*

*

Ads

Jumat, 14 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 145

Ang I Niocu mengangguk-angguk maklum.
“Kalau begitu, kau dan kawan-kawanmu memang orang-orang gagah yang mulia, Yo-lopek. Aku pun pernah mendengar sedikit-sedikit tentang maksud orang-orang Turki itu, akan tetapi tak pernah menyangka bahwa ada dua rombongan yang bertentangan. Di fihak siapakah orang-orang seperti Siok Kwat Moli, Wai Sauw Pu, Lok Kun Tojin dan yang lain-lain itu berdiri?"

Tiba-tiba Ibrahim berdiri dari tempat duduknya dan berkata dengan gemas,
“Nah, itulah yang amat menyebalkan hati kami. Para pengikut Pangeran Muda itu telah mempergunakan cahaya emas untuk menggunakan orang-orang jahat seperti mereka itu dalam usaha mereka yang rendah. Yang menyebalkan hati, bagaimana orang-orang Han sendiri sudi membantu usaha pengikut-pengikut Pangeran Muda, yang mempunyai maksud buruk terhadap negeri mereka sendiri?” Ibrahim menarik napas panjang.

Ang I Niocu tersenyum.
“Tidak sangat aneh, Locianpwe. Iman yang lemah dikuasai hati, hati yang kotor dikuasai pikiran dan pikiran yang picik dikuasai oleh mata. Kalau mata mereka sudah silau dan buta karena cahaya harta benda, kejahatan apakah lagi yang pantang bagi mereka?”

Ibrahim mengangguk-angguk.
“Kau benar, kau benar…” lalu kakek rambut putih itu duduk melamun tidak mempedulikan lagi keadaan di sekelilingnya.

“Ang I Niocu,” kata Yousuf, “sekarang kami menghadapi puncak pertentangan antara kami dan mereka. Tadi kawan-kawan melaporkan bahwa pengikut-pengikut Pangeran Muda agaknya telah mendapatkan kunci yang membawa mereka kepada tempat harta pusaka itu! Kabarnya bahwa mereka telah berhasil mendapatkan cawan yang berukirkan peta yang menunjukkan dimana tempat harta itu, yang dirampasnya dari seorang gila. Kalau hal ini betul, kami harus menghalangi mereka!”

Ang I Niocu tersenyum.
“Tak usah, Yo-lopek. Harta pusaka itu telah diketemukan dan yang mendapatkannya bukan lain ialah aku sendiri dan Cin Hai.”

Yousuf memandangnya dengan bengong sehingga Ang I Niocu segera menceritakan pengalamannya. Yousuf menjadi girang sekali sehingga ia segera berpaling kepada gurunya dan menuturkan semua cerita Ang I Niocu dengan cepat kepada gurunya dalam bahasa Turki, karena tadi ketika Ang I Niocu bercerita, agaknya kakek itu masih melamun dan tidak mendengar apa-apa! Ibrahim juga merasa girang dan tertawa senang.

“Akan tetapi, Lihiap, sekarang mereka sedang menuju kesini untuk menyerbu kami, demikian menurut laporan kawan-kawan. Kami telah siap sedia menghadapi serbuan mereka dan kalau perlu, kami bersedia untuk bertempur pula.”

“Jangan kuatir, Yo-lopek. Aku telah berada disini dan aku pasti akan membantu kalian.”

Pada saat itu, dari luar masuk seorang penjaga dan memberi laporan singkat kepada Yousuf yang segera dijawabnya dengan perintah singkat pula. Orang itu pergi lagi dan Yousuf talu berkata kepada Ang I Niocu,

“Mereka telah datang dan kuminta pemimpin-pemimpin mereka datang kesini untuk mengadakan pembicaraan.”

“Kalau begitu aku harus mengundurkan diri,” kata Ang I Niocu, yang menganggap bahwa tidak sepantasnya ia ikut bicara tentang urusan negara orang lain, apalagi kalau mereka bicara dalam bahasa mereka yang tidak dimengertinya sama sekali itu.

Akan tetapi Yousuf mengangkat tangan.
“Tak usah Li-hiap. Kau duduklah saja disini, mengawani kami berdua. Mereka yang datang ini pun hanya wakil-wakil dan utusan-utusan saja dan pembicaraan akan dilakukan dalam bahasa Han, karena mereka itu sebagian besar juga orang-orang Han yang telah kau kenal tadi.”

Rombongan tamu yang datang itu adalah tujuh orang yang terdiri dari seorang Turki tua yang bersorban merah, diiringkan oleh Siok Kwat Moli, Wai Sauw Pu, Lok Kun Tojin dan ketiga Kang-lam Sam-lojn, yaitu Giok Im Cu, Giok Yang Cu dan Giok Keng Cu.

