*

*

Ads

Selasa, 25 Desember 2018

Pendekar Sakti Jilid 047

Ke mana perginya Toat-beng Hui-houw? Dan bagaimana nasib Loan Eng dan Ong Kiat? Tak jauh dari tempat Sui Ceng dan kawan-kawannya berseru menantang, terdapat sebuah gua besar sekali di bukit batu karang. Gua inilah tempat sembunyi atau sarang Toat-beng Hui-houw dan ke dalam gua ini pula dia membawa Loan Eng dan Ong Kiat.

Pada saat itu, bukan dia tidak mendengar seruan-seruan yang ramai dari hutan itu, akan tetapi dia lagi asyik dengan perbuatannya yang amat terkutuk dan bukan merupakan perbuatan manusia lagi.

Di dalam ruangan sebelah kiri gua itu, Loan Eng rebah di atas pembaringan batu dalam keadaan lumpuh dan tak dapat menggerakkan kaki tangannya karena jalan darahnya sudah dipukul dengan tiam-hoat (ilmu menotok) oleh iblis tua itu. Biarpun ia tak dapat menggerakkan kaki tangannya, namun Loan Eng masih sadar dan tahu bahwa dia berada dalam cengkeraman seorang iblis yang jahat sekali.

Beberapa kali ia melirik ke dalam ruangan yang suram-suram itu karena mendapat penerangan cahaya matahari yang masuk melalui mulut gua. Akan tetapi ia tidak melihat suaminya, dan dia diam-diam mengeluh.

Tiba-tiba terdengar suara terkekeh-kekeh dan masuklah tubuh Toat-beng Hui-houw di dalam ruangan itu. Loan Eng mengerahkan seluruh tenaga untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan, namun sia-sia belaka, bahkan usahanya ini melemaskan seluruh tubuhnya dan membuat luka di pundaknya terasa sakit sekali, hampir tak tertahankan.

“Ha-ha-ha! He-he-he! Pek-cilan, kau telah membunuh suteku dan sekarang kau sudah terjatuh ke dalam tanganku! Ha-ha-ha, kau benar-benar seperti bunga cilan putih. Cantik dan bersih. He-he-he! Darahmu tentu segar dan bersih pula, dan dapat membikin aku muda kembali!”

Sambil tertawa-tawa, kakek botak berkuku panjang ini menghampiri pembaringan batu dimana Loan Eng terlentang tak berdaya. Lebih dulu kakek ini meraba kaki tangan Loan Eng, untuk melihat bahwa benar-benar korbannya ini masih berada dalam keadaan lumpuh tertotok sehingga tidak akan dapat melakukan serangan yang tiba-tiba.

Kemudian, dia mendekatkan mukanya pada muka Loan Eng yang tentu saja merasa jijik sekali. Akan tetapi apa dayanya? Ia menahan tekanan hatinya dan ingin melihat apa yang akan diperbuat oleh manusia iblis ini terhadap dirinya. Masih banyak waktu untuk membalas dendam, pikirnya. Tunggu saja kalau aku sampai terbebas.

Akan tetapi, perbuatan yang dilakukan oleh Toat-beng Hui-houw benar-benar di luar dugaannya. Belum pernah ada seorang manusia, betapa gilanya pun, melakukan perbuatan keji seperti itu.

Ketika dia telah mendekatkan mukanya dengan muka Loan Eng, ternyata dia tidak berbuat kurang ajar, bahkan kini mukanya diarahkan ke leher Loan Eng yang berkulit halus.

Tiba-tiba Loan Eng merasa betapa mulut kakek itu menempel pada lehernya, membuat ia merasa ngeri dan membuat bulu tengkuknya berdiri. Ia mengira bahwa kakek ini hanya ingin mencium lehernya. Akan tetapi, tidak tahunya, kakek ini tidak mau melepaskan lehernya lagi dan sampai lama, mulut kakek itu masih menempel pada lehernya.

Perlahan-lahan, Loan Eng merasa betapa kakek itu menggunakan giginya untuk menggigit lehernya yang terasa perih, kemudian ia merasa betapa mulut kakek itu menghisap darah dari luka di leher bekas gigitan! Bukan main ngerinya hati Loan Eng menghadapi perbuatan kakek siluman ini dan kepalanya menjadi makin pening, tubuhnya makin lemas dan tak lama kemudian, nyonya muda ini menjadi pingsan!

Toat-beng Hui-houw ternyata membuktikan ancamannya. Ia hendak menghisap darah pembunuh sutenya ini, bukan saja dengan maksud membalas dendam, akan tetapi juga untuk suatu maksud, yakni dia hendak “mengoper” darah wanita muda yang cantik jelita itu agar supaya dia awet muda! Pikiran dari seorang yang telah lenyap perikemanusiaannya, seorang yang telah berubah menjadi iblis jahat!

