*

*

Ads

Jumat, 14 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 144

Kita mengikuti keadaan Ang I Niocu yang ditinggal seorang diri oleh Cin Hai yang pergi memberi laporan kepada Bu Pun Su. Dara Baju Merah itu menanti kembalinya Cin Hai sambil menjaga gua rahasia tempat harta pusaka itu, juga sambil menunggu datangnya rombongan Kwee An, Ma Hoa, dan Nelayan Cengeng yang juga menuju ke Kan-su mengambil jalan lain.

Pada suatu hari, karena merasa kesal tidak ada kawan dan tidak ada sesuatu yang dikerjakan, Ang I Niocu keluar dan pergi berjalan-jalan di sekeliling ibu kota Lan-couw yang ramai.

Daerah Kan-su adalah daerah barat daratan Tiongkok dan di situ banyak terdapat suku-suku bangsa, bahkan banyak pula orang-orang asing yang berdagang di situ. Oleh karena ini, maka banyak sekali nampak pemandangan-pemandangan yang ganjil, yaitu jalan-jalan penuh orang-orang yang mengenakan pakaian bermacam ragam dan warna. Banyak pula wanita-wanita suku Hui dan lain-lain yang berwajah manis dengan pakaian mereka yang berbeda dengan pakaian orang-orang Han.

Akan tetapi, ketika Ang I Niocu berjalan-jalan dengan pakaiannya yang serba merah, langkahnya yang gagah, tubuhnya yang ramping dan wajahnya yang cantik jelita itu, ia merupakan pemandangan yang amat mencolok mata dan yang jarang terlihat oleh orang-orang di situ.

Oleh karenanya hampir semua mata memandang Dara Baju Merah itu dengan penuh kekaguman. Akan tetapi Ang I Niocu sudah biasa dengan pandangan-pandangan mata seperti ini, maka ia tidak mengacuhkannya sama sekali, seakan-akan mereka itu hanyalah patung-patung batu yang memandangnya tanpa berkedip.

Ketika lewat depan sebuah toko yang menjual barang-barang kuno, Ang I Niocu teringat akan cawan tertutup yang menjadi penunjuk jalan baginya dan Cin Hai untuk menemukan rahasia gua itu. Ia teringat betapa anehnya ia mendapatkan cawan berukir itu, yaitu dari seorang gila!

Ketika itu ia sedang berjalan menuju ke Kan-su, yaitu sebelum bertemu dengan Cin Hai. Tiba-tiba ia melihat seorang yang berpakaian tidak karuan dan hampir telanjang duduk di tepi jalan, tertawa-tawa seorang diri. Orang itu adalah seorang Turki sudah tua, dan yang amat aneh ialah biarpun pakaiannya compang-camping tidak karuan dan keadaannya menunjukkan kemiskinan yang amat besar, namun ia memegang sebuah cawan perak yang indah!

Ketika Ang I Niocu sedang memandang dengan terheran-heran, datanglah tiga orang bangsa Hui yang mendekati orang gila itu dengan mata melirik ke sana ke mari. Melihat bahwa tempat itu sunyi dan hanya ada seorang gadis baju merah berdiri di tempat yang agak jauh, ketiga orang itu lalu maju dan hendak merampas cawan perak itu.

Si Gila lalu berteriak-teriak, berdiri dan menendang-nendang, mencakar-cakar melakukan perlawanan, sambil mulutnya mengomel,

“Pergi, pergi! Kalian tidak berhak mendapatkan harta pusaka ini! Pergi!”

Seorang diantara tiga orang yang hendak merampas cawan itu lalu mengubah siasat dan sambil tersenyum ia berkata,

“Kakek sinting, biarlah kami tukar dengan uang untuk membeli nasi!” orang itu lalu mengeluarkan uang perak beberapa potong, akan tetapi orang gila itu mendekap cawan itu erat-erat sambil memaki.

“Perampok-perampok, pergi! Aku tidak butuh uang! Harta pusaka ini milikku!”

Tiga orang itu menubruk dan merampas cawan, tiba-tiba mereka roboh sambil merintih-rintih. Ternyata Ang I Niocu telah bertindak karena kasihan kepada orang gila itu.

Tiga orang laki-laki bangsa Hui itu bangkit lagi dan hendak menyerang, akan tetapi kembali tubuh Ang I Niocu bergerak cepat dan sebelum mereka tahu apakah yang terjadi dan menimpa diri mereka, tahu-tahu ketiga orang itu telah terlempar lagi dengan tubuh sakit-sakit! Mereka memandang dengan mata terbelalak ketakutan seakan-akan melihat setan di tengah hari, lalu berlari pergi secepat kaki mereka dapat bergerak!

Orang gila itu menghampiri Ang I Niocu dan karena orang itu bertubuh tinggi sekali, maka ketika ia mengulurkan kedua tangannya yang kotor ke atas kepala Ang I Niocu, kedua tangan itu menumpang di atas kepala gadis itu, seakan-akan seorang pendeta memberi berkah.

