*

*

Ads

Minggu, 23 Desember 2018

Pendekar Sakti Jilid 045

Bencana itu baru terjadi dua hari yang lalu. Ketika itu, Ong Kiat yang menjadi ketua dari Hui-to-piauwkiok mengawal sendiri barang kiriman dari Hak-keng ke kota raja. Terpaksa dia turun tangan sendiri karena barang yang dikirim itu adalah barang berharga, sumbangan para hartawan di Hak-keng untuk pembesar-pembesar di kota raja.

Memang pada masa itu, di Tiongkok lajim terjadi pengiriman barang-barang “upeti” yang amat mahal dari para hartawan kepada pembesar-pembesar tertentu sampai ke kaisar, akan tetapi tak seorang pun berani menyatakan bahwa kiriman itu merupakan “sogokan”.

Perjalanan dari Hak-keng ke kota raja melalui kota Cin-leng, dan sampai ke kota ini rombongan yang terdiri dari dua gerobak kuda terisi barang kiriman dan dikawal oleh Ong Kiat dan tujuh orang anak buahnya, tidak mengalami gangguan sesuatu.

Para petualang di dunia liok-lim tidak ada yang berani mengganggu rombongan ini ketika mereka melihat dua macam bendera yang tertancap di atas gerobak. Yang pertama bendera berlukiskan sebuah golok terbang sebagai lambang dari Hui-to-piauwkiok (Perusahaan Expedisi Golok Terbang), dan bendera kedua adalah bendera kuning bertuliskan merah ONG, tanda bahwa Ong Kiat sendiri mengawal barang-barang berharga itu.

Rombongan itu bermalam di Cin-leng, dan pada keesokan harinya melanjutkan perjalanan ke kota raja. Akan tetapi perjalanan kali ini amat sukar, karena dari Cin-leng ke kota raja melalui hutan-hutan belukar yang amat liar dan di situ tidak terdapat jalan besar yang dapat dilalui gerobak dengan mudah.

Terpaksa memperlebar jalan kecil di dalam hutan dengan menbabat rumput dan pepohonan. Baru saja memasuki hutan kedua, kira-kira tiga puluh li dari kota Cin-leng di sebelah utara, senja telah tiba.

Selagi Ong Kiat dan tujuh orang anak buahnya membabat alang-alang, tiba-tiba terdengar suara ketawa yang keras dan menyeramkan sekali dan dari atas sebatang pohon besar menyambar turun bayangan orang yang tidak dapat melihat dengan jelas saking cepatnya gerakan orang ini.

Orang itu hanya melompat ke atas gerobak di depan dan menghilang lagi, meninggalkan gema ketawa yang menyeramkan.

“Ibliskah dia……?” tanya seorang anak buah, kawan Ong Kiat.

“Set, jangan sembarangan bicara,” mencela Ong Kiat. “Tidak tahukah kalian bahwa orang itu tidak sengaja mempermainkan kita? Lihat!”

Ong Kiat menunjuk ke atas gerobak pertama dan ketika tujuh orang anak buahnya menengok, mereka menjadi pucat sekali. Ternyata bahwa dua buah bendera yang tadinya tertancap di atas gerobak dan berkibar-kibar tertiup angin, sekarang sudah lenyap tak meninggalkan bekas!

Alangkah hebatnya kepandaian bayangan tadi, sekali melompat saja sudah dapat merampas dua bendera tanpa dapat mereka lihat sedikit pun juga. Ong Kiat sendiri tidak dapat melihat gerakan orang tadi dengan jelas, akan tetapi karena ilmu silatnya lebih tinggi daripada kawan-kawannya, dia masih dapat mengikuti ke mana bayangan tadi melayang sehingga dia dapat melihat lenyapnya dua benderanya.

