*

*

Ads

Rabu, 12 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 140

Ketika tiba di tempat pertempuran, Cin Hai berseru,
“Niocu, jangan kuatir, aku membantumu!”

Dan pedang Liong-cu-kiam di tangannya berkelebat secara luar biasa sekali hingga Kam Hong Sin merasa bukan main terkejutnya. Siapakah pemuda yang gagah perkasa dan yang memiliki ilmu pedang sehebat itu.

“Hai-ji, mereka hendak merampas pedang kita!” teriak Ang I Niocu dengan girang melihat datangnya pemuda itu.

Ketika Cin Hai melihat Sie Ban Leng, ia merasa gemas sekali lalu membentak,
“Ah, inikah macamnya orang yang telah mengkhianati Ayahku?”

Pedangnya menyerang hebat dan dengan suara keras, rebab itu terbelah dua! Sie Ban Leng terkejut sekali, bukan hanya karena rusaknya senjatanya, akan tetapi juga karena kata-kata Cin Hai.

“Siapakah kau?” bentaknya.

“Kau masih ingat kepada Sie Gwat Leng? Nah, dialah Ayahku!”

Pucatlah wajah Sie Ban Leng mendengar ucapan ini hingga tubuhnya menggigil. Pada pandangan matanya, wajah Cin Hai tiba-tiba berubah menjadi wajah kakaknya yang dulu telah dikhianatinya itu! Dan sebelum ia sempat mengeluarkan kata-kata, pedang Liong-cu-kiam di tangan Cin Hai telah menyambar cepat dan robohlah Sie Ban Leng dengan dada kiri tertembus pedang dan tewas pada saat itu juga!

Melihat betapa dengan beberapa gebrakan saja pemuda itu telah berhasil menjatuhkan Sie Ban Leng, bukan main kagetnya hati Kam Hong Sin. Ia bersuit keras sekali dan memutar pedangnya dengan hebat untuk menahan serbuan Ang I Niocu dan Cin Hai.

Maka datanglah berturut-turut beberapa orang perwira kerajaan yang berkepandaian tinggi sehingga kini yang mengeroyok kedua orang muda itu tak kurang dari sepuluh orang!

Akan tetapi, Ang I Niocu dan Cin Hai mainkan pedang dengan seenaknya saja, karena mereka ini hanya membela diri saja dan tidak berniat menjatuhkan para perwira itu. Terutama sekali mereka tidak tega melukai Ceng Tek Hosiang yang bertempur sambil tersenyum dan Ceng To Tosu yang mewek dengan sedihnya itu.

Pada saat pertempuran masih berjalan seru, tiba-tiba terdengar teriakan riuh dan muncullah serombongan orang Mongol yang dikepalai oleh Thai Kek Losu, Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio!

“Pendekar Bodoh, hayo kau serahkan tutup cawan itu kepada kami!” teriak Thai Kek Losu sambil menerjang dan menyerang Cin Hai.

Melihat datangnya rombongan yang terdiri dari belasan orang pendeta Mongol jubah merah itu, Cin Hai lalu memberi tanda kepada Ang I Niocu untuk melarikan diri. Sedangkan para perwira kerajaan ketika melihat pendeta-pendeta Mongol ini pun segera menyerangnya, sehingga terjadilah pertempuran antara perwira-perwira kerajaan dengan pendeta-pendeta Mongol.

Sebenarnya hal ini tidak dikehendaki oleh Kam Hong Sin maupun oleh Thai Kek Losu, akan tetapi Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu yang mendahului menyerang para pendeta Mongol itu, karena diam-diam mereka berdua ini suka kepada Cin Hai dan Ang I Niocu hingga ketika para orang Mongol datang menyerang, mereka berdua lalu membantu Cin Hai dan menyerang para pendeta Mongol itu!

Memang diantara kedua golongan ini telah ada rasa benci membenci hingga mudah saja membakar api diantara mereka. Serangan Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu cukup membuat yang lain lain lalu menyerbu dan saling gempur dengan sengitnya!

Sementara itu, Ang I Niocu dan Cin Hai telah melarikan diri secepatnya meninggalkan tempat pertempuran itu.

“Niocu, harta pusaka itu benar-benar berada di terowongan kecil itu!” kata Cin Hai kepada Ang I Niocu dan secara singkat ia menuturkan betapa banyaknya harta itu bertumpuk di dalam terowongan kecil. Ia memperlihatkan bukti dua butir mutiara itu kepada Ang I Niocu yang memandangnya dengan kagum.

“Kalau kau suka, ambillah, Niocu,” kata Cin Hai sambil memberikan dua butir mutiara besar itu.

Ang I Niocu menerimanya, akan tetapi lalu ia kembalikan sebutir sambil berkata,
“Simpanlah yang sebutir ini untuk diberikan kepada Lin Lin kelak.”






