*

*

Ads

Rabu, 27 Februari 2019

Pendekar Sakti Jilid 178

Melihat Kwan Cu mengejar majikan mereka, lima orang ini maju mengeroyoknya. Akan tetapi Kwan Cu cepat menggerakkan Liong-cuan-kiam dan suara nyaring terdengar ketika pedangnya mengenai sebatang pit dari Kwa-sianseng dan sebatang golok di tangan It-to-cilan Ang Kian orang pertama dari Sin-to I Sam-eng.

Terkejutlah lima orang itu karena yang senjatanya tidak terbabat putus oleh Liong-cuan-kiam, merasa betapa tangan mereka tergetar hebat, tanda bahwa tenaga dari pemuda itu jauh mengatasi tenaga mereka yang dipersatukan.

Kwan Cu mengamuk terus dengan ilmu pedangnya yang luar biasa, dibarengi dengan gerakan tangan kiri, dia berhasil merobohkan It-to-cilan dengan sebuah pukulan tangan kiri yang tepat mengenai jalan darah di lehernya.

Lui Kong Nikouw membabat dengan pedangnya, disusul oleh tiga orang kawannya yang menggerakkan senjata dengan cepatnya. Akan tetapi gerakan Kwan Cu lebih cepat lagi sehingga sebelum mereka sadar apa yang terjadi, Lui Kong Nikouw menjerit dengan pundak terluka dan Yap Ki si Raja Racun terlempar kena ditendang oleh Kwan Cu.

Bukan main kaget dan marahnya para pengeroyok ini. Tok-ong Yap Ki berseru keras dan sambil melompat berdiri tangannya bergerak-gerak. Beberapa tok-ciam (jarum beracun) menyambar ke arah Kwan Cu, akan tetapi sekali saja Kwan Cu mengibaskan tangan kirinya, jarum-jarum itu terpental kembali, ada yang langsung menyerang Yap Ek dan si sastrawan dan lebih hebat lagi, ada yang kembali dan menyerang Yap Ki sendiri!

Yap Ek dan si sastrawan roboh akan tetapi Yap Ki dapat menyelamatkan dirinya. Si Raja Racun ini kaget sekali melihat jarum-jarumnya mengenai saudaranya dan kawan sendiri, karena dia tahu bahwa jarum-jarum beracun itu amat berbahaya dan siapa yang terkena akan binasa dalam beberapa menit saja kalau tidak lekas-lekas dia beri obat pemunahnya.

Pada saat itu, dari dalam gedung keluarlah belasan orang bersenjata, sedangkan dari luar gedung masuk pula lebih dua puluh orang dengan senjata di tangan. Mereka ini adalah jagoan-jagoan dan kaki tangan An Kai Seng yang sudah mendengar bahwa musuh besar majikan mereka datang mengamuk.

Kwan Cu segera dikepung dan dikeroyok. Akan tetapi apakah artinya puluhan jagoan-jagoan murah itu? Dengan enaknya Kwan Cu menyimpan kembali pedangnya lalu menggerakkan kaki tangannya untuk merobohkan mereka bagaikan orang membabat rumput saja.

Yap Ki sendiri tidak dapat membantu pengeroyokan itu, karena dia sibuk memberi obat pemunah kepada si sastrawan Kwa dan Yap Ek agar nyawa mereka ini tertolong. Kemudian, dia lalu maju menerjang lagi dengan goloknya.

Selagi Kwan Cu mengamuk hebat, dari luar datang lagi serombongan orang dan mereka ini ternyata adalah sepasukan penjaga keamanan kota yang jumlahnya tiga puluh orang!

An Kai Seng sebagai hartawan yang terkenal dengan nama Tan-wangwe dan sering kali menyumbang sehingga hubungannya amat baik dengan para pembesar, tentu saja segera ditolong oleh penjaga-penjaga keamanan ketika mereka mendengar bahwa di rumah Tan-wangwe terjadi keributan dengan datangnya seorang pengacau.