Ong Kiat lalu menghadap ke arah bayangan tadi menghilang, kemudian menjura dan mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan sambil berkata,

“Siauwte Ong Kiat mengharap supaya sahabat yang di depan jangan mempermainkan kami dan sukalah memberi maaf apabila kami tidak menyambut kedatanganmu karena tidak tahu. Kalau sahabat berlaku murah, kami Hui-to-piauwkiok bukanlah orang-orang yang tak kenal budi dan tentu akan memenuhi permintaan yang pantas dari padamu.” Setelah Ong Kiat mengakhiri kata-katanya, keadaan sunyi sekali.

Semua orang menahan napas dan yang terdengar hanya berkereseknya daun-daun pohon dipermainkan oleh angin lalu. Tiba-tiba terdengar lagi suara ketawa yang menyeramkan seperti tadi dan dari jurusan depan, menyambar dua benda merupakan sinar kuning dan putih yang meluncur mengarah dada dan leher Ong Kiat!

Piauwsu ini bukan seorang lemah. Ia tahu bahwa dia diserang dengan senjata rahasia yang aneh, maka cepat dia miringkan tubuhnya ke kiri dan ketika dua tangannya bergerak dari samping, dia telah menangkap dua benda kuning dan putih itu.

Alangkah mendongkolnya ketika dia melihat bahwa benda-benda itu bukan lain adalah dua buah benderanya yang tadi dicabut orang! Akan tetapi, diam-diam dia terkejut sekali karena ketika dia menyambut bendera-bendera tadi, kedua tangannya tergetar. Bukan main hebatnya tenaga yang menyambitkan dua bendera bergagang kayu itu.

“Ong Kiat, manusia lancang!” terdengar suara yang parau dan kasar. “Kau telah berani sekali mengambil Pek-cilan sebagai isterimu, padahal dia sudah dipastikan akan mampus di dalam tanganku. Akan tetapi aku masih mau mengampuni jiwamu dan hanya akan menghukummu dengan merampas dua gerobak barang ini. Kau dan anak buahmu lekas pergi dari sini dan tinggalkan dua gerobak barang ini di sini!”






Wajah Ong Kiat sebentar berubah pucat sebentar merah saking marah dan dongkolnya mendengar kata-kata yang amat menghina ini. Ia adalah seorang gagah, biarpun pekerjaannya sebagai piauwsu mengharuskannya untuk bersikap baik terhadap para perampok agar jangan banyak dimusuhi orang, akan tetapi kalau orang terlalu menghina, dia pasti akan melawan!

“Sahabat yang manakah begitu sombong? Harap keluar memperkenalkan diri. Aku Ong Kiat bukanlah orang yang menjadi ketakutan karena gertak kosong belaka!”

Sambil berkata demikian, dia mencabut goloknya yang tajam mengkilap. Tujuh orang kawannya juga sudah mencabut golok masing-masing. Ong Kiat terkenal sebagai seorang ahli golok yang lihai, murid Thian-san-pai yang tak boleh dibuat permainan. Juga tujuh orang kawannya telah mempelajari ilmu golok dan rata-rata memiliki kepandaian yang cukup tangguh.

Kembali terdengar suara ketawa, kali ini disertai ejekan.
“Kalian sudah bosan hidup, jangan bilang aku berlaku kejam!”

Sehabis ucapan ini, dari belakang rumpun menyambar keluar tubuh seorang kakek yang benar-benar menyeramkan. Bajunya yang berlengan lebar berwarna biru muda, celananya biru tua dan kakinya telanjang. Hidungnya bengkok dan besar, mulutnya tertutup cambang dan jenggot putih. Kepalanya botak kelimis, hanya di kanan kiri terdapat rambut hitam yang kaku dan berdiri. Yang hebat adalah jari-jari tangannya, karena sepuluh jari tangannya itu berkuku panjang dan runcing seperti kuku harimau! Ketika dia melompat keluar, kedua kakinya tidak mengeluarkan suara sedikit pun, seperti kaki harimau saja.

