*

*

Ads

Selasa, 25 Desember 2018

Pendekar Sakti Jilid 048

Gerakan Sui Ceng sekarang tidak secepat dan segesit tadi. Hal ini karena sekarang gadis cilik ini memegang sebatang golok yang besar dan berat. Tadinya Sui Ceng sengaja mengambil golok karena ia hendak bertempur mati-matian mengadu jiwa, akan tetapi sebaliknya, dengan golok di tangan mendatangkan kerugian pada dirinya sendiri.

Golok itu terhadap Toat-beng Hui-houw tidak ada artinya sama sekali, sebaliknya menghambat gerakan sendiri. Dalam beberapa jurus saja, sambil tertawa-tawa, Toat-beng Hui-houw telah berhasil menangkap pinggangnya dan sekali dia menotok jalan darah thian-hu-hiat, lemaslah tubuh Sui Ceng dan golok itu terlepas dari pegangan!

Pada saat itu, menyambarlah beberapa sinar halus sekali. Sinar ini adalah bulu-bulu halus dan panjang yang sekaligus menyerang Toat-beng Hui-houw di beberapa bagian tubuhnya. Sebagian dari bulu-bulu halus ini melibat tubuh Sui Ceng dan sekali renggut, tubuh Sui Ceng telah terlepas dari pegangan Toat-beng Hui-houw dan melayang ke depan!

Toat-beng Hui-houw terkejut bukan main menghadapi serangan ini. Ia telah terkejut dan jerih melihat macam senjata yang menyerangnya, karena dari senjata ini saja tahulah dia bahwa yang datang menyerangnya adalah Kiu-bwe Coa-li! Kalau ada rasa takut dalam dada Toat-beng Hui-houw manusia siluman ini, maka rasa takut itu mungkin hanya di tujukan kepada lima orang tokoh besar di kalangan kang-ouw, di antaranya ialah Kiu-bwe Coa-li ini!

“Kiu-bwe Coa-li, mengapa kau mencampuri urusanku, sedangkan aku selamanya belum pernah mengganggumu?” katanya penasaran sambil melompat ke belakang, jerih menghadapi pecut sembilan bulu dari Kiu-bwe Coa-li yang kini sudah berdiri di hadapannya dan menggandeng tangan Sui Ceng yang sudah dibebaskan dari totokan pula.

Diam-diam Kiu-bwe Coa-li mengerti mengapa muridnya sampai kalah oleh Toat-beng Hui-houw. Tadi datang-datang melihat muridnya berada dalam pelukan kakek siluman itu, ia lalu melakukan serangan pecutnya yang paling hebat dan jarang sekali ada orang mampu menghindarkan diri, yakni ilmu serangan Kiu-seng-kan-goat (Sembilan Bintang Mengejar Bulan).

Sembilan helai bulu pecutnya menyerang dari berbagai jurusan. Akan tetapi ia hanya berhasil merampas kembali muridnya dan sama sekali tidak berhasil melukai kakek itu. Dari sini saja ia ketahui bahwa kepandaian kakek itu jauh lebih tinggi daripada kepandaian muridnya.

“Siluman jahat, apa matamu sudah menjadi buta?” jawab Kiu-bwe Coa-li dan sepasang matanya mengeluarkan sinar membakar. “Kau berani mengganggu murid pinni (muridku), maka sekarang kau harus mati!”

Bukan main kagetnya, Toat-beng Hui-houw.
“Dia ini muridmu……? Ah, Kiu-bwe Coa-li, sungguh mati aku tidak tahu bahwa dia muridmu. Akan tetapi, bukankah aku tidak mengganggunya? Kalau aku bermaksud mengganggunya apakah sekarang ia masih dapat bernapas?”

“Kau memang tidak melukainya, akan tetapi kau telah menghinanya, berarti kau menghinaku pula. Bersiaplah untuk mati!”

Kembali Kiu-bwe Coa-li menggerakkan pecutnya, melakukan serangan dengan cara ganas dan tidak mengenal ampun sama sekali. Memang watak Kiu-bwe Coa-li luar biasa ganasnya. Sekali ia turun tangan, ia takkan merasa puas kalau lawannya belum roboh binasa!

Toat-beng Hui-houw bukannya orang lemah. Bangkit rasa penasarannya. Ia memang segan bertempur melawan Kiu-bwe Coa-li dan tentu dia bersedia mengalah jika berurusan dengan orang yang dia anggap memiliki kedudukan lebih tinggi itu. Akan tetapi kalau dia didesak, dia terpaksa melawan.

“Kiu-bwe Coa-li, kau terlalu sekali. Kau kira aku Toat-beng Hui-houw takut menghadapi Kiu-bwe-joan-pianmu (Pecut Berbulu Sembilan)?”

“Siapa peduli takut atau tidak? Aku hanya ingin kau mampus, habis perkara!” Kiu-bwe Coa-li mendesak terus.

Toat-beng Hui-houw mengeluarkan suara keras dan kini sepuluh kuku jari tangannya telah mulur kembali, panjang-panjang, tajam dan runcing mengerikan! Ia cepat mengelak dari serangan lawannya dan membalas dengan serangan pukulan yang mendatangkan hawa dingin dan berbau amis.