“Kau gagah, ha, ha, mereka lari pontang-panting, ha-ha-ha! Kau patut menjadi ratu, patut memiliki harta pusaka itu. Ini, kau terima harta pusaka yang tak ternilai harganya!” Ia memberikan cawan perak itu kepada Ang I Niocu yang menerimanya dengan heran.

“Untuk apa cawan ini?” tanyanya.

Orang gila itu memandangnya dengan marah.
“Untuk apa katamu? Itu bukan cawan. Bodoh, menyebut harta pusaka sebagai cawan biasa!”






Si Gila itu lalu pergi dengan langkah lebar dan terdengar ia bernyanyi dalam bahasa Turki yang tidak karuan. Ang I Niocu mengamat-amati cawan itu dan melihat ukir-ukiran yang indah, hingga timbul sayangnya. Ia lalu masukkan cawan itu ke dalam saku dan tidak tahu maksud ucapan orang gila itu sampai ia bertemu dengan Cin Hai yang membawa tutup cawannya.

Demikianlah, sambil mengenangkan peristiwa semua ini, Ang I Niocu tak sengaja berhenti depan toko barang antik itu sambil melamun. Tiba-tiba ia melihat dua orang Turki berkelebat masuk ke dalam toko dan ketika seorang diantara mereka memandang keluar toko, maka nampak wajahnya yang dibayangi ketakutan hebat!

Ang I Niocu menjadi tertarik dan curiga, maka ia segera melompat ke pinggir rumah dan terus mengintai dari atas genteng.

Ia melihat dua orang itu bicara dengan seorang Turki lainnya dan agaknya mereka membicarakan hal-hal yang mengandung rahasia. Akan tetapi sebuah perkataan saja yang dimengerti oleh Ang I Niocu karena mereka bicara dalam bahasa Turki, yaitu kata-kata mereka “Yousuf”! Kata-kata ini cukup untuk membuat ia memperhatikan mereka baik-baik dan ketika ketiga orang itu keluar dari luar rumah melalui pintu belakang lalu berlari-lari cepat, ia lalu mengikuti mereka dengan diam-diam.

Dengan mudah ia dapat mengikuti ketiga orang itu tanpa mereka mengetahuinya. Untuk beberapa lama ketiga orang itu masuk keluar hutan dan kemudian tiba di sebuah perkampungan kecil dimana banyak terdapat rumah-rumah model Turki. Tiga orang Turki itu masuk ke dalam rumah yang terbesar.

Ang I Niocu segera melompat naik ke atas genteng dari bagian belakang dan menuju ke wuwungan di sebelah tengah. Ia membuka genteng dan mengintai ke dalam dengan hati-hati. Dilihatnya ketiga orang tadi masuk ke dalam sebuah ruangan yang kebetulan berada di bawahnya.

Di dalam ruangan yang lebar nampak duduk dua orang Turki. Seorang diantara mereka telah tua sekali, dan yang seorang lagi setengah tua, sikapnya gagah. Juga kakek yang sudah tua dan rambutnya sudah putih semua sehingga menimbulkan kontras yang mencolok dengan kulitnya yang hitam, nampak lemah lembut akan tetapi sepasang matanya bersinar tajam berpengaruh.

Tiga orang Turki itu setelah melihat mereka, lalu maju dan memberi hormat dengan membungkukkan tubuh dalam-dalam dan kedua tangan di depan. Mereka bertiga lalu bicara seakan-akan membuat laporan kepada dua orang itu. Tak lama kemudian, orang setengah tua tadi menjawab dengan beberapa perkataan yang agaknya memberi perintah, karena setelah mendengar ucapan itu, tiga orang pendatang tadi lalu pergi lagi.

Tiba-tiba, orang setengah tua itu tertawa dan sambil menengok ke atas ke arah genteng yang dipijak oleh kaki Ang I Niocu ia berkata dalam bahasa Han yang lancar,

“Sahabat yang berada di atas genteng, harap kau suka turun saja apabila ada perlu dengan kami.”

Ang I Niocu terkejut sekali. Tak pernah disangkanya bahwa orang itu dapat melihat atau mendengarkannya, dan selagi ia merasa ragu-ragu, tiba-tiba kakek rambut putih itu juga berkata,

“Nona berbaju merah agaknya Ang I Niocu! Kalau benar, kami persilakan turun karena kita masih kawan sendiri!”

Makin terkejutlah hati Ang I Niocu mendengar ini. Kalau laki-laki setengah tua itu hanya dapat mengetahui bahwa di atas genteng terdapat orang mengintai, adalah kakek berambut putih itu bahkan tahu bahwa yang mengintai adalah seorang gadis baju merah, bahkan dapat menduga namanya dengan tepat! Ang I Niocu masih merasa ragu-ragu untuk turun, maka ia teringat sesuatu dan bertanya,

“Apakah seorang diantara Jiwi ada yang bernama Yousuf?”

Mendengar pertanyaan ini, laki-laki setengah tua itu berseri wajahnya dan sambil berdiri ia menjawab girang.

