*

*

Ads

Jumat, 14 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 141

Wanita ini nampak aneh karena walaupun nampak tua, akan tetapi rambutnya masih hitam dan biarpun pakaiannya amat sederhana bahkan ia tidak bersepatu, akan tetapi sabuk yang mengikat pinggangnya terbuat dari pada sutera merah yang panjang dan indah, sabuk yang biasa dipakai oleh nona-nona muda!

Pada jidat wanita tua itu nampak garis palang hitam, tepat di tengah-tengah alis agak di atas. Nenek aneh ini berjalan di sebelah kiri Bu Pun Su. Cin Hai menjadi bengong dan terheran-heran. Mungkinkah orang-orang ini dapat mengalahkan dan menawan suhunya yang demikian sakti? Hampir ia tidak percaya, akan tetapi pemandangan yang oleh kedua matanya bukanlah terlihat di alam mimpi!

Dari perasaan heran Cin Hai menjadi marah sekali terhadap rombongan itu. Ia mencabut sepasang pedang Liong-cu-kiam, memegangnya erat-erat di tangan kanan kiri, lalu melompat keluar sambil berseru,

“Hai Kong keparat! Kau berani menghina Suhuku?” bentaknya dan kemudian ia menerjang mereka.

Semua orang terkejut melihat berkelebatnya bayangan Cin Hai yang memegang sepasang pedang yang bercahaya dan menggerakkannya secara hebat sekali! Balaki dan pendeta Mongol berjubah merah menyambut serangannya dengan senjata mereka, akan tetapi sekali bentrokan saja senjata kedua orang itu terpental jauh, terlepas dari pegangan!

Cin Hai hendak menyerang Hai Kong dan nenek tua itu, akan tetapi tiba-tiba terdengar suhunya berseru keras,

“Cin Hai, tahan pedangmu!!”

Suara ini menyiram api yang membakar di dada Cin Hai dan ia berdiri memandang kepada suhunya dengan heran dan cemas.

“Suhu…” katanya menahan napas, “mereka ini… mau apakah?”

“Jangan sembarangan turun tangan!” kata pula Bu Pun Su dengan suaranya yang amat berpengaruh. “Kau pergilah saja ke Gua Tengkorak dan kau tolong Lin Lin.”

“Lin Lin… kenapa dia, Suhu…?” tanya Cin Hai dengan wajah pucat.

Dan aneh sekali, Bu Pun Su menarik napas panjang dengan wajah berduka. Baru kali ini Cin Hai melihat suhunya berduka!

“Pergilah dan kau akan mendapat penjelasan dari Lin Lin.”

Cin Hai mendengar suara ketawa bergelak dan ia cepat berpaling memandang kepada Hai Kong Hosiang yang masih tertawa sehingga menimbulkan rasa bencinya. Ingin ia menggerakkan pedangnya menusuk dada hwesio yang jahat itu.

“Akan tetapi, Suhu…” ia mencoba membantah.

“Diam! Dan jangan banyak cakap lagi. Pergilah!” seru Bu Pun Su marah.

Dengan kepala tunduk dan beberapa kali menengok, Cin Hai lalu bertindak pergi.

“Ha-ha-ha! Pendekar Bodoh, kau benar-benar tolol dan bodoh. Bu Pun Su lebih pintar dari padamu! Nyawa Lin Lin kekasihmu itu berada di dalam tanganku dan tergantung kepada Suhumu apakah ia menghendaki kekasihmu itu hidup atau mati. Awas, jangan kau berani main-main dengan kami kalau menghendaki Suhumu dan kekasihmu itu dapat hidup! Ha-ha-ha!”

Hai Kong Hosiang tertawa bergelak-gelak sehingga menggema di dalam hutan itu. Suara tertawanya saja membuktikan bahwa kini ilmu lweekang hwesio itu telah naik berlipat ganda hingga diam-diam Cin Hai merasa tertegun.

Akan tetapi, kepandaian itu masih jauh daripada cukup mengalahkan suhunya! Ia tidak berani membantah perintah suhunya. Apalagi mendengar ancaman Hai Kong Hosiang tadi, membuat ia merasa gelisah dan cemas memikirkan nasib Lin Lin. Maka ia segera berlari cepat menuju ke Gua Tengkorak diikuti oleh gema suara tertawa Hai Kong Hosiang.

Cin Hai berlari cepat, mengerahkan seluruh kepandaiannya karena benar-benar merasa gelisah sekali. Kalau saja Lin Lin kalian ganggu, pikirnya dengan gemas, awaslah kalian!






Ketika tiba di depan Gua Tengkorak hatinya merasa berdebar. Ia tidak mendengar sesuatu, keadaan sunyi sekali, membuat hatinya berdebar cemas dan hampir saja ia tidak berani masuk karena merasa takut melihat hal-hal mengerikan yang terjadi pada diri kekasihnya.