“Kau tidak mengenal aku? Ha, ha, ha!” Kakek yang menyeramkan ini mengeluarkan suara ketawa seperti auman harimau.

Ong Kiat memandang takjub. Melihat keadaan kakek ini, dia teringat akan seorang tokoh hek-to (jalan hitam, dunia orang jahat) yang di juluki orang Toat-beng Hui-houw (Harimau Terbang Pencabut Nyawa).

Akan tetapi, Toat-beng Hui-houw kabarnya sudah lenyap dari dunia dan sudah puluhan tahun tak pernah memperlihatkan diri. Ong Kiat cepat-cepat memberi hormat.

“Siauwte bermata buta, tidak mengenal siapa adanya Locianpwe yang terhormat.”

Toat-beng Hui-houw semenjak mudanya berwatak keras dan sombong sekali, maka mendengar orang tidak mengenal namanya, dia menjadi makin marah.

“Buka telingamu dan matamu lebar-lebar, Ong-piauwsu! Aku adalah Toat-beng Hui-houw, dan kau tentu sudah tahu bahwa siapapun juga yang tidak mentaati perintah Toat-beng Hui-houw, berarti harus mati!”

Setelah berkata demikian, secepat kilat tangannya yang berkuku panjang itu menyambar ke arah kepala Ong Kiat!

Piauwsu muda ini terkejut sekali, tidak hanya karena nama itu, akan tetapi juga karena serangan yang datangnya tiba-tiba dan hebat bukan main ini. Cepat dia menggerakkan goloknya menangkis sekuat tenaga, bermaksud membabat putus kuku-kuku panjang dari lawannya itu.

“Traaang….!”

Ong Kiat berseru kaget dan cepat melompat ke belakang karena merasa betapa goloknya beradu dengan benda yang luar biasa keras dan kuatnya sehingga kalau dia tidak buru-buru menarik kembali goloknya dan melompat mundur, tentu golok itu akan terlepas dari pegangannya!

Baiknya golok pusaka yang ampuh dan kuat, kalau tidak demikian, agaknya golok itu sudah menjadi rusak ketika bertemu dengan kuku-kuku yang demikian kerasnya!

“Ha, ha, ha! Kau harus mampus! Kau juga!” kata-kata ini diulangi terus dan tubuhnya bergerak maju sambil menyerang dengan sepasang tangannya yang berkuku runcing dan panjang.

Terdengar suara “traaang! traaang!!” beberapa kali dan golok di tangan ketujuh orang kawan Ong Kiat itu terbang terlepas dari tangan, ada yang retak dan ada pula yang terpotong menjadi dua! Lalu disusul jeritan-jeritan ngeri ketika kuku-kuku yang panjang itu mengenai tubuh mereka.

Ada yang lehernya hampir putus, kulit perutnya robek dan sebentar saja tujuh orang piauwsu itu tergeletak tumpang tindih dalam keadaan yang amat mengerikan! Keadaan mereka ini tiada bedanya dengan orang-orang yang telah diserang oleh seekor harimau yang ganas.

Akan tetapi, Toat-beng Hui-houw sengaja hanya melukai pundak seorang diantara tujuh kawan Ong Kiat itu yang kini duduk merintih-rintih dan memegangi pundak kanannya yang berlumur darah. Ong Kiat menjadi marah sekali. Dengan nekat dia lalu menyerang dengan goloknya. Serangannya tidak boleh dibuat permainan, karena dia mempergunakan ilmu golok Thian-san-pai yang lihai.

Toat-beng Hui-houw maklum akan hal ini maka dia pun tidak berani sembarangan menangkis, melainkan mempergunakan ginkangnya yang istimewa untuk mengelak kesana kemari.

