*

*

Ads

Rabu, 12 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 139

Kam Hong Sin lalu berseru keras dan menangkis dengan pedangnya yang juga bukan pedang sembarangan, lalu balas menyerang dengan hebat. Ilmu pedang perwira ini luar biasa sekali karena selain gerakannya cepat dan kuat, juga mengandalkan ginkangnya yang luar biasa membuat tubuhnya berkelebat bagaikan halilintar menyambar.

Akan tetapi Ang I Niocu telah memiliki ilmu pedang yang mencapai tingkat tinggi hingga ia melakukan desakan-desakan hebat dan tubuhnya berputar cepat menggerakkan Liong-cu-kiam yang bercahaya berkilauan itu.

Dengan gerakannya yang indah dan cepat, Ang I Niocu mendesak terus hingga Kam Hong Sin benar-benar merasa kagum dan terkejut. Sudah lama ia mendengar bahwa ilmu pedang Ang I Niocu telah menggemparkan dunia persilatan dan sudah lama ia ingin bertemu dan kalau mungkin mencoba kepandaian pendekar wanita itu. Kini keinginannya terkabul karena bukan saja ia berkesempatan mencoba ilmu pedang gadis itu, bahkan mereka bertempur dengan mati-matian. Terpaksa ia mengandalkan ginkangnya untuk menghindarkan diri dari rangsekan gadis itu.

Ang I Niocu merasa penasaran karena belum juga ia dapat merobohkan lawan yang tangguh dan gesit ini, maka lalu maju menyerang dan merobah ilmu pedangnya, meniru gerakan Cin Hai dengan serangan Ilmu Pedang Daun Bambu yang lihai. Biarpun ia tidak mempelajari ilmu pedang ini, namun ketika menciptakan ilmu pedang ini Cin Hai mendapat bantuan darinya, maka sedikitnya ada beberapa jurus terlihai yang masih teringat olehnya dan kini ia mendesak sambil mengeluarkan ilmu silat itu.

Melihat hebatnya Liong-cu-kiam yang digerakkan menyambar pinggangnya dari arah kiri ke kanan, Kam Hong Sin merasa terkejut sekali dan sambil bersuara keras ia mengenjot tubuhnya ke atas sambil berputar. Ginkangnya benar-benar hebat dan mengagumkan sekali. Dengan gerakan itu, ia melompat tinggi dengan tubuh berputar beberapa kali hingga terhindar dari serangan maut yang dilancarkan oleh Ang I Niocu.

Kemudian, dari atas Kam Hong Sin membalas serangan Ang I Niocu dengan meluncurkan pedangnya ke arah kepala Ang I Niocu dan aneh! Pedangnya itu terlepas dari tangannya dan melayang ke arah kepala Ang I Niocu bagaikan sebatang tombak yang diluncurkan!

Ang I Niocu cepat mengelak dan ketika pedang itu meluncur hendak menyentuh tanah, tiba-tiba pedang itu dapat bergerak kembali ke tangan Kam Hong Sin yang sudah melompat turun!

Bukan main terkejutnya Ang I Niocu melihat ilmu pedang yang aneh dan lihai ini dan baru ia tahu bahwa tali hitam panjang yang mengikat gagang pedang dan yang dibelitkan di pergelangan tangan perwira itu bukan tidak ada gunanya.

Dengan tali panjang itu, maka pedang dapat disambitkan dan dapat menyerang lawan dari jarak jauh tanpa kuatir pedang itu akan lenyap karena dapat dibetot kembali pada saat pedang itu tidak mengenai sasaran! Hal ini tidak begitu mengherankan, akan tetapi yang mengagumkan adalah cara Kam Hong Sin menggerakkan pedangnya di waktu menyambit. Agaknya ia telah mempelajari ilmu pedang yang aneh ini sampai mendalam betul hingga pedang itu dapat dilepas dan ditarik sesuka hatinya.

