*

*

Ads

Jumat, 14 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 142

Ia mengeluarkan keringat dingin, karena kalau tadi pukulan itu mengenai dada kiri, pasti jantungnya akan terluka! Ia merasa bergidik memikirkan bagaimana gadis ini sekarang telah memiliki ilmu kepandaian sehebat itu, sedangkan Lin Lin yang melihat betapa pukulan dari Ilmu Pek-in-hoatsut yang ampuh itu tidak merobohkan Hai Kong Hosiang, juga menjadi terkejut dan maklum bahwa ilmu kepandaian hwesio ini telah mencapai tingkat tinggi yang sukar diukur lagi!

Ia menjadi nekat dan maju lagi menyerang dengan keras, sedangkan Hai Kong Hosiang yang merasa marah lalu mencabut senjatanya yang masih seperti dulu, yaitu tongkat dari tubuh ular kering, akan tetapi ular ini sekarang berwarna hijau dan mengerikan sekali. Sambil membentak marah Hai Kong Hosiang menyambut terjangan Lin Lin dan bertempurlah mereka dengan seru.

Pendeta Sakya Buddha kawan Hai Kong Hosiang yang melihat betapa gagah gadis itu sehingga dapat mempertahankan diri dari serangan Hai Kong Hosiang dengan baiknya, menjadi habis sabar dan maju mengeroyok sambil mainkan pedangnya yang juga lihai.

Pada saat Lin Lin bertempur dikeroyok dua dengan serunya, terdengar suara dari dalam gua, “Siancai… siancai…” dan muncullah tubuh Bu Pun Su dengan langkah tenang dan perlahan.

“Aha, Hai Kong… kaukah yang kembali datang mengacau? Mundurlah dan jangan bermuka tebal mengeroyok seorang gadis muda!”

Sambil berkata, Bu Pun Su membuat gerakan mendorong dengan tangan kanannya ke arah Hai Kong Hosiang dan pendeta baju merah itu, dan terkejutlah Hai Kong Hosiang dan kawannya karena dorongan ini benar-benar merupakan angin puyuh yang membuat mereka terhuyung mundur.

Lin Lin juga menahan pedangnya dan berdiri sambil memandang suhunya, karena pada saat itu terjadi hal yang aneh. Bu Pun Su setelah mendorong Hai Kong dan pendeta Sakya Buddha tadi kini berdiri dengan mata terbelalak memandang kepada nenek yang tak bersepatu itu, dan berseru perlahan,

“Wi Wi… kau datang juga…?”

Nenek itu tersenyum menyindir, lalu berkata dengan suaranya yang terdengar merdu dan halus bagaikan suara seorang nyonya bangsawan terpelajar,

“Lu Kwan Cu, dimanakah ada perceraian yang kekal?”

“Wi Wi, tak kusangka bahwa kau masih hidup…”

“Kau sendiri masih betah tinggal di dunia, mengapa aku tidak?”

Melihat sikap Bu Pun Su yang agaknya takut-takut terhadap nenek itu dan mendengar percakapan mereka yang aneh ini, Lin Lin berdiri bengong dan seluruh perhatiannya tertuju kepada suhunya dan nenek itu, hingga ia tidak menduga datangnya bencana dari fihak Hai Kong Hosiang.

Ketika melihat gadis yang gagah itu berdiri bengong, pendeta Sakya Buddha lalu mengayun tangannya dan belasan batang jarum hitam menyambar ke arah dada dan leher gadis itu. Lin Lin telah mempunyai perasaan dan pendengaran yang amat halus dan tajam, maka kedatangan belasan batang jarum yang menyambar ke arahnya itu biarpun tidak dilihatnya, dapat ditangkap oleh telinganya, maka ia menjadi terkejut sekali. Tak ada lain jalan baginya selain menggulingkan tubuh ke atas tanah dan dengan demikian sambaran jarum-jarum itu mengenai tempat kosong dan ia dapat menghindarkan diri.

Akan tetapi ia tidak menduga bahwa ketika itu, Hai Kong Hosiang menunjuk dengan tongkat ularnya yang ketika ditekannya lalu memuntahkan jarum-jarum hijau ke arah tubuh Lin Lin yang masih bergulingan!

Lin Lin mencoba berkelit, akan tetapi datangnya jarum-jarum yang lihai dan cepat itu sukar sekali dikelit atau ditangkis, maka biarpun gerakan Lin Lin cukup cepat, sebatang jarum hijau masih berhasil mengenai leher! Lin Lin sudah mengerahkan lweekangnya untuk membuat kulit dan dagingnya mengeras hingga jarum halus itu tidak sampai menancap seluruhnya dan ia segera melompat dan mencabut jarum itu, lalu dengan marahnya hendak menyerang Hai Kong Hosiang, akah tetapi, tiba-tiba ia merasa pening dan menjerit keras terus roboh tak berdaya.