Setelah kenyang menghisap darah Loan Eng, Toat-beng Hui-houw tertawa-tawa dan melompat-lompat keluar, ia merasa telah menjadi muda kembali! Sebetulnya bukan karena isapan darah itu yang dilakukan seperti seorang iblis keji, melainkan karena perasaan dan pikirannya yang sudah tidak normal lagi itulah yang membuat dia merasa seakan-akan menjadi muda kembali! Ia keluar dari gua dan kini dia mendengar suara tantangan yang keluar dari hutan.

“Ha, ha, ha, segala tikus busuk! Toat-beng Hui-houw berada disini, kalian mau apa?”






Suara ini dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang sepenuhnya sehinga terdengar sampai jauh. Seperti tokoh-tokoh persilatan yang berkepandaian tinggi, Toat-beng Hui-houw juga pandai Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh), maka tentu saja suaranya ini bergema jauh dan terdengar baik-baik oleh Sui Ceng dan kawan-kawannya.

Mendengar suara ini, Sui Ceng lalu melompat dan berlari cepat menuju ke arah suara itu, diikuti oleh kawan-kawannya yang tertinggal jauh. Dengan berkuda saja piauwsu dan anggauta Sin-to-pang masih tidak dapat menandingi ilmu lari cepat Sui Ceng, apalagi sekarang mereka berlari biasa!

Ketika tiba di depan gua, Sui Ceng melihat seorang kakek yang mengerikan sedang menari-nari, berlompat-lompatan dan bernyanyi!

“Aku menjadi muda kembali, muda kembali…..! Ha, ha, ha, Toat-beng Hui-houw menjadi muda kembali!”

Untuk sesaat, Sui Ceng tertegun. Yang berada di depannya itu seperti bukan manusia lagi, melainkan seorang iblis yang mengerikan. Namun, Sui Ceng yang baru berusia delapan tahun itu tidak merasa takut sedikit pun juga. Ia bahkan melangkah maju dan menghadapi iblis tua itu dengan sikap tenang dan tabah.

“Eh, kakek tua miring otak!”

Toat-beng Hui-houw menghentikan tariannya dan memandang heran. Bagaimana ada seorang anak perempuan kecil berani memakinya?

“Kaukah Toat-beng Hui-houw yang berani menangkap ibuku dan ayah tiriku? Lekas lepaskan mereka, barangkali nona kecilmu masih dapat mengampuni dosa-dosamu!”

Toat-beng Hui-houw menggosok-gosok kedua matanya dengan belakang tangan. Mimpikah dia? Atau benar-benar ada seorang gadis cilik yang manis dan elok berdiri dengan gagah dan berani serta mengeluarkan ucapan semacam itu kepadanya? Kemudian ia tertawa bergelak.

“Jadi kau memang puteri Pek-cilan? Ha-ha-ha! Memang bunga cantik berbiji manis pula! Agaknya darahmu lebih segar daripada darah ibumu. Ha, ha, ha! Mari, mari! Kau hendak bertemu dengan ibumu bukan?”

Sambil berkata demikian, dia menubruk hendak menangkap Sui Ceng, seperti laku seorang kecil menubruk seekor burung yang indah.

Akan tetapi, alangkah heran hati iblis ini ketika tiba-tiba tubuh kecil itu lenyap dan tahu-tahu sebuah kaki yang kecil mungil dalam sepatu merah bersulam bunga, menendang mukanya!

Toat-beng Hui-houw terkejut dan heran, cepat dia miringkan kepalanya, akan tetapi ternyata bahwa tendangan ini adalah tendangan pancingan belaka dan sebelum Toat-beng Hui-houw sempat mengelak, perutnya telah kena ditendang oleh lain kaki yang sama mungilnya!

“Buk!” kaki Sui Ceng tepat mengenai perut, akan tetapi bukan Toat-beng Hui-houw yang roboh, melainkan tubuh Sui Ceng sendiri yang terlempar ke belakang!

Akan tetapi, bagaikan seekor burung walet, gadis cilik ini dapat berpoksai (membuat salto) di udara dan turun dengan ringan sekali.

Kalau tadi Toat-beng Hui-houw sampai terkena tendangan Sui Ceng, bukan karena dia kurang lihai melainkan karena kakek ini memandang rendah dan tidak mengira sama sekali bahwa bocah ini akan dapat melakukan gerakan sehebat itu!

Sui Ceng ketika ditubruk tadi, secepat kilat melakukan gerakan melompat Can-liong-seng-thian (Naga Terbang Naik ke Langit), kemudian ia melakukan tendangan Ji-liong-twi (Tendangan Sepasang Naga) yang bertubi-tubi sehingga berhasil menendang perut lawannya.

Akan tetapi, yang ditendangnya tertawa saja sedangkan dia sendiri terpental jauh. Bukan main kagetnya Sui Ceng dan anak ini maklum bahwa tenaga dan kepandaian lawannya benar-benar hebat sekali. Sebaliknya Toat-beng Hui-houw juga kagum menyaksikan kegesitan anak perempuan ini, dan kalau saja dia tahu bahwa anak ini adalah murid Kiu-bwe Coa-li, tentu akan lenyap keheranannya dan terganti oleh kekagetan hebat.