Menghadapi ilmu pedang yang aneh dan lihai ini, Ang I Niocu berlaku hati-hati sekali dan mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling hebat. Mereka bertempur lagi dengan seru dan kali ini karena mengandalkan pedangnya yang seringkali diluncurkan untuk menyerang dari jauh,

Kam Hong Sin dapat mengimbangi permainan pedang Ang I Niocu yang kini menjadi terdesak oleh serangan-serangan aneh dan berbahaya itu. Ia merasa seakan-akan Kam Hong Sin memiliki ilmu kepandaian kiam-sut yang disebut hui-kiam atau pedang terbang yang sering ia dengar dari dongeng-dongeng yang belum pernah disaksikan.

Kini mengertilah Ang I Niocu bahwa yang disebut hui-kiam atau pedang terbang itu tentulah ilmu pedang seperti yang dimiliki oleh Kam Hong Sin ini, yaitu pada gagang pedang diikat dengan sehelai tali panjang yang dapat mulur hingga pedang dapat disambitkan, dilayangkan dengan betotan pada talinya.

Namun, biarpun Ang I Niocu terdesak oleh perwira yang tangguh dan ilmu kepandaiannya benar-benar tinggi itu, ia sama sekali tidak menjadi gentar karena bagi Ang I Niocu, tak pernah ada rasa takut menghadapi lawan di dalam hatinya. Ia melawan dengan gerakan-gerakan tenang dan cukup kuat hingga sukarlah agaknya bagi Kam Hong Sin untuk merobohkan lawan luar biasa ini.

Diam-diam perwira itu mengeluh karena kalau saja ia bisa menarik gadis lihai ini menjadi kawan di pihaknya, maka ia tentu akan lebih yakin akan berhasilnya tugas yang dijalankannya.

Pada saat pertempuran masih berjalan seru, tiba-tiba terdengar suitan tiga kali dari jauh. Kam Hong Sin memperlihatkan muka girang dan membalas bersuit keras tiga kali pula. Tak lama kemudian, muncullah Sie Ban Leng dan dua orang pertapa yang bukan lain ialah Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang!






Melihat betapa Kam Hong Sin bertempur dengan Ang I Niocu, Sie Ban Leng teringat akan sakit hatinya terhadap Dara Baju Merah yang telah menolak cintanya itu, maka ia lalu melompat menghampiri dan berkata,

“Ang I Niocu! Mengapa kau memusuhi Kam-ciangkun pula?”

Melihat datangnya tiga orang ini, Ang I Niocu dan Kam Hong Sin menunda senjata masing-masing dan melompat mundur.

“Ang I Niocu!” seru pula Ceng To Tosu sambil mewek hampir menangis “Mengapa Lihiap bertempur melawan Kam-ciangkun?”

Sementara itu, Ceng Tek Hosiang berpaling kepada Kam Hong Sin dan berkata,
“Kam-ciangkun, Nona ini adalah Ang I Niocu seorang pendekar gagah, bukan musuh kita!”

Kam Hong Sin tersenyum.
“Aku pun segan melawan dia. Akan tetapi, ia telah mendapatkan tempat itu, dan tidak mau memberitahukan kepadaku.”

“Apa…?”

Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang berseru keras sambil membelalakkan mata penuh ketidak percayaan.

“Lihat saja, ia telah mendapatkan pedang Liong-cu-kiam, dan juga ia tidak mau mengembalikan pedang itu kepadaku.”

Tiba-tiba Sie Ban Leng mendapat kesempatan baik untuk membalas dendam.
“Ha-ha-ha, Ang I Niocu, tidak tahunya kedatanganmu disini karena kau juga mengingini harta pusaka dan pedang itu! Kembalikanlah pedang Liong-cu-kiam kepada kami, kalau kau membangkang berarti kau akan mendapat bencana.”

“Aku tidak hendak menyerahkan pedang ini, habis kalian mau apa?” bentak Ang I Niocu dengan garang.