“Akulah yang bernama Yousuf! Kalau begitu Nona tentu benar-benar Ang I Niocu adanya! Lihiap, silakan turun!”

Kini Ang I Niocu tidak merasa ragu-ragu lagi. Ia membuka beberapa potong genteng dan melayang turun sambil berkata,

“Mohon dimaafkan sebanyaknya atas kelancanganku!”

Yousuf memandang kepada Nona Baju Merah itu dengan mata kagum, kemudian ia menjura sambil berkata girang,

“Betul, betul! Kau tentu Ang I Niocu. Aku telah lama mengenalmu dari penuturan anakku Lin Lin!”

Ang I Niocu menjadi girang sekali.
“Dan aku pun telah lama mengenal nama Yo-lopek dari kawan-kawan.”

Mendengar bahwa tanpa ragu-ragu lagi Ang I Niocu menyebutnya lo-pek (uwa) seperti Cin Hai, Kwee An dan yang lain-lain. Yousuf merasa girang sekali.

“Ang I Niocu, kedatanganmu ini bagiku laksana jatuhnya sebuah bintang dari langit! Kau disangka telah tewas di atas Pulau Kim-san-to hingga melihat kesedihan kawan-kawan kita, aku sendiri merasa amat berduka. Dan sekarang, tiba-tiba saja kau muncul dalam keadaan yang kebetulan sekali!”

Ang I Niocu memandang ke arah kakek berambut putih yang lihai tadi dan bertanya,
“Siapakah Locianpwe yang terhormat ini?”

Kakek itu tertawa bergelak dan menjawab,
“Ang I Niocu, kau tentu belum pernah mendengar namaku, sungguhpun telah seringkali aku mendengar namamu dari muridku ini.”

“Ah, kalau begitu Locianpwe tentu yang bernama Ibrahim!” kata Ang I Niocu.

Baik Ibrahim maupun Yousuf menjadi tercengang.
“Bagaimana kau bisa tahu, Lihiap?” tanya Yousuf heran.

Ang I Niocu lalu menceritakan pengalamannya, dan bahwa Cin Hai pernah bercerita tentang pertemuannya dengan guru Yousuf itu ketika Ibrahim menangkap ular.

Bukan main girangnya hati Yousuf ketika mendengar bahwa Ma Hoa dan Kwee An berada dalam keadaan selamat, bahkan kini sedang menuju ke Lan-couw sehingga banyak kemungkinan ia akan bertemu dengan mereka. Kalau tadinya ia masih agak muram wajahnya, kini ia menjadi riang gembira dan berkata,

“Lihiap, tadi kukatakan bahwa kedatanganmu ini seperti bintang jatuh dari langit, akan tetapi sekarang ternyata bahwa kau bukan merupakan bintang saja, bahkan seakan-akan bulan sendiri jatuh di pangkuanku! Kau tidak saja memperkuat fihakku, bahkan kau membawa berita yang amat menggirangkan hatiku. Patut aku mengucap syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Tunggal.”

Sambil berkata demikian, orang Turki itu mengangkat kedua tangan ke atas sebagai puji syukur kepada Tuhan.

“Sebenarnya, apakah yang sedang terjadi, Yo-lopek? Tadi aku melihat tiga orang itu dan aku merasa curiga. Ketika mendengar namamu disebut-sebut, aku lalu mengikuti mereka kesini dan agaknya mereka membuat laporan. Ada apakah?” tanya Ang I Niocu yang sama sekali tidak mengerti karena selama ini semua pembicaraan dilakukan dalam bahasa Turki.

Yousuf menarik napas panjang.
“Sebetulnya hal yang sedang terjadi dan akan terjadi ini adalah urusan pribadi Turki sendiri. Akan tetapi, oleh karena disini terkandung juga soal-soal kejahatan, maka kami percaya bahwa kau tentu akan suka membantu kami. Orang-orang Turki yang berada di daerah ini terpecah menjadi dua rombongan, yaitu pengikut-pengikut Pangeran Tua yang pada waktu ini masih menjadi raja di Turki, dan sebagian pula pengikut-pengikut Pangeran Muda yang selalu menimbulkan kekacauan. Kami adalah pengikut-pengikut Pangeran Tua, kami selalu mengambil sikap baik dan bersahabat terhadap negerimu, akan tetapi politiknya yang bersahabat itu dikacau dan dirusak oleh Pangeran Muda yang selalu mencari perkara. Kini pengikut-pengikut Pangeran Muda itu bahkan mempunyai maksud menyerbu ke pedalaman Tiongkok, dan mereka datang hendak mencari harta pusaka yang bukan menjadi hak orang Turki. Nah, kami para pengikut Pangeran Tua mendapat tugas untuk menghalangi maksud jahat ini, karena kalau maksud mereka itu dilanjutkan, yang akan menderita rugi adalah bangsa kami sendiri, karena tentu dianggap jahat oleh bangsamu. Kami bertugas menghalangi maksud mereka mencuri harta pusaka itu, dan mencegah mereka melanjutkan usaha menyerbu ke pedalaman Tiongkok!”






Tidak ada komentar :