*

*

Ads

Rabu, 27 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 179

Hutan di sebelah barat kota An-keng tidak berapa besar akan tetapi amat liar, karena di tempat itu banyak terdapat rawa-rawa yang amat berbahaya. Para penggembala tidak berani membawa binatang peliharaan mereka mendekati rawa, karena sekali tergelincir ke dalam rawa itu, tidak mungkin tertolong lagi.

Rawa itu airnya tidak dalam, akan tetapi di bawah air terdapat lumpur yang dapat mengisap apa saja yang jatuh ke dalamnya. Di atas rawa penuh pohon-pohon dan memang disitu pemandangan amat indah, rumput-rumput hijau segar. Akan tetapi kalau orang melihat ke bawah, orang akan bergidik dan merasa ngeri.

Pagi-pagi sekali Kwan Cu sudah berlari-lari memasuki hutan, mencari-cari musuh besarnya, yakni Kai Seng dan Wi Wi Toanio yang sudah berjanji hendak mengadu kepandaian dengannya di tempat itu. la tidak begitu mengharapkan akan bertemu dengan mereka, karena dia masih sangsi apakah benar-benar seorang wanita seperti Wi Wi Toanio mau memegang janjinya. Sampai lama dia mencari ke sana ke mari, akan tetapi tidak melihat bayangan seorang pun manusia.

“Hm, biarpun kau bersembunyi dimana saja, akhirnya aku pasti akan dapat mencarimu,” kata Kwan Cu seorang diri,” kata Kwan Cu seorang diri, “dan lain kali aku takkan mendengarkan omongan wanita itu.”

Baru saja dia hendak meninggalkan hutan, tiba-tiba dia melihat bayangan Wi Wi Toanio di pinggir rawa. Wanita ini menggunakan tangan kiri mencekik seorang laki-laki sambil memaki.

“Apa kau kira aku mudah saja menjadi kaki tanganmu? Sudah lama kau menyakiti hatiku dan sekaranglah pembalasanku!”

Tangan kanan wanita itu melayang, menghantarn dada laki-laki itu yang terjengkang dan tanpa dapat mengeluarkan suara lagi laki-laki itu terlempar masuk ke dalam rawa!

“Apa yang kau lakukan itu?” teriak Kwan Cu terkejut dan seperti terbang dia berlari rnenghampiri tempat itu.

Wi Wi Toanio kelihatan berdiri seperti patung, mukanya pucat memandang ke arah laki-laki yang sudah terjungkal ke dalam rawa. Ketika Kwan Cu melihat, ternyata bahwa laki-laki itu jatuh ke dalam rawa dengan kepala lebih dulu sehingga yang kelihatan hanya kedua kakinya sampai ke pinggang saja. Kaki yang sudah lemas tak bergerak lagi, agaknya laki-laki itu telah tewas. Yang amat mengagetkan hatinya adalah ketika dia mengenal pakaian laki-laki itu sebagai pakaian An Kai Seng, musuh besarnya!

“Dia…. dia An Kai Seng….. apakah yang telah kau perbuat??” Kwan Cu memandang Wi Wi Toanio dengan heran.

Dengan perlahan Wi Wi Toanio membalikkan tubuh memandang Kwan Cu, mukanya pucat, rambutnya awut-awutan menambah kecantikannya dan di atas pipinya terdapat butiran-butiran air mata. Setelah pandang matanya bertemu dengan pandang mata Kwan Cu, tiba-tiba Wi Wi Toanio menangis.

“Eh, eh, eh, ada apakah….. ? Mengapa kau membunuh suamimu sendiri?”

Wi Wi Toanio tak dapat menjawab, bahkan lalu berlutut di depan kaki Kwan Cu. Tentu saja pemuda ini menjadi bingung sekali. la menyangka akan sesuatu yang tidak beres maka sekali memegang kedua pundak wanita itu, Wi Wi Toanio telah dipaksanya berdiri lagi.

“Katakan, sandiwara apa ini? Mengapa kau mendahuluiku membunuh musuh besarku itu?”

“Lu Kwan Cu, apakah….. hanya kau saja yang mempunyai sakit hati dan dendam? Apakah hanya kau saja yang membencinya? Aku… aku…. lebih sakit hati kepadanya, aku lebih membencinya seperti membenci racun busuk! Kesempatan ini, selagi kami berada berdua disini, kupergunakan untuk membalas sakit hatiku, sebelum kau mendahuluiku.”

Kwan Cu tertegun.
“Apa maksudmu? Bagaimana kau bisa sakit hati terhadap suami sendiri?”