“Memang kau tidak tahu budi! Kau pernah kutolong, akan tetapi kau bahkan menghinaku dan menolak maksud baikku, sekarang kau mencuri pedang kerajaan pula,” cela Sie Ban Leng dengan gemas.

Tiba-tiba Ang I Niocu menudingkan pedangnya ke arah muka Sie Ban Leng dan memaki.

“Sie Ban Leng, manusia tak berbudi! Kau pandai memutar lidah dan kau tidak mau melihat mukamu sendiri! Seorang yang telah mengkhianati kakaknya, yang telah membuat kakaknya sekeluarga habis binasa, masih mau bicara tentang budi? Tak tahu malu!!”

Ang I Niocu teringat akan cerita Cin Hai tentang kejahatan Sie Ban Leng yang telah menjadi biang keladi kebinasaan seluruh keluarga pemuda itu, maka hatinya menjadi panas dan kalau mungkin pada saat itu juga ia hendak memenggal batang leher Sie Ban Leng.

Sie Ban Leng merasa terkejut sekali hingga wajahnya menjadi pucat.
“Bangsat wanita, jangan kau bicara yang bukan-bukan!” katanya sambil mengayunkan senjatanya yang hebat, yaitu sebuah rebab yang mengeluarkan suara mengiung ketika ia gerakkan menyambar kepala Ang I Niocu.

“Akan kubalaskan sakit hati mendiang Sie Gwat Leng, kakakmu itu!” teriak Ang I Niocu sambil mengelak dan menyerang dengan hebat.

Pedang Liong-cu-kiam yang tajam luar biasa itu menyambar dan beradu dengan rebab di tangan Sie Ban Leng. Terdengar suara keras dan ternyata beberapa helai tali senar rebab yang terbuat daripada kawat baja itu putus.

Sie Ban Leng merasa terkejut dan marah sekali, maka ia lalu menyerang kalang-kabut. Sementara itu, Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang hanya berdiri memandang dengan bengong, akan tetapi ketika Kam Hong Sin memberi aba-aba supaya mereka membantu, mereka terpaksa mengeluarkan senjata dan mengeroyok Ang I Niocu! Juga Kam Hong Sin berseru sambil menerjang.

“Ang I Niocu, lepaskan pedang Liong-cu-kiam itu!”

Akan tetapi, jangankan baru dikeroyok empat, biarpun ia dikepung oleh ratusan orang, Ang I Niocu takkan merasa gentar sungguhpun kepandaian empat orang pengeroyoknya itu bukan main hebatnya hingga sebentar saja ia telah terkurung dan terdesak hebat!

Ia mainkan ilmu pedangnya Ngo-lian-hoan kiam-hwat yang cepat dan tubuhnya lenyap terbungkus sinar pedang Liong-cu-kiam, melindungi tubuhnya dari senjata-senjata lawan yang datang bagaikan air hujan itu! Ia hanya dapat bertahan dan melindungi diri saja, tanpa dapat membalas sedikitpun juga.

Sementara itu, Cin Hai yang ditinggal seorang diri di lubang kecil pada langit-langit gua, setelah membiasakan matanya di tempat gelap dan mendapat sedikit penerangan dari api unggun yang dibuat oleh Ang I Niocu, lalu merangkak maju ke dalam lubang yang ternyata merupakan jalan terowongan kecil itu. Jalan itu besarnya hanya tiba pas saja dengan tubuhnya, maka ia merangkak maju lagi sambil meraba-raba.

Tiba-tiba ia melihat dua benda yang mencorong di sebelah depan, seperti sepasang mata harimau atau binatang buas lain! Ia terkejut sekali dan cepat mempersiapkan pedangnya di tangan, karena jalan mundur tak dapat ditempuhnya cepat-cepat. Dalam tempat yang merupakan lubang sempit itu, tak mungkin membalikkan tubuh dan jalan keluar baginya hanyalah merangkak mundur! Kalau dua benda yang bersinar itu ternyata mata binatang buas, ular besar umpamanya, maka terpaksa harus menghadapinya dalam keadaan merangkak!