“Sekarang bagaimana baiknya, Niocu? Fihak Kaisar dan Mongol juga menghendaki harta benda itu, bahkan fihak Turki juga tidak mau ketinggalan. Bagaimana kita harus mengambil harta itu tanpa mereka ketahui dan kalau sudah kita ambil, lalu untuk apa?”

Setelah mendengar banyaknya harta yang terdapat di situ, Ang I Niocu sendiri pun menjadi bingung dan tidak tahu harus menjawab bagaimana.

“Lebih baik kita membuat laporan kepada Susiok-couw saja, Hai-ji. Kau bawalah sepasang pedang Liong-cu-kiam ini dan berikan kepada Susiok-couw, sekalian kau ceritakan tentang harta pusaka itu dan tentang keadaan disini.”

“Kenapa hanya aku yang harus menceritakan? Bukankah kita pergi ke sana berdua?” tanya Cin Hai.

“Tidak, kau pergilah sendiri. Aku harus tinggal disini mengamat-amati gua itu, jangan sampai didapatkan oleh lain orang. Kalau kita berdua pergi dan harta itu diambil orang lain, kita takkan dapat berbuat sesuatu.”

Cin Hai mengangguk-angguk, dan bertanya lagi,
“Kalau kedua pedang kubawa, habis kau bagaimana, Niocu? Kau perlu memiliki pedang yang cukup baik untuk menghadapi bahaya. Tempat ini penuh dengan orang-orang pandai dan jahat.”

Ang I Niocu tersenyum, lalu menyerahkan pedang Liong-cu-kiam kepada Cin Hai, kemudian mencabut pedang Cian-hong-kiam pemberian Lie Kong

“Pedang ini cukup baik dan kuat. Kau lihatlah!”

Ang I Niocu mengayun pedangnya membacok sebuah batu karang hitam di pinggir jalan dan batu terbelah dengan mudah. Cin Hai mengangguk-angguk dan memuji.

“Po-kiam (pedang pusaka) yang bagus!”

Kemudian ia lalu berangkat menuju ke tempat pertapaan suhunya, yaitu di Gua Tengkorak dimana dulu ia mempelajari ilmu silat dari Bu Pun Su. Sedangkan Ang I Niocu tinggat di Lan-couw untuk menjaga dan mengamat-amati gua rahasia dimana tersimpan harta pusaka yang besar itu.

Cin Hai melakukan perjalanan dengan cepat menuju ke timur. Jarang ia berhenti kalau tidak hendak makan dan beristirahat, karena ia hendak cepat-cepat tiba di tempat itu, seakan-akan ada besi sembrani yang menariknya, yaitu Lin Lin. Pemuda itu baru saja berpisah beberapa lama, sudah merasa rindu sekali dan kini ia tergesa-gesa bukan lain ialah karena ingin bertemu dengan kekasihnya itu.

Pada suatu hari ia tiba di sebuah dusun dan tertariklah hatinya melihat betapa penduduk dusun itu seakan-akan sedang mengadakan semacam pesta keramaian. Tadinya ia hendak lewat terus saja, akan tetapi ketika melihat beberapa orang dusun memikul sebuah orang-orangan dari kertas yang besar dan rupanya seperti Hai Kong Hosiang, ia menjadi terheran sekali dan menunda perjalanannya.

Ia menduga bahwa persamaan wajah orang-orangan itu dengan Hai Kong Hosiang tentulah merupakan hal yang kebetulan saja, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia bertanya gambar siapakah yang mereka gotong itu, ia mendapat jawaban,

“Gambar si keparat Hai Kong.”

Cin Hai tertarik sekali dan ingin melihat apakah yang hendak dilakukan oleh orang-orang kampung itu dan mengapa mereka menggotong gambar Hai Kong Hosiang yang mereka maki-maki keparat. Rombongan itu menuju ke sebuah rumah kecil yang sudah penuh orang dan di depan pintu rumah itu terdapat sebuah meja sembahyang.

Setelah orang-orangan itu digotong ke situ, semua orang berdiri dan memaki-maki,
“Hai Kong keparat! Hai Kong Hwesio bangsat!” dan lain-lain makian lagi menyatakan kemarahan mereka.

Kemudian beramai-ramai semua orang mengeroyok orang-orangan itu dan menghujani pukulan dengan senjata tajam sehingga orang-orangan dari kertas itu robek-robek dan hancur, kemudian sisa-sisanya dibakar dibawah sorak-sorai yang riuh!

Cin Hai makin terheran-heran dan menonton saja. Kemudian orang-orang dusun itu lalu bersembahyang dan semuanya berlutut di depan meja sembahyang itu dengan muka berduka, bahkan ada pula beberapa orang wanita yang menangis!

Cin Hai tak dapat menahan keheranannya lagi, maka ia lalu bertanya kepada seorang laki-laki tua yang berada di belakang dan juga ikut bertutut,

“Lopek, mengapa kalian demikian membenci Hai Kong Hosiang dan meja sembahyang siapa ini?”