Tubuhnya terasa panas dan lumpuh, sedangkan kepalanya pening sekali. Ia masih melihat betapa Bu Pun Su menjadi kaget dan marah. Tadi kalau kakek itu tidak sedang terheran-heran dan seluruh perhatiannya tertarik dan hatinya tergoncang karena perjumpaannya dengan nenek itu, pasti ia dapat menggunakan kepandaiannya untuk menolong Lin Lin.

Akan tetapi, keadaan kakek jembel itu tadi seperti seorang yang kena hikmat dan tidak ingat apa-apa bahkan ketika Lin Lin diserang oleh Hai Kong dan pendeta baju merah, ia tidak tahu atau mendengar sama sekali. Setelah Lin Lin menjerit dan roboh, barulah ia sadar dan cepat memandang.

“Hai Kong, pengecut berbatin rendah!” ia berteriak marah dan menggerakkan kedua tangannya.

Kalau dua tangan Bu Pun Su itu jadi diangkat dan digerakkan ke arah Hai Kong Hosiang, entah nasib apakah yang akan dialami pendeta gundul itu, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nenek itu dengan halus akan tetapi nyaring.

“Lu Kwan Cu, jangan bergerak!”






Bu Pun Su memandang dan melangkah mundur dengan muka pucat. Nenek itu memegang sebatang tusuk konde terbuat daripada perak yang berbentuk naga indah sekali dan bermata intan, diangkatnya tusuk konde itu tinggi-tinggi sambil matanya memandang ke arah Bu Pun Su dengan tajam. Lemaslah tubuh kakek itu dan ia menurunkan kembali kedua tangannya.

“Wi Wi, kau hendak mempergunakan itu untuk membela kejahatan?” bisiknya.

“Kwan Cu, apakah kau yang sudah tua bangka ini hendak melanggar sumpahmu?”

Bu Pun Su menggelengkan kepala.
“Tidak, aku tidak akan melanggar sumpahku biarpun tubuhku akan hancur lebur. Apakah yang kau kehendaki, Wi Wi?”

“Kehendakku yang harus kau turut ialah, kau tidak boleh mengganggu kawan-kawan ini selama mereka berada di sampingku!”

Bu Pun Su menarik napas panjang dan mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Baik, baik, aku takkan mengganggu mereka selama mereka berada di sampingmu!” ia berjanji.

Nenek itu tersenyum dan menyimpan kembali tusuk kondenya yang demikian berpengaruh terhadap Bu Pun Su itu. Sedangkan kakek jembel itu dengan muka penuh kecemasan lalu menghampiri Lin Lin yang masih rebah miring dan memandang semua peristiwa itu dengan mata terbelalak heran.

Bu Pun Su memeriksa luka di leher Lin Lin dan ketika ia meraba luka bintik warna hijau itu, ia menjadi terkejut sekali.

“Hai Kong, kau kejam sekali!” katanya sambil memandang kepada hwesio gundul yang berdiri sambil tersenyum penuh kepuasan.

“Bu Pun Su, jembel tua! Tahukah kau racun apa yang mengancam jiwa gadis ini?” tanya Hai Kong Hosiang dengan senyum sindir.

“Kau telah menggunakan racun Ular Hijau yang hidup di Mongolia. Alangkah kejamnya hatimu!” kata Bu Pun Su.

“Ha-ha-ha. Matamu masih cukup awas!” Hai Kong Hosiang menyindir. “Tahukah kau cara bekerjanya racun itu? Ha-ha-ha! Racun Ular Hijau bekerja lambat akan tetapi pasti. Dan tidak ada obat di dunia yang dapat menyembuhkan orang yang terkena racun itu. Gadis ini hanya akan hidup selama seratus hari lagi. Keadaannya akan biasa saja, tidak merasa sakit apa-apa asalkan ia jangan merasa kuatir. Kalau ia merasa kuatir, racun itu akan lebih hebat kerjanya dan akan menyerang jantungnya hingga ia akan jatuh pingsan! Akan tetapi hal itu pun tidak berbahaya, dan pendeknya, ia akan hidup sampai seratus hari lagi. Ha, ha, ha!”

“Hai Kong, demi Ketuhanan dan Perikemanusiaan, jangan kau sekejam itu. Aku tahu bahwa untuk racun ini ada semacam obat di Mongolia dan kau yang bermain-main dengan racun ini tentu mempunyai pula obat penyembuhnya. Berikanlah obat itu untuk menolong nyawa muridku ini!”

“Ha, ha, ha! Enak saja kau bicara, pengemis tua!” Hai Kong menjadi berani karena ia maklum bahwa kakek jembel itu berada di dalam kekuasaannya. “Aku tidak begitu bodoh untuk membawa-bawa obat itu bersamaku. Obat itu berada di suatu tempat yang aman!”