“Aku seorang wanita malang…. dahulu aku dipaksa oleh manusia busuk itu menjadi isterinya. Aku tak berdaya, orang tuaku dibelinya. Aku….. aku tidak suka padanya, aku benci padanya! Kemudian kau datang, Taihiap. Kau seorang pendekar besar yang amat kukagumi, yang sudah lama ingin kujumpai, eh, ternyata kau adalah musuh besar suamiku. Ternyata kau pun telah dibikin sakit hati oleh manusia jahanam itu! Tidak itu saja, permusuhannya denganmu berarti menyeret aku pula ke dalam permusuhan ini, permusuhan dengan seorang pendekar pujaanku. Aku tak tahan lagi, aku mengusulkan supaya dia dan aku menantangmu di sini dan dalam keadaan berdua saja ini, kugunakan kesempatan untuk membalas dendam. Kubunuh dia!”






Wi Wi Toanio menudingkan telunjuknya yang runcing itu ke arah mayat yang kini tinggal kelihatan kaki sebatas lutut saja, lalu menangis lagi.

Kwan Cu tertarik sekali, tidak hanya tertarik oleh penuturan ini, akan tetapi terutama sekali tertarik oleh kecantikan Wi Wi Toanio, oleh olah bicaranya yang demikian menarik, demikian manis sehingga pemuda ini seperti mabuk.

Baru saja Kwan Cu mengalami patah hati karena Sui Ceng, hati mudanya haus akan sifat lemah lembut seorang wanita, haus akan kasih sayang seorang wanita, apalagi setelah dia digagalkan dalam cinta kasih pertamanya dengan Sui Ceng. Melihat Wi Wi Toanio, timbul kasihan di dalam hatinya. Alangkah malangnya nasib wanita ini, wanita yang secantik ini, seperti bidadari!

Wi Wi Toanio bukanlah seorang wanita luar biasa kalau ia tidak dapat membaca pikiran Kwan Cu dari sinar matanya. Tiba-tiba ia makin terisak dan dipegangnya kedua tangan Kwan Cu sambil berlutut di depan pemuda itu!

“Lu-taihiap, setelah aku membunuh An Kai Seng, aku….. aku yang sebatangkara ini sudah lama mengagumi Taihiap. Sudilah Taihiap menerima perasaan hatiku….. biar sampai mati aku Wi Wi seorang sengsara takkan merasa penasaran. Jangan takut, Taihiap, perkara pembunuh Kai Seng ini tentu semua orang mengira bahwa taihiap yang melakukannya, akan tetapi selama aku berada di sampingmu, tak seorang pun berani mengganggumu. Aku akan mengatakan bahwa Kai Seng tewas dalam pertempuran yang jujur. Dan kau boleh berdiam di gedungku, Taihiap. Atau kalau Taihiap menghendaki, aku rela meninggalkan gedung untuk ikut kau merantau. Sampai mati aku ingin berada di sampingmu, Taihiap.”

Mendengar kata-kata yang diucapkan dengan suara merayu-rayu ini, luluh hati Kwan Cu. Musuh besarnya telah tewas, dan dia tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan wanita ini, bahkan wanita ini pun menjadi korban dari musuh besarnya. Suara yang merdu merayu ini, wajah yang cantik jelita, tangan halus yang memegangi tangannya, semua ini terlampau kuat dan berpengaruh bagi batin Kwan Cu yang biarpun amat kuat namun masih hijau dalam menghadapi wanita. Hampir saja dia memeluk wanita yang sudah menyerahkan diri dan nasib kepadanya.

Akan tetapi, rasa jengah membuat dia membetot tangannya dan melompat mundur. Wajahnya sebentar merah sebentar pucat. Belum pernah dia menghadapi wanita yang terang-terangan menyatakan cinta kasih kepadanya, apalagi seorang wanita secantik Wi Wi Toanio. Hatinya yang kosong dan kecewa karena kegagalan cinta kasihnya dengan Sui Ceng, menuntut isi. Dan sekarang, tiba-tiba saja wanita ini melemparkan diri ke dalam hatinya!

“Jangan….. ” suaranya gemetar dan berbisik, “jangan begitu Wi Wi Toanio…… , ini tidak baik…. ” katanya dan dia merasa heran sendiri karena napasnya terengah-engah, tubuhnya lemas.

“Mengapa tidak baik?” Wi Wi Toanio bangun berdiri dan kembali dia memegangi kedua tangan pemuda itu. “Kita sama-sama bernasib malang, dan aku…. aku rela menjadi muridmu, menjadi muridmu, menjadi bujangmu….. asal saja kau menerima perasaan hatiku, Lu-taihiap….”.

Bayangan wajah wanita-wanita yang pernah mendekati hatinya terbayang di depan mata Kwan Cu. Pek-cilan Thio Loan Eng, Liyani gadis raksasa, Malita dan Malika dua gadis katai, Gouw Kui Lan. Akan tetapi tidak ada yang secantik Wi Wi Toanio, tidak ada yang demikian menariknya, bahkan melebihi Sui Ceng. Tidak ada pula diantara mereka yang menyatakan cinta kasih sebulatnya seperti Wi Wi Toanio.

“Jangan….. biarkan aku pergi!”

Hati nurani Kwan Cu masih memberontak dan sekali renggut dia melepaskan diri, lalu melompat dan hendak lari pergi, lari dari tempat yang dianggapnya amat asing, amat berbahaya namun yang mendebarkan hatinya ini.