Berbahaya sekali keadaan demikian melawan seekor binatang buas, apalagi kalau binatang itu berbisa! Akan tetapi, yang aneh sekali, dua benda seperti mata yang mencorong itu, tidak bergerak-gerak dari tempatnya sungguhpun sinarnya yang mencorong itu tertimpa cahaya api unggun nampak berkeredepan bagaikan mata binatang hidup.

Apakah gerangan benda itu? Cin Hai untuk beberapa lama mendekam tanpa bergerak, takut kalau-kalau binatang itu terkejut dan menyerang maju. Akan tetapi kemudian ia menduga bahwa boleh jadi binatang itu telah mati dengan mata terbuka, karena kalau binatang itu masih hidup, mengapa sama sekali tak pernah bergerak?

Namun ia masih ragu-ragu karena memang ada binatang yang sanggup berdiam lama sekali tanpa bergerak bagaikan mati, seperti halnya seekor ular. Setelah lama menanti, timbul pula keberaniannya dan dengan hati-hati sekali ia bergerak maju lagi dengan pedang siap disodorkan ke depan!

Setelah maju kurang lebih lima kaki jauhnya, ia telah berada dekat sekali dengan dua buah benda yang mencorong itu, lalu benda itu disentuhnya dengan ujung pedangnya. “Ting!” Ujung pedangnya berbunyi dan benda itu bergerak menggelinding. Ternyata benda-benda itu adalah dua potong batu yang ketika dipegangnya hanya sebesar telur burung!

Akan tetapi batu itu bercahaya dan ketika ia pandang penuh perhatian ternyata olehnya bahwa batu-batu itu bercahaya indah sekali. Hatinya berdebar keras. Inilah sebagian daripada harta pusaka itu. Ia maju terus, dan makin banyak batu-batu bercahaya seperti itu, bahkan kini ia melihat banyak potongan emas dan perak. Yang hebat adalah batu-batu permata itu, karena bertumpuk amat banyaknya di suatu tempat, membuat terowongan kecil itu buntu, tertutup oleh benda-benda berharga itu.

Cin Hai merasa girang sekali. Tak salah lagi, inilah harta pusaka yang dicari-cari. Ia membawa dua buah batu permata yang terbesar, tak kurang dari sebutir telur ayam besarnya, lalu ia merayap keluar lagi.

Ketika ia tiba di mulut terowongan, ia tidak melihat Ang I Niocu dan lalu melompat turun. Ia mengeluarkan dua buah batu itu dari sakunya dan hampir saja ia berseru keras saking kagumnya. Dua buah batu itu adalah mutiara-mutiara yang besar dan cahayanya amat indah. Dua butir mutiara besar ini saja sudah tak ternilai harganya, apalagi yang bertumpuk di terowongan itu!

Cin Hai cepat memutar patung batu itu sekuat tenaga ke tempat asal hingga lubang di langit-langit itu tertutup kembali, kemudian setelah menyimpan dua butir mutiara itu, ia lalu berlari keluar mencari Ang I Niocu.

Di luar sunyi saja, maka ia lalu melompat ke atas gua dan berdiri di tempat tinggi. Maka terlihatlah olehnya betapa di tempat yang agak jauh dari situ, Ang I Niocu sedang dikeroyok oleh empat orang dan berada dalam keadaan terdesak sekali.

Dengan marah dan cemas Cin Hai lalu melompat turun dan berlari cepat ke tempat itu. Kalau saja ia tidak merasa kuatir akan keselamatan Ang I Niocu dan tidak demikian tergesa-gesa, tentu ia akan melihat bayangan seorang pendeta Mongol berkelebat dan mengintai ketika ia keluar dari gua itu!






Tidak ada komentar :