*

*

Ads

Rabu, 27 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 180 (TAMAT)

Ia segera menangkap tangan Wi Wi Toanio lagi dan menariknya kuat-kuat. Ia berhasil! Kini Wi Wi Toanio dengan pakaian basah dan kotor, berdiri di atas batang pohon dengan menggigil, mendekap pinggang Kwan Cu yang juga basah dan kotor pakaiannya.

Tiba-tiba Wi Wi Toanio mengeluh panjang dan ia pingsan dalam pelukan Kwan Cu. Pemuda ini terkejut dan setelah memeriksa ketukan nadi, tahulah dia bahwa wanita ini pingsan karena mengerahkan lweekangnya sendiri. Tadi di dalam lumpur kalau Wi Wi Toanio tidak mengerahkan lweekang sekuatnya. tentu tubuhnya sudah terisap semua dan dadanya terhimpit lumpur sampai tak dapat bernapas. Sekarang setelah terbebas, jalan darahnya lancar kembali dan ini mendatangkan goncangan kepada jantungnya, terutama karena baru saja dia mengalami kekhawatiran hebat. !

Kwan Cu lalu memanggul tubuh wanita itu dan melompat ke darat. Akan tetapi, ketika dia melompat ke darat, batang pohon itu bergerak sehingga lenyaplah sebagian besar tenaga lompatannya. Hal ini karena sekarang dia memanggul tubuh Wi Wi Toanio dan pula batang pohon itu mengambang di atas air, maka amat mudah bergoyang.

Kwan Cu tidak berhasil melompat sampai ke darat, melainkan jatuh lagi ke dalam rawa! Baiknya, dia terjatuh di bagian pinggir, dimana lumpur terdapat tanah keras, sehingga dia selamat. Dengan tubuh Wi Wi Toanio di atas pundaknya, Kwan Cu berjalan naik dengan memegang dahan-dahan pohon sebagai bantuan. Akhirnya dia selamat sampai di darat dan Wi Wi Toanio mengeluh panjang, tanda siuman kembali dari pingsannya.

Begitu membuka mata, wanita ini lalu menubruk dan memeluk leher Kwan Cu sambil menangis terisak-isak. Kwan Cu memandang wajah wanita itu lalu sambil tertawa dia berkata,

“Jangan kau menangis, bukankah kita sudah selamat? Lihat, mukamu dan mukaku serta pakaian kita penuh lumpur!”

Wi Wi Toanio mengangkat mukanya, dan wajahnya yang cantik manis tersenyum geli di antara air matanya.

“Mari kita mencuci pakaian kita,” katanya. “Di tengah hutan ml terdapat sumber air, biar aku yang akan mencuci pakaianmu.”

“Apakah kau tidak lebih baik pulang dan berganti pakaian? Aku… aku… ”

Akan tetapi Wi Wi Toanio tidak memberi kesempatan padanya untuk banyak membantah, karena wanita ini sudah memegang tangannya dan menariknya ke tengah hutan. Kwan Cu hanya menurut saja.

Dengan bujukan-bujukan, rayuan-rayuan dan tipu muslihat yang semenjak jaman purba dimiliki oleh pihak wanita untuk merobohkan hati pria yang bagaimana kuat pun, Wi Wi Toanio berhasil membikin Kwan Cu bertekuk lutut!

Pemuda yang masih hijau ini akhirnya terjatuh ke dalam perangkap, roboh di bawah pengaruh Wi Wi Toanio yang memang amat cantik lahirnya, akan tetapi amat kotor batinnya itu. Kwan Cu mengalami pengalaman yang membuatnya seakan-akan buta dan tuli, membuat dia seperti menjadi seekor domba yang lunak dan jinak, yang menuruti segala kehendak dan kemauan Wi Wi Toanio yang amat pandai mengambil hati.

Sampai tiga hari mereka berada di tengah hutan, akhirnya mereka bermufakat untuk mengadakan pertemuan di hutan itu setiap hari. Kemudian, barulah Wi Wi Toanio pulang ke kota Ankeng dan Kwan Cu juga kembali ke rumah penginapan. Pemuda ini berani kembali ke kota karena Wi Wi Toanio menanggung bahwa dia takkan ada yang berani mengganggu.

