*

*

Ads

Jumat, 14 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 143

Dengan suara gemetar, berceritalah nenek yang aneh itu. Dulu ketika muda dan masih berusia dua puluh lima tahun, Bu Pun Su bernama Lu Kwan Cu, muda, tampan, dan gagah. Ilmu kepandaiannya amat tinggi hingga pada masa itu ia menjagoi di seluruh daerah dan merupakan pendekar yang ditakuti para penjahat.

Karena kakeknya, Perdana Menteri Lu Pin, menderita karena pemberontakan An Lu San, maka Lu Kwan Cu membenci semua orang Tartar dan mencari mereka untuk dibunuhnya sebagai pembalasan dendamnya. Yang terutama dicarinya adalah keturunan An Lu San yang bernama An Kai Seng dan yang sudah menjadi orang Han semenjak kawin dengan seorang gadis Han yang cantik.

An Kai Seng sendiri biarpun berkepandaian tinggi, namun merasa takut sekali kepada Lu Kwan Cu yang mencari-carinya, hingga diam-diam ia melatih diri bersama isterinya, yaitu yang bernama Wi Wi, seorang gadis Han yang masih berdarah Tartar juga dan yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Akhirnya Lu Kwan Cu berhasil menjumpai mereka dan biarpun dikeroyok oleh banyak kawan-kawan An Kai Seng namun tak seorang pun dapat menghadapinya. An Kai Seng menjadi gelisah dan takut sekali dan tiba-tiba muncullah isterinya, yaitu Wi Wi Toanio yang cantik. Melihat suaminya berada dalam bahaya, Wi Wi Toanio lalu mempergunakan kecantikannya untuk menggoda hati Lu Kwan Cu dan sengaja memancingnya dan menantangnya untuk mengadu jiwa di dalam sebuah hutan antara pendekar itu dan Ang Kai Seng suami isteri. Tantangan ini tentu saja diterima oleh Lu Kwan Cu dengan baik, dan ketika pendekar muda ini pergi ke hutan itu pada saat yang telah ditetapkan, ia hanya menjumpai Wi Wi seorang diri.

Wi Wi mempergunakan segala kecantikannya untuk memikat dan menjatuhkan hati Lu Kwan Cu dengan cara yang tak patut dituturkan di sini. Lu Kwan Cu adalah seorang pemuda yang masih hijau dalam hubungan dengan wanita dan darah mudanya menggelora ketika ia menghadapi Wi Wi yang cantik dan pandai menggairahkan hatinya itu. Keteguhan imannya runtuh dan bagaikan tak sadar ia menuruti kehendak wanita itu bagaikan seekor ikan bodoh yang tidak tahu akan bahaya umpan pancing!

Semenjak saat itu, ia jatuh bertekuk lutut di depan Wi Wi yang cantik dan menjadi tergila-gila. Seringkali mereka mengadakan pertemuan rahasia, dan Lu Kwan Cu sama sekali tak sadar bahwa ia telah melakukan perbuatan terkutuk dan melanggar kesusilaan dengan isteri orang lain, bahkan isteri musuh besarnya yang tadinya akan dibunuhnya!

Semenjak saat itu, jangankan bercita-cita membunuhnya, bahkan segala permintaan Wi Wi diturutinya belaka. Ini masih belum hebat, yang celaka sekali ialah ketika ia memberi sebatang tusuk konde kepada wanita itu pada saat ia mengucapkan sumpahnya bahwa selama hidupnya, ia akan menurut segala perkataan wanita yang juga bersumpah “mencintanya” itu, dan tusuk konde itu menjadi saksi. Lu Kwan Cu benar-benar mabok asmara dan tergila-gila. Ia percaya sepenuh hatinya bahwa Wi Wi benar-benar mencintainya dengan setulus hati.

Akhirnya, ketika pada suatu hari ia mengadakan pertemuan dengan Wi Wi di hutan, ia mendengar gerakan orang. Cepat ia melompat dan menangkap orang itu yang ternyata bukan lain ialah Ang Kai Seng sendiri yang mengintai. Ia hendak memukulnya, akan tetapi tiba-tiba Wi Wi mengeluarkan tusuk konde itu dan minta ia melepaskan suaminya!

Bukan main terkejut dan herannya hati Lu Kwan Cu melihat hal ini. Ternyatalah kini bahwa tak terduga-duga sekali, An Kai Seng telah mengetahui akan perhubungan itu, dan bahkan dengan berani sekali Wi Wi mengeluarkan tusuk konde pemberiannya di depan suaminya untuk menolong suami itu. Terbukalah matanya bahwa agaknya An Kai Seng dengan sengaja merencanakan hal itu bersama isterinya, yaitu mempergunakan isterinya yang cantik sebagai umpan untuk menjebaknya! Dalam takutnya, An Kai Seng beserta isterinya telah menjalankan siasat keji dan rendah itu untuk menyelamatkan jiwa mereka.

Hancurlah hati Lu Kwan Cu melihat kenyataan ini, akan tetapi ia adalah seorang gagah yang menepati janji. Oleh karena ia sudah berjanji kepada Wi Wi terpaksa ia lalu meninggalkan tempat itu.

Semenjak itu, ia lalu menjauhkan diri dari Wi Wi yang merupakan bahaya besar baginya itu. Ia takut kalau-kalau Wi Wi mempergunakan tusuk konde yang mempunyai kekuasaan besar itu untuk memerasnya dan memaksanya membantu wanita itu melakukan hal-hal yang jahat!