Ternyata bahwa siluman tua ini telah mengeluarkan pukulan-pukulan maut disertai bisa yang keluar dari hawa pukulan kukunya ini! Kalau tadi dia mengeluarkan ilmu ini, dalam beberapa jurus saja Sui Ceng tentu telah roboh binasa.

Menghadapi pukulan-pukulan hebat ini, Kiu-bwe Coa-li pertama-tama mendorong tubuh muridnya sehingga Sui Ceng terpental dan terpaksa melompat jauh ke pinggir, kemudian wanita sakti ini lalu memutar pecutnya sampai berbunyi mengaung dan kadang-kadang diselingi suara “tar! tar!” dan dari pecutnya yang berekor sembilan ini keluar hawa yang menyambar-nyambar dan yang menolak hawa pukulan berbisa dari Toat-beng Hui-houw.






Para piauwsu dan anggauta Sin-to-pang, semenjak tadi berdiri seperti patung. Munculnya seorang tokouw yang memegang pecut ini saja sudah membuat mereka heran sekali, karena tak seorang pun di antara mereka melihat kedatangannya. Kemudian cara pecut tokouw itu merampas Sui Ceng dan kemudian mendengar bahwa tokouw ini adalah Kiu-bwe Coa-li yang tersohor dan menjadi guru Sui Ceng, mereka makin terbelalak. Sekarang, setelah pertandingan antara Toat-beng Hui-houw dan Kiu-bwe Coa-li berlangsung, mereka menjadi bengong dan melongo.

Pertandingan ini menurut pendapat mereka bukanlah pertempuran orang-orang pandai, karena keduanya berdiri tidak pernah berpindah dari tempat masing-masing dan hanya kedua tangan mereka saja yang bergerak-gerak cepat sekali ke depan. Hampir saja ada yang tertawa menyaksikan pertandingan ini, karena gerakan kedua orang tua itu seakan-akan mereka sedang membadut.

Akan tetapi, Sui Ceng menonton dengan wajah penuh ketegangan. Ia maklum bahwa permainan cambuk dari gurunya sedang dihadapi oleh lawan dengan ilmu pukulan lweekang yang tinggi sekali tingkatnya. Ketika orang tua itu sedang bertempur mengandalkan hawa pukulan lweekang, maka mereka hanya berdiri berhadapan dan saling memukul dari jauh, sama sekali tidak mengubah kedudukan kaki.

Akan tetapi, beberapa lama kemudian, Toat-beng Hui-houw terpaksa harus mengakui keunggulan lawannya, karena bulu-bulu pecut Kiu-bwe Coa-li makin lama makin mendesaknya, makin lama makin dekat serangan ujung cambuk itu, terus mendesak hawa pukulannya yang hendak menentangnya.

Ia maklum bahwa kalau sampai ujung cambuk itu mengenai tubuhnya, sukarlah baginya untuk menyelamatkan diri lagi. Ia cukup kenal akan kelihaian totokan ujung cambuk di tangan Kiu-bwe Coa-li, seorang di antara tokoh besar dunia persilatan.

“Cukup, siluman betina! Kali ini aku mengaku kalah, akan tetapi lain kali aku akan mengalahkanmu!” kata Toat-beng Hui-houw sambil melompat mundur.

“Keparat pengecut! Kau belum mampus, bagaimana bisa bilang cukup?” seru Kiu-bwe Coa-li sambil mengejar dan melakukan serangan kilat.

“Keparat pengecut! Kau belum mampus, bagaimana bisa bilang cukup?” seru Kiu-bwe Coa-li sambil mengejar dan melakukan serangan kilat.

Toat-beng Hui-houw cepat mengerahkan tenaganya menangkis sambil melompat jauh, namun tetap saja sebuah daripada sembilan ekor pecut itu dengan tepat menghantam pahanya. Baiknya dia cepat-cepat mengerahkan lweekangnya ke arah bagian tubuh ini sehingga ketika pecut itu dengan suara nyaring menampar paha, hanya kain dan kulitnya saja yang pecah, akan tetapi dia tidak menderita luka dalam.

Gentarlah Toat-beng Hui-houw. Ia melompat dan menyambar sebatang pohon besar. Sekali cabut saja jebollah pohon itu dan dia melontarkan pohon ke arah Kiu-bwe Coa-li yang mengejarnya!

Terpaksa Kiu-bwe Coa-li melompat pergi dari sambaran pohon yang besar itu, dan ketika hendak melanjutkan pengejarannya, ia teringat kepada muridnya.

“Mari, Sui Ceng, kita kejar siluman itu!” katanya sambil menggandeng tangan muridnya.

Akan tetapi Sui Ceng menarik tangannya dan berkata,
“Nanti dulu, Suthai. Teecu harus menolong Ibu lebih dulu.”

Kiu-bwe Coa-li menghentikan langkahnya.
“Ibumu? Di mana dia?”

“Dia telah tertawan oleh Toat-beng Hui-houw. Karena itulah maka teecu datang ke tempat ini. Mungkin Ibu disembunyikan di dalam gua itu.” Sui Ceng menunjuk ke arah gua.