“Anak manis, aku harus mendapatkan darahmu!” katanya berkali-kali dan dia menubruk lagi.

Namun berkat kegesitan dan ginkangnya yang luar biasa, Sui Ceng lagi-lagi dapat menghindarkan diri. Pada waktu itu, rombongan piauwsu dan anak buah Sin-to-pang telah datang di situ dan mereka menonton pertempuran dengan mata terbelalak kagum.

Anggauta-anggauta Sin-to-pang merasa bangga melihat “siauw-pangcu” mereka itu berani menghadapi Toat-beng Hui-houw dengan tangan kosong. Melihat betapa kakek itu seperti seekor harimau buas menubruk ke sana-sini, sedangkan tubuh Sui Ceng bagaikan seekor burung walet beterbangan dan berkelit cepat sekali, mereka itu tak terasa pula meleletkan lidah saking kagum dan tegangnya.

Kalau Toat-beng Hui-houw bermaksud membunuh Sui Ceng, tentu takkan sukar baginya. Biarpun untuk menjamah tubuh anak ini sukar sekali karena memang kegesitan Sui Ceng dapat mengimbangi kegesitan lawannya yang berjuluk Harimau Terbang, namun kalau dia mau, dengan hawa pukulan tangannya, dia dapat merobohkan gadis cilik ini.

Akan tetapi pada saat itu, Toat-beng Hui-houw mendapat pikiran lain. Ia menghisap darah Loan Eng hanya karena ingin membalas sakit hati atas kematian sutenya dan ingin awet muda. Kini melihat Sui Ceng yang masih terhitung anak-anak, dia takut kalau-kalau dia berubah menjadi anak-anak pula jika dia menghisap darah anak ini! Memang bodoh, gila, dan jahat adalah sekeluarga, dan kakek ini telah memiliki ketiga-tiganya.

“Aku tidak mau isap darahmu! Aku akan menangkapmu, memelihara dalam sangkar, kau burung cantik!” katanya berkali-kali dan kini dia menyerang dengan kedua tangannya.

Alangkah herannya hati Sui Ceng ketika melihat betapa kini sepuluh jari tangan iblis tua itu seperti tidak berkuku lagi. Ternyata bahwa kuku-kuku jarinya telah dapat digulung ke dalam!

Berkali-kali dia mendesak hendak menangkap tanpa melukai tubuh Sui Ceng, namun hal ini benar-benar tidak mudah. Sui Ceng telah mendapat gemblengan dari Kiu-bwe Coa-li, dan dalam hal ginkang dan kegesitan, memang semenjak kecil gadis cilik yang lincah ini berbakat baik.

Para piauwsu dan anak buah Sin-to-pang ketika melihat betapa Sui Ceng terdesak, sambil berteriak-teriak nekat mereka lalu menyerbu dengan golok di tangan. Baik anggauta Sin-to-pang (Perkumpulan Golok Sakti), maupun para piauwsu dari Hui-to-piauwkiok (Expedisi Golok Terbang) adalah ahli-ahli senjata golok, maka kini belasan batang golok berkilauan dan bergerak-gerak mengurung Toat-beng Hui-houw.

Otomatis Sui Ceng juga terkurung karena dua orang ini bertempur sedemikian cepatnya sehingga mereka seakan-akan menjadi satu bayangan besar!

Para pengeroyok itu menjadi bingung. Mereka hanya berteriak-teriak saja dan tidak berani sembarangan turun tangan, karena baru sedetik mereka melihat bayangan lawan, tiba-tiba bayangan itu lenyap dan berganti oleh bayangan Sui Ceng! Kedua orang ini berputaran, melompat ke sana ke mari, bagaimana mereka dapat membantu Sui Ceng?

“Jangan Bantu aku! Jangan datang dekat!”

Sui Ceng berseru, akan tetapi terlambat. Ketika tubuh Toat-beng Hui-houw tiba-tiba menerjang ke arah para pengeroyok sambil meninggalkan Sui Ceng terdengar jeritan berturut-turut dan empat orang pengeroyok roboh tak bernyawa lagi!

“Siluman tua, kau kejam sekali!” teriak Sui Ceng.

Anak ini secepat kilat menyambar sebatang golok dari seorang piauwsu yang roboh, lalu ia menerjang lagi ke depan dengan nekat, memutar golok sehingga merupakan segunduk sinar yang menyilaukan.

“Ha, ha, ha, burung cantik, kau harus menjadi peliharaanku!” kata Toat-beng Hui-houw sambil menghadapi serangan-serangan Sui Ceng dengan tenang.

Adapun para pengeroyok, ketika melihat betapa empat orang kawan mereka terbunuh dengan demikian mudahnya, serta mendengar perintah Sui Ceng, lalu mengundurkan diri dan menonton dari jauh saja.

Mereka bukan merasa takut atau tidak mau membantu, akan tetapi mereka maklum sepenuhnya bahwa bantuan mereka itu sia-sia belaka dan tidak akan dapat menolong, bahkan mereka pasti akan mengantarkan nyawa dengan cuma-cuma saja.






Tidak ada komentar :