Kwan Cu menjadi gemas. Akan tetapi pemuda ini tidak mau sembarangan membunuh orang. Dengan kepandaiannya yang tinggi dia dapat membikin para pengeroyoknya itu roboh seorang demi seorang dengan tulang-tulang yang patah dan luka-luka yang tidak menimbulkan bahaya bagi keselamatan nyawa mereka. Sebentar saja, jumlah pengeroyok tinggal belasan orang lagi dan sebagian besar sudah rebah malang melintang tak berdaya.

“Bangsat she Lu, kau keterlaluan!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan seorang berpakaian panglima maju menerjang dari luar.

Kwan Cu memandang dan melihat bahwa yang datang ini adalah Panglima Kam Cun Hong, maka sambil menangkis serangan pedang di tangan panglima ini dengan sulingnya yang sudah dia cabut secepat kilat, dia tertawa mengejek.

“Hm, bukankah kau panglima yang dulu sama-sama datang dengan Kiam Ki Sianjin? Bagus kau belum mampus oleh para pejuang, sekarang kau mengantar jiwa!” ,

Kata-kata Kwan Cu ini mengejutkan hati Kam Cun Hong. Panglima ini memang telah melarikan diri dari kota raja dan di kota ini minta perlindungan dari An Kai Seng yang sudah dikenalnya. Biarpun dahulunya mereka ini bermusuhan, yakni Kam Cun Hong membantu Si Su Beng sedang An Kai Seng adalah keturunan An Lu Shan, namun karena sama-sama mempunyai rahasia yang harus disembunyikan, maka An Kai Seng tidak menolaknya dan bahkan memberi rumah kepada bekas panglima ini.

Mendengar ucapan Kwan Cu, Panglima Kam takut kalau-kalau rahasianya diketahui oleh rakyat, maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu melompat dan melarikan diri. Beberapa orang roboh lagi dan sisanya, hanya tujuh orang lagi termasuk Yap Ki si Raja Racun, menjadi gentar dan segera melarikan diri!






Kwan Cu tertawa mengejek dan dia segera melompat ke dalam gedung hendak mengejar musuh besarnya. Semua kamar dibukanya, namun gedung yang amat besar itu sudah kosong melompong. Tak seorang pun pelayan berada di situ, agaknya sudah lari cerai-berai ketika keributan terjadi.

Memang sebelumnya, An Kai Seng sudah mengatur terlebih dulu dan membubarkan semua pelayan agar tidak akan ada pelayan yang dapat dipaksa oleh Kwan Cu untuk memberitahukan tempat sembunyinya.

Kwan Cu penasaran dan mencari terus. Setiap kamar yang tertutup pintunya, didobrak dan dibukanya. Ketika tiba di ruang belakang, dia melihat sebuah kamar yang tertutup pintunya. Didengarnya berkereseknya kain di dalam kamar, tanda bahwa di dalam kamar itu ada orangnya, maka tanpa ragu-ragu lagi dia mendorong pintu kamar yang tebal itu. Sekali dorong saja pecahlah daun pintunya dan dia segera melompat masuk.

“Ayaaa… kurang ajar sekali….!” terdengar pekik seorang wanita dan Kwan Cu merasa mukanya panas.

Warna merah menjalar sampai di telinganya. Ternyata bahwa di dalam kamar itu terdapat Wi Wi Toanio yang agaknya sedang berganti pakaian, karena wanita cantik ini hanya memakai pakaian dalam yang amat pendek dan ringkas. Bukan main cantik dan menariknya wanita itu, sehingga untuk sesaat Kwan Cu berdiri bagaikan patung.

“Mana suamimu?”

Kwan cu berusaha untuk membikin suaranya terdengar kasar, akan tetapi dia tidak sanggup menekan suaranya yang agak gemetar.

“Laki-laki tak bermalu! Kau….. kau melihat apakah? Cih, kurang ajar benar!” kata Wi Wi Toanio, biarpun mulutnya berkata begini, namun sepasang matanya berseri dan mulutnya tersenyum manis!

Kwan Cu cepat membalikkan tubuhnya dengan perasaan amat jengah dan hati berdebar.