Yousuf menyambut mereka dengan dingin dan angkuh, karena sebagai pemimpin pengikut Pangeran Tua itu merasa lebih tinggi derajatnya, sedangkan Ibrahim hanya duduk saja tak mempedulikan mereka sama sekali dan Ang I Niocu duduk dengan tegak dan gagah.

Rombongan itu merasa heran juga ketika melihat bahwa penyambut mereka hanya tiga orang saja, akan tetapi ketika mereka melihat bahwa Ang I Niocu berada disitu, mereka menjadi terkejut.

“Hm, agaknya kau juga sudah mendapat bantuan seorang Han, Saudara Yousuf yang baik!”

Kata pemimpin Turki sambil tersenyum sindir. Seperti keterangan Yousuf tadi, orang Turki ini menggunakan bahasa Han oleh karena para pembelanya menghendaki demikian.

“Nona yang berdiri di pihakku adalah seorang pendekar wanita yang membela persahabatan dan keadilan, tidak seperti pembantu-pembantumu yang hanya membela uang dan emas yang kau sodorkan kepada mereka, mana mereka bisa dipersamakan?” jawab Yousuf menyindir hingga wajah enam orang itu menjadi merah karena marah dan malu.

Yousuf lalu berkata lagi kepada pemimpin orang Turki itu,
“Sahabat, apakah maksud kedatanganmu membawa sekalian tukang-tukang pukulmu ini?”






Sahimba tertawa, kemudian berkata dengan sikap angkuh,
“Yousuf, di negeri kami kau boleh berlaku sebagai seorang kepercayaan raja dan kami harus tunduk terhadapmu. Akan tetapi sekarang kita berada di negeri orang lain dan kau tak berhak untuk mencampuri urusan kami! Kami melakukan usaha kami sendiri mencari keuntungan di tempat ini, mengapa kau dan orang-orangmu begitu tidak tahu malu untuk menghalangi kami menimbulkan permusuhan diantara bangsa sendiri?”

“Sahimba, kalau usahamu itu baik dan jujur, siapa yang akan sudi mencampuri urusanmu? Akan tetapi, kau menurut perintah dan nafsu jahat dari Pangeran Muda, hendak mengacau negeri lain orang, bahkan hendak mencuri hak lain bangsa. Hal ini tentu saja akan memalukan bangsa kita, dan sebagai seorang patriot, tentu saja kami takkan membiarkannya saja! Dengan perbuatanmu yang memalukan bangsa sendiri, kau boleh dianggap sebagai seorang pengkhianat yang merusak nama negara dan bangsa, apakah ini harus didiamkan saja?”

“Yousuf kau manusia sombong! Kau mengandalkan apakah maka berani berkata demikian? Orang yang mencampuri urusan lain orang dan yang ingin tahu usaha orang lain adalah orang yang rendah! Kuperingatkan kepadamu sekali lagi sebagai orang-orang sebangsa, lebih baik kau lepaskan tangan dan jangan ikut-ikut urusan kami, agar kami tak usah merepotkan tangan membasmi kau dan kawan-kawanmu!”

Yousuf menjadi marah sekali, akan tetapi ia tetap tersenyum ketika menjawab,
“Sahimba, kau bicara tanpa mempergunakan pikiran sehat! Aku adalah hamba dari Pangeran Tua yang menjadi raja di negeri kita, sedangkan kau adalah pengikut seorang pangeran yang selalu membuat kacau, ada apakah lagi yang dapat dirundingkan antara kita? Jangan kau anggap kami merasa takut akan ancaman-ancamanmu yang hanya merupakan raung anjing di waktu malam terang bulan!”

“Kalau begitu, kita harus putuskan hal ini dengan senjata!” kata Sahimba dengan marah, dan ia bersama keenam orang-orangnya itu meraba gagang senjata!

“Terserah kepadamu, Sahimba!” kata Yousuf sambil menepuk tangan tiga kali dan dari segala lubang pintu muncullah puluhan orang dengan senjata lengkap! “Kami sudah bersiap sedia!”

Sahimba dan kawan-kawannya memandang ke sekeliling dan ternyata bahwa kawan-kawan Yousuf yaitu pengikut Pangeran Tua telah mengurung rumah itu dan menjaga dengan kuat!

“Kau hendak menggunakan orang banyak mengeroyok kami?” kata Sahimba dengan senyum sindir untuk menyembunyikan kegelisahannya.

“Hanya orang-orang macam kaulah yang suka mengeroyok dan mengandalkan banyak kawan!” Jawab Yousuf. “Kawan-kawanku siap sedia bukan untuk mengeroyok, akan tetapi untuk menjaga kalau-kalau kau yang berkawan banyak ini berani berlagak!”

