembali apa yang mereka telah dengarkan tadi, kini melihat saja dan tidak mempedulikan lagi ketika Tu Fu menggunakan api membakar kitab itu di depan mereka!

Setelah melihat kitab itu habis terbakar Hek-i Hui-mo tertawa bergelak dan dengan cepat sekali dia melompat lalu mengempit Lai Siang Pok, terus di bawa lari!

“He, Lo-suhu! Lepaskan muridku!” Tu Fu berteriak-teriak, akan tetapi hanya suara ketawa dari jauh sana menjawabnya.

Adapun Kiu-bwe Coa-li yang tidak mau terganggu pikirannya yang sedang menghafal itu lalu menggandeng tangan Sui Ceng dan pergi pula dari situ. Tu Fu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata seorang diri.

“Benar-benar aneh sekali orang-orang itu. Apa sih gunanya segala macam ilmu kekerasan yang kasar itu?? Aneh…..aneh……!”

Sastrawan ini pun beberapa hari kemudian tidak kelihatan lagi di tempat itu, telah melanjutkan perantauannya.

Ketika berada di tempat sunyi, Kiu-bwe Coa-li segera bertanya kepada muridnya.
“Sui Ceng, coba kau ulangi kata-kata di dalam kitab yang dibaca oleh Tu-siucai tadi.”

Sui Ceng lalu mengulangi kata-kata yang masih diingatnya. Kiu-bwe Coa-li tidak mempedulikan tentang peraturan latihan lweekang dan ginkang, yang paling diperhatikan hanya gerakan-gerakan ilmu silat yang terdapat di dalam kitab itu.

Semua terdapat tiga puluh enam pokok gerakan yang perkembangannya dapat timbul sendiri tergantung dari bakat dan kecerdikan masing-masing pelajar. Karena gerakan-gerakan itu hanya ditulis dan tidak digambar, maka dapat dibayangkan betapa sukarnya.






Setelah ia mendengar apa yang masih diingatnya oleh Sui Ceng dan dikumpulkan dengan ingatannya sendiri, Kiu-bwe Coa-li ternyata hanya dapat mengumpulkan empat belas gerakan saja! Akan tetapi, empat belas jurus pokok gerakan silat Im-yang Bu-tek Cin-keng ini baginya sudah cukup berharga.

Memang dia seorang yang ahli dalam ilmu silat dan ternyata olehnya betapa hebat, lihai, dan aneh isi gerakan-gerakan ini. Cepat-cepat ia lalu mempelajari gerakan-gerakan ini dan disesuaikan dengan kepandaiannya sendiri. Selama tiga bulan Kiu-bwe Coa-li seakan-akan lupa makan dan lupa tidur, tiap hari hanya berlatih ilmu silat baru yang sesungguhnya dia ciptakan sendiri berdasarkan apa yang ia dengar dari kitab itu. Dan tercipatalah ilmu silat baru yang benar-benar luar biasa sekali. Kiu-bwe Coa-li menjadi girang dan berbareng ia pun lalu melatih muridnya dengan sungguh-sungguh.

“Sui Ceng, ilmu silat yang kita dapatkan ini entah Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli atau bukan, namun kau harus tahu bahwa ini memang benar-benar ilmu silat yang aneh dan hebat sekali. Setelah kuperbaiki apa yang kita berdua ingat, kurasa ilmu silat yang kuciptakan berdasarkan dari Im-yang Bu-tek Cin-keng ini, takkan mudah dikalahkan oleh lain orang. Mari kita mencari seorang di antara mereka, hendak kucoba sampai di mana kegunaan ilmu silat baru ini!”

Maka berangkatlah Kiu-bwe Coa-li bersama muridnya, untuk mencari seorang di antara empat besar, yakni Hek-i Hui-mo, Jeng-kin Jiu Kak Thong Taisu, Ang-bin Sin-kai atau juga Pak-lo-sian Siangkoan Hai untuk mengadu ilmu silatnya yang baru!