Benar saja, ketika Kwan Cu tiba di hotel, pengurus hotel berlaku amat hormat dan manis kepadanya, dan dia memuji kekasihnya yang ternyata tidak berkata bohong. Wanita itu yang sudah pulang terlebih dulu agaknya telah mengatur segala-galanya, bahkan untuk makannya, pengurus hotel menyediakannya dengan hidangan-hidangan istimewa!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kwan Cu sudah pergi ke hutan itu. Semalam dia tidak bisa tidur, pikirannya penuh dengan Wi Wi Toanio. Ia merasakan kebahagiaan yang luar biasa dan diam-diam dia harus mengakui bahwa biarpun perbuatannya itu tidak tahu malu, namun bagaimana lagi karena dia telah jatuh cinta kepada Wi Wi Toanio.

la mencinta wanita itu dengan seluruh jiwa raganya, dan perasaan cinta kasihnya terhadap wanita-wanita lain, juga terhadap Bun Sui Ceng berubah menjadi cinta kasih terhadap Wi Wi Toanio. Sama sekali dia tidak tahu bahwa Wi Wi Toanio sedang mempermainkannya, dan dia hanya mengira bahwa Wi Wi Toanio benar-benar cinta kepadanya dengan suci murni!

Ia membuat rencana dalam hidupnya yang akan datang. Wi Wi Toanio sudah menyatakan hendak ikut pergi dengan dia, hendak menjadi suami isteri sampai tua, hidup penuh kebahagiaan dan melupakan segala hal yang sudah lalu. Bahkan Wi Wi Toanio tidak merasa keberatan untuk pergi ikut dengan dia tinggal di pulau kosong, yakni Pulau Pek-hio-to dimana dia mempelajari ilmu silat dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.

Wanita itu bahkan menyatakan hendak ikut mempelajari ilmu ini dari Kwan Cu, dan keduanya hendak memperdalam ilmunya di pulau itu, jauh dari dunia ramai, hidup berdua penuh cinta kasih.






Wi Wi Toanio pulang lebih dulu karena harus membersihkan nama, harus menyatakan kepada dunia ramai bahwa Kai Seng telah meninggal dunia karena terjerumus ke dalam lumpur. Setelah itu, barulah mereka dapat menjadi suami isteri yang sah, karena sebagai seorang janda, Wi Wi Toanio berhak menikah lagi dengan pria pilihannya.

Bagi orang-orang biasa, tentu saja hal ini merupakan hal yang tidak masuk di akal. Tidak ada seorang janda yang menikah lagi. Akan tetapi Wi Wi Toanio bukanlah wanita biasa. Ia dapat dianggap sebagai seorang wanita gagah di dunia kang-ouw yang tidak kukuh mempertahankan tradisi lama, maka tentang perkawinan lagi dari seorang janda bukan apa-apa lagi.

Sebelum Kwan Cu berangkat ke hutan pengurus hotel menemuinya, membawa sebungkus barang.

“Taihiap, perkumpulan orang-orang hartawan di kota ini yang mendengar bahwa Taihiap seorang gagah yang amat terkenal, telah mengirim barang-barang sebagai tanda penghormatan. Harap Taihiap suka menerimanya.”

Kwan Cu terheran, akan tetapi dia menerima bungkusan itu dan membukanya. Alangkah kagetnya ketika dia melihat sejumlah barang-barang perhiasan yang indah-indah, terbuat daripada emas, dan permata, juga terdapat pula potongan-potongan uang emas.

“Ah, bagaimana aku bisa menerima sumbangan sebanyak ini? Aku tidak mengenal mereka. Harap Lopek mengembalikan saja.”

“Jangan begitu, Lu-taihiap. Penolakan tentu akan mendatangkan rasa tidak enak dan malu. Harap Taihiap menerimanya, biarpun tidak semua.”

Kwan Cu menganggap bahwa kata-kata ini ada betulnya juga. Pula, dia memang amat tertarik melihat benda-benda ini, karena alangkah senangnya kalau dia bisa memberi “hadiah” kepada kekasihnya. la lalu mengambil sebatang tusuk konde terbuat daripada perak yang berukirkan atau berbentuk naga indah sekali dan bermata intan.

“Biarlah aku mengambil tanda mata ini saja. Selebihnya harap kau kembalikan, diiringkan ucapan terima kasihku.”