“Hai Kong, aku minta kepadamu, serahkan obat itu untuk menolong dia! Aku sudah tua dan takkan lama lagi hidup di dunia. Aku tidak takut akan kematian, akan tetapi dia ini masih muda, dan masih berhak untuk hidup lebih lama lagi. Berikan obat itu dan aku berjanji hendak melakukan apa saja yang kau pinta, asal bukan kejahatan yang harus kulakukan!” kata lagi Bu Pun Su dengan suara mengandung permohonan.

Melihat dan mendengar semua ini, Lin Lin segera bangkit duduk dan pada saat itu, agaknya serangan racun di tubuhnya sudah banyak mengurang.

“Suhu, teecu tidak takut mati. Biarlah teecu diancam bahaya maut, tidak apa. Akan tetapi perkenankan teecu mengadu jiwa dengan pendeta rendah budi itu!”

Bu Pun Su menggelengkan kepalanya.
“Jangan, muridku. Bukan saatnya, jangan menggunakan kekerasan…” kemudian ia memandang kepada Wi Wi Toanio, nenek yang aneh itu. “Wi Wi, sekarang apakah kehendakmu lagi?”

“Kau harus ikut dengan kami dan membantu kami mendapatkan harta pusaka terpendam di gua Tun-huang.”

“Hanya itukah?”

“Ya, hanya itu dan setelah berhasil mendapatkan harta itu, kau boleh bebas. Akan tetapi ketahuilah bahwa pihak Turki dan juga Kaisar mencari-cari pula harta itu dan kau harus melindungi kami melawan dan mengundurkan mereka!”

“Aku menurut, Wi Wi, akan tetapi hanya dengan satu syarat, tanpa dipenuhinya syarat itu, aku takkan menurut, biarpun dengan berbuat demikian berarti aku melanggar sumpah! Marilah kita masuk ke dalam guaku dan disana kita bicarakan hal ini lebih mendalam pula.”

Sambil menuntun tangan Lin Lin, Bu Pun Su mendahului rombongan itu memasuki Gua Tengkorak.

“Lin Lin kau beristirahatlah di dalam kamar hio-louw itu dan bersamadhilah dengan tenang, membersihkan pernapasanmu agar racun yang menyerangmu itu tidak begitu keras jalannya,” katanya kepada Lin Lin dan tidak mempedulikan suara ketawa Hai Kong Hosiang yang mengejeknya.

Lin Lin melontarkan pandang mata membenci ke arah pendeta gundul itu, lalu ia mentaati perintah suhunya dan masuk ke dalam kamar hiolouw lalu bersila dan mengatur napas. Akan tetapi, ia memasang telinganya dan mendengarkan semua percakapan mereka.

Akhirnya diputuskan oleh Bu Pun Su, Hai Kong Hosiang, dan Wi Wi Toanio, bahwa Bu Pun Su harus membantu mereka mendapatkan harta pusaka itu, kemudian kalau harta pusaka itu telah terjatuh ke dalam tangan mereka, barulah Hai Kong Hosiang akan memberi obat penyembuh racun yang menguasai Lin Lin.

Mendengar percakapan itu, Lin Lin merasa terhina sekali dan ia merasa penasaran mengapa Bu Pun Su menjadi demikian lemah dan tidak berdaya terhadap nenek itu? Apakah nenek itu lebih lihai daripada Bu Pun Su? Andaikata lebih juga, mungkinkah suhunya bersikap demikian pengecut dan takluk tanpa mengadakan perlawanan terlebih dulu? Ia menjadi gelisah dan duduknya tidak bisa diam.

Tiba-tiba terdengar Bu Pun Su berkata,
“Lin Lin, aku tahu mengapa kau merasa gelisah dan penasaran.” Kemudian, kakek yang lihai ini lalu berkata kepada Wi Wi Toanio, “Wi Wi, jangan kau membuat aku dipandang rendah oleh muridku sendiri. Kalau kau tidak mau menceritakan riwayat kita berdua hingga terdengar muridku dengan jelas, jangan harap kau akan dapat membawaku ke barat untuk mencari harta pusaka itu.”

“Apa?” nenek itu berseru heran. “Kau tidak takut rahasia kita itu kubongkar?”

“Apakah yang kutakuti lagi? Nama buruk? Biarlah, aku sudah tak bernama lagi,” jawab Bu Pun Su.

“Tidak akan merasa malukah kau?”

“Dimana letaknya malu? Perbuatan yang telah dilakukan tak perlu disimpan-simpan! Telah puluhan tahun kita menyimpan rahasia itu, lebih baik sekarang dibuka sebelum kita mati.”

“Tapi… tapi mengapa kau masih tunduk kepadaku kalau kau tidak takut rahasia itu terbongkar?” nenek itu suaranya mengandung gelora penuh keheranan dan kejutan.

Bu Pun Su tersenyum.
“Itulah rahasiaku sendiri, Wi Wi. Sekarang ceritakanlah semuanya dengan jelas sebelum kita berangkat.”






Tidak ada komentar :