Orang sudah tahu akan kegesitan seekor harimau, akan tetapi Toat-beng Hui-houw (Harimau Terbang) karena gerakannya itu seolah-olah seekor harimau yang bersayap! Tidak saja dia pandai dan cepat sekali mengelak ke sana ke mari, bahkan kadang-kadang dia melompat tinggi seperti terbang saja. Selain mengelak atau menangkis serangan Ong Kiat yang mengamuk seperti gila karena sudah nekat sekali, juga Toat-beng Hui-houw membalas dengan serangan-serangan kukunya yang berbahaya.

Betapapun pandainya Ong Kiat mainkan goloknya, namun menghadapi kakek yang luar biasa sekali ini dia hanya dapat betahan sampai tiga puluh jurus saja. Agaknya kalau Toat-beng Hui-houw menghendaki kematiannya, dalam sepuluh jurus juga Ong Kiat akan roboh binasa.

Namun kakek ini hendak menawannya hidup-hidup, maka dia hanya berusaha merampas golok. Akhirnya, ketika golok itu diputar dan menyerang lehernya, kakek itu berseru keras sekali dan kedua tangannya bergerak. Tangan kanan mendahului golok mencengkeram ke arah lambung lawan dan tangan kiri menyusul untuk merampas golok!

Ong Kiat tak berdaya. Kalau dia membiarkan lambungnya dicengkeram, tentu dia akan binasa dan goloknya yang datangnya kalah cepat belum tentu akan mengenai lawan. Terpaksa dia melompat ke belakang dan menarik pulang goloknya, namun terlambat. Golok itu telah kena dicengkeram dan sekali renggut saja sudah pindah tangan!

Toat-beng Hui-houw mendesak terus dan akhirnya jalan darah di pundak Ong Kiat telah kena dicengkeram oleh jari-jari itu. Kulit pundaknya pecah dan Ong Kiat roboh dalam keadaan lumpuh tak berdaya lagi!

“Ha, ha, ha, ha, ha! Baru kalian tahu betapa lihainya Toat-beng Hui-houw!” Ia lalu menggunakan kakinya yang telanjang itu untuk menendang bangun anggauta piauwsu yang terluka pundaknya tadi. “Hei, kau! Aku sengaja tidak membikin mampus padamu agar kau dapat memanggil Pek-cilan, datang kesini! Katakan bahwa selambat-lambatnya besok pagi ia harus datang disini, kalau tidak, suaminya akan kucekik mampus dan dia pun akan kucari ke rumahnya. Pakai kuda itu!”

Piauwsu itu tak berdaya. Terpaksa dia menangkap kembali kudanya dan mengaburkan kuda itu kembali ke Hak-keng. Ia melakukan perjalanan cepat sekali tanpa berhenti, sedangkan luka dipundaknya tidak dirawat, maka ketika dia tiba di depan Thio Loan Eng, dia roboh pingsan!

Dapat diduga betapa hebat kemarahan dan kekagetan hati Loan Eng mendengar tentang keadaan suaminya. Tanpa banyak cakap lagi, ia lalu cepat melarikan kuda menuju ke tempat itu, diikuti oleh semua anggauta piauwkok, yakni piauwsu-piauwsu yang kebetulan berada di kota yang jumlahnya ada sepuluh orang. Begitu tiba di tempat yang dituju, Loan Eng mencabut pedangnya dan berseru dengan suara keras,

“Toat-beng Hui-houw siluman buas, kau keluarlah untuk terima binasa!”

Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari Toat-beng Hui-houw, lalu tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu dia telah berdiri di hadapan Loan Eng.

Pendekar wanita ini pun belum pernah bertemu dengan kakek ini, maka seperti juga Ong Kiat, ia terkejut sekali menyaksikan keseraman kakek ini. Akan tetapi ia tidak pernah mengenal takut dan sambil menudingkan pedangnya ke muka orang, ia berkata,

“Toat-beng Hui-houw, antara kita tidak pernah terjadi permusuhan, mengapa kau berlaku begitu kejam, membunuh kawan-kawan kami dan bahkan menawan suamiku?”






Tidak ada komentar :