Demikianlah dengan tusuk konde itu di dalam sakunya, dia pergi ke hutan. Ia melihat kekasihnya telah berada disitu dan mereka tanpa banyak cakap lagi lalu saling berpelukan dengan mesra.

“Aku tunggu-tunggu kau setengah mati. Aku gelisah kalau-kalau diam-diam kau meninggalkan aku,” kata Wi Wi Toanio dengan sikap manja.

“Mengapa kau khawatir kutinggalkan? Demikian besarkah cintamu kepadaku, Wi Wi?”

Wi Wi Toanio menjatuhkan kepala di atas dada pemuda itu.
“Aku akan bunuh diri kalau kau tinggalkan, kekasihku.”

Kwan Cu tersenyum bangga. Hatinya sebesar gunung dan dia merasa amat berbahagia. Diambilnya tusuk konde yang tadi dia terima dari sumbangan para hartawan, lalu diperlihatkan kepada Wi Wi Toanio.

“Wi Wi, lihat, aku membawa hadiah untukmu.”

Wi Wi Toanio pura-pura memandang penuh kekaguman. Padahal “sumbangan” tadi sebetulnya adalah ia sendiri yang menyuruh pengurus hotel mengantarkan kepada Kwan Cu dengan maksud dan siasat tertentu.

“Pasangkan pada rambutku, Koko.” katanya dengan suara mesra.

Kwan Cu memasang tusuk konde itu pada rambut Wi Wi Toanio yang hitam panjang dan halus serta berbau harum itu.

“Koko, apakah artinya tanda mata ini? Apakah sekedar untuk penghias rambut?”

“Tentu saja, habis apa lagi kegunaannya?” tanya Kwan Cu.

“Apa betul kau mencintaku seperti aku mencintamu, Koko? Mencinta dengan sepenuh jiwa ragamu?”

“Wi Wi, apakah kau masih bersangsi lagi? Lu Kwan Cu adalah seorang gagah yang memegang teguh janjinya.”

“Kalau begitu berjanjilah bahwa kau akan menuruti segala kemauanku, Koko.”

Tanpa sangsi-sangsi lagi, sambil memeluk tubuh itu erat-erat Kwan Cu berbisik
“Aku bersumpah untuk menuruti segala kehendakmu, kekasihku. Biar tusuk konde naga perak ini menjadi saksi.”

“Bagus! Girang sekali hatiku!”

Kegirangan Wi Wi Toanio benar-benar besar dan luar biasa. Sepasang matanya yang indah seperti mata burung hong itu bersinar-sinar mukanya berseri-seri, akan tetapi di balik seri mukanya ini terbayang kekejaman yang hebat.

Tiba-tiba Kwan Cu melompat ke belakang dan bajunya pada lambung kiri berdarah. Kulit lambungnya terluka sedikit ketika dia melompat tadi karena Wi Wi Toanio telah menusuk lambungnya dengan tusuk konde yang dicabutnya perlahan-lahan. Kwan Cu membelalakkan matanya, memandang wajah cantik yang tersenyum itu.

“Wi Wi….. kau…. ”

Akan tetapi kata-katanya ini dia hentikan dan secepat kilat tubuhnya melompat ke kanan. Ia mendengar gerakan orang di balik rumpun dan sekali dia melompat, dia melihat orang itu hendak melarikan diri. Dengan gerakan kakinya, Kwan Cu dapat menendang belakang lutut orang itu dengan cepat sehingga orang itu tidak sempat mengelak lagi, roboh terguling.

Kwan Cu menubruk maju dan menotok jalan darah orang itu. Ketika dia melihat wajah orang itu, tiba-tiba Kwan Cu menjadi pucat sekali dan tubuhnya menggigil. Tak terasa lagi dia mundur tiga tindak. la melihat bahwa orang ini bukan lain adalah An Kai Seng.

“Kau…. An Kai Seng…..??”

An Kai Seng yang tidak jadi tertotok, bangkit duduk karena sambungan lututnya sudah terlepas. la menyeringai dan berkata mengejek,

“Memang aku An Kai Seng dan kau adalah pendekar besar Lu Kwan Cu yang telah main gila dengan isteri orang lain. Cih, manusia macam kau ini hidup juga hanya mengotorkan dunia. Bunuhlah aku kalau kau hendak bunuh, lebih baik mati daripada hidup dengan nama busuk!”