“Lekas kau berpakaian, baru kita bicara!” katanya, diam-diam dia merasa cemas kalau-kalau ada orang yang melihat dia berada di dalam kamar seorang wanita yang hanya memakai pakaian seperti itu, apa akan kata orang?

Terdengar wanita itu tertawa kecil dengan genitnya, lalu terdengar pula dia memakai pakaian. Waktu yang dipergunakan oleh Wi Wi Toanio untuk berpakaian amat lamanya, sehingga Kwan Cu hilang sabar.

“Cepatan sedikit!” bentaknya.

Akan tetapi Wi Wi Toanio hanya tertawa mengejek saja, kemudian mencium bau yang amat harum, kiranya wanita itu dalam berdandan bahkan bersolek, berbedak segala!

Tiba-tiba Kwan Cu miringkan tubuhnya dan tiga batang piauw menyambar lewat di samping tubuhnya.

“Jangan berlaku curang, takkan ada gunanya,”

la mengejek tanpa menoleh. Benar-benar lihai pemuda ini, tanpa menoleh dia tahu bahwa dia diserang oleh Wi Wi Toanio mempergunakan piauw.

“Hm, kau mengambil pedang untuk apa? Kau takkan menang melawan aku,” kata pula Kwan Cu dan Wi Wi Toanio terkejut bukan main sehingga tangannya yang memegang pedang gemetar.

Bagaimana pemuda itu bisa tahu bahwa ia mengambil pedang? Sementara itu, mengetahui bahwa wanita itu sudah mengambil pedang, tentu ia sudah berpakaian rapi, maka Kwan Cu lalu membalikkan tubuhnya memandang.

Bukan main, Wi Wi Toanio memang benar-benar seorang wanita yang paling cantik yang pernah dilihatnya, dan pandai bersolek pula. Harus diakui oleh Kwan Cu bahwa belum pernah dia melihat wanita yang kecantikannya dapat menandingi kecantikan wanita ini.

“Kau mau apa?” tanya Wi Wi Toanio yang sudah memegang sebatang pedang, mulutnya tersenyum-senyum memikat.

Kwan Cu masih bodoh dalam menghadapi kelicinan wanita maka dia tidak tahu bahwa tadi sebenarnya Wi Wi Toanio sengaja menantinya di dalam kamar itu untuk mulai dengan siasatnya memikat hati pemuda yang tak mungkin dikalahkan dengan kekuatan senjata ini.

“Jangan berpura-pura bodoh!” bentak Kwan Cu. “Aku mencari suamimu, lebih baik kau berterus terang saja, dimana dia? Kalau aku sudah membalas dendam kepadanya, aku takkan mengganggu dan tak peduli lagi dengan keadaanmu. Hanya An Kai Seng yang kucari dan aku tidak ingin mencari permusuhan dengan orang orang lain.”

“Kau benar-benar hebat dan gagah,” Wi Wi Toanio memuji, “jauh berbeda dengan Kai Seng dan kawan-kawannya yang tidak punya guna. Orang segagah engkau, yang masih begini muda, mengapa mengotori hati dan pikiran dengan permusuhan? Apakah tidak lebih baik kalau kita bersahabat? Aku ingin sekali menjadi sahabatmu, bahkan kalau kau sudi, aku suka berlutut dan mengangkat kau sebagai guruku.”

“Tak usah banyak cakap, di mana suamimu?”

Melihat Kwan Cu tak dapat dibujuknya, Wi Wi Toanio tidak menjadi kecewa. Sebagai seorang wanita berpengalaman, dari sinar pandang mata Kwan Cu saja tahulah dia bahwa ia tidak kalah sama sekali. Tahu bahwa pemuda itu betapapun juga sudah tertarik padanya, sudah mengagumi kecantikannya, maka ia menarik muka semanis mungkin.