“Yousuf!” terdengar si Nenek Bongkok Siok Kwat Mo-li berseru. “Jangan kau sesombong itu! Kalau kau memang laki-laki, marilah kita adu kepandaian, seorang lawan seorang, jangan main keroyok.”

Ibrahim mengeluarkan suara batuk-batuk dan sikapnya masih tenang ketika dia berkata,

“Aduh, galak benar! Yousuf, kalau tamu-tamu kita menghendakinya, kita sebagai tuan rumah seharusnya menerima untuk membuktikan keramahan terhadap tamu-tamu yang datang tanpa diundang!”

Yousuf lalu menghadapi Sahimba.
“Kau telah mendengar sendiri ucapan Guruku dan kalau kau menghendaki, boleh kita mengajukan jago-jago untuk mengadu kepandaian!”

“Boleh-boleh! Inilah kesempatan baik untuk membikin mampus kalian dalam sebuah pertandingan yang jujur.” jawab Sahimba.

Yousuf lalu memberi aba-aba dan beberapa orang penjaga lalu masuk untuk membersihkan ruangan yang lebar itu. Meja kursi disingkirkan dan kini ruangan itu menjadi sebuah tempat yang cukul luas dimana orang boleh bertempur sesuka hatinya.

Yousuf berkata lagi,
“Karena pihakku hanya ada tiga orang jago, sedangkan kulihat bahwa kau membawa enam orang tukang pukul, maka kau boleh majukan tiga orang tukang pukulmu.”

“Orang sombong, kau anggap kami tukang pukul? Jaga lidahmu baik-baik!” kata Giok Yang Cu, orang ke dua Kang-lam Sam-lojin yang bertubuh tinggi besar.

Yousuf tersenyum dan memandangnya dengan mengejek,
“Aku adalah tuan rumah, mengapa harus menjaga lidah? Kaulah yang harus menjaga lagakmu baik-baik. Apakah kau merupakan orang pertama yang maju mewakili pihakmu?”

Sebelum Giok Yang Cu menjawab, terdengar suara tertawa bergelak dari luar rumah dan terdengarlah suara orang,

“Sahabatku Yo Se Pu, jangan kau borong semua babi-babi itu, berilah kesempatan kepadaku untuk menikmati dagingnya juga!”

Dan dari luar berkelebatlah tiga bayangan orang memasuki rumah itu. Mereka ini bukan lain adalah Nelayan Cengeng yang mengeluarkan kata-kata tadi, diikuti oleh Kwee An dan Ma Hoa!

Bukan main girangnya hati Yousuf melihat Kwee An dan Ma Hoa hingga ia melompat maju dan memeluk mereka berdua seakan-akan seorang ayah bertemu dengan dua orang anaknya yang telah disangka mati. Kedua mata orang Turki ini basah dengan air mata. Ia pun lalu memegang tangan Nelayan Cengeng dengan girang dan berkata kepada Sahimba,

“Dasar kau yang sedang berbintang gelap! Dengan datangnya ketiga orang ini, keadaan kita menjadi berimbang jumlahnya!”

Kemudian, tanpa mempedulikan Sahimba dan kawan-kawannya, Yousuf lalu memperkenalkan Ibrahim kepada Nelayan Cengeng, Ma Hoa, dan Kwee An hingga mereka bertiga lalu menjura memberi hormat yang dibalas dengan gembira oleh Ibrahim.

“Nama kalian telah kukenal lama sekali dan setelah melihat orang-orangnya, aku makin merasa kagum saja!” kata kakek itu.

Sementara itu, Giok Yang Cu yang sudah maju ke depan akan tetapi tidak mendapat pelayanan dari tuan rumah yang sebaliknya sibuk bercakap-cakap dengan pendatang-pendatang baru itu, menjadi mendongkol sekali.

“Yousuf apakah tidak ada orang yang berani melawanku?” tegurnya marah.

Melihat laku Giok Yang Cu, Nelayan Cangeng tertawa lagi bergelak-gelak dan berkata kepada Yousuf,

“Saudara Yo, mengapa kau tidak segera memberi sepotong tulang busuk kepada anjing itu agar ia tidak melolong-lolong lagi?” kemudian ia tertawa lagi dengan geli hati hingga keluar air mata bercucuran dari kedua matanya!

“Orang gila jangan kau menghinaku!” seru Giok Yang Cu yang segera mencabut pedangnya.

Akan tetapi sebelum ia maju menyerang Nelayan Cengeng, Yousuf telah melompat di depannya dan berkata,

“Sebagai tuan rumah, biarlah aku turun tangan lebih dulu!”

Orang Turki ini lalu mencabut pedangnya pula dan kedua orang ini segera bertempur hebat, disaksikan oleh semua orang yang berada di situ.






Tidak ada komentar :