Perjalanan dilakukan lambat sekali karena sepanjang hari Kiu-bwe Coa-li melatih diri dengan ilmu silat baru ini, dan juga berbareng memberi latihan-latihan ilmu silat tinggi kepada muridnya. Pada suatu hari, mereka tiba di kota Cin-leng yang cukup besar dan ramai.

Berbeda dengan tokoh-tokoh kang-ouw lainnya, Kiu-bwe Coa-li paling teliti dalam memilih makan dan tempat menginap. Ia selalu memilih rumah penginapan yang terbersih dan memilih makanan dari restoran yang besar. Oleh karena itu, pakaian yang dipakai oleh Sui Ceng pun selalu bersih dan baik dan anak perempuan ini dibelikan pakaian beberapa stel yang dibungkus dengan kain kuning dan selalu buntalan itu digendong di atas punggungnya.

Di kota Cin-leng, begitu memasuki sebuah rumah penginapan yang besar, Kiu-bwe Coa-li terus saja berdiam di dalam kamarnya, duduk di atas pembaringan dan bersamadhi.

Sebaliknya, Sui Ceng yang ketika memasuki kota tadi melihat bangunan-bangunan indah dan keadaan kota yang ramai, lalu keluar dari hotel itu dan pergi berjalan-jalan. Ketika tiba di depan sebuah restoran, perhatian Sui Ceng tertarik kepada tujuh orang yang sedang makan di ruang depan restoran itu.

Mereka ini nampaknya seperti orang-orang gagah dan dari pakaian mereka, tahulah Sui Ceng bahwa mereka adalah serombongan piauwsu (pengawal kiriman barang berharga). Dari wajah mereka yang muram dan percakapan mereka yang hangat, Sui Ceng dapat menduga tentu telah terjadi sesuatu yang hebat.

Oleh gurunya, Sui Ceng selalu dibekali uang, karena Kiu-bwe Coa-li berwatak terlalu angkuh untuk membiarkan muridnya mencuri atau mengemis makanan. Maka Sui Ceng lalu bertindak memasuki restoran itu dan mengambil tempat duduk tidak jauh dari para piauwsu yang sedang bercakap-cakap itu.

Tentu saja ada beberapa orang yang memandang kepadanya dengan heran, karena jarang terjadi seorang anak perempuan berusia kurang lebih tujuh tahun memasuki restoran seorang diri, akan tetapi selanjutnya tidak ada yang menaruh perhatian, karena ia disangka puteri seorang kaya raya yang suka jajan!

Sui Ceng tertarik sekali ketika mendengar seorang diantara para piauwsu itu berkata,
“Jalan satu-satunya bagi kita untuk menolong mereka, tak lain kita harus minta bantuan dari Bin Kong Siansu ketua Kim-pan-sai. Selain orang tua itu, agaknya siluman itu takkan dapat dilawan.”

Pada saat itu, terdengar suara banyak orang mendatangi di luar restoran. Ketika Sui Ceng melirik, yang datang itu adalah belasan orang laki-laki yang kelihatan gagah dan yang pada saat itu nampak marah sekali.

“He, pengecut-pengecut dari Hui-to-piauwkiok (Perusahaan Expedisi Golok Terbang)! Keluarlah untuk terima binasa!” teriak seorang diantara para pendatang itu.

“Hm, menyebalkan sekali orang-orang Sin-to-pang itu!” kata seorang piauwsu sambil mencabut goloknya, lalu berjalan keluar diikuti oleh kawan-kawannya.

Sementara itu, ketika mendengar bahwa orang-orang yang datang adalah anggauta-anggauta Sin-to-pang (Perkumpulan Golok Sakti), Sui Ceng terkejut sekali dan cepat berdiri lalu melihat dengan penuh perhatian.