“Kau kejam, Lu-taihiap. Kalau begitu, biarlah aku Wi Wi yang malang nasibku binasa di saat ini juga!” sambil berkata demikian, wanita muda yang cantik jelita itu melompat ke dalam rawa dimana suaminya kini hanya kelihatan sepasang kaki sebatas lutut saja.

Kwan Cu belum pergi jauh, tentu saja pendengarannya yang luar biasa tajamnya itu dapat mendengar suara tubuh wanita itu terjatuh ke dalam lumpur berair.

“Wi Wi…. !” teriaknya dengan muka pucat dan dia cepat melompat ke pinggir rawa.

Dilihatnya Wi Wi sudah tenggelam sampai ke pinggangnya, di dekat mayat suaminya! Muka wanita itu memandangnya sedemikian rupa sehingga Kwan Cu tidak dapat menahan hatinya lagi.

“Wi Wi…. , kau bertahan dulu, aku akan menolongmu….. ”

“Kalau kau meloncat ke sini, kita berdua akan mati, Taihiap.”

“Tunggu, aku akan mencari akal.”

“Tak usah kau menolongku, hidup juga percuma saja. Kalau kau tidak mau menerima perasaan hatiku, aku tidak mau ditolong!”

Kwan Cu tidak mau menjawab lagi, hatinya ngeri melihat betapa tubuh wanita itu melesak makin dalam, kini lumpur mengisapnya sampai ke dada. Bagaimana dia dapat menolongnya? Biarpun kepandaiannya tinggi, namun kalau dia melompat ke dalam rawa, dia pun akan terisap oleh lumpur itu dan tidak berdaya.

Tiba-tiba dia mendapat akal. Didorongnya sebatang pohon sehingga roboh dan batang pohon ini dia lemparkan ke dalam rawa di dekat Wi Wi Toanio. Air memercik ke atas membasahi seluruh muka wanita yang kini kelihatan lemas. isapan lumpur telah rnenyesakkan dada dan membuat ia hampir tak dapat bernapas.

“Taihiap…. Aku… aku mati…. selamat tinggal…. ” katanya lemah.

“Wi Wi, tahankan, aku menolongmu!”

“Percuma…. ” kata Wi Wi Toanio dan kini ia makin tenggelam sampai ke leher.

“Wi Wi, pegang cabang pohon itu!”

“Tidak, biar aku…. mati….”

“Jangan, Wi Wi….aku kasihan padamu, aku akan menolongmu.”

“Katakan, kau cinta padaku atau tidak?”

Kwan Cu tertegun, mukanya merah sekali dan dadanya berdebar.

“Katakan. Kwan Cu sebelum lumpur ini memasuki mulutku, memasuki telingaku….”

Kwan Cu melihat betapa sekarang air sudah sampai ke dagu wanita itu, maka secara setengah terpaksa dan dengan suara gemetar dia menjawab,

“Aku…. cinta padamu, Wi Wi.”

Setelah berkata demikian, tanpa membuang waktu lagi Kwan Cu melayang turun ke dalam rawa itu. Kakinya menotol batang pohon yang tadi dilempar dan dengan mengerahkan ginkangnya agar batang itu tidak bergerak seperti dihinggapi oleh seekor burung saja, tangannya menyambar baju di pundak Wi Wi Toanio.

“Brettt!”

Baju robek akan tetapi tubuh Wi Wi Toanio telah terbetot sedikit sehingga kini air hanya sampai di pundaknya.

“Keluarkan lenganmu dari lumpur!” kata Kwan Cu yang cepat mengimbangi tubuhnya karena batang pohon itu bergoyang-goyang. Wi Wi Toanio menggerakkan tangannya dan tangan kirinya dapat terlepas dari isapan lumpur.

“Hati-hati, aku akan menarikmu keluar!” kata Kwan Cu yang cepat menyambar pergelangan tangan wanita itu, lalu dengan pengerahan tenaga lweekang yang hebat, dia dapat melawan isapan lumpur dan sedikit demi sedikit tertarik keluarlah Wi Wi Toanio dari bawah permukaan air.

Kini tangan kanan Wi Wi Toanio merangkul pinggang Kwan Cu dan dia membantu pemuda ini menarik dirinya. Gerakan ini sebetulnya tidak perlu, karena kalau dia diam saja, Kwan Cu akhirnya akan dapat menariknya keluar. Bahkan dengan gerakan ini Wi Wi Toanio merusak keseimbangan tubuh Kwan Cu sehingga ketika batang pohon itu bergoyang-goyang, dia tidak dapat menahan diri lagi dan keduanya terpeleset dan…. tercebur ke dalam air!

“Celaka !” Wi Wi Toanio menjerit.

Akan tetapi Kwan Cu dengan tenang menyambar cabang pohon dan sekali menarik dirinya, dia telah berdiri kembali di atas batang pohon.






Tidak ada komentar :