“Lu Kwan Cu, apa boleh buat, agaknya kau tidak dapat dibujuk lagi untuk melenyapkan permusuhan. Kalau kau memang menghendaki pertempuran, mari kita lakukan secara terang-terangan dan secara orang gagah. Aku dan suamiku menantangmu untuk mengadakan pertempuran sampai mati di dalam hutan dekat rawa maut di sebelah barat kota ini. Beranikah kau?”

“Mengapa tidak berani? Biarpun suamimu akan mengumpulkan jago-jagonya di sana, aku takkan takut seujung rambut! Akan tetapi, siapa yang tidak tahu akan kelicikan suamimu? Siapa yang percaya bahwa suamimu benar-benar akan berada di sana?”

“Lu Kwan Cu, kau menghinaku! Bukan suamiku, akan tetapi akulah yang menantangmu! Kau tidak percaya padaku? Datanglah besok pada pagi hari, aku dan suamiku pasti akan berada di sana, tanpa seorang pun kawan! Disana kita bertiga akan menentukan siapa yang harus mampus. Kalau kau berani datang, tanda bahwa kau benar seorang jantan, akan tetapi kalau kau tidak mau dan tidak percaya kepadaku, terserah, mau bunuh aku boleh bunuh. Jangan harap kau dapat menemui Kai Seng sebelum besok pagi di hutan itu.”

Kwan Cu berpikir sejenak, hatinya penuh keraguan.

“Lu Kwan Cu, apa kau kira akan dapat memaksaku? Ketahuilah bahwa aku masih menaruh hati kasihan kepadamu, kalau tidak demikian, andaikata sekarang aku merobek-robek pakaianku dan menjerit-jerit minta tolong, dimana lagi kau akan menaruh mukamu?”

Kwan Cu terkejut sekali. Memang hebat ancaman ini dan kalau dilaksanakan, tentu namanya akan hancur .

“Baiklah, andaikata suamimu tidak datang dan lari sembunyi, apa sih sukarnya mencari dia? Akhirnya aku pasti akan datang di hutan itu.” Setelah berkata demikian, Kwan Cu lalu melompat pergi dan keluar dari gedung itu.

Setelah Kwan Cu pergi, Kai Seng muncul dari balik pintu rahasia yang berada di bawah tempat tidur. Mukanya pucat sekali, tubuhnya masih menggigil dan dia menarik napas berulang-ulang.

“Baiknya kau pandai sekali mengusir dia, hanya aku merasa kurang senang melihat gayamu di depan musuh besar kita,” katanya kepada isterinya.

Wajah manis dari Wi Wi Toanio tiba-tiba menjadi berkerut dan ia memandang kepada suaminya dengan marah.

“Apa katamu? Kalau kau sendiri becus mengusirnya, mengapa kau menyuruh aku? Sudah, sudah, besok kau boleh menghadapinya sendiri, aku lebih baik tinggal di rumah!”

Kai Seng segera menghampiri isterinya dan memegang lengannya.
“Jangan marah, isteriku yang manis. Nyawaku berada di tanganmu dan hanya engkau saja kiranya yang dapat menolongku, dapat menghadapi pemuda yang kepandaiannya seperti siluman itu.”

Wi Wi Toanio menarik tangannya dan tersenyum puas.
“Kau lihat saja nanti. Aku bukan wanita kalau tidak dapat membikin dia bertekuk lutut di depanku. Lebih baik lagi, aku akan mencari tahu akan rahasia kepandaiannya dan kalau saja aku dapat membujuk sehingga dia mau menurunkan kepandaiannya itu, bukankah amat menguntungkan bagi kita? Akan tetapi kalau kau cemburu.. ” sinar mata yang jernih itu mengancam.

Kai Seng memeluk isterinya.
“Tidak, isteriku. Demi keselamatan, aku tidak akan cemburu….. terserah kepadamu bagaimana kau akan menghadapinya.”

“Nah, kalau begitu, kau dengarlah baik-baik”

Isteri yang cantik dan juga amat licinnya ini lalu membisikkan rencana dan siasatnya untuk menghadapi Kwan Cu, didengarkan oleh Kai Seng sambil mengangguk-angguk seperti ayam makan padi.

**** 178 ****





Tidak ada komentar :