Kwan Cu merasa seakan-akan dunia ini kiamat. la menoleh dan melihat Wi Wi Toanio memandangnya dengan mata menyatakan kemenangan besar! Tiba-tiba Kwan Cu menjadi mata gelap. Dicabutnya Liong-coan-kiam dan dia hendak mencincang tubuh musuh besarnya. Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan Wi Wi Toanio.

“Lu Kwan Cu, tahan senjatamu!”

Suara yang lunak dan halus ini memang amat besar pengaruhnya terhadap Kwan Cu. Tanpa terasa lagi, dia menurunkan kembali pedangnya. Wi Wi Toanio melompat ke tempat itu sambil memegang tusuk kondenya yang tadi gagal membunuh Kwan Cu.

“Kwan Cu, lupakah kau akan sumpahmu tadi? Aku menghendaki agar kau mengampuni Kai Seng dan selamanya kau tidak boleh membunuhnya! Lihat tusuk konde ini yang menjadi saksi akan sumpahmu. Kau harus mentaati segala kehendakku!”

Kwan Cu menjadi makin pucat. Mengertilah dia sekarang bahwa semua ini adalah tipu muslihat dari Wi Wi Toanio. Selama ini An Kai Seng memang masih hidup, dan yang didorong masuk ke dalam rawa sampai mati mungkin hanyalah salah seorang kaki tangan mereka yang sengaja dikorbankan untuk siasat ini!

Jadi selama ini Kai Seng tahu bahwa isterinya sengaja menjual diri kepada Kwan Cu dan selama itu mungkin sekali Kai Seng bersembunyi di dalam hutan, mengintai semua perbuatannya!

“Kau…. kau merencanakan tipu busuk ini…”

Wi Wi Toanio mengangguk.
“Kau terlalu lihai untuk dilawan dengan senjata,” jawabnya sederhana.

Kwan Cu tak dapat berkata apa-apa lagi. Sebagai seorang gagah dia harus memegang teguh sumpahnya. Tak dapat dia membunuh Kai Seng kalau Wi Wi Toanio tidak menghendakinya.

“Kwan Cu, berjanjilah bahwa kau takkan membunuh Kai Seng,” kata pula Wi Wi Toanio dan suara yang biasanya terdengar mesra itu kini terdengar oleh Kwan Cu seperti suara setan.

“Baik, baik, aku menyerah kalah.”

Kemudian sambil mengeluarkan teriakan setengah tertawa dan setengah menangis, pendekar muda yang sakti ini lalu berkelebat dan lenyap dari situ!

Kai Seng memeluk isterinya.
“Wi Wi, aku berhutang nyawa kepadamu. Kau benar-benar seorang isteri yang setia!”

Biarpun mulutnya berkata demikian, namun di dalam perutnya Kai Seng merasa panas sekali kalau dia mengingat akan cara bagaimana isterinya menyelamatkan nyawanya, dia merasa amat sakit hati kepada Lu K wan Cu.

Wi Wi Toanio tahu akan isi hati suaminya, maka ia menghiburnya,
“Jangan kau kecewa. Biarlah perlahan-lahan kita mencari Kwan Cu dan dengan pengaruh tusuk konde itu, kita akan dapat membunuhnya kalau dia bertemu dengan kita lagi.”

Akan tetapi usaha suami isteri yang curang ini selalu gagal. Di dunia kang-ouw tidak pernah terdengar nama Lu Kwan Cu lagi, yang ada hanyalah Bu Pun Su (Tidak Ada Kepandaian).

Semenjak munculnya pendekar yang berjuluk Bu Pun Su, dunia kang-ouw tergoncang hebat. Dan Bu Pun Su ini bukan lain adalah pemuda Lu Kwan Cu yang menderita pukulan hebat sekali seperti orang gila, namun selalu bertindak sebagai seorang pendekar penolong mereka yang sengsara.

Sampai di sini berakhirlah sudah cerita Pendekar Sakti ini dan pembaca akan menjumpai lagi Bu Pun Su atau Lu Kwan Cu, Gouw Swi Kiat, The Kun Beng, Bun Sui Ceng, Han Le dan lain-lain tokoh dalam cerita yang amat hebat dan indah, yakni cerita “ANG I NIOCU” atau “PENDEKAR WANITA BAJU MERAH!”

TAMAT







Tidak ada komentar :