Maka ia melarikan diri dan merantau jauh meninggalkan tempat itu, bahkan lalu beralih nama menjadi Bu Pun Su dan bertapa di pulau kosong, yaitu Pulau Kim-san-to! Ia menyangka bahwa wanita itu tentu telah mati. Tidak tahunya, setelah menjadi tua, tiba-tiba saja wanita iblis itu muncul lagi membuat gara-gara hingga terpaksa ia memegang teguh sumpah dan janjinya dulu dan membiarkan Lin Lin terluka dan terancam bahaya maut.

Setelah Wi Wi Toanio menceritakan semua ini yang tidak saja didengarkan oleh Hai Kong Hosiang dan kawan-kawanya, akan tetapi juga oleh Lin Lin, terdengar Bu Pun Su menarik napas panjang dan berkata,

“Tepat sekali ujar-ujar Nabi Khong Cu yang berbunyi, Pok-hian-houw-in, Bok-hian-houw-bi, Koh-kuncu-sin-ki-tok-ha! (Tidak ada yang lebih jelas dari pada yang tersembunyi, dan tak ada yang lebih tegas dari pada yang paling lembut. Maka seorang budiman selalu berhati-hati terhadap hal yang tersembunyi). Ujar-ujar ini jelas memperingatkan manusia akan bahayanya musuh yang bersembunyi di dalam hati dan pikiran sendiri. Segala hal yang diperbuat oleh lahir, selalu datangnya dari dalam, bagaikan munculnya tunas yang mekar terdorong oleh suatu tenaga yang keluar dari dalam cabang! Hm, usia muda memang penuh bahaya!”

Setelah berkata demikian, Bu Pun Su lalu berkata kepada Lin Lin,
“Muridku, kau telah mendengar hal itu semua, dan kau tentu mengerti mengapa aku tidak dapat melanggar sumpah sendiri. Kau tenanglah dan tunggu saja disini dengan baik-baik bersama tiga burung kita, tunggulah sampai aku kembali membawa obat penawar lukamu!”

Setelah berkata demikian, pergilah mereka meninggalkan Gua Tengkorak meninggalkan Lin Lin seorang diri di kamar hio-louw itu. Dan di dalam hatinya, ia merasa berkuatir sekali, bukan kuatir terhadap diri sendiri, karena Lin Lin berhati tabah dan tidak takut mati, akan tetapi ia menguatirkan keadaan suhunya. Ia lupa bahwa ia tidak boleh mempunyai perasaan kuatir, maka begitu penasaran itu mendesak jantungnya, ia menjerit keras lalu jatuh pingsan!

Dan kemudian datanglah Cin Hai menemukannya dalam keadaan masih pingsan! Cin Hai mendengarkan penuturan itu dengan amat tertarik, gelisah dan terharu. Jarang terdapat orang seperti suhunya. Gagah perkasa, memegang teguh sumpahnya, sungguhpun sumpah terhadap seorang jahat, akan tetapi rela mengorbankan dirinya demi keselamatan muridnya!

“Kalau demikian halnya, kau harus menenangkan hatimu, Lin-moi. Seratus hari adalah waktu yang cukup banyak bagi kita untuk berusaha mencari obat bagimu. Biarpun aku percaya penuh kepada Suhu bahwa ia tentu akan berhasil membawa obat penyembuh itu, akan tetapi, terlebih baik pula kalau kita tidak tinggal diam dan marilah kita pergi ke Kan-su untuk menyusul mereka. Jangan kau kuatir, Adikku, aku telah berada di sampingmu dan demi Tuhan Yang Maha Agung, kau pasti akan tertolong.”

Pada saat itu, di udara nampak tiga titik hitam yang melayang turun dan tak lama kemudian, tiga burung yang menjadi kawan Lin Lin, yaitu Merak Sakti, Rajawali Emas, dan Bangau Sakti, menyambar turun dan berdiri dekat mereka sambil mengeluarkan suara riuh rendah, seakan-akan menegur mereka mengapa meninggalkan begitu saja.

“Marilah kalian ikut kami pergi ke barat,” kata Lin Lin.

Cin Hai lalu melanjutkan perjalanan bersama Lin Lin menuju ke barat, diikuti oleh tiga burung sakti yang terbang tinggi di atas udara. Mengingat akan keadaan Lin Lin, Cin Hai diam-diam merasa berduka dan gelisah sedangkan Lin Lin yang mengetahui keadaan kekasihnya itu, menghiburnya dengan berlaku riang gembira dan jenaka hingga Cin Hai merasa terhibur juga.

Melihat sikap Lin Lin, seakan-akan ia tidak menderita sakit apa-apa dan memang betul ucapan Hai Kong Hosiang bahwa racun Ular Hijau itu amat halus kerjanya hingga orang yang terkena seakan-akan tidak merasa apa-apa padahal orang itu makin hari makin mendekati maut!

Dalam usahanya menghibur Cin Hai, Lin Lin bahkan mempergiat latihan pedangnya. Cin Hai bukanlah seorang pemuda yang berhati lemah dan bersemangat kecil, maka ia pun segera dapat melupakan kekuatirannya dan sikap Lin Lin yang gembira ini banyak menolongnya, bahkan ia lalu sadar bahwa seharusnya dialah yang memperlihatkan sikap gembira agar kekasihnya itu tidak memikirkan keadaan dirinya dan tidak timbul kekuatiran, perasaan yang menjadi pantangan bagi Lin Lin itu. Maka dengan gembira ia pun lalu membantu dan memberi petunjuk-petunjuk hingga ilmu pedang Lin Lin kini menjadi makin maju saja.

Cin Hai tidak mau menceritakan kepada Lin Lin tentang tewasnya Biauw Suthai dan Pek Toanio karena ia maklum bahwa hal ini membahayakan kesehatannya. Bahkan ia sengaja mengambil jalan memutar dan tidak melalui dusun dimana kedua pendekar wanita itu tewas.

**** 143 ****





Tidak ada komentar :