“Kalian ini orang-orang Sin-to-pang mau apakah? Ketua kami dan isterinya mengalami bencana, kalian ini sebagai orang-orang yang menganggap diri gagah, bukannya membantu bahkan mencari masalah!” kata piauwsu tadi sambil bersiap dengan golok di tanganya.

Seorang diantara anggauta-anggauta Sin-to-pang, yang semuanya juga memegang golok, menudingkan goloknya sambil memaki,

“Orang-orang rendah! Kalau tidak ketua kalian si pemikat she Ong itu membujuk Thio-toanio, tidak nanti sampai terjadi Thio-toanio tertangkap oleh Toat-beng Hui-houw (Macan Terbang Pencabut Nyawa)! Sekarang kalian harus menebus kesalahan ketuamu itu, baru kami akan menolong Thio-toanio.”

“Manusia-manusia sombong dan bodoh!” para piauwsu itu berseru dan terjadilah perang tanding antara belasan anggauta Sin-to-pang dan tujuh orang paiuwsu itu.

Semua menggunakan golok dan pertempuran terjadi ramai sekali. Orang-orang yang berada di sekitar tempat itu menjadi ketakutan dan cepat-cepat melarikan diri. Akan tetapi, pada saat itu, sesosok bayangan yang kecil melompat ke tengah medan pertandingan dan terdengar seruan nyaring,

“Tahan semua senjata!”

Bayangan ini adalah Sui Ceng yang bergerak dengan tubuh ringan dan cepat, juga suaranya dikeluarkan dengan tenaga khikang sehingga terdengar nyaring dan berpengaruh.

Beberapa orang segera menahan senjata mereka dan mundur, akan tetapi ada tiga orang anggauta Sin-to-pang dan dua orang piauwsu yanga berangasan dan masih saja bertanding dengan hebatnya.

“Tahan kataku!” teriak Sui Ceng dan sekali saja dia menggerakkan tangannya dan tubuhnya menyambar, terdengar suara berkerontangan dan empat batang golok telah terlepas dari pegangan dan terlempar ke atas tanah mengenai batu-batu.

Orang-orang itu terkejut sekali karena ternyata bahwa yang membuat tangan mereka untuk sesaat lumpuh tadi adalah seorang anak perempuan! Sui Ceng telah mempergunakan gerakan jari-jari tangan untuk menotok urat-urat nadi mereka, dan mengandalkan ginkangnya yang sudah tinggi, dia dapat melakukan serangan-serangan ini dengan amat mudah!

“Siauw-pangcu (ketua cilik)!!” para anggauta-anggauta Sin-to-pang berseru ketika mereka melihat Sui Ceng.

Serta-merta orang-orang ini lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Sui Ceng! Para piauwsu yang melihat hal ini menjadi tertegun dan kini dua orang di antara mereka mengenal pula Sui Ceng yang dulu pernah ikut ibunya, ketika ibunya menikah dengan Ong Kiat pemimpin mereka.

“Ah, tidak tahunya Siocia yang datang!” kata mereka sambil memberi hormat.

Menghadapi semua penghormatan ini, Sui Ceng sama sekali tidak merasa kikuk atau sungkan. Ia berdiri tegak, lalu berkata,

“Mengapa diantara orang-orang sendiri sampai menimbulkan keributan yang tidak perlu? Ada urusan dapat diurus, ada persoalan dapat diselesaikan. Sebenarnya, apakah yang telah terjadi?”

Oleh karena kini orang-orang datang lagi berduyun-duyun untuk mendengarkan pembicaraan mereka, para piauwsu itu mempersilakan Sui Ceng dan anggauta-anggauta Sin-to-pang untuk memasuki restoran.

Mereka mengambil tempat di ruang atas dan di situ Sui Ceng duduk dikelilingi oleh orang-orang Sin-to-pang dan para piauwsu dari Hui-to-piauwkiok. Maka berceritalah mereka tentang bencana yang menimpa Ong Kiat dan isterinya, yakni Thio Loan Eng.






Tidak ada komentar :