Kakek itu memandang kepada Cin Hai dengan tajam dan setelah mengetahui bahwa pemuda itu adalah orang dari luar dusun, ia lalu menjawab,

“Siangkong, ketahuilah. Dulu di dusun kami ini datang seorang hwesio jahat bernama Hai Kong Hosiang yang mengganggu kami, bahkan hampir membunuh seorang anak kecil di dusun ini. Kemudian datanglah dua orang pendekar wanita yang membela kami dan bertempur melawan Hai Kong Hosiang si keparat itu, akan tetapi dua orang pendekar wanita itu tewas dalam tangan Si Bangsat Gundul. Oleh karena kami berterima kasih sekali kepada kedua orang pendekar wanita yang telah mengorbankan nyawa demi pertolongannya kepada kami maka sekarang kami mengadakan peringatan untuk menghormati jasanya itu.”

Cin Hai merasa tertarik sekali mendengar ini.
“Lopek, siapakah namanya dua orang pendekar wanita yang gagah dan mulia itu?”

“Entahlah, kami juga tidak tahu dan tidak mendapat kesempatan untuk mengetahui hal itu. Akan tetapi senjata kedua pendekar itu masih kami simpan dan sekarang pun kami memuja senjata-senjata mereka itu yang ditaruh di atas meja sembahyang.”

Karena tertarik, Cin Hai lalu menghampiri meja itu, diikuti oleh pandang mata semua orang kampung yang merasa heran dan curiga. Cin Hai mendekati meja dan memandang. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat sebuah hud-tim (kebutan pertapa) warna merah dan sebatang pedang.

Ia melangkah maju untuk memandang lebih teliti lagi dan menjadi pucat ketika ia mengenal senjata-senjata itu. Kebutan itu adalah senjata Biauw Suthai dan pedang itu adalah pedang Pek I Toanio, guru dan suci dari Lin Lin!

Lemaslah tubuh Cin Hai dan kedua kakinya gemetar. Ia segera berlutut dan ikut bersembahyang bersama semua orang kampung yang kini lenyap kecurigaan mereka melihat pemuda itupun memberi hormat!

Selesai bersembahyang, Cin Hai lalu minta keterangan penjelasan dari kakek tadi dan setelah ia mendengar cerita tentang dua orang pendekar wanita itu, bahwa yang seorang adalah seorang pendeta wanita tua dan yang kedua adalah seorang wanita berpakaian putih yang cantik, ia tidak ragu-ragu lagi. Biauw Suthai dan Pek I Toanio telah tewas dalam tangan Si jahat Hai Kong! Kalau saja ia tidak melihat bahwa Hai Kong Hosiang sudah menggelinding ke dalam jurang, tentu ia makin merasa dendam dan sakit hati kepada hwesio jahat itu!

Cin Hai tak pernah bermimpi bahwa Hai Kong Hosiang yang disangkanya telah mati itu sebetulnya masih hidup dan sebentar lagi akan bertemu dengannya!

Ia lalu melanjutkan perjalanannya dan berpikir-pikir bagaimana ia harus menyampaikan berita sedih ini kepada Lin Lin. Ia maklum bahwa Lin Lin pasti akan berduka sekali mendengar tentang matinya gurunya dan sucinya yang amat dikasihinya itu.

Pada keesokan harinya, ia telah tiba dekat Gua Tengkorak, hanya tinggal perjalanan beberapa belas li saja. Ketika ia masuk ke dalam sebuah hutan, tiba-tiba ia melihat serombongan orang berjalan cepat dari depan. Melihat gerakan mereka yang cepat, Cin Hai menjadi heran dan segera ia bersembunyi di balik sebatang pohon besar dan mengintai.

Ketika rombongan itu telah datang dekat, tiba-tiba ia membelalakkan kedua matanya dan menggosok-gosok mata itu seakan-akan ia tidak percaya kepada kedua matanya sendiri.

Tak salah lagi, yang berjalan di depan adalah Hai Kong Hosiang! Bentuk badan dan pakaian hwesio itu masih sama dengan dulu, hanya bedanya sekarang matanya tinggal sebelah, yang kanan tertutup dan buta, sedangkan yang kiri terdapat cacat bekas terobek dan menjadi lebih lebar dari biasa! Muka hwesio itu kelihatan buruk dan menyeramkan sekali.

Dan yang lebih mengherankan hati Cin Hai adalah ketika ia melihat Bu Pun Su berjalan di tengah-tengah rombongan itu. Anehnya, gurunya ini nampak sedih dan putus asa, berjalan sambil menundukkan kepala, sebagai seorang tawanan! Aneh sekali! Siapakah orangnya yang dapat menawan dan menundukkan suhunya? Tak mungkin Hai Kong Hosiang!

Cin Hai memandang rombongan itu dan selain Hai Kong Hosiang, ia melihat pula Balaki, perwira Mongol yang dulu pernah dikalahkannya itu, seorang perwira Mongol lain, seorang pendeta Mongol jubah merah, dan seorang wanita tua berbaju putih bercelana hitam dan tak bersepatu!






Tidak ada komentar :