Setelah menetapkan hatinya, ia lalu melompat masuk ke dalam ruang besar dimana tengkorak-tengkorak raksasa masih berdiri dengan megahnya. Bertahun-tahun ia tinggal di tempat ini mempelajari ilmu silat, maka pemandangan ini tidak menimbulkan keseraman di hatinya lagi. Ia segera memandang dengan kedua matanya mencari-cari, dan karena tidak melihat Lin Lin di ruang itu, ia lalu berlari masuk ke dalam kamar tempat menaruh hio-louw (tempat hio). Dan di situ ia melihat Lin Lin rebah telentang, pucat tak bergerak bagaikan mayat.

Cin Hai berdiri terpaku di atas lantai, tak kuasa bergerak, wajahnya pucat dan kepalanya terasa pening. Hampir saja ia jatuh pingsan kalau ia tidak menekan perasaannya dan menguatkan hatinya.

“Lin Lin…” akhirnya ia dapat berseru dan menggerakkan kakinya, menubruk maju dan memeriksa keadaan kekasihnya.

Ternyata bahwa Lin Lin hanya pingsan saja dan pernapasannya masih berjalan, sungguhpun amat lemah. Tidak ada tanda-tanda luka hebat di tubuh Lin Lin, kecuali bintik hijau yang terdapat pada lehernya, dan ketika Cin Hai meraba bintik itu, terasa panas menyerang jari tangannya.

Ia merasa terkejut sekali dan dapat menduga bahwa kekasihnya tentu terkena senjata jarum yang mengandung racun hebat. Bukan main marahnya. Mengapa suhunya mendiamkannya saja, bahkan menyerah menjadi tawanan musuh?

Cin Hai lalu memondong tubuh Lin Lin dan melompat keluar. Ia tidak mau menerimanya begitu saja. Ia harus mengejar mereka itu dan memaksa mereka memberi obat pemunah bagi kekasihnya, atau kalau mereka tak sanggup menyembuhkan Lin Lin, ia hendak mengamuk dan membunuh mereka semua dengan taruhan jiwa.

Biarpun andaikata suhunya akan melawan, ia akan nekat dan tidak menurut perintah suhunya. Cintanya kepada Lin Lin jauh lebih besar daripada ketaatannya kepada gurunya. Kecemasan telah menggelapkan jalan pikiran Cin Hai dan sambil memondong tubuh Lin Lin yang lemas tak berdaya dan yang meramkan kedua matanya itu, Cin Hai mempergunakan ilmu berlari cepat, melompati jurang dan mengejar secepatnya.

Akan tetapi, ketika ia tiba di sebuah hutan yang sunyi, tiba-tiba tubuh Lin Lin bergerak-gerak. Ketika ia memandang, ternyata kekasihnya telah membuka matanya. Cin Hai berhenti berlari dan mendekap kepala Lin Lin sambil berbisik,

“Lin-moi… Lin-moi… kau kenapakah…?”

Untuk sejenak Lin Lin tidak menjawab, hanya memandang kepada wajah Cin Hai seakan-akan baru sadar dari mimpi, lalu tangannya merangkul leher Cin Hai dan ia menangis terisak-isak di dada pemuda itu.

Cin Hai mendiamkannya saja dan setelah tangis Lin Lin mereda, ia lalu menurunkan tubuh kekasihnya itu, didudukkan di atas rumput dan ia sendiri duduk di sebelahnya. Ia merasa heran melihat betapa tubuh Lin Lin kini pulih seperti biasa kembali, hanya wajahnya masih nampak pucat. Cin Hai memegang tangan Lin Lin dan bertanya lagi dengan wajah kuatir,

“Lin-moi, kau kenapakah?”

“Hai-ko, sukur sekali kau keburu datang. Telah terjadi malapetaka hebat menimpa Suhu dan diriku.”

Cin Hai mengangguk.
“Aku tahu bahwa Suhu telah ditawan oleh keparat itu. Anehnya, ketika aku hendak menolongnya, Suhu bahkan melarangku dan pergi dengan suka rela menjadi tawanan mereka!”

“Kau tidak tahu, Hai-ko. Suhu sengaja mengalah dan menurut menerima hinaan mereka hanya untuk menolong jiwaku.”

Terkejutlah Cin Hai mendengar ini dan teringatlah ia akan kata-kata Hai Kong Hosiang yang mengejek ketika ia hendak pergi meninggalkan mereka.

“Apa… apa maksudmu, Moi-moi…?”

Lin Lin menarik napas panjang lalu bercerita seperti berikut. Semenjak ikut pergi dengan Bu Pun Su, Lin Lin memperdalam ilmu pedangnya di bawah pimpinan kakek jembel yang sakti itu. Mereka berdua lebih dulu singgah di dalam hutan dan membawa serta burung Merak Sakti dan Bangau Sakti, hingga kini di Gua Tengkorak itu terdapat tiga burung sakti, yaitu Sin-kong-ciak si Merak Sakti, Sin-kim-tiauw si Rajawali Emas dan Ang-siang-kiam si Bangau Sakti.