Kiu-bwe Coa-li mengerutkan keningnya. Ia sudah tahu akan kejahatan Toat-beng Hui-houw dan kalau orang terjatuh ke dalam tangan siluman itu, jangan harap akan tertolong lagi jiwanya.

“Kalau begitu, kita harus cepat-cepat melihat dan memeriksa gua itu,” katanya.

Guru dan murid ini lalu berlari-lari memasuki gua. Para piauwsu dan anggauta Sin-to-pang, juga mendekati gua, akan tetapi mereka tidak berani lancang memasuki gua, hanya menanti dan berkumpul di luar gua sambil membicarakan pertempuran dahsyat yang tadi mereka saksikan.

Adapun Sui Ceng dan gurunya yang memasuki gua, mendapat kenyataan bahwa gua itu lebar sekali dan di dalamnya terbagi-bagi menjadi tiga ruang. Mereka memasuki ruang sebelah kiri dan membuka pintu ruang itu yang terbuat daripada kayu. Cahaya yang memasuki ruangan ini suram-suram saja, namun Sui Ceng segera mengenal tubuh yang terbaring membujur di atas pembaringan batu, karena yang terlentang itu bukan lain adalah Loan Eng, ibunya sendiri!

“Ibu…….!”

Sui Ceng melompat dan menubruk ibunya. Kiu-bwe Coa-li yang berdiri di belakang muridnya, lalu mengulur tangan dan dengan beberapa totokan di jalan darah nyonya muda yang nampak lemas dan tidak berdaya lagi itu, dapatlah Loan Eng menggerakkan tubuhnya.

Akan tetapi ia sudah demikian lemas sehingga hampir tidak kuat mengangkat tangannya. Ternyata bahwa darahnya hampir habis terisap oleh Toat-beng Hui-houw, manusia iblis itu!

“Ibu…… kau kenapakah….??” Sui Ceng menggoyang-goyang tubuh ibunya dan memandang dengan mata terbelalak.

“Sui Ceng….. kau datang……?” Suara Loan Eng lemah sekali, dan hanya kedengaran seperti bisik-bisik saja, “Kebetulan sekali….. aku ada pesan untukmu…….”

“Suthai, tolong Ibuku, mengapa dia begitu lemah?” kata Sui Ceng tanpa mempedulikan kata-kata ibunya, karena ia tidak mau percaya bahwa ibunya akan mati.

Kiu-bwe Coa-li memegang pergelangan tangan Loan Eng, dan ia nampak terkejut, lalu menggeleng-gelengkan kepala dan ketika ia memeriksa leher sebelah kiri dari nyonya muda itu, terdengar wanita sakti ini menggertakkan giginya.

“Jahanam benar….”

Bisiknya. Ternyata bahwa kulit leher dari Loan Eng yang putih halus itu kini telah terluka dan di luar luka ini masih terdapat tanda gigitan dan darah-darah yang telah mengering!

“Ibumu takkan tertolong lagi, Sui Ceng. Dia telah kehabisan darah,” katanya tenang.

Mendengar ini, Sui Ceng menubruk ibunya dan menangis.

“Sui Ceng, anakku selamanya takkan menangis sedih,” kata Loan Eng. Mendengar tangis anaknya, agaknya Loan Eng mendapat tambahan tenaga baru. “Agaknya aku memang harus menebus dosaku kepada ayahmu yang kubunuh sendiri. Aku berpesan kepadamu, Sui Ceng. Kelak kau harus menjadi jodoh murid ke dua dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai, karena aku telah menerima pinangan orang tua itu. Nama murid itu The Kun Beng. Nah….. hanya sekian pesanku…..!” Loan Eng makin lemas.

“Ibu….., aku bersumpah untuk membalaskan sakit hati ini. Akan kucincang hancur tubuh iblis itu….!” Kata Sui Ceng diantara tangisnya.

Biarpun tubuhnya telah lemas sekali, mendengar kata-kata anaknya, Loan Eng memaksa bibirnya tersenyum. Ia merasa senang dan bangga melihat sikap puterinya yang gagah.

“Kau akan berhasil, Sui Ceng, di bawah pimpinan gurumu yang sakti…… dan tentang Sin-to-pang…… kau….. benar, perkumpulan mendiang ayahmu itu amat baik….., mereka telah berusaha menolongku…. jadilah ketua yang baik kelak…..! Sui Ceng, jangan lupa kau tunangan The Kun Beng murid Pak-lo-sian….. nah, selamat tinggal, anakku…..”

Habislah tenaga nyonya itu dan Pek-cilan Thio Loan Eng, pendekar wanita yang cantik dan gagah perkasa itu, menghembuskan napas terakhir dalam pelukan puterinya.

“Ibu………, Ibu……..!”

Sui Ceng menangis, kemudian dengan mata beringas ia bangkit berdiri dan berdongak ke atas sambil berkata,

“Toat-beng Hui-houw, manusia iblis. Tunggulah, akan tiba saatnya aku Bun Sui Ceng menghancurkan kepalamu!”






Tidak ada komentar :