Gadis ini melatih diri dengan giat sekali dan sebentar saja ia telah mencapai kemajuan yang luar biasa sehingga kalau ia mainkan pedang Han-le-kiam dengan ilmu pedang yang diciptakan oleh Cin Hai untuknya maka gerakannya menjadi luar biasa hebatnya! Bu Pun Su telah memperbaiki gerakan-gerakannya itu dengan gerakan yang sesuai dan tepat, disesuaikan dengan pedang yang pendek itu.

Pada suatu pagi, selagi Lin Lin berlatih seorang diri di luar gua karena gadis yang rajin ini setiap hari bangun pagi-pagi sekali dan berlatih seorang diri, datanglah rombongan Hai Kong Hosiang itu.

Seperti juga Cin Hai, Lin Lin merasa terkejut dan heran sekali melihat bahwa pendeta jahat itu masih hidup. Ia melihat empat orang lain datang bersama Hai Kong Hosiang, yaitu dua orang perwira Mongol, seorang pendeta Sakya Buddha dan seorang nenek tua yang aneh.

“Hai Kong si Jahat! Kau belum mampus?” teriak Lin Lin dengan terheran-heran.

Hai Kong Hosiang tertawa bergelak-gelak mendengar ucapan ini hingga sebelah matanya yang kiri itu melotot dan mengeluarkan air mata!

“Kwee Lin, anak jahat! Kau dan Pendekar Bodoh yang membuat aku menjadi begini, akan tetapi, Sang Buddha adalah adil dan bijaksana! Kau memaki aku jahat, akan tetapi sebetulnya kaulah yang jahat. Buktinya, biarpun aku telah menggelundung ke dalam jurang, akan tetapi ternyata Sang Buddha masih melindungiku dan cabang-cabang pohon menangkap dan menolong nyawaku ketika aku tergelincir jatuh ke dalam jurang! Sekarang aku telah datang kembali dan aku harus mencokel sebelah matamu sebelum kubunuh mampus kau dan Cin Hai untuk membalas dendamku. Ha-ha-ha!”

“Gundul keparat, jangan sombong!”

Lin Lin dengan garang memaki. Lin Lin sekarang bukanlah Lin Lin dulu, karena sekarang ia telah memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan dulu. Setelah membentak, ia segera menyerang dengan pedang Han-le-kiam di tangannya.

Hai Kong memandang rendah dan menghadapi gadis itu dengan tangan kosong, maksudnya hendak dengan satu dua jurus saja menggulingkan gadis itu, akan tetapi kesombongannya ini hampir saja membuat nyawanya melayang!

Ketika Lin Lin menyerang dengan gerakan limu Pedang Han-le-kiam yang diberi nama Ang-i-to-hwa atau Ang I Niocu Memetik Kembang, pedang pendeknya membacok ke arah jidat yang licin dari hwesio itu dengan cepat sekali. Hai Kong Hosiang tersenyum sindir dan membentak keras lalu mempergunakan tangan kiri menyambar dari samping ke arah pergelangan tangan Lin Lin untuk merampas pedang dan tangan kanan mengeluarkan jari telunjuk, ditotolkan ke arah mata kiri Lin Lin untuk mencokel keluar mata itu.

Tidak tahunya, Lin Lin tidak melanjutkan serangannya dan secepat kilat ujung Han-le-kiam telah dibalikkan dan dari gerakan membacok jidat berubah menjadi tusukan ke bawah mengancam tenggorokan hwesio itu dengan gerakan Cin Hai Membacok Kayu! Sedangkan menghadapi tusukan jari tangan Hai Kong ke arah matanya, Lin Lin mengelak sambil merendahkan tubuh dan tangan kirinya tidak mau tinggal diam akan tetapi membarengi gerakan pedangnya mengirim pukulan ke arah dada kiri Hai Kong Hosiang dengan ilmu Pukulan Pek-in-hoatsut yang dilakukan dengan sepenuh tenaga!

Bukan main terkejutnya hati Hai Kong Hosiang melihat perubahan yang tak pernah disangka-sangkanya ini. Kalau saja ia tidak memandang rendah dan berlaku hati-hati tentu takkan mudah dibikin terkejut oleh serangan ini, sungguhpun serangan Lin Lin ini benar-benar merupakan gerakan silat yang tinggi tingkatnya. Akan tetapi karena tadinya memandang rendah dan tidak menyangka, Hai Kong Hosiang hanya dapat mengelak dari serangan pedang ke arah tenggorokannya saja, yaitu dengan jalan miringkan tubuh ke kiri.

Akan tetapi menghadapi pukulan Pek-in-hoatsut itu, ia tidak keburu berkelit lagi hanya dapat memutar dada dan menerima pukulan itu yang kini tak mengenai dada kiri, akan tetapi mengenai dada kanannya!

Hai Kong Hosiang berseru kaget lagi dan untung ia telah merasai hebatnya angin pukulan yang panas sehingga telah mengerahkan lweekangnya ke arah dada kanan, kalau tidak pasti akan pecahlah dadanya! Tubuhnya terpental ke belakang, dan biarpun ia masih dapat mencegah tubuhnya terhuyung dan jatuh, namun dada kanannya masih terasa panas dan ketika ia melihat, ternyata kulit dadanya telah menjadi biru!






Tidak ada komentar :